SEQUEL/EPILOG HUNHAN VERSION

(JUST FOR FUN)

Hallo~ Jumpa lagi di FF ini, hmm, ini sebenernya FF lama yekan, udah habis juga ceritanya. Author juga udah buat sequelnya yang ChanBaek Version. Tapi kayanya masih ada yang penasaran sama cerita kehidupan HunHan di dalam cerita ini. Jadi kalau baca ini jangan bingung (kok ceritanya sama sih sama Secret Agent Couple) ini tuh dibuat pas iseng aja buat nyeritain kehidupan HunHan gimana. Kemarin ada yang nanya "Thor (padahal bukan superhero) bikin sequel HunHan dong" dan karena emang dasarnya Author lolipopsehun ini udah terpengaruh, akhirnya muncul sequel ini.

Ditambah lagi, Author buat ini sebagai bentuk kekesalan /apasih/ pokoknya beberapa waktu yang lalu ada si kampret yang ngaku ini FF dia terus diupload di wattpad. Karena sama dianya udah dihapus jadi nulis ini deh, biar beda gitu sama yang kemaren dia plagiat /apasih(2)/

Oke, banyak banget curhatnya.

Intinya, ini cuma sebagai hiburan aja buat yang penasaran sama kehidupan HunHan (Author pengen nulis HunHan side story di Secret Agent Couple, tapi nanti takutnya bingung, jadi kehidupan HunHan, Author putuskan ditulis disini). Kalo baca ini terus bingung, coba baca Secret Agent Couple dulu chapter 8 (oke, Author banyak mau)

Yah, semoga masih ada yang mau mampir buat baca sequel recehan ini. Tolong kasih tau kalo ternyata masih ada yang baca /hahaha/

Enjoy~

Don't forget to review~

.

.

Luhan membuang napas berat beberapa kali, pikirannya tidak bisa fokus pada pekerjaan yang sedang ia kerjakan. Sejak tadi pagi saat berangkat dari rumah, pikiran Luhan sudah tak menyatu dengan tubuhnya. Ia memikirkan semuanya, tentang kehidupan Baekhyun dan Chanyeol, keselamatan hidup bayi Baekhyun, bahkan juga keselamatan tim.

Setelah melontarkan ide gilanya semalam, Kris sama sekali tak menghubunginya. Ia juga tak bisa meminta banyak dari pria itu, Luhan tau, Kris butuh waktu untuk memikirkan ini semua. Dan keputusan yang akan Kris buat bukan main-main. Ini tentang menyelamatkan nyawa banyak orang –tidak hanya Baekhyun dan bayinya.

Napas Luhan yang berat terdengar lagi, ia mulai merutuki nasibnya sekarang. Seharusnya Luhan sekarang berada di markas, membicarakan tentang rencana lanjutan dan tugas yang mungkin akan ditunda, bukannya malah terjebak dalam ruangan kerja Sehun dengan tumpukan kertas yang minta dibaca.

Oke, jujur saja, meskipun ia sangat mencintai Sehun –sangat mencintainya hingga Luhan rela melakukan pekerjaan ini– menjadi sekretaris Oh Sehun bukan hal yang mudah. Luhan harus berpura-pura ramah saat menemani Sehun bertemu dengan klien penting, ia harus menerima apa yang Sehun sarankan untuknya –termasuk memakai rok pendek super ketat dan stiletto, ah, sama sekali bukan gayanya.

Luhan masih sering protes akhir-akhir ini, pekerjaan utamanya adalah sebagai mata-mata, bukan sebagai sekretaris orang yang Luhan anggap paling sibuk di dunia, tapi Luhan rasa, pekerjaannya sebagai mata-mata hanya sebagai tugas sampingan –yah, Sehun dan Luhan hanya akan pergi jika ada panggilan tugas.

Kadang Luhan heran, bagaimana Sehun bisa membagi waktu antara pekerjaannya dan juga menjalani kehidupan seperti Luhan. Memang Oh Sehun memiliki banyak orang di bawahnya, yang dengan senang hati menyelesaikan tugas kantor, hanya saja, untuk ukuran seorang pemimpin perusahaan besar, Sehun terlalu santai.

Mungkin bagi Sehun, perusahannya hanya tempat main-main. Tapi yang tak bisa Luhan pahami –keanehan yang sering ia pikirkan– bagaimanapun Oh Sehun bermain-main dalam melakukan tugasnya, perusahan itu semakin besar setiap tahunnya. Bahkan mungkin sekarang memiliki jaringan yang semakin luas.

Luhan sempat bersyukur karena latar belakang keluarga Sehun yang luar biasa, membuatnya mudah mendapatkan akses apapun. Oke, bukan Luhan ingin memnfaatkan Sehun dengan hal ini, tapi karena begitu berkuasanya keluarga suaminya itu, pusat bahkan mengijinkan Luhan diberikan sedikit kelonggaran waktu untuk bekerja. Bahkan Luhan berani bertaruh, pusat tak akan berani menyentuh Sehun dalam urusan apapun.

Yah, perusahaan Sehun bisa menjatuhkan apa saja yang mereka mau.

Masih dengan tumpukan kertas di atas meja kerjanya, Luhan bisa mendengar suara langkah berjalan ke arahnya, dan ia menoleh ke arah belakang dengan cepat –satu yang tak bisa Luhan lupakan, kepekaanya terhadap lingkungan sekitar benar-benar sudah melekat dalam dirinya, bahkan saat tidak dalam pekerjaan berbahaya, kepekaan Luhan masih tak bisa diragukan.

Seorang wanita paruh baya yang sudah ia kenal dengan baik sedang berjalan ke arahnya dengan beberapa tumpukan kertas –oke, wanita ini adalah kepala sekretaris perusahaan yang secara tidak langsung merupakan atasan Luhan.

Setelah Sehun dan Kris, Luhan harus patuh dengan perintah wanita ini.

"Sudah selesai, Luhan?" tanya wanita itu dengan senyum ramah yang khas.

Luhan nyengir. "Sedikit lagi," oke, sebenarnya itu masih separuh lebih. Wanita di depannya tersenyum, ia beruntung semua orang disini tau Sehun adalah suaminya, dan itu membuatnya sedikit dispesialkan.

Lagipula, siapa yang mau bekerja disini dengan sepenuh hati. Luhan hanya ingin menurut pada suaminya, bukan untuk mengerjakan pekerjaan membosankan dengan baik. Kalau bisa, ia rela diturunkan di medan perang dan menghajar orang-orang jahat, daripada harus hidup aman dalam kungkungan kertas bertinta.

"Ini ada beberapa kontrak yang harus CEO tanda tangani, kau keberatan?" wanita itu mengulurkan beberapa lembar kertas tebal pada Luhan.

Luhan tersenyum, menerima uluran kertas itu. "Jujur saja, CEO belum begitu yakin dengan kontrak ini, kan?" ia menatap wanita di depannya dengan pandangan menyelidik.

Wanita itu mengangkat bahu sedikit. "Well, ayahnya sangat yakin dengan kontrak ini, hanya saja, agak sulit meyakinkan CEO tentang ini,"

"Dan sepertinya aku disuruh membuatnya menandatangi kontrak ini,"

Wanita itu mengangguk dengan senyuman lebar. "Aku mengandalkanmu," Dan yah, inilah sebenarnya tugas Luhan, membujuk Oh Sehun agar mau melakukan apa yang perusahaan mau. "Kau mau ikut kami makan siang? Ada waktu dua jam lebih siang ini,"

Luhan membaca kontrak itu beberapa kali –memaksakan otaknya untuk mengerti. "Ada acara di kantin kantor?"

"Bukan di kantin kantor, sayang. CEO menyuruh kita semua ikut pertemuan dengan serikat pekerja,"

"Serikat pekerja?" tanya Luhan, bingung, belum pernah mendengar ini sebelumnya.

Wanita itu mengangguk. "Bersiaplah, kita akan membahas kesejahteraan seluruh karyawan," oke, ini benar-benar asing ditelinganya, dan kerutan di kening Luhan membuat wanita itu sedikit bingung. "Kau bisa menyampaikan keluhan dalam pekerjaanmu disana, nanti mereka akan mengatakan itu kepada CEO,"

Luhan masih tampak tak mengerti. "Kenapa kita tak mengatakannya langsung pada CEO?"

Wanita itu sedikit tertawa. "Luhan, orang yang bekerja disini ribuan, bagaiamana CEO bisa mendengar semua itu,"

Dan Luhan tertawa ringan, merasa bodoh. Benar, dia sekarang bekerja pada perusahaan besar yang memiliki banyak pekerja, bukan kantor mata-mata yang hanya mempekerjakan orang-orang khusus.

Tanpa sadar, Luhan mendesah ringan, memikirkan pertemuan itu sudah membuatnya malas, ia tak berniat mendengarnya, lagipula, mengapa ia harus menyapaikan keluhannya pada serikat pekerja, jika ia bisa dengan mudah menyuruh Sehun melakukan apa yang ia mau.

Oke, ini sebenarnya jahat, tapi siapa peduli.

"Apa boleh aku tidak ikut?" tanya Luhan ragu-ragu.

"Yah, jika memang tidak ada yang ingin kau sampaikan, itu bukan masalah," wanita itu tersenyum lagi.

Luhan menggeleng. "Tidak ada yang ingin kusampaikan, aku akan membuat Sehun menandatangani ini," Luhan berhenti sebentar saat wanita itu memadanginya dengan senyum mengingatkan. "Ah, maksudku, CEO," ia tergagap, dan wanita itu mengangguk beberapa kali.

"Kumohon, kontrak itu bernilai milyaran," ia menambahkan.

Luhan mengangguk. "Aku mengerti, kupastikan ini mendapatkan tanda tangan," ucapnya yakin.

"Terima kasih, Luhan," bisiknya.

"Bersenang-senanglah di pertemuan itu," balas Luhan setengah berteriak saat wanita itu mulai berjalan menjauhinya.

"Tentu saja," balasnya.

Dan aku akan bersenang-senang menikmati waktu luang.

.

.

"Hey, Oh Sehun," ucap Luhan tidak sopan, ia membuka ruang kerja Sehun–yang berada tidak jauh dari mejanya– dengan kakinya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sehun tidak kaget, tentu saja, ia hanya bergumam sambil membaca sesuatu dengan serius di meja kerjanya. "Kau tidak ikut pertemuan itu?" tanya Luhan, menutup pintu dengan kakinya.

"Mereka akan membicarakan kejelekanku disana, mengapa aku harus ikut?" balasnya acuh, masih fokus membaca tanpa menghiraukan Luhan yang sudah siap mengomel.

Luhan melemparkan berkas kontrak yang ia bawa ke meja Sehun dengan kasar. "Tanda tangani ini sebelum aku dikuliti kepala sekretaris," tambahnya. Sehun hanya melirik Luhan yang sedang melepaskan stiletto berwarna perak, kemudian duduk di depannya dan mengangkat kedua kaki ke atas meja.

Sopan sekali.

"Aku harus membacanya dulu," Sehun kembali fokus pada pekerjaannya, menghiraukan Luhan yang mungkin sedang kesal.

Luhan mendesah sebal. "Aku tau kau sudah membacanya berulang kali, kenapa harus dibaca lagi?" protes Luhan dengan bibir mengrucut.

Kadang ia merutuki bagaimana suaminya ini menjadi seorang yang penggila kerja saat di kantor.

Sehun sedikit menggelengkan kepalanya heran. "Hanya memastikan aku menentukan keputusan yang tepat," balasnya dengan suara lembut.

"Terserahlah," sahut Luhan, mulai memejamkan mata di kursi kerja Sehun, harinya sudah panjang dan membosankan, sekarang Sehun semakin membuat keseimbangan mood-nya hancur. "Nanti malam sepertinya kita harus ke markas," Luhan mengingatkan –atau meminta ijin, ia juga tak yakin.

"Kris menghubungimu?" Sehun masih fokus pada kertas-kertas yang ia baca.

Luhan sedikit menghembuskan napas, berusaha membuang kekesalan. "Kalau Kris membunuhku, apa kau sanggup melindungiku?"

Sehun mengerutkan kening, menarik pandangannya dari kertas yang ia baca untuk menatap Luhan. Ia berpikir sebentar, kemudian menggeleng. "Tidak sanggup," Sehun nyengir.

"Keterlaluan,"

Sehun tertawa tipis. "Kris tidak akan membunuhmu, idemu itu bagus kok," Sehun kembali membaca kertasnya –sebenarnya itu hal yang paling Luhan benci, saat Sehun sudah larut terlalu jauh pada pekerjaannya.

"Ide bagus pantat kuda," umpatnya. Luhan berdiri untuk menutup tirai ruang kerja Sehun dan mengunci pintu dari dalam.

"Kau ingin bicara tentang Baekhyun sekarang?" tanya Sehun, perlahan menutup berkas yang ia baca dan merapikannya di samping meja kerja. Sehun tau, Luhan akan menutup tirai dan mengunci pintu jika ingin membicarakan tentang tugas mata-mata dan hal rahasia lainnya.

Luhan menggeleng. "Kita akan bicara itu nanti, sekarang kita bicara tentang kontraknya dulu," Luhan kembali berjalan mendekati Sehun. Gadis itu membuka blazernya dengan gerakan lambat, perlahan, jemarinya melepas kaitan kancing kemejanya. Dan Sehun memandangi apa yang sedang Luhan lakukan dengan tatapan bingung.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Sehun.

Luhan tersenyum manis. "Kau akan menandatangi kontraknya, kan?" bisik Luhan, lagi-lagi dengan gerakan pelan meloloskan kemeja dari tubuhnya. Sekarang tangan Luhan sudah berusaha melepas kaitan rok pendek ketat yang berada di belakang tubuhnya. Sehun menatapnya bingung, dalam otaknya mulai merasa Luhan akan berbuat yang tidak-tidak.

"Kenapa kau melepas baju?" tanya Sehun.

Luhan mendengus sebal. "Ruanganmu panas," ia sudah berhasil melepas pakaiannya sendiri sekarang –hanya menyisahkan pakaian dalam yang tipis. Perlahan, Luhan mendudukan diri dipangkuan Sehun, menghadap ke pria yang sedang menatapnya bingung itu.

"Apa yang kau lakukan?" Sehun tergagap saat Luhan perlahan menyusuri kemejanya dengan jemari, -membuat pola-pola abstrak pada dada Sehun.

Ia tersenyum manis, sementara tubuhnya sudah nyaris telanjang di atas pangkuan Sehun, Luhan sedikit begerak-gerak di atas pusat tubuh pria itu, berhasil membuatnya sedikit meringis. Sementara Sehun berusaha menahan napas, ia tidak ingin serta merta menyerang Luhan meskipun sebenarnya sangat ingin.

"Oh Sehun," panggil Luhan dengan suara sarat desahan, jemarinya perlahan mengendurkan dasi abu-abu yang menjerat leher Sehun dengan gerakan lembut. Sehun hanya menjawab dengan gumaman singkat, kedua tangan masih berpegang erat pada pinggiran meja –melewati tubuh Luhan, Sehun harus bisa menahan diri dan menolak gadis itu. "Tanda tangani saja," desah Luhan lembut, berhasil melepas ikatan dasi Sehun sekarang.

Sehun berusaha bernapas dengan benar, ia tau Luhan mungkin akan melakukan hal gila setelah ini –terlebih tubuh istrinya itu sudah nyaris telanjang. "Luhan, ini tidak benar," bisik Sehun, mulai gugup saat Luhan membuka kancing kemejanya dengan gerakan lambat dan menggoda. "Kita masih di kantor," tambah Sehun lagi, kali ini Luhan menelusuri dada dan perut Sehun yang tercetak sempurna dengan jemarinya.

"Seperti kau bisa menolakku saja," Luhan terkekeh ringan, terdengar mengejek. Perlahan menyapukan tangannya ke bawah –tepat dia atas pusat tubuh Sehun.

Oke, bagaimana Sehun bisa menolaknya jika seperti ini sekarang.

Sehun mendesah malas, membiarkan Luhan bergerak-gerak gelisah dipangkuannya, membiarkan tangan gadis itu menyentuh pinggul dan perutnya. "Luhan, kita –oh, sial," Sehun tercekat saat Luhan menempelkan bibir dilehernya. Bibir gadis itu menyesapi leher Sehun dengan cepat dan keras, membuatnya menahan desahan. "Luhan," ia kembali mengingatkan dengan suara parau nyaris habis.

Bibir Luhan perlahan mengecupi rahang Sehun, kemudian berhenti di depan telinganya. "Semua orang sibuk dengan pertemuan itu sekarang, hanya ada kau dan aku," bisik Luhan lagi, lidahnya perlahan menelusuri rahang hingga bibir Sehun, kemudian mengecupnya sedikit. "Tidak akan ada yang tau,"

Desahan Sehun terdengar mengalun tipis diudara, ia menarik tubuh Luhan agar menjauhinya, kedua tangannya menahan lengan Luhan. "Luhan, apa kau harus selalu melakukan ini jika menginginkan sesuatu?" tanya Sehun dengan tatapan serius.

Luhan mengangguk lucu, perlahan menggerakan tangannya untuk melepaskan kaitan celana Sehun di bawah sana. "Ya, tentu,"

Sehun mendengus ringan. "Lupakan saja," ia menahan jemari Luhan. "Aku tak akan melakukannya disini," balas Sehun.

Luhan tersenyum mengejek. "Tolak saja, kau bisa,"

Luhan menyentak tangan Sehun yang menahannya, gadis itu kembali menempelkan bibirnya dibibir Sehun. Bibir mungilnya menelusuri bibir Sehun dengan gairah menggebu. Menyesap, menjilat, menggigiti bibir itu hingga Sehun membuka mulut. Luhan senang bermain-main di dalam mulut Sehun, ia senang rasa manis suaminya itu, sedangkan Sehun masih berusaha mengabaikan.

Entah bagaimana caranya, Luhan sudah berhasil meloloskan kemeja Sehun di bawah sana –ah, Luhan sudah banyak belajar tentang hal ini.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu Sehun membalas ciumannya, bibir pria itu sudah bergerak di bibir Luhan, cukup cepat hingga membuatnya kehabisan napas. Sementara tangan Sehun sudah bergerak menelusuri punggung Luhan yang telanjang.

Lihat, bagaimana kau bisa menolakku, Oh Sehun.

Luhan mengangkupkan kedua tangan untuk menahan kepala Sehun, menariknya lebih dekat, dan menciumnya dalam. Entah sudah berapa kali ia terjebak dalam kenikmatan ciuman Sehun, dan Luhan tak pernah merasa cukup dengan ini. Ia tak pernah bosan merasakan sentuhan Sehun, Luhan selalu senang saat pria itu membuatnya gila karena ciuman.

Dan sama seperti sekarang, Luhan benar-benar merasa gila.

Sehun melepaskan ciumannya saat Luhan terengah, gadis itu menatap Sehun dengan senyum manis yang menawan. "Aku membutuhkanmu," bisik Luhan setengah mendesah, ia membuka bibirnya sedikit untuk bernapas, membuat gerakan menggoda yang berhasil membuatnya melihat kilatan gairah di mata Sehun.

"Berapa lama pertemuan itu?" tanya Sehun, perlahan meloloskan ikatan rambut Luhan yang tergulung sempurna. Rambut hitam gadis itu jatuh tergerai sempurna melewati punggungnya, dengan gerakan singkat, Luhan membuat rambutnya sendiri bergoyang-goyang.

Gerakan sederhana yang cukup membuat adrenaline Sehun berpacu cepat.

"Dua jam," balas Luhan.

"Haruskah kubilang pada mereka untuk melakukan pertemuan hingga malam?" Sehun menawarkan diri, Luhan hanya terkekeh ringan, membiarkan Sehun mendudukan tubuhnya ke atas meja kerja. "Ini yang kau inginkan?" tanya Sehun dengan suara berat, jemari pria itu perlahan menarik celana dalam Luhan, dan membuat celana dalam itu lolos dari kaki jenjangnya.

Luhan mengangguk ringan, mengeluarkan suara desahan lembut yang membuat akal sehat Sehun terbakar. "Aku menginginkanmu, sangat," desahnya lagi.

Mata Sehun tertutup kabut gairah, dengan kasar, pria itu mendorong tubuh Luhan hingga berbaring di atas meja kerjanya. "Dan kau benar-benar membuatku gila," Sehun sedikit membungkung untuk merangkak di atas tubuh Luhan.

Bibir Sehun yang panas dan basah perlahan menguasai bibir Luhan, gerakan Sehun nyaris membuat Luhan menggila, ia mengerang, menarik rambut Sehun kasar karena kehabisan udara. Dan dengan satu desahan ringan, bibir Sehun sudah menelusuri leher dan rahangnya. "Sial, Sehun," umpat Luhan sambil berusaha mengatur napas.

Luhan meleguh keras saat Sehun menghisapnya dengan kasar, ia mengerang, sedikit mengangungkan nama Sehun dalam suara desahan yang terlampau indah untuk didengar. Sehun terkekeh ringan, terdengar mengejek karena Luhan menggeliat akibat sentuhannya. Perlahan, bibir pria itu bergerak turun, menyentuh garis diantara dada Luhan, terus turun hingga membasahi perut Luhan yang rata, membuah gadisnya mendesahkan namanya lagi.

Sehun menghentikan gerakannya di atas pinggul Luhan, ia mengecupi bagian itu beberapa kali. Luhan menarik napas dalam-dalam untuk tidak serta merta menjerit karena Sehun selalu bisa menggodanya dengan mulut sialan itu. Entah berapa kali Luhan merasa kehilangan dunianya saat mulut basah Sehun bermain di seluruh tubuhnya.

Mulut sialan itu selalu bisa mengendalikannya, selalu bisa membuat Luhan memohon dengan rintihan memilukan.

"Sehun," ucap Luhan, setengah mendesah, setengah memohon. Sehun hanya menjawab dengan gumaman ringan. Perlahan, ia menarik kaki Luhan sedikit ke atas, bibir Sehun mulai bergerak mengecupi paha dalam Luhan. Gerakannya lembut, mengalir indah, perlahan naik dan naik, nyaris menyentuh pusat tubuh Luhan yang panas.

Luhan mengerang, tanpa sadar mencengkeram rambut Sehun untuk menariknya mendekat, siap merasakan mulut Sehun di dalam tubuhnya. Luhan sudah benar-benar siap, tapi Sehun mengulur waktu. Seolah-olah ingin tau sejauh mana Luhan bisa menahan diri, dan ya, mungkin Luhan akan memohon pada Sehun seperti seorang jalang.

Luhan nyaris mengucapkan kalimat permohonan yang sudah muncul diotaknya, tapi gadis itu malah harus menahan jeritan saat lidah Sehun mulai menjelajahi tubuhnya. Luhan memekik, mengangungkan nama Sehun dengan desahan sehalus beledu, cengkeraman tangannya pada rambut Sehun semakin kuat –seolah mengingatkan pada Sehun untuk bergerak lebih cepat.

Kepala Luhan pening, sensasi ini selalu bisa membuatnya gila. Rasa Sehun yang manis dan basah selalu membuat akal sehatnya lenyap. Luhan tak butuh apapun selain ini, ia tak bisa memikirkan apapun –termasuk untuk sekedar meningat namanya sendiri. Dipikirannya, yang ada, hanya lidah basah Sehun yang mengambil alih pusat tubuhnya.

Begitu panas dan membakar.

Menakjubkan.

Pertahanan diri Luhan yang susah payah ia kendalikan, nyatanya semakin tipis dan menggantung, nyaris habis. Ia bisa merasakan sensasi panas membakar dari pusat tubuhnya –tersalur dari bibir panas Sehun, menguasainya tanpa ampun.

Dan ia bisa menyerah kapan saja.

Jadi Luhan mengalah. Gadis itu melemaskan seluruh otot tubuhnya di bawah kendali bibir Sehun, tanpa sadar, ia melepaskan cengekeraman pada rambut pria itu. Kemudian jeritannya terdengar saat puncak gairahnya terlepas, ia membiarkan panas mengalir menuju pusat tubuhnya dan meledak di dalam mulut Sehun.

Luhan tak pernah bisa menang di bawah kendali pria itu.

Dan ia tak pernah menyesal untuk itu.

Sementara dada Luhan naik-turun karena mengatur napas yang mendadak saja sulit untuk dilakukan, Sehun masih menyesapi sisa pelepasan Luhan yang manis di bawah sana. Menikmati Luhan tanpa sisa, seolah itu adalah hal yang paling Sehun senangi.

"Yah, kau selalu terasa manis," bisik Sehun, menarik wajahnya dari bawah sana dan mengecup bibir Luhan sedikit. Gadis itu mengernyit jijik saat merasakan bibir Sehun yang basah.

"Sialan," umpat Luhan, sedikit mencibir karena Sehun sudah membuka celananya. "Kau bilang tidak mau melakukan ini," protesnya.

Sehun terkekeh ringan, pria itu melebarkan kedua kaki Luhan dengan lembut. "Yah, kau berhasil menggodaku," balasnya acuh.

Sehun menarik tubuh Luhan hingga duduk, kemudian mencium bibir gadis itu lagi. Luhan mendesah ringan, berusaha membalas ciuman Sehun meskipun napasnya masih terengah. Kedua tangan Sehun memeluk tubuhnya –sedikit mengangkat tubuhnya, mungkin, Luhan sendiri tak begitu yakin dengan apa yang Sehun lakukan.

Masih dengan tubuh menempel sempurna, Luhan bisa merasakan Sehun berusaha mendorongnya masuk, sangat pelan, tapi berhasil membuat Luhan memekik tanpa sadar. "Brengsek," umpat Luhan saat ia sudah melingkupi Sehun dengan sempurna.

Rasanya luar biasa.

Sehun terkekeh ringan, kedua tangannya mencengkeram pinggul Luhan dengan kuat, dan sedikit mengangkat tubuh gadis itu. Sementara Sehun mulai memainkan tempo yang memabukkan, mengalir seperti air, menyenangkan seperti hembusan angin musim panas. Luhan meronta dalam cengkeraman Sehun, gadis itu menenggelamkan kepalanya di dalam ceruk leher Sehun –berusaha meredam jeritannya sendiri.

Luhan tak bisa mengendalikan bibirnya untuk mengerangkan nama Sehun.

Dan saat Sehun benar-benar mendorongnya dengan kasar, dengan tempo yang memporak-porandakan, dengan gerakan yang membuat gila, tubuh Luhan melemas. Ia kehilangan kendali atas seluruh saraf ditubuhnya sendiri, Luhan sepenuhnya menyerahkan diri pada Sehun untuk menguasainya. Jadi Luhan membiarkan Sehun menghentak-hentak tubuhnya dengan kasar, membiarkan bibirnya mendesahkan nama Sehun dengan suara sarat gairah –kemudian memohon pada Sehun untuk memberinya lebih tanpa kata yang jelas.

Geraman Sehun ditelinganya membuat Luhan menggila.

Dan jeritan Luhan yang teredam dalam leher Sehun memberikan tanda bahwa ia menyerah –lagi-lagi kalah di bawah kendali Sehun. Luhan bisa merasakan panas berlomba-lomba turun menuju pusat tubuhnya, terus membakar hingga membuatnya melelehkan lava panas menyenangkan itu –menyelimuti tubuh Sehun dengan erat.

Luhan meleguh kasar, berusaha mengatur napas, sementara Sehun tidak memberinya jeda sama sekali untuk sekedar pulih dari ledakan gairahnya. Sehun masih bergerak dengan cepat, kasar, menghentak-hentak. Ia berusaha mendorong batas pertahanan diri Luhan lagi, berusaha membuat Luhan merasakan panas yang kembali menyerang tubuhnya.

Umpatan Luhan terdengar indah ditelinga Sehun, dengan kekehan ringan, Sehun tidak berhenti bergerak. Pria itu menulikan telinganya, tidak peduli dengan apa yang Luhan jeritkan padanya, ia tetap bergerak di dalam tubuh Luhan. Gerakan Sehun yang semakin menuntut membuat Luhan menggila.

Luhan bisa merasakan pertahanan diri Sehun yang semakin tipis, tubuh pria itu semakin memenuhinya, dan panas kembali menyerang. Desahan Sehun terdengar penuh gairah, dan Luhan siap menunggu pria itu selesai.

Dengan beberapa dorongan, Luhan bisa merasakan panas kembali mengguncang tubuhnya –untuk kesekian kali, ia menyerah di bawah kendali Sehun. Sedangkan pria itu masih menyentaknya satu kali, kemudian menyusul Luhan melepaskan gairah panas yang membakar.

Rasanya benar-benar luar biasa.

Napas Sehun terdengar memburu –begitu pula dengan dirinya. Luhan berusaha pulih dari rasa pening yang menyerang kepalanya setelah pelepasan dahsyat itu, kemudian perlahan ia bisa mendengar kekehan nyaring Sehun ditelinganya, pria itu menarik tubuh Luhan dan tersenyum manis.

Brengsek.

"Wah, apa yang sudah kita lakukan di kantor," kekehnya ringan, sedikit mengecup bibir Luhan yang terbuka lebar.

Luhan masih sedikit terengah, ia mendorong tubuh Sehun agar menjauhinya dan menatap suaminya dengan pandangan mengancam. "Tanda tangani saja kontrak itu, brengsek,"

Sehun mengernyit. "Yah, kau berhasil membujukku untuk kontrak sialan itu,"

Luhan sedikit tertawa. "Berapa waktu yang tersisa untuk membersihkan diri?"

Sehun berpikir sejenak, perlahan melirik jam dinding. "Kita masih punya satu jam delapan belas menit lagi, ingin mencoba hal lain yang menakjubkan?" ia mengkat sebelah alis dengan gerakan menggoda.

Luhan menggeleng cepat, sedikit menarik tubuhnya dengan paksa, dan harus meringis saat tautannya dengan Sehun terlepas. "Cukup sudah, aku akan makan siang," balasnya acuh, mulai berdiri.

Luhan nyaris memekik saat Sehun mengangkat tubuhnya lagi, kali ini menggendong Luhan seperti bayi koala yang menempel pada induknya. "Kau sudah menggodaku, Nona Sekretaris. Dan sekarang kau ingin melarikan diri?"

Dengan kasar, Luhan menelan ludah. "Sehun, aku bisa menendangmu dengan satu gerakan kilat dan membuat kakimu patah karena itu," ia mengingatkan.

"Lakukan saja," balas Sehun, kembali mencium Luhan dengan kasar.

Dan Luhan tidak memberontak, gadis itu membiarkan Sehun menggendongnya menuju kamar mandi –masih dengan bibir menyatu sempurna.

Luhan siap menghabiskan waktu senang-senangnya yang lain.

.

.

Apasih ini? Gatau ah kok muncul ide bikin beginian~

Review dong kalo baca epilog ini~

Nggak ada konflik ya, konfliknya tetep masuk di SECRET AGENT COUPLE. Disinikan nyeritain kehidupan HUNHAN di luar tugas penuh bahaya itu /habisnya banyak yang belum bisa move-on dari couple ini sih/

Mau lagi yang fluffy-fluffy gini? Boleh sampaikan di kolom review.

Udah itu aja, terima kasih sudah membaca.

Jangan lupa review ya~

Nantikan update-an lolipopsehun lainnya.

With love,

lolipopsehun