.
.
.
—Ensiklopedi Bunga Yamanaka―
daisy /angelita•daisy/ tetraneuris acaulis. 1 kehangatan; 2 suka cita; 3 semangat.
.
.
.
Jangan telat, hai Tuan Kulit Pucat.
Aku menunggumu.
Pemuda itu masih ingat jelas dua baris kalimat yang tertera pada secarik kertas yang ditemukannya pagi tadi di depan pintu apartemennya. Ia juga masih ingat dirinya tersenyum saat membacanya.
Ia ingat, setelah itu ia segera mengeluarkan gulungan kanvas, menulis kalimat balasan, dan dengan jutsu chouju giga-nya, mengubahnya menjadi burung untuk dikirimkan kembali pada pengirimnya. Kemudian ia segera menghabiskan onigiri di dalam kotak bekal yang dikirimkan bersama secarik kertas tadi sebagai sarapan.
Ya, ia telah melakukan semuanya dengan baik dan datang kemari tepat waktu. Ia yakin tidak melakukan kesalahan.
Tapi kenapa dahi wanita di depannya berkerut?
Sai, pemuda kulit pucat itu, mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka berdua sudah berjanji akan makan malam bersama di rumah kunoichi itu sebagai perayaan kecil-kecilan atas selesainya misi masing-masing di Suna minggu lalu [1].
Saat ini, keduanya sudah duduk berhadapan di depan meja makan dan siap untuk menyantap makan malam. Namun gadis pirang itu hanya memiringkan kepala dan menatapnya dengan alis berkerut.
Sekian detik berlalu dan mereka masih terdiam di tempat masing-masing.
"Ada apa, Ino-chan?"
Untuk pertama kalinya, Sai yang lebih dulu bersuara.
"Oh?" sepasang aquamarine itu mengerjap. "Tidak, tidak." Pemiliknya menggeleng dan menegakkan kepalanya. "Tidak ada apa-apa," katanya sambil tersenyum.
Namun belum sampai sedetik, gadis itu sudah kembali memiringkan kepala dan berkerut memandanginya.
Segera saja Sai mengerti. Ini tentu bukan 'tidak ada apa-apa'.
"Ada apa, Ino-chan?" Sai mengulang pertanyaannya masih dengan ketenangan yang sama, "Ada yang menganggu pikiranmu?"
"Oh?" lagi-lagi aquamarine itu mengerjap. Namun dua detik kemudian, pemiliknya menghembuskan napas. "Yah, memang ada," akunya.
"Apa?"
Ino menatap Sai beberapa saat, kemudian menghela napas. Lalu menatapnya lagi dan menghela napas lagi. Setelah itu, barulah ia menjawab perlahan, "Itu, itu, dan itu."
Gadis itu menunjuk tiga direksi. Kemeja, celana panjang, dan buku sketsa.
Sai mengikuti arah telunjuk Ino dan mengamati ketiganya. Sejenak, ia tak merasa ada yang salah dengan setelan yang dikenakannya ataupun buku sketsa yang kebetulan dibawanya. Semuanya sama seperti biasa.
Tatapannya kembali tertuju pada Ino. "Kenapa?" tanyanya tak mengerti.
Ino kembali memiringkan kepalanya dan menatap Sai dengan dahi berkerut. "Apa ... semua barang-barang milikmu berwarna seperti itu?" nada suaranya terdengar penasaran.
Sai kembali melirik ketiga benda tadi kemudian balas menatap Ino. Pemuda itu masih belum mengerti mengapa gadis di depannya tiba-tiba membahas warna baju yang dipakainya. Namun Sai tidak butuh waktu panjang untuk menjawab, "Ya."
Sejak dulu, Sai memang terbiasa dengan warna gelap.
Namun begitu mendengar jawaban ini, seketika bola mata Ino membulat. Tak ada yang tahu apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Mungkin Ino hanya tidak bisa membayangkan jika nanti mereka tinggal bersama dan seluruh warna yang dilihat Ino hanyalah hitam. Bahkan rambut dan bola mata pria itu juga hitam―minus kulitnya yang kelewat pucat―ehm, meski sebenarnya itu bukan untuk dipikirkan sekarang.
Ino tampak mencoba kembali bersikap tenang dan berdehem, "Tidak bosan?"
"Kenapa harus bosan?" Sai balik bertanya. Ganti nada suaranya yang terdengar heran.
Kini mata biru Ino berputar, "Apa kau benar-benar menyukai warna gelap?"
"Aku sudah terbiasa."
Alis pirang Ino naik sedikit, "Benar-benar tidak ada warna lain?" Oh, sepertinya wanita itu mulai khawatir jika dunianya yang warna-warni nanti akan benar-benar berganti menjadi hitam.
Sai tak menjawab. Obsidian gelapnya tengah memperhatikan Ino lebih seksama. Gadis di depannya ini memakai terusan selutut yang warnanya sama dengan bola matanya. Dia juga menggerai rambut pirangnya seperti saat mereka bertemu di Suna, dan ada jepit mungil yang menghiasi bagian kiri rambutnya.
Membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya dominan satu warna, segera saja Sai paham. Dan begitu tersadar, pemuda itu menjawab, "Sepertinya ada."
"Ah!" bola mata Ino langsung berpijar. Gadis itu mendadak antusias, "Apa itu?"
Sai tampak berpikir dan tidak segera menjawab.
Ino jadi tak sabar. "Warna apa yang kau suka selain hitam?" ujarnya.
Jeda empat detik hingga Sai bersuara, "Tapi kurasa bukan untuk dipakai."
"Iya, iya. Aku mengerti," sela Ino cepat sementara hatinya menggerutu bagaimana mungkin pemuda itu menebak niatnya dengan tepat. "Nah, bisa katakan sekarang?"
Lagi-lagi jeda empat detik.
Ino sudah benar-benar tak sabaran. Ia mengibas tangannya dan berujar cepat, "Sudahlah, katakan sa—"
"Warna biru di bola matamu—"
Eh?
"―dan warna merah di pipimu."
A-Apa?
Ino mengerjap di tempatnya.
"Juga warna pirang di rambut panjangmu."
A-Apa barusan?
Biru, merah, dan pi-rang?
Warna yang disukai selain hitam?
BOOF
Seketika terbanglah wanita bernama Yamanaka Ino ke luar angkasa.
Yah, meskipun Sai mengucapkannya dengan nada dan ekspresinya yang seperti biasa, tapi sanggup menerbangkan kunoichi sekelas gadis Yamanaka itu ke langit ketujuh.
.
.
.
.
.
.
—Sekuel 'Breeze'―
FLORA
(Tanaman)
Naruto milik Masashi Kishimoto
CANON, OOC, TYPOs, EYD?
Sebuah fiksi ringan untuk kamu
Sai x Ino
ditulis hanya untuk hiburan
bukan keuntungan material apa pun
.
.
.
.
.
"Kemana?"
"Ikut saja," nada suara Ino terdengar misterius.
Sai mengerutkan kening.
Usai jam patroli paginya berakhir, Sai memang punya banyak waktu senggang hingga malam nanti. Tadinya ia sedang dalam perjalanan pulang sehabis makan siang dan kebetulan melewati Gedung Utama Pemerintahan Konoha [2]. Lalu pemuda itu terkejut ketika mendapati sosok blonde bersemangat yang tiba-tiba muncul di hadapannya dan menyapanya.
"Kau sedang tidak sibuk?" Sai mendongakkan kepalanya menatap gedung tinggi di belakang Yamanaka Ino.
"Pekerjaanku sudah kutuntaskan semalam," terdengar nada bangga yang terselip dalam jawaban Ino.
Sai mengerti. Adalah tipikal Ino sekali yang selalu perfeksionis akan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Kalau begitu—
"Baiklah," putusnya.
Toh mereka sedang sama-sama senggang sekarang.
Jawabannya segera disambut seru riang oleh Yamanaka Ino.
Sebenarnya Sai menyukai ini. Kejutan-kejutan yang belakangan ini sering mampir dalam hidupnya. Gadis itu selalu penuh kejutan. Ino sendiri adalah kejutan terbesarnya.
Kali ini Sai ingin tahu hal baru apa lagi yang akan dijumpainya. Karena itu, ia menurut dan mengikuti saja langkah riang Ino.
Tak lama mereka pun tiba.
Di depan deretan toko pakaian di pusat perbelanjaan Konoha.
Sai tahu Ino suka belanja. Ia berpikir mungkin saja gadis ini ingin ditemani berbelanja. Kalau begitu, Sai akan sangat senang melakukannya.
Namun kening pucatnya berkerut saat Ino menyeretnya masuk ke Toko Busana Pria. Tunggu sebentar. Ino ingin membeli baju lelaki? Untuk apa?
Dan ia semakin bertanya-tanya ketika Ino bertanya padanya dengan antusias. "Kau suka yang mana? Mau kupilihkan?"
Sai mengedarkan pandang sekilas menelisik isi toko lalu kembali menatap aquamarine jernih itu.
"Kita akan membeli baju?"
Gadis itu mengangguk semangat.
"Untuk siapa?"
Pemilik bola mata biru itu sontak terperangah.
"U-untuk siapa?" ulang gadis itu terbata, tampak syok mendengar pertanyaannya. Aquamarine-nya sempat mengerjap beberapa kali sebelum urat samar muncul di dahinya, "Tentu saja membeli baju untukmu!"
Gadis itu bahkan nyaris berteriak dan membuat Sai sedikit terkejut mendengarnya. Namun sebelum Sai sempat bereaksi apapun, Ino sudah menutup mulut cepat-cepat dan menyembunyikan diri di balik punggung Sai ketika seisi toko menoleh ke arahnya.
Setelah mereka tak lagi melihatnya, barulah gadis itu keluar dari persembunyiannya—di belakang punggung Sai—dan menyikut pelan lengan pemuda itu. "Masa kau tidak mengerti?" bisiknya terdengar sedikit kesal.
Sai masih belum menjawab. Sedari tadi ia memang hanya berdiri mengamati tingkah Ino yang menurutnya terlihat―apa namanya? Imut? Atau lucu? Kosakata yang sering diulang-ulang Naruto.
Namun gadis yang tengah dipikirkannya ini rupanya tak berlama-lama memendam kesal. Dia sudah kembali tersenyum cerah dan bertanya, "Kau tidak keberatan kan kalau kita berkeliling mencari baju baru untukmu?"
Kali ini Sai merespons. "Baju baru?" ulangnya datar. Ide ini terdengar asing di telinganya dan ia belum menemukan sisi menarik dari wacana tersebut. Ia sedang tidak merasa membutuhkan baju baru mengingat puluhan setelannya masih tersimpan rapi di almarinya.
"Memangnya kenapa?" senyum di wajah Ino memudar. "Kau tidak suka baju baru?"
Sai menatap Ino lebih seksama. Sepertinya ia mulai mengerti letak permasalahannya. Tentu ini masih berkaitan dengan percakapan mereka kemarin malam. Ia kemudian balik bertanya dengan hati-hati, "Kau tidak suka warna hitam?"
"Suka. Aku suka."
Sai tidak menyangka Ino akan menjawab secepat itu. Dan ia tak memungkiri perasaan lega yang menghangatkan dadanya begitu mendengar jawaban Ino.
"Kau tampan dengan warna itu."
Kali ini Sai tidak bisa tidak tersenyum. Ia tahu, itu adalah pujian. Pujian tulus dari Yamanaka Ino.
"Tapi aku ingin sekali-sekali melihatmu dengan warna lain. Pasti unyu sekalii~"
Sai sudah hampir mengangguk setuju sebelum Ino mengucapkan kalimat terakhirnya. Alis hitam pemuda itu segera berkerut tipis mendengar sesuatu yang masih terasa asing di telinganya.
Unyu?
Kosakata apa itu?
Ia tidak ingat pernah membacanya di kamus apa arti kata unyu. Tapi sepertinya tidak buruk jika melihat ekspresi Ino yang berbinar-binar tak sabar.
Akhirnya pemuda itu menjawab, "Baiklah."
.
.
Dan di sinilah mereka. Di antara deretan macam-macam pakaian.
"Mulai dengan warna netral!"
Suara Ino terdengar bersemangat. Bola mata birunya bahkan berbinar senang dan membuat Sai tersenyum melihatnya. Namun pemuda itu segera mengganti ekspresinya menjadi datar ketika Ino dengan tiba-tiba menyodorkan kemeja polos ke arahnya.
Sai menatap kemeja tersebut. "Putih?" tanyanya tak yakin. Ia sudah terlalu akrab dengan warna gelap seumur hidupnya dan tiba-tiba ia harus mencoba pakaian dengan warna yang sama sekali berkebalikan?
Ino hanya mengangguk berkali-kali dengan ekspresi 'ayo coba'. Tangan kiri gadis itu mengambil lagi sesuatu dengan acak dan menyodorkannya pada Sai. Tanpa menunggu Sai menerimanya, gadis itu sudah mendorongnya berbalik menuju kamar pas.
"Pakai ini."
Mau tak mau Sai menerima dua jenis pakaian tersebut sebelum beranjak memasuki kamar pas. Beruntung, baju terakhir yang diambil Ino berwarna hitam. Setidaknya, ia merasa sedikit lebih nyaman berkat adanya warna gelap tersebut.
Tadinya ia berpikir begitu. Tapi setelah benar-benar mencobanya, tetap saja rasanya aneh. Sangat aneh. Sangat-sangat-aneh.
Obsidian Sai menatap kaca di depannya yang menampilkan sosok pemuda pucat dalam balutan pakaian yang diberikan Ino tadi. Ia memang jarang bercermin dan melihat bayangannya sendiri. Namun lebih jarang lagi melihat dirinya dalam wujud seperti ini. Bahkan bisa dibilang, ini adalah pertama kali.
Aneh. Janggal. Tidak cocok.
"Bagaimana?" terdengar suara dari luar.
Dan sosok di cermin kaca itu semakin terlihat asing baginya. Ya, sebaiknya ia menunjukkan pada Ino betapa tidak cocoknya ia mengenakan pakaian dengan warna selain hitam.
Berpikir demikian, Sai segera keluar.
Namun yang didapatinya malah—
"Kyaaa~~! Unyu sekalii!"
―jeritan heboh Yamanaka Ino beserta kosakata asing yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Unyu?
Kini jemari Ino mulai menarik-narik baju yang dipakainya sementara bola matanya tak henti-hentinya menelusuri setiap jengkal tubuh atasnya.
"Benar-benar unyu!" seru gadis itu lagi seakan jeritan heboh tadi belum cukup baginya. "Kulitmu pucat. Warna putih sebenarnya terlihat mati untukmu. Tapi kalau ditambah dengan jaket hitam ini, kyaa! Kau jadi unyu sekalii~"
Komentar senang gadis itu mau tak mau membuat Sai berpikir.
"Lihat, lihat," Ino memutar tubuh Sai menghadap cermin dan berkata dengan gembira, "Unyu, kan?"
Sekali lagi Sai memandangi bayangannya di kaca. Ia belum bisa memahami mengapa Ino justru terlihat senang melihatnya dengan pakaian ini. Bagian mana yang bagus dari penampilan ini? Ia ingin bertanya pada gadis yang tengah berdiri di sampingnya dan juga menghadap ke arah cermin.
Secara tak sengaja, pandangan mereka bertemu di dalam cermin.
Ino tersenyum cerah di sana dan dalam sekejap Sai merasa aneh. Bukan aneh yang seperti tadi saat mencoba bajunya. Tapi perasaan aneh lain yang disukainya.
Tiba-tiba ia mengangguk dan tersenyum tipis, "Hn."
Baiklah. Jadi maksudnya unyu itu seperti ini.
Pemuda itu masih tersenyum menatap bayangan Ino di dalam cermin. Ia baru tahu, ternyata ide berbelanja baju semenyenangkan ini. Dan semakin menyenangkan lagi ketika gadis di sebelahnya tertawa mendengar responsnya tadi.
"Ayo coba baju lainnya," desisnya bersemangat.
Satu jam berikutnya, Sai sudah mencoba bermacam-macam pakaian dengan berbagai warna. Mulai dari abu-abu, biru tua, cokelat, dan warna-warna netral lainnya.
Setiap kali mencoba, respons Ino nyaris selalu sama. Gadis itu akan menjerit girang dan menyerukan kata 'unyu' berkali-kali. Lalu dengan bersemangat memilih baju lain untuk dicobanya lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya pilihan mereka―lebih tepatnya pilihan Ino—jatuh pada kemeja cokelat yang kemudian dengan sukacita dimasukkan Ino ke dalam tas belanjaannya.
Sai mengira ini sudah berakhir. Namun bagi gadis pirang itu, mereka bahkan belum mulai sama sekali. Alis hitam Sai sempat naik empat derajat ketika Ino bertanya dengan tatapan tak bisa ditolak, "Mau coba warna lain?"
Pemuda itu diam sejenak.
Yah, sejujurnya ia juga menikmati sesi memilih baju baru dengan warna baru. Sekaligus menikmati ekspresi Ino setiap kali melihatnya dengan warna baju berbeda. Karena itu ia hanya mengangguk setuju.
"Bagaimana dengan warna cerah?" tanya Ino meminta pendapatnya.
"Boleh saja."
Kali ini lengan Sai sudah diseret menuju deretan pakaian lain dengan warna-warni lebih ceria. Ino terlihat celingak-celinguk sambil berkata, "Hmm, dari dulu aku ingin melihatmu dengan warna merah."
Sai mengerutkan kening dalam hati. Bukankah itu warna menyala? Seperti warna rambut Kazekage dari Suna? Tapi memang tak ada salahnya mencoba.
Pemuda itu tersenyum dan menjawab, "Hn."
Apa Ino akan tetap menyebutnya unyu?
Ternyata benar.
"Unyu! Unyu! Sai-kun, kau unyu!"
Gadis itu bahkan menangkupkan kedua tangannya di depan wajah dengan mata biru yang bersinar sangat cerah.
Sai segera mencatat kesimpulan baru di memorinya. Berarti memakai baju warna netral ataupun cerah tetap bisa dikatakan unyu.
Beruntung, ia hanya perlu mencoba tujuh baju karena Ino sudah terlanjur jatuh hati pada baju merah yang dipakainya tadi. Dan mereka sempat sama-sama tertawa ketika Sai memakai baju berwarna hijau yang kebetulan warnanya sangat mirip dengan kostum ninja Lee.
Baiklah, sepertinya sudah hampir selesai, pikir Sai.
Namun pemikirannya itu jelas-jelas salah. Gadis yang sedang bersamanya saat ini adalah Yamanaka Ino. Menurut Sakura, Ino dan belanja adalah dua hal yang sangat mengerikan jika disatukan. Jauh lebih mengerikan dibanding amukan tinju Sakura, dan masih lebih mengerikan dibanding jurus 'derita seribu tahun' milik Hatake Kakashi. Lebih mengerikan dari itu.
Dan inilah yang sedang dihadapi Sai sekarang.
Awalnya ia masih mengangguk dan menurut saat Ino lagi-lagi menyeretnya menuju deretan baju bermotif. Ada yang bercorak lambang konoha, bergambar motif bebatuan, hingga motif kotak-kotak biasa.
Sampai baju ketiga, Sai masih senang hati mencobanya. Namun saat mencoba baju keenam, ia merasa tubuhnya mulai terasa aneh. Punggung dan lengannya terasa sedikit pegal.
Bahkan sebuah pertanyaan sempat terlintas dalam otaknya. Kapan mereka akan berhenti memilih baju? Namun ia segera menggelengkan kepala mengusir pertanyaan aneh barusan.
Sai selalu takjub dengan binar cerah di bola mata Ino setiap kali melihat dirinya mencoba baju baru. Sesuai perkataannya kemarin, Sai memang menyukai warna bola mata itu. Jadi ia meyakinkan diri bahwa ia masih menikmati acaranya bersama Ino dan berusaha tetap menurut.
Namun sepertinya ia harus meralat konklusinya tadi.
Apa unyu itu maksudnya mencoba baju baru sebanyak ini?
.
.
Beberapa waktu berlalu.
Sepertinya gadis Yamanaka itu mulai menyadari perubahan tipis pada sikapnya. Setelah mencoba baju bermotif yang kedua puluh satu, gadis itu mendongak dan bertanya, "Ada apa?"
Hn? Apa Ino menyadarinya?
Sai berniat tersenyum menjawabnya. Namun ia sungguh heran menemukan dirinya tidak bisa. Alhasil ia berniat menampilkan senyum palsu yang sudah menjadi keahliannya. Namun sebelum otot bibirnya bergerak, ia segera mengurungkannya. Akibatnya otot-otot wajahnya hanya bergerak kaku tanpa ekspresi berarti.
"Kau kenapa?"
Sekali lagi Sai berusaha tersenyum, tapi anehnya tetap tidak bisa. Ia sendiri jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan dirinya? Mengapa sekedar tersenyum saja ia tidak bisa?
Ia tidak mau tersenyum palsu pada Yamanaka Ino.
Tapi benar-benar sulit sekali untuk tersenyum tulus dalam keadaan seperti ini. Ia juga tak mengerti mengapa tubuhnya secara aneh merasa lebih lelah dibanding jika ia misi atau tugas patroli. Padahal ia yakin, dirinya sama sekali tidak mengeluarkan chakra.
"Kau baik-baik saja?" kali ini Ino memiringkan kepala dengan dahi berkerut. Ekspresi wajahnya menjadi lebih serius, "Kau terlihat sedang menahan sesuatu."
Gadis itu mengulurkan tangan ke kening dan Sai masih tetap diam di tempatnya. Setelah itu, Ino ganti meletakkan tangannya di depan dada Sai layaknya pemeriksaan medis.
"Suhu tubuhmu normal dan aliran chakra-mu baik-baik saja," kata kunoichi medis tersebut. "Tapi kenapa―" kalimat gadis itu terhenti.
"ASTAGA!" tiba-tiba ia menjerit ngeri dan membuat Sai terkejut.
"Ya Tuhan!" meski tak sekeras jeritan sebelumnya namun tetap membuat Sai terkejut.
Ino memang selalu penuh kejutan.
Tapi Sai tidak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menutup wajahnya dengan tangan.
"Apa—apa aku lagi-lagi lupa waktu?" terdengar nada ngeri dan syok di suaranya. Gadis itu mengintip Sai dari sela jari-jarinya dengan pandangan cemas dan takut, "Jam―jam berapa sekarang?"
Meskipun bertanya-tanya apa yang membuat Ino tiba-tiba bersikap demikian, Sai merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah jam saku dari sana. Alisnya berkerut menyadari letak jarum yang tertera di sana.
Rupanya baru tiga jam lebih sedikit waktu yang mereka habiskan untuk berputar-putar memilih baju. Tentu saja Sai heran. Hanya tiga jam? Itu waktu yang sangat sebentar sebenarnya. Lalu mengapa tadi ia merasa lebih lama?
Obsidiannya kini menoleh ke arah Ino. Gadis itu sudah menurunkan tangannya dari wajah dan menangkupkannya di depan dada. Aquamarine-nya menatap Sai dengan tatapan penuh rasa bersalah, "Maafkan aku. Aku pasti membuatmu bosan."
Bosan? Tidak. Tadi itu menyenangkan. Hanya tubuhnya saja yang tiba-tiba bereaksi aneh di saat-saat terakhir.
Sai bermaksud menjawab begitu.
Namun Ino sudah bicara lebih dulu dengan panik, "Aku tidak bermaksud sampai selama itu―tapi bodohnya, aku benar-benar lupa waktu—dan astaga―selalu seperti ini setiap kali aku belanja—maksudku―ugh, bodoh sekali kau, Yamanaka Ino."
Alis Sai berkerut mencoba mencerna penggal kalimat Ino yang terpatah-patah hingga tersusun menjadi sebuah kesimpulan. Kini pemuda itu mengerti letak permasalahannya. Mendadak, ia bisa kembali tersenyum tanpa kesulitan sama sekali.
"Tidak apa-apa, Ino-chan. Ini baru tiga jam."
Ino yang sedang menyalahkan diri karena terlalu bersemangat, mendadak terdiam dengan bola mata mengerjap.
Sai mengangkat tas belanja yang terlepas dari genggaman Ino dan tergeletak di dekat mereka saat gadis itu histeris tadi.
"Aku senang mencoba baju-baju baru dan membelinya." Pria itu tersenyum, "Sangat menyenangkan melakukannya bersama Ino-chan."
Kalimat terakhirnya berikut sukses membuat Ino semakin melongo.
"Mungkin tadi aku hanya—belum begitu terbiasa?"
Aquamarine itu sempat mengerjap dua kali. Kemudian pemiliknya menggerakkan tangan dan memukul ringan lengan Sai sambil tertawa pelan.
"Kenapa kau baik sekali sih? Sakura tidak pernah bertahan lebih dari dua jam jika menemaniku belanja. Sedangkan Chouji meski kusogok keripik kentang hanya sanggup bertahan setengah jam. Aku tidak pernah berharap pada Shikamaru. Dan ... dan ..."
Sai tahu sebenarnya Ino sedang berusaha menahan tangis―gadis itu selalu tidak suka merepotkan orang lain—dan meski kalimatnya terdengar ceria, dia menahan separuh wajah kirinya yang tak tertutup poni dengan punggung tangan seolah sedang menutupi sesuatu.
"Dan akhirnya aku jadi tahu kalau aku unyu dengan warna merah," sambung Sai cepat. Entah kalimatnya berhubungan atau tidak dengan kalimat Ino, tapi setidaknya ia lega karena Ino terdiam.
Tiga detik kemudian gadis itu bahkan benar-benar tertawa, "Hahahaha. Ya, kau benar. Kau unyu dengan warna merah."
Sai ikut tersenyum meski sebenarnya ia tetap merasa aneh telah menyebut dirinya sendiri dengan kosakata asing tersebut.
Tawa Ino tiba-tiba terhenti, "Sebentar, kau benar-benar tidak marah padaku?"
Sai mencatat satu hal lagi dalam memorinya. Ia kini mengerti salah satu kelemahan Yamanaka Ino, kunoichi yang selalu perfeksionis akan segala hal tapi mudah lupa waktu jika sedang berbelanja.
Adalah kesalahan Sai juga karena tadi tidak mengingatkannya. Beruntung, tadi ia membatalkan niat untuk bertanya, 'Kau sendiri tidak belanja baju untukmu, Ino-chan?' Sebab bisa dipastikan, jika demikian, penderitaan Sai akan bertambah panjang.
Namun karena ini adalah pengalaman pertamanya, maka ia sama sekali tidak keberatan. Karena itu ia menggeleng.
"Benar-benar tidak marah?" Ino mengulang pertanyaannya untuk memastikan.
"Tidak," Sai menggeleng sekali lagi. Kemudian ia tersenyum. "Teri―"
Belum sempat kalimatnya selesai, sebuah jari telunjuk telah menempel di bibirnya dan menghentikan ucapannya.
"Tidak, tidak," Yamanaka Ino menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menarik jarinya dari sana. "Seharusnya aku yang mengatakannya," gadis itu lalu tersenyum lembut padanya dan berkata, "Terima kasih untuk hari ini, Sai-kun."
Sai terdiam sebentar di tempatnya. Tiba-tiba saja semua kelelahannya tadi seolah menguap tanpa sisa. Pemuda itu balas tersenyum tanpa ragu pada Ino.
Lagi pula hanya tiga jam, pikirnya.
Yah, Sai hanya tidak tahu jika menemani seorang wanita berbelanja itu sebenarnya memang amat-sangat-melelahkan.
.
.
"Hei, tunggu sebentar!"
Dahi pucat Sai berkerut tipis mendengar ucapan Ino.
Mereka sudah menyelesaikan acara berbelanja beberapa saat lalu dan kini sedang berada dalam perjalanan pulang. Sai membawakan kantung belanja yang berisikan baju-baju barunya dengan berbagai warna sementara Ino berjalan di sisinya.
Keduanya melangkahkan kaki dengan santai menikmati udara dan matahari sore yang bergeser perlahan ke arah barat. Terkadang mereka berpapasan dengan orang-orang dan Ino akan menyapa mereka dengan senyum lebar sementara dirinya hanya tersenyum standar. Namun sekarang, tiba-tiba saja Ino menghentikan langkah mereka dan menunjuk sebuah direksi dengan bersemangat.
Gadis itu bahkan berseru kencang dengan nada kelewat riang.
"Kyaaaa~ di sana unyu!"
Obsidian Sai berputar mengikuti arah telunjuk Ino.
"Ke sana yuk."
Belum sempat ia memberi jawaban, Ino sudah terlebih dahulu meninggalkannya dan mau tak mau Sai menggerakkan kakinya menyusul. Selang beberapa langkah, mereka berhenti di tepi sebelah bukit yang cukup tinggi.
Kini Sai paham apa yang menarik perhatian gadis pirang itu. Tak jauh di bawah sana, terdapat lembah dengan hamparan padang bunga aneka rupa. Tapi tampaknya ada satu yang menarik perhatian gadis di sampingnya hingga seluruh atensinya seolah hanya terpusat ke sana.
Hening sejenak.
"Kehangatan, sukacita dan semangat."
Sai menolehkan kepalanya mendengar perkataaan yang tiba-tiba diucapkan Ino. Alis hitamnya berkerut tak paham.
"Arti bunga daisy oranye."
Sai mengangguk mengerti. Tatapannya beralih kembali memandang benda cantik berkelopak yang kini bergoyang ditiup angin. Daisy oranye, bunga yang sudah menarik perhatian Ino.
Iris gelap Sai memperhatikan struktur bunga tersebut dari kejauhan dengan seksama. Sedetik kemudian ia tersenyum.
Kehangatan. Sukacita. Semangat.
Sama dengan yang dirasakannya seharian ini.
Pemuda itu jadi semakin menikmati ketenangan udara sore yang sejuk serta pemandangan warna warni yang menyenangkan hingga Ino memecahnya dengan seruan takjub.
"Astaga, dari jauh saja bunganya sudah kelihatan unyu~"
Hn?
Sai menegakkan punggungnya.
Lagi-lagi kata itu.
Ia segera menolehkan kepalanya menatap gadis itu dari samping.
"Ino-chan."
"Hm?" Ino menyahut tanpa menoleh. Ia masih mengagumi hamparan bunga cantik di sebelah sana.
Namun begitu sadar tak terdengar tanggapan apapun dari pemuda yang memanggilnya tadi, Ino menolehkan kepala pirangnya menatap Sai dengan alis terangkat.
Sai balas memandangnya dengan tatapan serius.
"Unyu itu apa?"
Ting tong.
Seperti ada bel imajinatif berbunyi di kepala Ino dan membuat gadis itu seperti ingin terjungkal. Hei, kalian. Bisakah bantu Ino menjawabnya?
Lihatlah, hingga beberapa saat, Ino hanya bisa mengerjap.
Sementara Sai sendiri mulai merasa tindakannya bertanya pada Ino tidaklah tepat. Pemuda itu segera berjanji dalam hati untuk lebih rajin ke perpustakaan dan mencari tahu sendiri. Mungkin ia perlu membaca buku lebih banyak lagi agar tidak membuat Ino kebingungan seperti ini. Atau mungkin ia bisa bertanya pada orang lain yang sekiranya mengerti.
Namun, sebelum pemuda itu sempat berpikir lebih jauh lagi, ia sudah terdiam mendapati reaksi Yamanaka Ino.
Gadis di depannya telah merebut kantung belanjaan di tangannya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana, dan memakaikannya di tubuh Sai dengan cepat.
Setelah itu, Ino melipat tangan dan memandanginya dari atas ke bawah dengan tatapan puas dan ekspresi senang. Katanya, "Unyu itu imut, lucu, dan menggemaskan―"
Kening pucat Sai segera berlipat mendengar jawaban Ino.
"—seperti kau saat memakai baju ini," Ino mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar.
Kening pucat Sai semakin berlipat.
Iris gelapnya melirik kemeja merah yang dipakainya dengan tatapan aneh, "Apa menurutmu aku unyu?"
"Ya!" jawab Ino cepat, "Kau unyu dengan ini." Gadis itu tersenyum semakin lebar sambil menepuk-nepuk kemeja merahnya.
Kerut di dahi Sai belum sepenuhnya hilang. Ia masih merasa kata itu sama sekali tidak cocok dialamatkan padanya. Terlebih setelah mengetahui artinya. Memangnya dia imut, lucu, dan menggemaskan?
Tidak, tidak.
Sai ingin menggeleng keras-keras. Tapi melihat binar mata Ino dan ekspresinya yang bersungguh-sungguh, sepertinya dia harus percaya.
Pemuda itu menghela napas, lalu menunjuk hamparan bunga di bawah mereka. "Berarti bunga itu juga imut, lucu, dan menggemaskan?"
"Ya!" Ino mengangguk lebih bersemangat. Kepala pirangnya ikut berputar mengikuti arah telunjuk Sai. Dalam sekejap, perhatiannya sudah teralihkan.
"Bunga itu memang unyu sekali. Juga sangat indah," ucapnya penuh kekaguman.
Kerut di kening Sai perlahan menghilang. Pemuda itu mengamati ekspresi Ino yang terlihat benar-benar takjub akan pesona setangkai bunga. Tatapan aquamarine Ino bahkan seolah menyiratkan keinginan untuk menyentuh bunganya secara langsung.
Pemuda ini menjadi heran.
Bukankah di toko Ino ada banyak bunga dan bermacam-macam jenisnya? Kenapa tidak mengambil dari tokonya saja? Tapi berdasarkan buku yang pernah dibacanya, bukankah wanita memang suka menginginkan hal tak terduga yang kadang tidak terjangkau logika?
Sai memutuskan bertanya, "Kau ingin bunga itu?"
Ino hanya melirik Sai dengan ekor matanya.
"Memangnya kau akan mengambilkannya untukku?" tantangnya.
Sai menggeleng, "Tidak."
"Aku juga tidak berharap diambilkan olehmu," jawab gadis itu tak mau kalah.
Sai tak balas menyahut. Ia hanya mengeluarkan kertas sketsa dari balik sakunya dengan tenang dan menggambar sesuatu di atasnya dengan ketenangan yang sama.
Bola mata Ino mendelik.
Sai tahu, gadis itu selalu sebal jika melihatnya menggunakan jutsu khususnya seperti saat ini. Tapi—
Ninpo.
Choju giga.
―seketika itu juga sepasang aquamarine tersebut berubah cerah begitu setangkai bunga daisy muncul dari lukisannya.
Ketika Ino dengan gembira mengulurkan tangan untuk meraihnya, Sai menahan tangan kanan Ino dengan tangan kirinya.
Bola mata Ino segera menyorot protes, "Untukku, kan?"
Gadis itu mencoba menggerakkan tangannya lebih cepat, namun sekali lagi Sai menahannya.
Sebelum Nona Yamanaka itu kembali berseru protes, Sai sudah menyematkan bunga chakra tersebut di rambut Ino dan berkata, "Kalau begini, kau juga unyu."
.
.
.
TBC
.
.
.
[1] = Misi mereka di chapter 10 Breeze.
[2] = Kantor Divisi Intelijensi tempat Ino bertugas di chapter 3 Breeze.
A.N:
Selamat datang untuk kamu yang baru pertama kali berkunjung kemari! Dan selamat datang kembaliii untuk pembaca setia Breeze yang sudah berkenan mampir! ^^ Yeaay~ Senangnya bisa bertemu lagi dengan kalian :*
Untuk yang belum baca Breeze, boleh lho mampir kesana. Soalnya di sini ngga akan kujelaskan ulang tentang scene, setting atau feel bawaan dari Breeze. Jadi rada aneh kayaknya kalau dibaca terpisah hehe (Lala digetok)
Dan yay, SaiIno moment everywhere! Hehe. Chapter pertama awali dengan yang ringan-ringan dulu yah (jadi pengen liat keunyuan Sai make baju warna-warni). Aku sedang mencoba mendeskripsikan interaksi mereka dari hal-hal kecil dan sederhana, juga tentang manusiawinya hubungan mereka. Ino yang bersemangat dan penuh inisiatif, sementara Sai yang tenang dan cenderung pasif.
Semoga terhibur :D