.Hinata berjalan mengikuti sosok yang mengajaknya. Kerongkongannya yang kering benar-benar tidak bisa diajak kompromi, ia butuh cairan dingin lagi melegakan yang dapat menuntaskan dahaganya.

Panas yang terik menambah keringat di dahi mulus Hinata. Napasnya mulai tersengal, tanda sudah berada pada batasnya.

"Kita akan kemana, sensei?" tanya Hinata setelah sekian lama ia berjalan. Bukannya ia tidak tahu tentang tata letak ruangan sekolah, ia hanya bingung karena orang yang berada di depannya terus berjalan tanpa kenal arah.

Ia kira orang itu akan mengantarkannya ke kantin, tapi orang itu malah melewati kantin. Hinata menggeram kesal. Ia merasa dirinya dipermainkan, tapi apa boleh buat, tenaganya sudah hampir habis dan ia tidak mau menghabiskan tenaganya untuk protes. Baginya hal itu hanyalah membuang-buang tenaga.

Hinata berjalan semakin menunduk. Ia sudah lelah untuk berdiri tegak. Tetesan cairan masam mulai bercucuran deras di dahinya bahkan di seluruh tubuhnya.

"Sudah sampai."

Hinata buru-buru mendongak. Seketika hembusan angin musim panas menerpa wajahnya. Ah, segarnya...

Orang itu segera duduk di tempat duduk halaman samping sekolah. Beruntung, tempat duduk tersebut tidak jauh dari mereka berpijak. Hinata buru-buru duduk dan berandar pada tempat duduk bercat putih itu.

"Akhirnyaaa~" Hinata meregangkan tangan dan menghela napas lega. Ia menghirup dalam-dalam aroma kehijauan khas pepohonan rindang nan sejuk. Ia memejamkan mata sejenak sambil mengusap keringat.

Hinata merasakan kesejukan mengalir di dalam tubuhnya. Hinata tidak menyadari bahwa sosok yang menuntunnya ke tempat ini mulai beranjak dan pergi dari tempat duduknya.

Ya sosok itu, Uchiha Sasuke.

Pasangan MO nya.

Gurunya.

Supervisor-nya.

Bahkan suaminya.

Hinata tidak tahu apa yang dipikirkan sosok tersebut hingga mengajak Hinata hampir keliling sekolah dan membuat gadis itu kehilangan tenaga. Ia tidak begitu peduli apa yang dipikirkan sosok tersebut, tapi yang dia tahu, orang tersebut selalu waspada selama mereka berjalan.

Tiba-tiba Hinata berjengit pelan saat merasakan sensasi dingin di pipinya yang mulai tirus. Ia mendongak menatap Sasuke yang hanya menampilkan wajah datar. Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai Hinata memutus kontak mata.

Hinata segera membuka kaleng minuman dingin dan meminumnya rakus. Hinata memejamkan mata erat-erat. Sensasi dingin yang mengalir ke kerongkongannya begitu melegakan hingga minuman itu tandas.

"Hinata." Hinata menoleh. Ia menatap Sasuke yang sedang menatapnya.

"Ya?"

Sasuke segera memalingkan muka, menatap hamparan langit biru yang cerah. "Jika sekolah sudah berakhir cepatlah pulang. Aku tidak bisa mengantarmu pulang minggu ini."

"Aku memang–"

"Kau memang tidak memintanya, tapi kau adalah tanggungjawabku." Sasuke segera menatap dalam ke iris keperakan milik Hinata.

Hinata tertegun. "B-baiklah. Tapi kenapa?"

"Aku ada urusan."

"Oh." Hinata menunduk, menatap jari-jarinya yang menggenggam kaleng minuman. Surai panjangnya menutupi wajahnya bagaikan tirai.

Dia tidak tahu kenapa, tapi ia merasa bahwa sejak ia mengikuti program pemerintah yaitu MO atau Marriage Online, ia merasa kehidupannya tidak sebebas biasanya. Ia merasa terkekang dan banyak sekali orang yang tidak pernah ia duga tiba-tiba mengkhawatirkan dirinya. Jujur saja untuk orang yang antisosial sepertinya, ia merasa tidak nyaman.

Sangat tidak nyaman.

Tanpa sadar jari-jari lentiknya menggenggam erat kaleng minuman hingga buku-buku jarinya memutih. Dan tentu saja hal tersebut tidak luput dari penglihatan Sasuke.

Sasuke segera menarik pundak Hinata dan membawa tubuh gadis itu dalam pelukannya. Hinata yang terkejut tanpa sadar melonggarkan pegangannya pada kaleng minuman itu.

"Aku tahu kau merasa tidak nyaman, tapi percayalah. Itu semua untukmu."

Hinata berusaha lepas dari dekapan Sasuke. "Kenapa semua mengorbankan dirinya untukku? Kenapa harus aku? Aku tidak apa–"

Sasuke mengeratkan pelukannya. "Jangan bercanda! Berhentilah sok kuat dan dengarkan." Suara Sasuke mulai memelan dan mulai berbisik pada Hinata.

"Segeralah pulang sekolah, selambat-lambatnya jam 4 sore dan tidak lebih dari itu." Sasuke menarik napasnya pelan sebelum melanjutkan. "Pilih rute perjalanan yang ramai, gunakan taksi atau pulang bersama teman dekatmu. Jika menggunakan angkutan umum pilih jalur transit paling ramai."

Sasuke menggenggam erat tangan Hinata seolah-olah Hinata akan pergi dari hadapannya. "Selalu aktifkan ponselmu dan usahakan baterai ponselmu selalu penuh."

"Jangan pernah bertindak bodoh dan jika ada masalah selalu ceritakan padaku. Aku tidak akan marah. Dan jangan pernah bertindak tanpa diketahui olehku."

Sasuke melepaskan pelukannya dan kedua tangannya mencengkram pundak Hinata, ia menatap Hinata dalam-dalam. "Jangan percayai orang lain selain aku dan kakakmu, dan orang yang kuanggap dapat kupercayai."

Hinata mengernyitkan dahi. "Ada apa ini? Kenapa–"

Sasuke segera berdiri dan menyelipkan rokok di antara bibir tanpa menyulutnya. "Aku akan menjelaskan setelah urusan ini selesai. Yang penting kau harus mengikuti perintahku karena ini amanah dari kakakmu."

"Nii-san?" Hinata ikut berdiri. Ia dan Sasuke saling berhadapan. Ia tidak mengerti kenapa Sasuke bertingkah aneh seperti ini. Tapi ia tahu ia bukanlah orang bodoh yang hanya mengandalkan perasaan saja. Walau ia tidak tahu apa masalahnya, ia tahu urusan ini sangat serius. Ia harus berpikir logis dan menurut pada Sasuke.

Sasuke mengangguk pelan. Ia tersenyum tipis seraya mengacak puncak kepala Hinata. "Jaga dirimu baik-baik Hinata."

Hinata mengangguk pelan. Walau ia memutuskan untuk segera berpikir logis tapi sepertinya hal itu masih sulit dilakukan. "Kalau begitu, aku permisi dulu."

Saat baru berjalan beberapa langkah, Hinata berhenti saat mendengar seruan dari Sasuke. Ia hanya melihat Sasuke yang berjalan menghampirinya. Orang itu menepuk pundak Hinata pelan saat posisi mereka sudah sejajar.

"Dan cobalah untuk berteman dengan teman sekelasmu. Karena jika kau mengalami kesusahan, hanya mereka lah yang dapat membantumu."

Setelah mengatakan hal tersebut, aroma nikotin mulai tercium oleh indra penciuman Hinata. Hinata terpaku. Bukan karena aroma nikotin dari rokok yang disulut, tapi karena perkataan Sasuke.

Perkataan Sasuke lah yang membuatnya terpaku.

Perkataan Sasuke begitu mengena di hatinya. Seolah mengoyak hatinya hingga hancur.

.

.

.

Marriage Online by Yuki Ryota

Naruto Masashi Kishimoto

SasuHina

T

.

.

.

Hinata berjalan lesu menuju tempat dimana kelompok belajarnya berkumpul. Begitu sampai di sana, Hinata segera mendudukkan dirinya. Ia menghela napas panjang sebelum memulai kembali pekerjaannya.

Belajar.

"Ne, kaichou, kenapa kau pergi lama sekali?" tanya Kiba sedikit penasaran. Ia berusaha menghilangkan rasa gugupnya dan mulai bertanya tentang hal-hal umum pada Hinata.

Hinata menghentikan aktivitasnya sejenak, ia menatap Kiba datar. Ekspresinya tidak terbaca. "Hmm... apa selama itu?"

Kiba menarik napas singkat seraya menggerak-gerakkan kepala untuk menghilangkan rasa gugup yang semakin parah. "Well, ya..."

Hinata terdiam, ia tampak memikirkan sesuatu. Selanjutnya ia kembali menggerakkan pensil dan menulis serta menghitung kembali soal yang tertera di hadapannya. Sikapnya itu seolah Kiba tidak pernah bertanya. Karena ia tampak tidak menjawab pertanyaan Kiba.

Ah, ini akan sulit.

"Apa kau ada masalah, kaichou?" Kali ini Shino yang bertanya. Mendengar suara Shino, Kiba segera memelototi Shino. Dan seperti biasa, Shino tidak memedulikan sikap Kiba kepadanya. Sama persis seperti Hinata.

Ah, makhluk-makhluk seperti mereka benar-benar menyebalkan.

Kali ini Hinata tetap melanjutkan aktivitasnya, namun ia sedikit merespon pertanyaan Shino. "Ah, apa tampak seperti itu?"

"Ya."

Hening beberapa saat. Bunyi gerakan tangan dan goresan pensil mengisi keheningan di antara ketiganya. Cukup beberapa lama mereka dalam posisi diam seperti itu. Hingga akhirnya Hinata bersuara.

Hinata melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kalian tidak pulang? Sudah sore."

"A-ah! Benar! Sudah terlalu sore, ayo Shino!" ajak Kiba canggung. Ia benar-benar tidak suka dalam situasi canggung seperti ini. Kiba segera membereskan peralatannya dan mengemasi barang.

Tiba saatnya mereka menenteng tas sekolah mereka di pundak. Kiba tersenyum lebar. "Ayo Shino."

Shino bergeming. Ia tidak mengindahkan ajakan dari Kiba. Ia tetap dalam posisi berdiri sembari mengamati Hinata yang sibuk mengemasi barang.

Melihat hal tersebut, Kiba segera mengajak Shino sekali lagi. "A-ayolah Shino, bus yang terakhir akan–"

"Kaichou jika kau memiliki masalah, kau bisa menceritakannya pada kami." Hinata terdiam. Ia berhenti mengemasi barang dan menoleh menatap Shino.

"Aku tidak punya masalah." Hinata kembali melanjutkan acara mengemasi barangnya. Dan setelah barangnya telah terkemas dengan sempurna, ia menyampirkan tasnya di pundak sembari berkata, "Dan lagipula itu bukan urusan kalian."

Hinata segera berjalan melewati keduanya dan meninggalkan Shino dan Kiba di belakangnya. Seruan Shino membuat Hinata menghentikan langkahnya.

"Ada apa? Jika tidak ada uru–"

"Sampai kapan kau mau seperti ini, kaichou?" Shino menarik napas pelan. "Berhentilah bersikap dingin."

Hinata hanya terdiam, ia tidak merespon perkataan Shino. Shino yang melihat reaksi Hinata menghela napas kasar seraya mengacak rambutnya pelan. "Ini menyebalkan," gumamnya.

"Ayo Kiba, kita pulang sekarang," ajak Shino. Ia segera berjalan dengan Kiba yang mengikutinya dan melewati Hinata.

"Berhentilah memperlakukan kami bukan manusia. Kau bisa menganggap dirimu patung, tapi jangan anggap temanmu sendiri benda mati."

Shino segera berjalan cepat setelah mengatakan hal tersebut dengan diikuti Kiba yang ikut berlari kecil mengejar langkah Shino. Hinata menatap kepergian Shino. Ia benar-benar bingung, kenapa orang-orang di sekitarnya mulai menceramahi dirinya tentang menjalin teman atau hal semacam itu? Ah, benar-benar menyebalkan.

.

.

.

Hinata berjalan lesu menuju halte bus dan duduk di bangku yang tersedia. Ia menghela napas seraya meluruskan kakinya. Hari ini benar-benar melelahkan. Ia tidak tahu jika tugas yang akan diberikan oleh wali kelasnya akan banyak sekali.

Hinata kembali merenungi ucapan Sasuke dan Shino. "Apa ada yang salah denganku?"

Hinata merasa dirinya tidak banyak berubah sejak kelas 10. Bahkan sejak bertemu Neji ia sudah bersikap seperti ini. Mengapa orang-orang di sekitarnya memprotes kelakuannya? Mengapa tidak sejak dulu mereka mengatakannya? Hinata menghela napas kasar. Ia merasa kesal dengan keadaan yang menyudutkannya.

Hinata kembali teringat perkataan Sasuke. "Bagaimana caraku berteman dengan mereka?"

Hinata menaiki bus yang melaju ke arah rumahnya. Di sepanjang perjalanan benaknya tak henti memikirkan ucapan orang di sekitar. Bus berhenti dan Hinata turun. Ia berjalan ke arah rumahnya.

Sesampainya di rumah, Hinata memutuskan untuk mandi dan belajar. Ia membuka kembali pekerjaan yang telah ia lakukan bersama kelompok belajar.

"Sepertinya aku harus kembali memelajari integral jika akan mengerjakan soal ini." Hinata membuka-buka halaman dan mencatat rumus. Ia kembali teringat pertanyaan Kiba.

"Sepertinya aku harus melihat halaman 104."

.

.

.

Piip

Sasuke memasuki ruang data dan arsip. Ia menuju sebuah komputer dan mengetikkan kata sandi. Hari sudah malam dan ia masih bergelut di sekolah sendirian.

Tampak layar muncul beserta beberapa folder. Di antaranya dokumen soal ujian kelas 10, 11, dan 12. Terdapat dokumen berisi daftar siswa dan guru. Jemari Sasuke yang panjang mengetik sesuatu dengan cepat. Tampaklah beberapa data tersaji di hadapannya. Ia mengetik beberapa kata dan muncullah sebuah profil siswa.

Itachi Uchiha

Bersekolah sejak tahun 20XX. TIDAK LULUS

Keluar sekolah sejak tahun 20XX, saat kelas 11

Prestasi :

- Juara 1 Judo tingkat Nasional

- Juara 1 Olimpiade Sains Nasional

- Juara 1 Cerdas Cermat tingkat Provinsi

"Banyak sekali prestasinya." Sasuke melihat arsip mantan siswa bernama Itachi Uchiha tersebut. Hingga irisnya terbelalak saat menemukan sebuah fakta di profil tersebut.

Alasan dikeluarkan dari sekolah [Confidential]

Sasuke berusaha membuka file tersebut saat keluar perintah memberikan kata sandi. "Apa-apaan ini?"

Sasuke mencoba berbagai kata sandi yang terlintas di benaknya dan hasilnya nihil. Layar komputer tetap tidak membuka dokumen rahasia tersebut.

"Dimana kau selama ini, Itachi?"

.

.

.

Hinata meletakkan tas dan mengambil buku. Ia menyadari jika orang yang duduk di sebelah kanan Kiba dan sebelah kiri adalah Shino. Ia berusaha untuk mengabaikan mereka berdua namun ia malah teringat kembali perkataan mereka kemarin.

"Kaichou, bisa kau ajari aku nomer 9?" Shino menepuk pelan pundak Hinata dengan buku dan menyodorkan soalnyang ia tanyakan ketika gadis itu berbalik.

Hinata membaca soal tersebut sekilas. "Kau turunkan dulu soalnya baru kau integralkan."

"Aku sudah tahu. Aku lupa bagaimana menurunkan soal seperti ini." Shino menganaikan tatapan Kiba yang menahan kesal dan tatapan tema kelasnya yang melihat mereka aneh dan takjub bersaman serta diliputi rasa penasaran. Tanpa Hinata sadari kelas menjadi hening karena ia dan Shino yang menjadi tontonan.

Hinata mengeluarkan buku catatannya dan menunjukkannya pada Shino. "Coba kau lihat cara ini."

Shino menatapnya perlahan. "Bisa kau berikan cara menurunkan jika soalnya seperti ini?"

Hinata mengambil pensilnya. "Kau tinggal mengurangkan pangkat variabel x dan-"

"Ah. Aku paham sekarang. Terima kasih, kaichou. Aku pinjam buku catatanmu dulu."

Hinata mengangguk. Ia menengok dan mendapati Kiba yang ragu untuk bertanya. "Bagaimana dengan pekerjaanmu? Butuh bantuan?"

Seluruh siswa yang berada di kelas 11-4 menahan napas. Baru pertama kali mereka melihat Hinata dengan senang hati menawarkan bantuan.

Kiba mendekat ke arah Hinata dan menunjukkan beberapa soal. "Aku masih bingung mengerjakan soal ini."

Hinata memelajarinya sebentar sebelum menjelaskan pada Kiba. "Kita harus kembali ke sifat asli bilangan bulat-"

Di kejauhan, Sakura menggoyangkan lengan Ino. "Apa kau merasa ada yang aneh dengan Hinata."

Ino yang masih tak percaya dengan penglihatannya, mengangguk. "Kau benar. Apa yang terjadi padanya? Apa ia salah makan?"

Sakura menggeleng. "Entahlah."

.

.

.

Sejak saat itu, Shino, Hinata, dan Kiba selalu belajar di bawah pohon dekat kelas mereka setiap jam istirahat. Hal itu mengundang tanya beberapa anak di kelas mengingat bagaimana intensifnya mereka belajar. Anak kelas 11-4 mulai tertarik dengan kegiatan mereka dan wajah Kiba yang berseri-seri.

Hingga tiba saat membagikan nilai ulangan harian. Hari yang tidak pernah dinanti untuk murid kelas buangan adalah membagikan ulangan harian matematika. Tak terpikirkan apa yang akan diucapkan guru berdarah dingin tersebut.

"Inuzuka Kiba. Selamat, kau mendapatkan 80. Pencapaian drastis di kelas ini." Sasuke menyerahkan hasil ujian Kiba.

Kiba yang mendapatkannya melompat kegirangan mengundang berbagai tatapan takjub dari banyak pihak. Kiba yang biasanya selalu mendapatkan nilai 40 untuk matematika kini naik dua kali lipat.

"Terima kasih sensei! Terima kasih kaichou!" Kiba membungkuk berkali kali ke arah Sasuke dan Hinata.

Hingga suara tepuk tangan Hinata dan Shino memecah keheningan akibat takjub dengan perolehan Kiba. Seluruh siswa menatap Hinata dan Shino dan akhirnya mereka ikut bertepuk tangan atas pencapaian Kiba. Kiba kembali ke tempat duduknya dengan gembira.

Kemudian Sasuke mengheningkan kelas. "Kalian mengalami kenaikan setelah diadakan kerja kelompok. Selamat untuk kalian semua. Saya harap kalian dapat mempertahankan hal ini untuk seterusnya. Kelas selesai."

Saat istirahat, Kiba dikerubungi banyak teman kelasnya.

"Bagaimana kau bisa mendapat nilai 80?"

"Kau menggunakan pelet?"

"Apa kau mencontek?"

"Kau keren sekali Kiba. Rasanya aku ingin berguru padamu."

"Bagaimana jika kita-"

"Kiba!" Panggil Shino. Kiba melihat Shino dan Hinata yang menenteng beberapa buku pelajaran. "Kau tidak ikut kami?"

"Ah! Tunggu!" Kiba segera mengambil buku-bukunya. Ia menatap teman-temannya dan menampakkan cengirannya. "Ini semua berkat Hyuuga kaichou. Jika kau ingin sepertiku, belajarlah dari dia. Tunggu aku Shino!"

Kiba segera mengejar Shino dan Hinata. Menunggalkan teman kelas yang memandang mereka ragu.

"Benarkah dari kaichou?"

"Sepertinya benar. Tapi, apa ia bisa mengajarkan dengan baik? wajahnya datar gitu."

"Tapi lihatlah nilainya sempurna seperti biasanya."

"Berhentilah menggosip, bedebah." Shikamaru mengerutu sambil menguap. "Jika kalian tidak percaya, buktikan perkataan Kiba, bodoh. Merepotkan."

Sakura melirik sekilas halaman belakang tempat kelompok Hinata yang asyik belajar. "Sepertinya Kiba benar."

.

.

.

"Aduh aku masih belum menggarap nomer 8 dan 10. Guru Asuma sebentar lagi datang," ujar Matsuri panik. Ia menatap temannya. "Apa kau sudah menggarapnya, Tenten?"

Tenten menggeleng. "Bagaimana ini?"

"Kaichou, ajari aku nomer 8." Shino kembali menyodorkan soal kepada Hinata pagi itu.

Melihat Hinata yang mulai memberitahu cara mengerjakan pada Shino menarik perhatian Matsuri dan Tenten. "Bagaiman ini, Tenten?"

Tenten menghela napas. "Sepertinya kita harus bertanya padanya."

Matsuri menggeleng takut. "Aku... tidak berani."

Tenten menelan ludah. "Tidak ada cara lain." Perlahan ia dan Matsuri berjalan menuju bangku Hinata. "Kaichou, tolong ajarkan kami nomer 8 dan 10."

Matsuri mengintip di balik punggung Tenten takut-takut. "Tolong..."

Hinata menatap mereka berdua sebelum menjelaskan dengan teliti. Hal itu menarik perhatian siswa kelas mengingat ada yang bertanya soal kepada Hinata selain Kiba dan Shino.

Perlahan aura Hinata tidak mengintimidasi Matsuri hingga Matsuri dapat bertanya apa yang tidak ia mengerti. Setelah mereka puas dengan jawaban Hinata, mereka kembali duduk dan menggarap soal dengan wajah gembira.

"Terima kasih, kaichou." Ujar Tenten dan Matsuri sebelum pergi.

Sakura dan Ino mengamati Hinata dari kejauhan. "Tidak buruk, huh?" Komentar Ino.

Sakura memakan permennya. "Aku tidak menyangka melihat orang lain tertarik kepadanya perlahan."

Ino mengangguk. "Aku juga."

.

.

.

Hinata berjalan ke arah pohon besar tempat Kiba dan Shino duduk dan membahas beberapa soal untuk ujian hari ini. Hinata duduk di pinggir dan membuka kotak bekalnya.

Kiba yang melihat Hinata menyantap bekal, beranjak. "Mau nitip, Shino?"

Shino mengeluarkan uang dari saku. "Onigiri dan air mineral."

Kiba nyengir kemudian berlalu meninggalkan Shino dan Hinata. Hinata dan Shino melakukan aktivitas masing-masibg sampai sebuah suara mengintrupsi.

"Boleh kami bergabung?" Tanya Tenten membawa bekal.

Hinata mengangguk dan menggeser duduknya. "Silakan."

Tenten dan Matsuri ikut duduk di samping Hinata. Matsuri melihat bekalHinata dan terperanjat. "Waw, banyak sekali lauk di bekalmu, kaichou."

Tenten dan Shino melihat bekal Hinata. "Wah. Sangat bergizi, apa kau yang memasaknya?" Tanya Tenten.

Hinta menggeleng. "Kakak laki-lakiku."

Sebelum Tenten sempat merespon, seruan Kiba menarik perhatian. "Shino!" Kiba berlari mendekati Shino dan menyerahkan barang titipan Shino.

"Terima kasih." Shino memakan onigiri dengan Kiba yang kembali membaca soal.

"Kaichou!" Seru seorang pemuda yang berlari ke arah Hinata sambil membawa buku."

"Lee, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Kiba saat pemuda berpotongan mangkuk mengatur napas.

Lee mengabaikan pertanyaan Kiba dan berjalan menuju Hinata. "Kaichou, bantu aku mengerjakan soal ini."

Hinata membaca soal yang disodorkan Lee. Beberapa saat kemudian ia telah memberikan petunjuk cara mengerjakan. Matsuri berdecak kagum.

"Hebat sekali dia. Dapat langsung menjawab," gumam Matsuri sambil memakan sosis.

Tenten mengangguk. "Tentu saja, hobinya bahkan belajar."

Lee sumringah setelah mendapat pencerahan. "Terima ka-"

Growl

Tiba-tiba suasana mendadak hening. Hingga akhirnya tawa terdengar di halaman tersebut saat melihat wajah Lee yang memerah.

"Suara yang indah sekali, Lee," goda Kiba diikuti dengan tawa dari Tenten dan Matsuri.

Lee memegang perutnya dan beranjak. Wajahnya memerah padam. "Uh. Aku pergi dulu. Terima kasih, kaichou."

"Rock Lee," panggil Hinata di sela-sela tawa siswa di sekitarnya.

Lee membalik dan bertatapan dengan Hinata. "Kau mau memakan bekalku? Kakakku membuat banyak makanan hari ini," tawar Hinata.

Lee bahagia mendengarnya. "Boleh? Terima kasih, kaichou."

Lee segera mengambil sumpit baru yang disodorkan Hinata dan memakan bekal Hinata. Lee makan dengan lahap, mengabaikan bisikan yang berada di sekelilingnya maupun bisikan di ruang kelas yang dapat terdengar sampai bawah. Hinata juga mengabaikan pembicaraan yang dilakukan teman kelasnya dan memutuskan membaca novel yang ia bawa.

"Aku tidak menyangka Lee menjadi orang yang menikmati bekal kaichou." Kankurou bergumam kepada komplotannya.

Sakura menyenggol lengan Ino. "Sepertinya bukan hanya aku yang merasakan perubahan di diri kaichou"

"Ya, kau benar, Saku. Sebenarnya siapa Hyuuga Hinata itu?"

.

.

.

Perlahan perkumpulan Hinata semakin bertambah. Semula hanya tiga orang, kini menjadi enam orang dengan bertambahnya Matsuri, Tenten, dan Lee. Kemudian bertambah menjadi 9 orang saat Rin, Temari, dan Chouji ikut bergabung. Awalnya pun sama yaitu bertanya soal hingga akhirnya mereka menghabiskan bekal bersama saat istirahat dan topik pembicaraan pun tidak lagi tentang pelajaran. Walaupun Hinata tidak banyak bicara, entah kenapa mereka merasa nyaman hanya berada di dekat ketua kelas 11-4 tersebut.

Hari ini adalah hari yang cerah. Namun tidak secerah untuk Lee yang berjalan dengan lesu. Seperti biasanya Hinata membawa banyak makanan di bekal dan membagikannya ke teman-teman. Lee meraih sumpit dan memakan bekal yang duberikan Hinata untuknya.

"Hari yang buruk, huh?" Shino memperhatikan Lee yang tidak bersemangat.

Lee menghela napas kasar. "Sangat buruk."

"Apa yang terjadi?" Tanya Temari sambil meneguk soda.

Bahu Lee terkulai. "Dimarahi Taka-sensei."

Hinata menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Lee. Ia mendengar helaan napas orang di sekitarnya.

Lee menatap kawannya satu persatu. "Kalian tahu? Aku terlambat mengumpulkan tugas dan dia menceramahiku habis-habisan. Tentang tidur malamku, kebiasaanku, dan makananku. Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa tahu mengenai rutinitasku?"

Lee menarik napas sebelum melanjutkan. "Seperti penguntit saja."

Hinata tertawa mendengarnya. Hal yang sama pernah ia alami sebelumnya. Ia merasa bahwa gurunya itu memiliki kekuatan misterius dalam membaca muridnya.

Hinata yang tertawa mengundang berbagai tatapan ke arahnya. Mereka tak pernah melihat Hinata tertawa selepas itu. Cara ia tertawa pun seperti gadis seumurnya. Hanya saja melihat gadis itu tertawa timbul rasa terkejut, tidak percaya, dan kekaguman di benak kawan-kawannya. Anehnya tawa Hinata terasa begitu menyenangkan dan mengundang kawannya ikut tertawa.

Kiba menepuk pundak Lee. "Hahaha. Aku juga pernah mengalami hal yang sama saat tidak mengerjakan tugas, Lee."

"Benar! Kalian harus melihat bagaimana Taka-sensei akan menyipit dan mendengus," Matsuri mencontohkan bagaimana gurunya saat marah. Hal itu mengundang tawa teman-temannya. Hinata yang telah berhenti tertawa hanya melihat teman-temannya yang berbagi pengalaman.

Tanpa Hinata sadari seulas senyum terpatri. Ia kembali menyantap bekal sambil mendengar keluh kesah temannya. Tanpa ia sadari, sejak hari itu kehidupan SMA nya berubah.

.

.

.

Sasuke memasuki ruang arsip. Kali ini bukan untuk menyelidiki Itachi tapi menyelidiki sosok yang mengacaukan pikirannya selama ini. Ia mengetik beberapa kata dan keluarlah sebuah profil. Netra gelapnya meneliti sosok tampan bersurai merah di layar komputer. Irisnya membaca deretan huruf dicetak tebal di samping foto siswa tersebut.

AKASUNA SASORI

Captain of Baseball Team

"Ketemu."

.

.

.

TbC