Kini, pemerintah Jepang sedang melakukan sebuah inovasi baru untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan—

"Lagi-lagi kau bangun terlambat, Hinata," ujar pemuda bersurai cokelat yang sedang menikmati tayangan berita saat merasakan hawa keberadaan adiknya.

"Apa kau belajar terlalu larut?" tanya pemuda itu lagi.

Gadis berambut indigo itu hanya mengangguk dan mengambil sepatunya di rak sepatu. Pemuda itu menghela napas melihat kelakuan adiknya itu.

Pemuda itu menyeruput ocha hangatnya sambil mengecilkan volume televisi. "Kau butuh refreshing Hinata."

Hinata menggeleng kembali dan memutar bola matanya bosan, "Kita sudah membahas ini berulang kali sejak kau kembali dari Canada, Nii-san," Hinata duduk di samping kakaknya sambil memakai sepatu.

Neji mendecakkan lidahnya, "Sebenarnya apa yang kau lakukan saat liburan, ha?" tanya Neji menatap Hinata heran.

Hinata meraih sandwich lalu berkata, "Tentu saja membaca,'' ia kembali melahap sandwich yang ada di tangannya.

"Uhuk! Uhuk!" Neji tersedak ocha hangatnya. Ia memukul pelan dadanya. Hinata yang melihatnya hanya mengunyah sandwich-nya tanpa berniat membantunya. Hal ini sudah terjadi berulang-ulang bahkan setiap hari jika topik ini dibahas.

Saat sandwich-nya sudah tandas, ia beranjak dari sofa dan menepuk-nepuk roknya untung menghilangkan remah-remah makanan yang terjatuh.

"Ittekimasu!" seru Hinata dan meninggalkan kakaknya sendiri di rumah.

Neji menghela nafas sambil memijat keningnya. Ia memutuskan untuk mengambil koran hari ini dan membacanya. Pengalihan dari rasa lelahnya menghadapi adiknya yang keras kepala.

.

.

.

Marriage Online © Hyuuga Ryota

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : SasuHina

Rate: T+

.

.

.

.

Hinata berlari tergesa-gesa menuju kelasnya. Benar-benar di luar dugaan bahwa ia akan sampai setelat ini. Salahkan saja kakaknya yang mengajaknya mengobrol tentang kegiatannya yang tidak seperti remaja pada umumnya.

Ia melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ia terkejut menyadari bahwa ia sudah terlambat 10 menit, membuatnya semakin mempercepat laju larinya itu.

'Sedikit lagi!' batinnya saat melihat papan gantung yang bertuliskan 11-4. Tangannya terulur sambil berlari. Sesampainya di depan pintu kelas, ia membuka kasar pintu geser yang menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga.

BRAK

Seluruh mata memandang ke arahnya, melihat dalang yang membuat bunyi yang memekakkan telinga dan nyaris merusak fasilitas sekolah. Ia membungkuk memegangi lututnya yang lemas dan bergetar. Nafasnya terengah-engah, badannya ikut bergetar, dan rambutnya berantakan.

"G-gomen … hosh … Sensei," ujarnya lirih masih dalam posisi membungkuk. Ia tidak peduli siapa sensei yang sedang mengajar di kelasnya, ia berharap agar sensei di depannya ini tidak menghukumnya karena hal itu dapat mengurangi waktu belajarnya di sekolah. Dan ia masih setia membungkuk lantaran takut melihat sensei-nya yang akan memberikan hukuman.

Tik

Tok

Tik

Tok

Kelas menjadi hening, hanya bunyi detakan jam yang mengisi ruangan itu. Hinata sudah berkeringat dingin, takut jika senseinya ini marah besar kepadanya dan memberikan hukuman untuk tidak mengikuti pelajaran.

Jujur, Hinata merasa penasaran dengan guru di hadapannya ini. Kenapa guru ini tidak segera bersuara supaya ia tahu siapa guru ini. Perlahan-lahan ia menegakkan tubuhnya. Ia membelalakkan matanya melihat sensei di hadapannya. Ternyata guru favoritnya yang menemukannya dalam keadaan terlambat.

Sebagai siswi teladan hal itu membuatnya malu karena kesalahan itu terlihat oleh guru favoritnya.

"Hyuuga," panggil guru itu yang terdengar sangat jelas di kelas 11-4 yang hening itu.

"Ya?"

"Kau tidak bisa mengikuti pelajaranku."

Singkat, padat, jelas, dan mengena di hati Hinata. Jujur ia sangat menyukai pelajaran yang diajarkan sensei favoritnya ini. Ia menggigit bibirnya, merasa kecewa dengan keputusan yang dibuat senseinya hanya karena ia terlambat 10 menit.

"Tapi Sensei, saya benar-benar harus mengikuti pelajaran anda."

"Atas dasar apa kau harus mengikuti pelajaranku?"

"Sebentar lagi akan diadakan ujian akhir semester dan ini adalah kelas terakhir yang saya ikuti sebelum ujian itu dilaksanakan. Jadi pelajaran Anda benar-benar penting."

"Aku tidak peduli."

Hinata mengepalkan tangannya. "Guru macam apa yang tidak peduli dengan muridnya?!" geram Hinata. Guru itu langsung berbalik dan menatap Hinata tajam.

"Dari awal kau tidak menunjukkan keseriusanmu mengikuti pelajaran ini, Hyuuga."

"Aku—"

"Sejak kapan kau suka membantah, siswi teladan?" Hinata terdiam, ia menggertakkan giginya menahan kesal. Ia dipermalukan oleh gurunya sendiri sebagai seorang siswi teladan. Hatinya panas mendengar ucapan gurunya yang seolah mengejek dan meragukan kemampuannya.

"Tidak ada jawaban, huh. Kau dihukum membersihkan gudang sekolah."

"Ta—"

"Aku sudah memberikan keringanan dengan hukumanmu, mengingat kau adalah siswi teladan," sela sensei itu sambil menyeringai sadis dan Hinata melihat seringai itu dengan sangat jelas. Ia meremas roknya sendiri menahan kesal dan mengamati teman-teman kelasnya yang seolah bahagia melihat keadaannya.

'Sialan! Guru sialan!' umpat Hinata dalam hati.

Sensei itu menatapnya angkuh dan ia menyadari bahwa ia harus segera pergi dari kelas ini dan melaksanakan tugasnya. Hinata membungkuk sekilas seraya berkata, "Ha'i, Taka-sensei."

"Dan satu lagi, kau tidak boleh dibantu oleh siapapun."

Hinata mengangguk pelan. Setelah itu, ia menutup pintu dan berjalan menjauhi kelasnya. Dan ia baru sadar bahwa sensei-nya selalu menghargai setiap waktu yang terlewat dan mengisinya dengan sesuatu hal yang berguna.

Ia menggeram dan menggertakkan giginya kesal. Kekagumannya pada gurunya musnah sudah. Bukan karena hukuman yang diberikannya tapi kepada perkataan yang merendahkannya. Image-nya sebagai ketua kelas yang rajin dan taat hancur. Dan ia dapat memastikan bahwa ia tidak akan ditakuti lagi dan menjadi bulan-bulanan para siswa.

Ia mengepalkan tangannya dan menghentak-hentakkan langkahnya kesal. Kali ini, ia benar-benar akan mengutuk guru itu.

.

.

.

.

Hinata membanting buku-buku itu ke lantai. Dan langsung terkena imbasnya, yaitu debu-debu lantai mulai beterbangan dan mengenainya. Ia menghela nafas kasar, benar-benar kesal melihat tumpukan buku, koran, dan barang-barang tidak berguna di gudang.

Ini pertama kalinya ia memasuki gudang sekolah. Ia kira gudang sekolah bergengsi ini tidak terlalu banyak isinya. Ternyata perkiraannya salah, banyak benda aneh yang berada di gudang ini.

Ia menghela nafas sambil mengamati gudang yang memiliki luas 4m x 4m itu. Saking berantakannya, ia sampai bingung darimana ia harus memulai. Beruntung ia masih membuka pintu gudang, setidaknya ada yang menerangi gudang yang gelap itu.

Hinata melepaskan blazer yang melekat pada tubuhnya, lalu menyampirkannya di gagang pintu, membuka manset yang berada di kedua lengan kemejanya dan menggulungnya sampai siku, berlanjut memakai masker yang ia minta dari ruang kesiswaan. Dan terakhir, ia mengikat rambutnya dengan karet rambut yang selalu setia bertengger di pergelangan tangannya.

Setelah itu, ia memutuskan mengambil koran-koran bekas dan dikumpulkan terlebih dahulu, diikat dengan tali rafia yang ia ambil di ruang kesiswaan. Setelah mengikatnya, ia memindahkannya ke pojok ruangan. Begitu seterusnya hingga koran-koran di sana sudah diikat semua.

Setelah itu ia mengumpulkan kardus dan memasukkan buku-buku dan majalah ke dalamnya. Ia bahkan sempat terkejut saat menemukan novel dan majalah porno di gudang itu. Ia jadi berpikir bahwa gudang adalah tempat terbaik untuk membaca sesuatu yang berbau 'terlarang'. Setelah kardus itu terisi penuh, ia mendorongnya menuju pojok ruangan.

Hinata bahkan harus menahan tangis dan teriakannya saat melihat serangga seperti laba-laba atau sejenisnya yang menempel pada kardus. Dan beruntung ia dapat melewati tantangan membersihkan kardus-kardus itu. Ia menghela nafas dan memperhatikan sekeliling gudang. Ia merasa lega sudah membersihkan tiga perempat dari ruangan itu.

Ia mengambil sapu yang bersandar di pintu gudang dan mulai menyapu ruangan itu. Debu-debu yang menempel di lantai dan sampah-sampah kecil mulai bersatu dan membuat gumpalan-gumpalan. Gumpalan-gumpalan itu digiring menuju pintu gudang.

Pluk

Sebuah benda terjatuh tepat di depan pintu gudang. Hinata mengernyit bingung mendapati benda itu. Ia mengambilnya, ternyata hanya koran. Ia menatap tumpukkan koran yang berada di pojok ruangan dan koran yang ia pegang bergantian. Hinata melihat warna kertas koran itu yang tampak baru dan melihat tanggal yang berada di pojok kanan atas koran itu.

Dan ternyata koran itu adalah koran hari ini. Awalnya, ia berniat membuangnya sampai seruan dari seseorang menghentikan niatnya.

"Jangan dibuang!" seru orang itu berlari menuju Hinata. Hinata berbalik dan mendapati orang itu berjarak satu meter darinya. Hinata memperhatikan pemuda itu yang sibuk mengatur nafasnya. Ia juga memperhatikan seragam baseball yang sedang dikenakannya.

Hinata mengulurkan tangannya, "Ini koranmu?" tanyanya memastikan. Pemuda itu menatap Hinata dan mengangguk. Setelah nafasnya mulai teratur, pemuda itu mengambil koran di tangan Hinata.

"Terimakasih," ujarnya singkat dan Hinata hanya mengangguk dan kembali melakukan aktifitasnya. Hinata kembali mengumpulkan debu-debu dan menggiringnya menuju pengki menggunakan sapu.

Setelah itu, ia membuangnya di tempat sampah yang berada tak jauh dari gudang. Saat ia hendak masuk kembali menuju gudang suara pemuda itu kembali terdengar.

"Berapa umurmu?"

Hinata memicingkan matanya, "Apa urusanmu? Itu privasi bodoh."

Mendengar ucapan Hinata, pemuda itu tertawa. Awalnya tertawa kecil dan berakhir dengan tawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata. Hinata menatap pemuda itu prihatin karena melihat air mata yang keluar dari pemuda itu.

"Privasi? Pfttt … huahahahaha," dan pemuda itu kembali tertawa. Hinata merasa jengkel saat menyadari bahwa pemuda itu menertawakannya.

"Kau berlebihan," komentar Hinata, lalu berjalan memasuki gudang.

Saat menyadari lawan bicaranya pergi, pemuda itu perlahan menghentikan tawanya dan mendekati gudang yang terbuka. Ia terkejut mendapati blazer yang tergantung di gagang pintu dan lawan bicaranya yang tengah sibuk mengeluarkan barang bekas itu keluar gudang. Pemuda itu memberi jalan pada gadis itu untuk lewat.

"Apa yang kau lakukan di sini, huh?"

Hinata hanya diam dan melanjutkan aktifitasnya. Merasa diacuhkan, pemuda itu bertanya kembali.

"Hei, kau mengacuhkanku?" tanyanya sambil menghalangi Hinata yang akan keluar gudang.

"Bersih-bersih, jangan menghalangiku," dan dengan sigap pemuda itu memberi jalan kepada Hinata. Ia memasuki gudang dan melihat tumpukan koran dan kardus yang mulai berkurang. Hinata kembali memasuki gudang dan mengambil tumpukan koran, pemuda itu berjalan menuju Hinata dan berniat mengambil salah satu tumpukan koran.

Plak

"Apa yang kau lakukan?!" geram pemuda itu memegangi tangannya yang ditepis keras oleh Hinata. "Kau tidak ingin seseorang membantumu?"

"Iya, aku tidak mau Taka-sensei memarahiku lagi."

Pemuda itu mengangguk-angguk mengerti. Ya, semua tahu tentang seluk-beluk guru Matematika itu dalam memberi hukuman. Entah bagaimana hukuman yang ia berikan kepada muridnya, ia pasti langsung mengetahui jika ada seseorang yang membantu muridnya untuk meringankan hukumannya.

Pemuda misterius itu memutuskan duduk berjongkok di samping tumpukan koran yang sudah dikeluarkan. Ia membuka koran hari ini di tangannya. Ia sesekali terkikik kecil.

"Kau tahu, umur itu bukan privasi," ujar pemuda itu, tidak peduli Hinata mendengarkan atau tidak.

"Oh ya?" tanpa diduga, Hinata malah merespon ucapannya.

Pemuda itu mendecakkan lidah, menatap Hinata yang mengangkat kardus berukuran mini. "Kau tidak pernah membaca koran ya?"

"Untuk apa?" dan pemuda itu tersedak mendengarnya.

"Kau ini, sebenarnya apa yang kau baca sih?" tanyanya heran, ia menyeringai saat sesuatu terlintas di benaknya, "Aa~, majalah por—"

"Buku pelajaran," sela Hinata. Pemuda itu sweatdrop mendengarnya.

"Kau mengerikan," komentarnya yang justru di respon Hinata dengan tertawa kecil.

Hinata melepaskan maskernya dan menaruhnya di saku rok. "Kau orang ke-199 yang menatakan hal itu."

Pemuda itu menaikkan sudut bibirnya ke atas. "Merasa terhormat menjadi ke-199."

Hinata tertawa ringan mendengarnya, "Kau lucu. Tidak ada yang merasa terhormat mengatakan hal itu."

Pemuda itu hanya bergumam dan membaca korannya lagi. "Sepertinya kau harus membaca koran kali ini," ujarnya dengan nada serius.

"Untuk apa?" tanya Hinata heran sambil mengeluarkan kardus terakhir. Pemuda itu berdiri dan menepuk pantatnya untuk menghilangkan debu di celana baseball-nya. Ia menyerahkan koran yang ia rapikan kembali kepada Hinata.

"Ambillah, kau akan tahu."

Hinata hanya menatap pemuda itu tetapi tangannya terulur, menerima koran itu.

Pemuda itu menyeringai. "Aku tak sabar untuk melakukan MO denganmu," setelah mengatakan hal itu, pemuda itu meninggalkan Hinata yang terbengong sendirian.

Hinata menatap ke koran yang berada di genggamannya, "MO?"

.

.

.

.

"Ne, kau berharap MO dengan siapa? Umurmu sebentar lagi 17 tahun, Sakura," tanya seseorang berambut pirang yang berada di samping gadis berambut merah muda. Gadis berambut merah muda yang bernama Sakura itu hanya merona mendengarnya.

"Aku … entahlah. Mungkin dengan Sasuke-kun," ujarnya mantap. Gadis berambut pirang itu tertawa mendengarnya.

"Ha? Uchiha Sasuke? Dia kan CEO. Mana mungkin kau bersamanya. Kenal saja tidak. Hahaha," ujar Ino, gadis berambut pirang tertawa meledek yang mendapatkan cubitan di lengannya oleh Sakura. "Aw! Sakit, Sakura," ujarnya sambil meringis kesakitan.

Sakura menggembungkan pipinya, "Belum tentu, bukankah pasangan MO dipilih acak oleh pemerintah? Bisa saja Sasuke-kun akan bersamaku~"

Ino mendecakkan lidahnya dan menjitak dahi temannya, "Kau terlalu banyak bermimpi. Hei, bangunlah!" serunya yang mendapatkan tatapan tajam dari Sakura.

"Toh, 28 Maret masih lama," ujar Sakura sambil meraih buku yang tergeletak di atas meja.

Ino menyeringai, "Ooo~ mencari pengalih perhatian~" goda Ino, membuat Sakura berseru membahana.

"Ino! Berhentilah menggodaku! Memangnya kau bakal berjodoh dengan Sai apa?!"

Dengan wajah memerah, Ino menggebrak meja, "Hei! Berhentilah menyangkutpautkan dengan Sai-senpai!" seru Ino menahan malu karena aibnya terbongkar. Sakura menatap Ino sinis.

"Benarkah? Tunggu sampai Sai-senpai tahu bahwa—"

"Sakura!" jerit Ino frustrasi.

Tak!

Bunyi penggaris kayu yang dibanting di atas meja kayu terdengar menyakitkan. Seluruh siswa-siswi yang tadinya berisik mendadak diam. Semua memperhatikan dalang yang membuat suara tidak mengenakkan ini.

"Diamlah, bocah!" seru wanita berambut pirang. Semuanya menunduk menyadari siapa yang berbicara.

"Ini perpustakaan bodoh! Apa kalian tidak melihat peraturan yang terpajang di dinding ini, ha?!" seru wanita itu memperhatikan satu-satu siswa-siswi itu. Sampai iris sewarna madu itu terhenti menatap Sakura dan Ino yang menunduk.

"Kau! Yang berambut pirang dan merah muda! Keluar dari perpustakaan!" perintahnya yang membuat Sakura dan Ino tersentak.

"T-tapi … " cicit Ino.

"Keluar!" perintah wanita itu mutlak.

"Bagaimana tugas dengan Ibiki-sensei?" tanya Sakura mencoba meminta keringanan pada petugas perpustakaan tergalak di sekolah bergengsi itu.

"Memangnya aku peduli, ha? Kalian saja tidak peduli dengan aku yang pusing mendengar debat kalian," kata Tsunade menunjuk Ino dan Sakura bergantian, "dan kalian memintaku untuk peduli?!" Tsunade, nama wanita itu menatap sinis kepada Ino dan Sakura yang menundukkan kepalanya lagi.

"Gomenasai, Tsunade-san. Kami berjanji tidak akan—"

"Keluar!" teriak Tsunade menyela ucapan Sakura.

Grep

"Gomenasai, Tsunade-san. Saya tidak ada untuk menertibkan mereka," ujar seseorang memegang tangan Tsunade dan menurunkannya.

"Apa yang kau—Hyuuga-san?" nada bicara Tsunade berubah menjadi heran.

Hinata mengangguk, "Hari ini, kelas kami mendapatkan tugas dari Ibiki-sensei. Dan kami tidak ingin gagal dalam melaksanakan tugas ini. Tugas ini sangat berarti bagi kami karena tugas ini pengganti ulangan harian hari ini."

Tsunade mendecih, "Aku tidak peduli."

Hinata membungkuk, "Gomenasai. Saya minta maaf atas nama kelas 11-4. Mohon maafkan kami."

Tsunade menatap Hinata ragu lalu menatap siswa-siswi yang ikut membungkuk karena mengikuti intruksi dari ketua kelasnya. Bahkan Sakura dan Ino pun ikut membungkuk. Tsunade menghela nafas. Jujur, perlakuan Hinata membuatnya tidak tega untuk mengacuhkannya. Ditambah lagi, Hinata adalah anak emasnya.

"Apa saya harus bersujud di depan anda? Supaya anda dapat memaafkan kami," tanya Hinata.

Tsunade tersentak, ia menelan ludah. 'Hoi, hoi. Ini hanya permasalahan biasa kenapa bocah ini pakai acara mau sujud segala?' batin Tsunade kaget. Tsunade memijat pelipisnya dan menghela nafas.

"Baiklah. Tapi, aku tidak ingin kesalahan serupa terjadi lagi."

Hinata menegakkan tubuhnya, helaan nafas lega mengisi perpustakaan itu. "Arigatou gozaimasu, Tsunade-san."

Ino menyenggol Sakura dan memberikan kode menunjuk Hinata lewat tatapannya. "Hei, kita diselamatkan oleh ketua lagi," bisik Ino.

Sakura hanya menatap Hinata yang asyik mengobrol dengan Tsunade. "Iya," gumamnya.

.

.

.

.

"Ne, Kaichou, terimakasih telah menolongku," kata Ino merangkul pundak Hinata saat menuju kelas.

Hinata melepaskan rangkulan Ino, "Aku hanya menjalankan tugasku."

Ino terkikik, "Kaku seperti biasanya, huh?"

Hinata mengabaikan Ino dan berjalan tegap. Tatapannya tertuju pada satu titik.

Merasa tidak mau suasana menjadi canggung, Ino melirik ke arah Sakura untuk membantunya, dan Sakura memalingkan muka seolah tidak mau membantu Ino memecah keheningan. Tanpa diduga, Hinata yang memecah keheningan.

"Apa tujuan kalian? Aku tahu kalian tidak suka berbasa-basi dengan kaichou yang kolot ini," ujar Hinata setengah menyindir.

"Kau menyindir kami?" tanya Sakura kesal, Ino tersentak karena mendengar ucapan Sakura setelah bermenit-menit yang lalu tidak bersuara.

Hinata melirik Sakura yang sekarang berada di samping kanannya menggantikan Ino, "Kau merasa tersindir?"

Sakura menggertakkan giginya. "Dasar suram!" seru Sakura kesal. Hinata hanya tersenyum miring. Ino yang mulai merasakan situasi mulai memanas segera mendinginkan suara dengan cara membekap mulut Sakura.

"Gomen, temanku ini berbicara yang aneh," ujar Ino tersenyum maklum.

Hinata menatap datar Ino, "Aku sudah biasa. Kalian memang seperti itu kan."

Dahi Ino berkedut pelan walau ia sedang tersenyum. Perkataan ketua kelasnya memang menyebalkan. "Ehem, Kaichou sebentar lagi tanggal 27 Desember. Apa kau sudah menyiapkan segala sesuatunya?"

"Sesuatu apa?" tanya Hinata mengernyitkan dahi.

"Tentu saja MO yang diadakan oleh pemerintah."

Hinata menatap Ino heran, "MO? Apa itu sebuah buku?"

"Marriage Online, baka!" seru Sakura melepaskan bekapan dari Ino.

Ino melanjutkan, "Ya, itu adalah sebuah progam pemerintah untuk mengadakan pernika—"

"Aku tidak peduli," sela Hinata.

"Ma-maaf?" tanya Ino memastikan pendengarannya tidak salah.

"Aku tidak tertarik dengan sesuatu yang tidak berkaitan dengan pelajaran untuk ulangan."

"Tapi itu menentukan masa depanmu!" seru Sakura tidak terima pada sikap tak acuh Hinata.

Hinata mengendikkan bahu, "Yang menentukan masa depanku hanyalah aku dan Tuhan."

"Kau!" geram Sakura memajukan tubuhnya yang langsung dihalangi oleh tangan Ino yang direntangkan. Posisi mereka bertiga kini adalah Hinata berhadapan dengan Ino dan Sakura.

"Oh ya, lagipula tanggal 27 masih 2 bulan lagi. Dan aku tidak mempedulikan progam yang dibuat oleh pemerintah. Yang aku pedulikan adalah Ujian Akhir Semester 1 yang akan diadakan sebentar lagi."

"Kaichou—"

"Gomen, aku harus segera pulang sekolah, jaa," ujar Hinata setelah membungkuk sekilas dan meninggalkan Sakura dan Ino yang terbengong-bengong.

"Aku baru menyadari bahwa kita mempunyai seorang kaichou yang maniak belajar," gumam Ino memandangi punggung Hinata yang berlari kecil.

"Aku juga berpikir yang sama," gumam Sakura mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

.

.

.

.

2 Bulan Kemudian

"Ugh," erang Hinata pelan sambil mengucek-ucek matanya, ia bangkit dari tidurnya dan menarik selimut untuk menghangatkan dirinya. Ia mendekati jendela yang dekat dengan kasurnya. Ia menghembuskan nafasnya dan uap terbentuk di jendela kaca itu.

Hinata mengeluarkan tangannya dari balik selimut dan mengelap jendela kaca itu. Sekarang ia dapat melihat dengan jelas halaman flat yang ditempatinya tertimbun oleh salju. Ia menghela nafas dan mengeluarkan uap putih.

Hinata beranjak dari kasur dan melepaskan selimutnya lalu berjalan menuju lemari pakaian dan mengambil sweater putih tebal dan segera mengenakannya. Dengan langkah gontai ia berjalan mendekati pintu kamarnya.

Setelah membuka pintu kamarnya, ia berjalan menuju ruang makan yang hanya berjarak 4 meter dari kamarnya. Kamarnya berada di lantai satu untuk memudahkan dirinya saat bangun terlambat.

"Nii-san," panggil Hinata. "Apa masih di kamarnya ya?" gumamnya. Hinata segera berjalan menuju tangga dan menaikinya menuju lantai dua. Ia berjalan menuju pintu yang terdapat tulisan 'NEJI'.

Hinata mengetuk pintu kamar kakak laki-lakinya itu. "Nii-san, apa kau ada di dalam?" tidak mendengar jawaban Hinata membuka pintu kakaknya yang ternyata tidak terkunci.

"Nii-san …" panggil Hinata dan tidak mendapati sosok yang dicarinya. Hinata menghela nafas dan segera keluar dari kamar kakaknya dan turun dari lantai dua. Ia melangkahkan kakinya menuju dapur yang satu ruangan dengan ruang makan. Ia membuka kulkas dan hanya menemukan 1 telur. Hinata membuka lemari gantung dan menemukan selusin cup ramen instant.

"Ramen sebanyak ini buat apa?" gumam Hinata dan mengambil dua cup ramen. Ia sangat lapar pagi ini.

Hinata langsung memasak ramen itu sesuai petunjuk yang berada di bungkusnya. Hanya perlu beberapa menit ramen itu matang dalam waktu singkat. Memang waktu yang pas menikmati ramen saat musim dingin. Ramen yang hangat cocok untuk menetralisir hawa dingin. Ia tahu bahwa sarapan dengan makanan instant itu tidak baik, hanya saja perutnya yang tidak bisa diajak berkompromi mengalahkan prinsip sarapan empat sehat lima sempurna yang sudah ia lakukan bertahun-tahun dan kalah hanya karena hawa dingin dan lapar.

Sambil menikmati sarapan, irisnya bergerak ke seberang meja makan yang terdapat sebuah koran. Hinata menyesal tidak membawa buku pelajaran untuk menemani kegiatan sarapannya. Dengan perasaan ragu-ragu ia mengambil koran itu dan mulai membacanya. Awalnya ia bingung dari arah mana ia harus membacanya, beruntung instingnya menunjukkan ke jalan yang benar.

Huruf yang memiliki font besar menarik perhatiannya. Ia mendecakkan lidah melihatnya. Font sebesar ini tidak ada di buku yang ia baca dan font sebesar ini tidak patut dijadikan sebuah judul laporan prakteknya.

"Marriage Online mendapat respon positif?" gumam Hinata.

Seperti yang kita ketahui petisi pemerintah dua bulan yang lalu yaitu diadakannya MO atau Marriage Online yang merupakan progam pemerintah untuk menyatukan dua insan dalam bentuk dunia maya. Hal ini terpaksa pemerintah lakukan karena tingkat kematian di Jepang semakin tinggi. Hal ini terjadi lantaran banyak para generasi muda memutuskan bunuh diri saat diputuskan oleh pacarnya. Dan ini membuat populasi generasi penerus bangsa berkurang secara drastis. Dan dengan cara inilah pemerintah membuat progam ini.

Respon positif didapatkan dari masyarakat dan generasi muda yang melakukan progam ini. Menurut pendapat mereka, dengan adanya program ini dapat mengurangi tingkat perselingkuhan karena sudah terjalin ikatan resmi yang dibuat oleh pemerintah. Hal ini juga berdampak kepada mereka yang tidak memiliki jodoh dapat merasakan indahnya memiliki pasangan yang membuat semangat dalam bekerja. Dan setelah sukses berjalan selama 2 bulan, program ini dapat berjalan dengan baik dan mengurangi tingkat kematian masyarakat usia remaja.

Namun, selain mendapat respon positif, program ini juga dicela oleh para pelaksananya. Mereka mengeluh mendapatkan jodoh yang tidak diinginkannya dan beruntung pemerintah dapat mengatasi hal ini dengan baik.

Dan kegiatan ini wajib dilaksanakan bagi para pemuda pemudi yang berusia—

"Hinata," panggil seseorang yang membuat Hinata mengalihkan perhatiannya.

"Nii-san!" seru Hinata sambil beranjak dari kursinya dan menghampiri Neji.

"Hinata, KTP mu bisa diambil besok," ujar Neji sambil melepaskan jaketnya.

Hinata hanya mengangguk, irisnya bergulir mendapati tangan Neji yang membawa sebuah bingkisan kubus besar. "Apa itu, Nii-san?"

Neji tersenyum, "Bukan apa-apa. Kau tidak belajar?" tanya Neji mengalihkan topik pembicaraan.

Hinata menggeleng, "Aku sedang tidak mood."

"Tumben," komentar Neji sambil meletakkan bingkisan ke meja makan.

"Aku juga tidak tahu. Mungkin cuacanya yang tidak mendukung," kata Hinata sambil membereskan ramennya yang sudah tandas.

Neji menoleh, memandang Hinata dengan tatapan menilai. "Kau belum mandi ya? Cepatlah mandi!" perintah Neji.

Hinata menggembungkan pipinya mendengar perintah Neji. Ia segera meninggalkan Neji menuju kamar mandi. Jujur, ia paling tidak suka disuruh-suruh apalagi disuruh mandi saat musim dingin.

Neji hanya tersenyum tipis melihat reaksi sepupunya. Irisnya kembali terarah pada bingkisan yang masih dibungkus oleh tas plastik. "Saatnya membuat kejutan."

.

.

.

Setelah Hinata mandi dan berganti baju, Hinata memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Ia mungkin akan membaca novel yang disarankan oleh kakaknya. Saat Hinata membuka pintu kamarnya, ia dikejutkan oleh bunyi nyaring khas perayaan.

"Otanjoubi omedetou!" seru Neji berdiri di depannya dengan kue ulang tahun dan lilin kecil yang membentuk angka 17 di atasnya.

Hinata terkejut melihat kue cokelat itu. Ia menutupi mulutnya yang terbuka sedikit.

"A-aa, gomen, perayaannya seperti ini. Mungkin tahun depan kita dapat merayakannya lebih meriah," kata Neji menghibur Hinata.

"Arigatou, Nii-san," cicit Hinata. Neji tersenyum mendengarnya. "A-aku berharap ada Hanabi di sini bersama dengan kita."

Mendadak senyum Neji menghilang dan wajahnya berubah muram, "Kau tahu kan bahwa Hanabi—"

"Ya, aku tahu. Gomen ne mengatakan tentang Hanabi lagi," kata Hinata sambil menyeka air mata yang nyaris mengalir di sudut matanya.

Neji menatap lilin yang masih menyala kemudian menatap Hinata, "Hinata, buatlah sebuah permintaan," Neji mendekatkan kue itu ke Hinata.

Hinata tersenyum tipis, ia menangkupkan kedua tangannya dan memejamkan matanya. Lalu membuka kelopak matanya dan meniup lilin itu.

Hari itu, Hinata merasa bahagia walaupun hanya dirayakan oleh satu orang ia merasa bahagia. Baginya hal ini sudah cukup, ia hanya berharap keberadaan saudara perempuannya ikut berada di sampingnya dan meniup lilin ulang tahun dan berkata "Otanjoubi Omedetou, Nee-chan!"

.

.

.

.

Konoha, 28 Desember 20XX

07.00

Tok tok tok

"Ya, sebentar," ujar Neji setengah mengantuk dan beranjak dari sofa ruang tamu lalu berjalan menuju pintu. Dan tampaklah dua sosok berpakaian resmi dengan kacamata layaknya pengawal.

"Permisi, apa ini adalah kediaman Hyuuga Hinata?" tanya salah satu dari orang tersebut.

"Ya. Saya kakak sepupu Hinata, ada urusan apa?" tanya Neji memejamkan matanya sambil bersender pada pintu.

"Apa anda walinya yang kemarin datang mengunjungi kantor arsip Konoha?"

Neji mengangguk.

"Kebetulan sekali. Apa saya bisa berbicara dengan adik anda?"

"Hinata!" seru Neji lantang. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi barang-barang jatuh dan berakhir dengan bunyi alarm. Setelah itu pintu kamar Hinata terbuka menampakkan seorang gadis dengan piyama tebal bermotif kelinci dan jaket berwarna peach.

"Ada apa?" tanya Hinata menghampiri kakaknya. Tampak jelas di pipinya ada bercak berwarna merah yang bercorak lipatan sarung bantal.

"Ada yang mencarimu."

Hinata mengucek kedua matanya, ia memandang heran kedua sosok di depannya. "Agen, huh?"

"Apa benar anda yang bernama Hyuuga Hinata?"

Hinata mengangguk, "Ya, itu aku."

"Kami datang dari kantor arsip Konoha atas kiriman yang dikirimkan oleh kakak sepupumu pada situs resmi kami."

"Lalu?"

"Menurut kebijakan pemerintah yang berlaku, anda secara resmi telah mengikuti program MO."

"MO? Marriage Online?" tanya Hinata memastikan. Sosok itu mengangguk.

"Ya, dan kami di sini memberitahukan anda mengenai identitas suami anda," ujar sosok itu sambil membuka map yang dibantu temannya dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi identitas.

"Berdasarkan kebijakan pemerintah yang berlaku. Suami anda adalah—Uchiha Sasuke."

Bersamaan dengan itu Neji membuka kelopak matanya dan melotot ke arah kedua ajudan Konoha itu.

"APA?! UCHIHA?!" seru Neji terkejut. Rasa kantuknya hilang sudah. Sosok itu mengangguk.

"Uchiha Sasuke ... " gumam Hinata.

Neji melotot ke arah Hinata. "Apa kau mengenalnya?!"

Hinata menatap Neji dan ajudan Konoha secara bergantian. "Apa itu sejenis buku?"

TBC

.

.

A/N: Sudah berkoar-koar akan hiatus malah membuat fic anyar. Cerita ini terinspirasi oleh ucapan guruku tentang kemajuan teknologi dan berakhir dengan pernikahan online. Dan saya yang setengah mengantuk saat itu langsung mendapatkan ide membuat fic tentang pernikahan online.

Fic ini juga terinspirasi oleh sebuah komik yang saya lupa judulnya lalu saya kembangkan jadilah seperti ini. Terimakasih telah membaca dan sampai jumpa~