A cute boy or evil men?

Disclaimer: Masashi Kishimoto

By: Cynon Nigella

Typo(s), OOC, amatiran, eyd ancur

Seorang gadis dengan baju kaus longgar tengah serius menatap benda elektronik yang dapat dilipat yang biasa disebut laptop. Cahaya yang keluar dari layar memantul pada bola mata tanpa irisnya. Sesekali ia menggigit kuku jarinya saat jeritan seseorang yang berada dalam layar. Tangannya yang bebas menggapai toples dengan mata yang tak lepas dari layar laptopnya. Serpihan kue cokelat berceceran dari kasur hingga karpet bulu yang menjadi alas lantai kayu kamar gadis itu.

Seorang gadis dengan rambut panjang menutupi wajahnya keluar dari lift yang gelap. Sang pemeran utama terlihat terpojok dan...

"Kyaaa!"

Hinata melompat. Headset yang sebelumnya bertengger pada telinganya seketika lepas. Toples yang berada di atas kasur ikut berguling dan kue cokelat itu berhamburan, mengotori karpet. Nafasnya memburu.

"Nee-chan kenapa sih!"

Bola mata amethysnya masih melotot. Hinata menghela nafas lega kala menemukan sang adik tengah menatapnya garang di ambang pintu.

Rupanya hanya Hanabi.

Jantungnya masih berdetak cepat. Tentu reaks yang wajar, Hinata tengah menonton adegan menegangkan dan kehadiran Hanabi yang tidak dirasakan Hinata sungguh tidak tepat.

Mata pucat sang adik meneliti setiap sudut ruangan bercat ungu muda kesukaan sang pemilik kamar. Beberapa helai pakaian menumpuk di atas meja belajar, buku yang tak tertata rapi dan kondisi mengenaskan karpet yang kini bertaburan remahan kue cokelat. Mata memincing, raut ketidaksukaan terlihat di wajahnya.

"Jorok"

Hinata meringis. Sudah dua hari ia tidak merapikan kamar. Tak ada alasan khusus, ia hanya malas.

"Sudah tau penakut, masih berani nonton film horor" cibir Hanabi seraya melirik layar laptop Hinata dengan film yang masih berjalan.

Hinata mengerucutkan bibirnya. Ia memang takut hantu, tapi ia penasaran. Sejak kemarin, film ini terus diperbincangkan Ino dan Sakura. Ia kan juga ingin bergabung dalam topik itu. Maka dari itu ia memberanikan diri untuk menonton, walau rasanya ia ingin menangis saking takutnya.

"Nee-chan disuruh ke minimarket" ujar Hanabi seraya pergi dengan bibir yang menggerutu mengenai betapa kotornya kamar Hinata.

.

.

.

Hinata menatap daftar belanjanya. Hawa dingin membelai wajahnya saat ia berjalan menyusuri deretan sayuran segar di dalam lemari pendingin.

"Daging sudah, kecap... daun seledri..."

Bibirnya melengkung ke atas. Keranjangnya sudah penuh dan terasa berat. Semua sudah ia masukkan ke dalam keranjang. Termasuk cokelat batangan, kue kering dan susu yang tak masuk daftar belanja.

Tangannya menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum pendek mengarah pada angka delapan. Ia meringis. Ini tidak terasa menakutkan jika ia tak menonton film horor. Bahkan ia biasanya tak takut walau keluar jam sembilan malam tanpa ditemani. Jarak antara minimarket dan rumahnya tak jauh. Ia tak harus melewati gang kecil gelap nan sepi atau melewati markas geng motor.

"Duk!"

"Brak!"

Dahi sang anak sulung Hyuuga menyerit. Matanya menatap ke sekeliling. Tak ada pelanggan lain selain dirinya.

"Grasak!"

Hinata berjengkit. Piliran negatif berseliweran di kepalanya. Wajahnya pucat pasi, tangannya bergetar.

"Ha-halo?" Ucap Hinata lirih.

"Duk!"

Hinata nyaris berteriak kala merasakan celananya tertarik. Namun niat itu ia urungkan kala matanya bergulir ke bawah. Matanya membeliak, bibirnya sedikit terbuka.

Seorang balita lelaki tengah menarik celana tidurnya dengan kepala mendongak ke atas.

Beberapa detik ia menatap balita itu. Kemudian Hinata menahan bibirnya untuk tidak tertawa. Ia geli sendiri bila mengingat betapa takutnya ia beberapa detik yang lalu. Ia berlebihan.

Hinata berjongkok. Menyamakan tingginya dengan balita yang hanya selututnya.

"Adik kecil, apa kau tersesat?" Ujarnya lembut seraya tersenyum.

Balita itu sungguh menggemaskan. Kulitnya putih bersih, bibirnya mungil, bola mata hitamnya menatap Hinata dengan intensitas kedipan yang cepat.

Hinata menutup bibirnya. Gemas.

"Di mana ibumu?"

Balita itu tak menunjukkan pergerakan yang berarti.

Hinata kembali berdiri. Ia menoleh ke kanan ke kiri, namun ia tak menemukan siapapun selain sang penjaga kasir. Ia melangkah, mendekati deretan barang lain. Mungkin saja sang ibu tengah asik memilih barang sehingga ia melupakan sang anak. Ia menelusuri semua tempat hingga ia berada di tempat ia bertemu dengan balita manis itu.

Dahinya menyerit. Ia tak menemukan balita itu lagi. Minimarket ini cukup luas. Tak mungkin balita dapat berjalan secepat itu. Hinata meneguk ludahnya, tenggorokannya terasa kering. Ini menakutkan. Untuk pertama dan terakhir, ia bersumpah untuk tidak menonton film horor lagi. Semua terasa mengerikan di matanya. Dengan tergesa, ia menuju kasir untuk membayar semua belanjaannya.

.

.

.

Hinata menopang dagunya. Kepalanya terkantuk-kantuk. Sesekali ia menguap.

"Kau... kenapa?"

Sudut matanya menangkap helaian rambut berwarna bubble gum yang tengah berjalan mendekati mejanya.

Hembusan angin yang berasal dari jendela yang sengaja ia buka, berhasil menerbangkan helain rambut indigonya.

Rasa kantuk kembali mendera. Ibarat lampu yang sudah menghitam dan berkedip-kedip yang tak perlu waktu lama untuk segera mati. Begitulah keadaan Hinata saat ini.

"Hey, kau kacau sekali!"

Dan saat kepalanya sukses membentur meja. Ia sudah tak sadarkan diri, membiarkan dirinya masuk ke dalam alam mimpi. Menghiraukan Sakura yang tengah mengguncang tubuhnya.

.

.

.

Hinata berjalan dengan setengah mata tertutup. Ia tengah membayangkan kasur dan selimut pandanya.

"Kau seperti zombie" ujar Ino seraya menatap ngeri Hinata.

"Awas!" Teriak Sakura seraya menarik Hinata untuk merapat dengannya.

Nyaris saja Hinata memeluk mesra tiang listrik.

Sakura mendengus. Ia merangkul Hinata yang matanya sudah tertutup, jarinya menarik pipi Hinata kuat-kuat hingga mata amethysnya terbuka sedikit.

"Aku tak mau menggendongmu!" Dengus Sakura seraya kembali menarik pipi Hinata kala gadis itu mencoba menutup matanya kembali.

"Kau kenapa sih?" Tanya Ino heran saat melihat kelakuan Hinata hari ini.

Hinata hari ini nyaris jatuh tiga kali dan sudah terjatuh lima kali.

Kepala Hinata menggangguk-angguk. Tangannya terangkat dan bergerak tak menentu. Ia mirip orang mabuk sekarang.

Sakura tertawa. Hinata yang seperti ini terasa lucu. Tak terorganisir seperti Hinata biasanya.

Saat rumah dengan nama Hyuuga terlihat, Ino berjalan lebih cepat. Ia membuka gerbang kecil itu seraya menekan bel.

"Nee-chan?"

Seorang Hyuuga lain keluar dengan buku tebal yang berada di dalam dekapannya.

Ino meringis kemudian melirik Hinata yang setengah tertidur tengah dipapah oleh Sakura.

"Nee-chan!"

Hanabi berlari mendekati Hinata kemudian mengguncang tubuh sang kakak.

.

.

.

Langit menggelap. Tak ada bintang atau bulan. Hanya ada langit polos. Tak ada yang spesial dari malam ini. Waktu terus berputar, hari ini sama dengan hari kemarin. Berangkat pagi kemudian pulang malam lalu tidur untuk menyambut hari esok.

Dentingan jarum terdengar. Jarum pendek mengarah pada angka tujuh.

Deritan dari kasur terdengar. Gadis dengan baju seragam yang melekat pada tubuhnya terlihat menggeliat.

Matanya terbuka. Memperlihatkan bola mata amethys kebanggaan Hyuuga. Perlahan, ia duduk dan menyandar pada kepala kasur. Ia menguap kecil.

Rasa kantuknya sudah hilang. Kepala tak terasa berat lagi. Hinata meringis saat mengingat kekacauan yang ia buat. Mulai dari merepotkan kedua sahabatnya dan tidur disepanjang pelajaran. Perutnya bergemuruh. Ia baru ingat hanya memasukkan selembar roti ke dalam perutnya.

Hinata bergegas bangun. Ia mendesah saat melihat betapa berantakan kamarnya. Ia mengambil secara acak baju tidur dan masuk ke dalam kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarnya. Setelah ini ia harus merapikan kekacauan ini.

.

.

.

Hinata membuka lemari pendingin. Hanya ada sayuran sisa dan kardus susu setengah terisi. Ia mengelus perutnya. Ia butuh sesuatu untuk dimakan. Cemilan yang kemarim ia beli sudah tak bersisa.

Merasa tak ada yang menarik di dalam sana. Ia bermaksud menutupnya kembali. Namun ia dikejutkan oleh makhluk mungil yang terlihat kala ia menutup benda pendingin itu.

"Kyaa!"

Hinata mundur beberapa langkah. Bibirnya komat-kamit. Pinggangnya menabrak wastafel, telunjuknya mengarah pada bocah yang tengah menatapnya dalam diam.

"Ke-kenapa kau..."

Ini anak lelaki yang ia temui di minimarket. Anak yang sama, yang membuatnya tambah tak bisa tidur. Anak yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.

Bocah itu menatap Hinata dengan ekspresi alis yang menukik. Sepertinya ia tak suka saat beberapa detik lalu Hinata berteriak.

Sebuah asap muncul dari tubuh sang bocah. Hinata menyipit kala bocah itu tertutupi kabut tebal.

"Kyaaa!"

Kabut tebal itu seketika sirna. Seorang lelaki dewasa tengah berdiri di sana. Kemana perginya bocah manis itu? Kenapa ada lelaki dengan perawakan yang sama namun dalam versi dewasa?

Astaga. Apa hantu yang ia tonton tak menyukainya hingga mengirimkan perubahan menyeramkan ini.

Suara langkah kaki gaduh semakin mendekat.

Kaki Hinata bergetar. Lelaki itu bergeming. Tak menunjukkan pergerakkan apapun. Ia hanya menatap Hinata datar.

"Berisik!" Ujarnya setelah beberapa detik mematung.

"Apa sih Nee-san! Kau jangan-"

Perkataan Hanabi terputus. Matanya menangkap selulet sang kakak yang bergetar hebat. Matanya bergulir, menatap lelaki dewasa yang tengah menatapnya datar. Sekarang ia mengetahui alasan dibalik teriakan sang kakak.

.

.

.

Manik bulan gadis manis itu menatap lekat lelaki yang tengah duduk berseberangan dengannya.

"Mau menatapku sampai kapan?"

Hinata berjengkit. Jari jemarinya saling berkaitan. Di samping pria aneh yang ia tatap, ada pria yang lebih tua dengan raut yang ramah dan menguarkan aura positif. Entah mengapa, seolah ingin memperjelas keadaan, ada ayah yang tengah duduk dengan tenang dan ibu yang sibuk menuangkan teh pada cangkir-cangkir di atas meja.

Tapi kenapa sepertinya hanya ia yang tak mengerti apapun di sini. Hanya Hinata yang terlihat tegang. Bahkan Hanabi tak menunjukan emosi yang berarti. Padahal ia temperamen.

"Jadi begini..." Lelaki dengan rambut panjang yang dikuncir rendah itu mulai berbicara. "Aku Uchiha Itachi dan ini adalah adikku, Sasuke"

Mata sehitam jelaganya itu bergulir, menatap ibunya yang seolah enggan meneruskan pembicaraan.

"Garis keturunan Uchiha terkena kutukan. Kami tak tau apa sebabnya, tapi... kami bisa berubah jadi balita. Seperti yang kau lihat"

Dahinya menyerit. Berubah jadi balita? Astaga, apa semua orang mencoba menipunya. Manusia tak dapat menyusut seperti itu. Ini persis seperti komik Detective Conan, namun bedanya tubuh sang tokoh utama menyusut setelah menegak obat dari komplotan penjahat.

"Tidak ada yang mencoba menipumu"

Hinata berjengkit. Apa pria ini memiliki kemampuan membaca pikiran seperti film vampire yang pernah ia tonton?

"Itachi benar"

Bila ayahnya ikut serta, berarti ini serius.

Pria dengan nama Sasuke itu terdiam. Tak satu patahpun keluar dari bibirnya. Dia ini bisu atau apa sih?

Hinata meneguk ludah. "Kemarin aku bertemu dengannya" matanya menatap Sasuke sekilas, enggan berlama-lama menatap pria bermata tajam yang seolah dapat membunuhnya kapan saja. "Versi kecilnya... ia muncul di mini market, lalu seolah tak pernah ada. Ia menghilang begitu saja. Da-dan saat aku di dapur, aku melihatnya lagi... di-dia seperti hantu. A-aku... lalu ada asap dan dia muncul la-lagi tapi ia sudah sebesar ini!" rancau Hinata dengan telunjuk yang mengarah pada Sasuke.

Hening beberapa saat.

"Oh jadi Nee-san kira dia hantu. Habis nonton film horor, lalu menemukan seorang bocah asing ini. Pantas saja kau tidur sepanjang pelajaran"

Mata amethysnya mendelik. Wajahnya memerah.

"Hanabi-chan!"

.

.

.

Hinata menatap langit-langit kamarnya. Ia berguling ke kanan dan ke kiri, mencari tempat ternyaman.

Kepalanya pening.

Pria yang terlahir dengan darah Uchiha memiliki penyakit mistik aneh di luar nalar manusia. Mereka bisa berubah menjadi balita, kemudian mereka akan kembali kewujud semula. Tak ada obatnya secara medis. Tak ada cara untuk mempercepat para lelaki malang itu untuk kembali kewujud semula. Walau begitu, tak seluruh keturunan Uchiha merasakannya. Seperti halnya Uchiha Fugaku yang beruntung tak mengalami hal serupa yang dialami Itachi atau Sasuke. Dari puluhan tahun yang lalu, Itachi dan Sasuke merupakan orang ke enam dan ke tujuh yang mengalami kesialan itu.

Matanya melirik jam yang menempel pada dinding kamarnya. Masih ada dua jam sebelum jarum pendek mengarah pada angka delapan. Ia kembali berguling, hingga selimut tebalnya menggulungnya seperti dadar gulung. Kamar mandi yang biasa ia pakai, entah mengapa kerannya tak mengeluarkan air. Di rumah ini hanya ada tiga kamar mandi. Di kamar orang tuanya, dekat dapur dan samping kamarnya. Dirasa tak mungkin menggunakan kamar mandi orang tuanya, hanya satu pilihan yang tersisa yaitu dekat dapur.

Hinata bergegas bangun, ia menggulung rambutnya asal dan bergegas mengambil peralatan mandinya. Ia menuruni tangga dengan tergesa dan berusaha menggapai pintu kamar mandi secepat yang ia bisa. Bila tidak cepat maka...

Sebuah tangan kekar nan putih menggapai gagang pintu bersamaan dengannya.

Hinata meringis. Ia keduluan!

"Minggir bocah"

Hinata menggigit bibir bawahnya. Ia ingin sekali menjambak rambut pantat ayam pria ini.

"A-aku kan tuan rumah" ujar Hinata membela diri.

"Lalu?"

Hinata menunduk. Bibirnya komat-kamit.

Kenapa pria ini harus tinggal di rumahnya!

.

.

.

To Be Countinue

A/N:

Ini fict pertama multichap saya :D hehe. Mohon bantuannya. Oh iya, sy ngetik dan publish lewat hp. Jadi maaf kalo berantakan. Makasih buat semua yang udah baca our real life :") maaf engga bisa bales satu-satu, karna ol di hp :") *dia engga pernah ol di pc

Makasih yang udah nge-fav, nge-follow, dan nge-review. Sy seneng ternyata ada tanggapannya :") makasih :"D