Mumpung ada koneksi yang mengizinkan akses ffn, sekalian saya sedang menyenggangkan diri dari skripsi dan novel, jadi iseng crosspost fanfic ini dari AO3. Idenya dapat dari Niedlicta, tentang reinkarnasi dan reperkusi. 4-part multichapter. Kalau ffn mengizinkan, hari ini mungkin bisa diposting semuanya. Kalau nggak diizinkan yah...

Warning: Major character death, Kuro-uke in later chapter.

Disclaimer: Tsubasa Chronicle seutuhnya adalah karya CLAMP.


Tak Berhenti Lama

Bagian Satu

.

.

Laki-laki itu tak pernah berhenti lama. Selalu hanya segelas kopi dan koran hari ini, duduk tidak pernah lebih dari lima menit untuk membuka-buka korannya, lalu menghilang di tengah kesemrawutan New York pada jam sembilan pagi.

Fai sering membayangkan apa yang laki-laki itu lakukan setelah kunjungan lima menitnya ke kedai kecil ini: berkeliling New York dengan pulpen dan notes yang setia menyembul dari saku jaketnya; mencari peristiwa untuk dijadikan bahan pengisi kolom-kolom koran atau majalah yang dijual di kafe kecil ini. Rambut hitamnya yang jabrik selalu sedikit acak-acakan, entah karena ulah angin nakal atau karena waktu memburunya di kota yang tak pernah tidur ini. Bukan alasan yang terakhir, pikir Fai kemudian, mengontradiksikan khayalannya sendiri. Laki-laki itu selalu kelihatan segar dengan kemeja polos yang tidak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya di bawah jaket kulit atau vest, tergantung acaranya pagi itu, dan celana kain yang sudah usang namun bersih dan kelihatan nyaman dipakai. Dia bukan tipe orang yang suka bangun siang atau kesiangan seperti Fai.

Pertama kali Fai menemukannya adalah satu hari sebulan lalu, saat musim gugur nyaris berakhir dan udara sudah mulai terasa merontokkan tulang. Hari itu adalah hari pertama Yuui meninggalkannya sendirian di apartemen karena kembarannya itu harus menghadiri workshop kuliner di New Jersey. Tanpa keberadaan Yuui untuk membangunkan dan memberinya makanan, otomatis Fai harus mencari asupan sarapannya sendiri. Yuui secara spesifik memintanya sarapan di Kafe Butterfly Beans yang ada di Eight Avenue. Memercayai rekomendasi kembarannya, Fai mengambil buku sketsanya dan mendatangi kafe itu.

Di sana, Fai melihat sosok laki-laki itu.

Yang pertama menarik perhatiannya adalah sepasang bola mata berwarna hazel yang begitu terang hingga seolah berkilat kemerahan. Mata itu seketika menghentikan napasnya, membangkitkan memori yang hadir bahkan sebelum raganya terbentuk. Fai kemudian menelusurkan pandangannya ke tubuh besar si pemilik mata merah dengan hati-hati. Kulit kecoklatan dan tubuh yang menjuntai melewati rata-rata tinggi penduduk New York berpadu kontras dengan paras wajahnya yang jelas menonjolkan ciri ras Asia. Bahunya yang lebar dan auranya yang kuat membuat orang-orang menengok ke arahnya. Walau dia terus berjalan menuju antrian kasir dengan lagak tak acuh, Fai bisa melihat rengutan tidak suka terpasang di sela kedua alisnya. Pasti menyebalkan memiliki fisik begitu menyolok di tengah New York yang kelabu.

Hari itu dia membeli kopi dan koran, lalu menerobos keluar seperti banteng, membuka jalannya di tengah keramaian Eight Avenue. Fai kecewa melihatnya pergi begitu saja, tapi segera mencatat waktu kedatangan laki-laki tersebut. Karena kalau laki-laki itu memang seperti yang diingatnya, Fai percaya dia akan muncul di jam yang sama keesokan harinya.

Dan memang dia muncul keesokan harinya tepat di jam sembilan seperti sebelumnya. Dari mejanya di sudut kafe, Fai tersenyum dan membuka buku sketsanya. Digoreskannya satu garis tegas: mata merah itulah yang dia gambar pertama.

.

.

.

Selama sebulan, nyaris setiap hari Fai datang ke kafe itu, mengambil tempat duduk yang dapat melihat pintu masuk dan meja kasir, lalu menunggu kedatangan Tuan Mata Merahnya. Begitu laki-laki itu memasuki kedai, mata Fai akan segera mengikuti gerakannya diam-diam. Dia sadar kalau laki-laki itu peka pada setiap mata yang memandangnya. Fai tahu hal itu; dia ingat. Saat laki-laki besar itu menengokkan kepalanya, Fai sudah akan sibuk dengan buku sketsanya, menggambar setiap lekuk yang dihapalnya luar-dalam, kemudian ketika Tuan Mata Merah sudah kembali menatap tidak sabar ke antrian di depan meja kasir, Fai akan kembali membuntuti sosoknya dengan matanya.

Biasanya dia ahli dalam mengatur kapan harus memandang dan kapan harus menggambar, tapi di hari ke-45 melakukan rutinitas barunya, Fai mendongak untuk mendapati mata merah itu menatap lurus padanya. Napasnya kembali tercerabut untuk sesaat sebelum dia menawarkan sebuah senyum canggung. Laki-laki itu merengut, lalu setelah membayar kopi dan korannya untuk hari ini, Tuan Mata Merah menghampiri mejanya dengan langkah-langkah besar.

Fai tidak berkata apa-apa saat laki-laki itu langsung menarik kursi di hadapannya dan duduk tanpa meminta izin. Gerakannya efisien dan cepat terlepas dari besar tubuhnya. Tuan Mata Merah tidak bicara untuk beberapa saat, hanya memandangi Fai dengan matanya yang tajam. Fai berusaha untuk tidak terlihat gugup, meskipun jantungnya terasa berlarian. Mungkinkah dia juga ingat?

"Apa ada sesuatu yang mau kamu omongin?" tanyanya kemudian. Fai mengerjap mendengar aksen Texas yang kental dari suaranya.

"Ya?"

"Kamu ngelihatin aku terus, kan, tiap pagi?"

Fai tersenyum. "Wah, perhatian sekali."

"Tiap pagi sejak sebulanan lalu, kalau bukan duduk di sini, kamu akan duduk di situ," Tuan Mata Merah menunjuk sebuah meja di belakangnya, "ngelihatin aku. Selalu bawa buku sketsa sama The Elements of Style. Siapa kamu? Sewaan orang Herald?"

Mau tak mau Fai bersiul kagum. Dia tahu orang ini peka, tapi tidak mengira kalau dirinya akan diperhatikan sampai sebegitu detil.

"Bukan, bukan. Aku mahasiswa FIT, namaku Fai. Fai D. Fluorite." Fai mengulurkan tangannya ke arah laki-laki itu.

"Fashion Institute of Technology?"

"Tepat." Fai nyengir lebar. "Maaf kalau aku mengganggumu. Aku sedang mengerjakan tugas kuliah, Men's Wear, jadi sering ke sini untuk cari model yang tepat. Kebetulan kamu selalu datang, jadi..." Dia mengangkat bahu. "Maaf, harusnya aku minta izin dulu."

Mendengar Fai bukan orang yang dikiranya, postur laki-laki itu berubah lebih rileks. Dia balas menjabat tangan yang diulurkan Fai.

"Aku—"

"Aku tahu siapa kamu," potong Fai tanpa bisa ditahannya.

Laki-laki itu menyeringai tipis. "Nggak ada yang tahu siapa aku."

"Tapi aku memang tahu kamu, Kuro-tan."

Mata merah itu merengut, terkejut. "Siapa?"

Fai memajukan tubuhnya dan memandang wajah itu dengan seksama. Wajah yang seumur hidup hanya bisa dirindukan dalam bayangan.

"Kuro-tan. Kurogane. Apa sudah bukan itu namamu sekarang?"

.

.

.

Ada jarak sepuluh tahun di antara mereka sekarang. Kurogane lebih tua. Laki-laki itu kini adalah seorang jurnalis senior di New York Times, sementara Fai masihlah mahasiswa tahun pertama di jurusan desain tekstil. Fai berseloroh bahwa dulu dirinya ratusan tahun lebih tua daripada Kurogane.

"Yang benar saja," dengus Kurogane ketika pertama kali mendengar pengakuannya, di kali kelima mereka duduk bersama selama lima menit singkat sebelum Kurogane mulai bekerja. Dipandanginya wajah Fai lamat-lamat dengan curiga. "Kamu bukan pasien rumah sakit jiwa yang ngaku jadi mahasiswa FIT, kan?"

"Dulu kamu juga tidak bicara dengan logat Texas." Fai tertawa pelan. "Mm… tapi aku juga lupa bahasa apa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dulu."

Kurogane meneguk kopinya hingga habis. "Sudah, ah. Balik ke bangsalmu sana, aku mau kerja."

"Apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Fai cepat, tidak mau melepaskan kesempatan yang sudah di tangan. "Aku perlu model untuk tugasku."

"Memang apa bayaranku kalau jadi modelmu?"

"Seks gratis?" goda Fai tanpa malu. "Kamu masih gay, kan?"

Kurogane merengutkan dahinya lagi, tapi Fai dapat melihat kilat antusiasme melintas di mata merah itu. Tetap seperti dulu.

"Minggu. Jam biasa."

Fai mengangguk dan memerhatikan tubuh besar itu bergerak bergegas keluar dari kafe. Setelah itu Kurogane tidak muncul sama sekali selama sisa pekan tersebut, membuat Fai cemas mengira dia berubah pikiran dan tidak mau menemui orang aneh yang suka membicarakan kehidupan lalu. Tapi di hari Minggu kecemasannya menghilang begitu Kurogane melangkah masuk ke dalam kafe dengan aura kuatnya seperti biasa.

Mereka berakhir di apartemen studio Kurogane untuk mencari tempat yang lebih nyaman bagi Fai mengerjakan tugasnya. Entah apa yang membuat Kurogane mau meladeni orang yang sebelumnya dia curigai sebagai orang sakit jiwa. Mungkin seks gratis yang ditawarkan oleh Fai, mungkin alasan lain. Ada desiran samar menjelajahi tubuhnya. Ingatan mungkin berbeda, tapi jiwa tetap sama, kata-kata itu melayang di kepalanya.

Apartemen itu rapi. Tumpukan kertas dokumen dan buku-buku yang tertata teratur di sudut meja kerja, lantai dan perabot yang mengilat, serta kasur berseprai linen yang tanpa kusut dan berbau segar musim dingin. Ada papan besar di atas meja kerja, penuh ditempeli dengan guntingan-guntingan koran berbagai tanggal dan berbagai tahun. Rata-rata kliping berita kriminal. Kurogane memang seorang jurnalis khusus berita investigasi dan kriminalitas.

"Kenapa wartawan?" tanya Fai sambil memerhatikan tajuk-tajuk klipingan di papan.

Kurogane, sibuk menjerang air untuk kopi di pantry, menjawab sambil lalu, "Wartawan cocok buatku."

"Mm. Lari ke sana-sini mencari skandal kriminalitas?"

Fai merasakan pandangan Kurogane menghujam tengkuknya. "Wartawan menceritakan kebenaran yang sebelumnya ditutupi."

"Pena lebih tajam daripada pedang, eh?"

"Lagipula nggak ada yang bawa-bawa pedang sekarang ini."

Fai tertawa. "Wajar saja kamu jadi wartawan, kalau begitu. Kuro-chan selamanya tetap Kuro-chan."

Sebuah mug warna merah yang mengepulkan asap hangat disorongkan ke hadapannya, diikuti oleh tatapan mata merah yang tajam.

"Kalau mau aku jadi modelmu, berhenti bicara kayak kamu tahu aku sejak sebelum lahir."

Diseruputnya kopi di dalam mug dengan seutas senyum tipis. "Tapi aku memang mengenalmu sejak sebelum kamu lahir, Kuro-chi. Setidaknya sebelum kamu yang sekarang lahir."

.

.

.

Hari itu Fai tidak berhasil membuat sketsa dengan Kurogane sebagai model, tentu saja. Kurogane memutuskan bahwa Fai terlalu banyak bicara dan langsung mendorong tubuh kurusnya ke tempat tidur dan, yah, secara praktis membungkam mulutnya—dengan mulut. Bukannya Fai protes, lagipula ini memang tujuan utamanya. Kurogane pun mungkin sudah menyadari niatnya, jika mata tajamnya berhasil meneliti kurangnya peralatan yang dibawa Fai untuk keperluan menggambar (Fai tidak membawa pensil dan penghapus, apalagi pensil warna atau spidol, dia hanya membawa buku sketsanya sebagai tameng).

Di sela kecupan tergesa Kurogane di leher dan dadanya, Fai telentang menatap langit-langit apartemen yang menguning dan tiba-tiba merasa melankolis. Dia hampir berujar, "Dulu butuh waktu cukup lama bagi kita untuk bisa seperti ini," tapi segera ditelannya kembali. Kecupan hangat Kurogane tidak berubah dari yang ada di bayangannya, gerakannya tetap lentur dan cepat, nyaris terburu.

Kurogane tidak pernah berhenti lama. Mereka juga, dulu, tidak pernah singgah terlalu lama.

.

.

.

Fai kembali datang hari Minggu berikutnya, dan Minggu-Minggu berikutnya. Selain perjumpaan lima menit rutin setiap jam sembilan pagi di kafe Butterfly Beans, mereka selalu bertemu seharian di hari Minggu karena hanya di waktu itu Kurogane jarang mendapatkan panggilan liputan. Yuui selalu menyeringai maklum setiap Fai menolak sarapan di rumah dan pergi ke Butterfly Beans, atau ketika kembarannya itu menenteng tas berisi perlengkapan menginap setiap hari Minggu dan baru pulang pada Senin pagi.

Di setiap kesempatan berkunjung ke apartemen Kurogane, Kadang Fai membawa peralatan menggambarnya lengkap dan dengan tekun menggoreskan setiap lekuk otot yang bergerak ketika Kurogane mengetik artikel di laptopnya. Suara klak-klak kibor menjadi semacam musik untuk menjaga konsentrasinya. Kadang mereka hanya akan bersantai di atas kasur berseprai linen polos, duduk bersamping-sampingan tanpa pakaian, menonton acara berita yang dinyalakan 24 jam di televisi atau membaca buku-buku. Kurogane selalu membaca buku-buku nonfiksi dengan tema di sekitar jurnalisme atau dunia kriminalitas; Fai menyukai novel roman ringan yang bisa diselesaikan hanya dalam dua-tiga hari.

"Dulu kamu suka membaca komik aneh yang selalu ada lanjutannya di setiap dunia yang kita singgahi." Fai mengucapkannya hanya dalam kepala. Kurogane tidak pernah suka ketika Fai mulai mengeluarkan kata dulu.

Tentu saja Fai pernah beberapa kali keceplosan, karena memori itu sering dengan tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya, seperti gelembung air yang perlahan naik ke permukaan dari dasar laut yang kelam. Suatu ketika Fai keceplosan soal kebiasaan Kurogane dulu, laki-laki besar itu menatapnya penasaran.

"Kamu ini sebenarnya siapa, sih? Manusia imortal? Penyihir kayak Merlin yang hidup ratusan tahun?" tanya Kurogane dengan nada setengah penasaran, setengah kesal. Waktu itu kali kedua mereka melewatkan hari di atas ranjang berdua, menonton siaran berita internasional tanpa fokus berlebih.

Dulu, ya, Fai hampir menjawab demikian, tapi kemudian menggeleng.

"Aku Fai," ujarnya seolah tengah meyakinkan diri sendiri. "Manusia biasa, setidaknya di kehidupan ini. Lahir sembilan belas tahun lalu di sebuah rumah sakit di Paris. Dibawa pindah ke Lima, Ohio, saat usia empat tahun. Aku punya kembaran yang identik denganku, namanya Yuui. Begitu, Kuro-wan."

Alis Kurogane merengut. "Dari mana kamu tahu kata-kata itu?"

"Kata-kata apa?"

"Wan, chan, tan," daftar Kurogane dengan jarinya. "Itu bahasa Jepang. Kamu bisa bahasa Jepang?"

Fai menggeleng. "Itu panggilan sayangku untukmu sejak dulu." Ketika Kurogane mengernyit, Fai menunjuk kepalanya. "Semuanya ada di sini, Kuro-tan, sejak pertama aku bisa mengingat. Kata pertama yang kusebut waktu kecil adalah namamu, bukan Mama atau Papa atau Yuui, kamu boleh tanya Yuui suatu saat nanti kalau tidak percaya. Aku selalu bertanya pada ayahku dan Yuui, siapa Kurogane? Kenapa tidak ada keluarga kita yang bernama Kurogane, tapi aku selalu mengingatnya? Setiap aku menutup mata, wajahmu yang akan terlintas, dengan armor besi dan jubah hitam, dan oh, pedang panjang. Sayang pedang kesayanganmu sekarang tidak sepanjang yang dulu."

Kurogane tidak tertawa mendengar lelucon Fai. "Dan aku, sekarang, persis kayak yang kamu bayangkan."

"Tidak sepenuhnya persis, kamu lebih modern sekarang, jelas." Fai nyengir lebar. Tangannya perlahan menyentuh wajah bergaris tegas yang tidak berbeda dengan laki-laki yang selama ini ada dalam bayangannya. "Tapi ciri fisikmu tetap, sifat-sifatmu tetap, pola pikir dan caramu bergerak tetap. Kamu Kurogane yang selama ini ada di dalam kepalaku. Kurogane yang selalu kucari."

"Tapi aku bukan laki-laki di dalam kepalamu," ujar Kurogane.

Senyum Fai sedikit luntur. "Bukan, Kuro-chan, kamu—kita—sudah bukan yang ada dalam kepalaku lagi."

.

.

.

Setelah pembicaraan itu, entah kenapa Kurogane jadi mulai bercerita banyak tentang dirinya sendiri—tentang masa kecil, teman-teman, dan keluarganya—seolah ingin menunjukkan pada Fai kalau dia adalah dia, bukan lagi Kurogane yang ada dalam kepalanya. Selama ini mereka tidak pernah membicarakan topik-topik yang terlalu personal. Setiap hari Minggu biasanya hanya diisi oleh Kurogane mengetik artikel sementara Fai menggambar atau mengerjakan tugas, lalu seks, atau duduk berdua di atas kasur dan menonton televisi sambil bicara topik-topik harian, lalu seks, atau sejak pagi Kurogane akan terus menggiringnya melewati beronde-ronde kenikmatan yang tak pernah membuat Fai bosan, semuanya dengan berlatar keramaian Manhattan yang berdengung tumpul di sekitar mereka. Tapi tidak pernah ada topik intim seputar keluarga atau masa lalu. Ketika Kurogane membicarakannya, hati Fai terasa meleleh seperti coklat di tengah padang rumput musim panas.

Yang pertama Kurogane ceritakan adalah tentang silsilah keturunannya. Karena selalu mengetahui sosoknya sejak pertama bisa mengingat, Fai nyaris tidak pernah mempertanyakan kenapa tubuh seorang laki-laki keturunan Asia bisa melar hingga tingginya melebihi sebagian besar orang Kaukasian yang memenuhi Amerika. Ternyata Kurogane, di kehidupan ini, masih memiliki garis keturunan Indian Apache dari ayahnya. Ayah Kurogane adalah keturunan pertama penyatuan ras Indian murni dan Asia-Amerika, lalu dia menikah dengan ibu Kurogane, putri dari keluarga imigran Jepang. Kurogane bisa dibilang sepertiga Indian.

"Nama asliku Youou Blacksteel, dari Kakek yang Indian murni," jelas Kurogane. "Supaya bisa lebih diterima sebagai warga Amerika tanpa perlu merasa nggak sopan ke Kakek, Ibu mengubah nama indianku jadi Kurogane dan ditambah marga Ayah, Redcliff. Setelah orangtuaku berpisah, aku pakai marga Ibu, Suwa."

Fai memandangi kulit coklat keemasan yang mengilat karena keringat paska seks mereka dan mata hazel yang memiliki semburat kemerahan itu. Seingatnya dulu Kurogane adalah orang Jepang asli, tapi memang tidak mungkin orang Jepang asli memiliki ukuran tubuh serta ciri fisik sepertinya. Lagipula, di kehidupan sebelumnya mereka selalu sibuk berpindah dimensi untuk bisa duduk bersama di atas ranjang dan membicarakan hal-hal remeh seperti silsilah keturunan. Ada banyak luka yang perlu disembuhkan dalam diri mereka masing-masing dan hanya sedikit waktu untuk bisa bicara dari hati ke hati. Dulu mereka bisa saling mengerti hanya dengan gestur tubuh dan kerlingan mata. Sekarang pun begitu, tapi kini Fai menyadari berapa banyak fakta remeh tentang masing-masing yang mereka biarkan terubur dalam kesunyian.

"Orangtuamu dua-duanya masih di Austin sekarang?" tanya Fai kemudian.

Kurogane pernah menyebutkan kalau dia berasal dari Austin, ibukota Texas. Akan menyenangkan kalau sekarang Fai bisa menemui dua orang yang telah membawa Kurogane ke dunia. Di kehidupan lalu kisah mereka terlalu tragis untuk dapat mengenal arti kasih-sayang keluarga. Dia berharap takdir mereka di kehidupan yang ini bisa sedikit lebih baik. Setidaknya itu yang terjadi padanya. Yuui masih ada bersamanya hingga sekarang, walau mereka bertukar nama dari kehidupan yang lalu, tapi itu saja sudah cukup. Fai merelakan nama aslinya di kehidupan lalu menjadi penyangga kehidupan saudara kembarnya kini.

Tapi Kurogane hanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa menjawabnya. Nyaris dua menit berlalu sebelum akhirnya dia menggeleng pelan.

"Sudah meninggal. Keduanya. Tinggal sepupu di Austin."

Fai merasakan harapannya jatuh dan pecah berkeping. Kurogane yatim-piatu. Lagi. Dia sendirian lagi di dunia ini. Tidak seperti dirinya yang masih memiliki Yuui di kehidupan yang ini. Takdir merenggut orang-orang terkasih Kurogane lebih awal lagi.

Diraihnya wajah Kurogane dan dicumbunya lembut; diajaknya tangan besar itu kembali menjelajahi tubuhnya, mengusir segala kepedihan yang tiba-tiba timbul di hatinya.

"Hei, nggak usah nangis," bisik Kurogane seraya merapatkan tubuh besarnya yang hangat pada Fai.

Fai menatap mata merah di hadapannya. "Aku akan selalu menemukanmu, kan, Kurogane? Aku akan selalu mencarimu dan kembali ke sini, ke kamu."

Kurogane tersenyum, seberkas senyum tipis yang tidak biasanya ada di wajah serius itu namun terlihat begitu tulus.

"Ya." Jeda sejenak. "Fai..."

Nama yang meluncur lembut dari bibir Kurogane membuat seluruh tubuh Fai gemetar. Kebahagiaan, kepedihan, kerinduan, semuanya bercampur menjadi satu. Kurogane tidak pernah memanggil namanya selama ini, selalu "pirang" atau "kamu"—atau dulu, "penyihir"—tapi tidak pernah namanya secara langsung. Kini nama itu seolah membuka sebuah simpul di hatinya yang terikat mati sejak pertama dirinya lahir di kehidupan yang ini.

"Aku mencintaimu," bisiknya tiba-tiba, tanpa bisa ditahan. "Sejak dulu."

Kurogane mencium bahunya. "Aku tahu."

.

.

.

Kurogane menyerahkan sebuah kunci pada Fai di bulan keempat mereka berhubungan. Hari itu dia harus pergi untuk meliput sebuah kejadian pada sore hari. Fai merengek kalau dia belum ingin beranjak dari atas kasur, jadi Kurogane memberikan kunci itu padanya seraya bersiap-siap.

"Kunci duplikat," gumam Kurogane sambil sibuk memeriksa perlengkapan yang akan dibawanya. "Jangan lupa kunci pintu kalau mau pulang."

Mata Fai bersinar gembira. "Aku boleh menyimpannya?"

Kurogane menatapnya aneh. "Sudah kukasih, ya, berarti harus kamu simpan. Awas kalau sampai hilang."

Dengan pekikan riang Fai memeluk kunci itu ke dadanya. "Apa aku boleh datang selain hari Minggu?"

"Selama nggak ngacak-ngacak kerjaanku."

"Berarti ngacak-ngacak yang lain boleh?"

Kurogane memutar bola matanya, tapi tidak menolak. Diperiksanya sekali lagi benda-benda yang akan dibawanya di dalam tas, kemudian dia berjalan mendekat ke tempat tidur untuk mengacak pelan rambut pirang Fai yang berantakan. Ucapan sampai jumpa tanpa kata.

Fai tidak segera pulang setelah sosok Kurogane menghilang dari ruangan itu. Dia tetap di atas kasur, memeluk bantal Kurogane dan menghirup aroma keringatnya yang masih tetap familiar entah berapa kehidupan pun berlalu. Bayangan tubuh dengan kulit kecoklatan yang dibalut jubah hitam kembali memenuhi kepalanya. Rambut hitam jabrik di dalam bayangannya telah sedikit bersemburat keperakan, ada keriput di sudut mata dan dahinya. Mata merah menatapnya kosong, senyum tipis yang tulus terpulas di sana, tak kalah merah. Dirinya yang dulu menangis tanpa henti, berteriak dan memohon. Pemuda yang memiliki mata berbeda warna di balik kacamata bundar menggeleng pasrah padanya.

"Dia sudah mati, Fai-san," adalah ucapan pemuda itu yang paling diingatnya. Tapi dirinya tetap berteriak dan memohon hingga tenggorokannya tak sanggup lagi.

"Sihir," ujarnya dengan pasrah, tubuhnya dipenuhi campuran butiran salju yang menyerap warna kemerahan di sekitar mereka. "Ambil semua sihirku, nyawaku, terserah!"

"Kurogane-san tidak akan suka Fai-san melakukan hal seperti itu." Ada laki-laki lain—Syaoran, dia ingat namanya—bicara padanya di sela air mata yang mengalir. "Apa artinya dia hidup kalau Fai-san tidak ada di sisinya? Seluruhan tenaga sihir Fai-san saja tidak akan mampu membuatnya menjadi manusia lagi. Dia hidup, tapi tidak hidup. Apa Fai-san yakin mau membuat Kurogane-san seperti itu?"

Dirinya yang dulu memeluk tubuh itu, masih hangat dan berbau amis dan tanah musim dingin—bau kematian. Dia ingat menangis lebih lama lagi ditemani dua laki-laki itu sebelum akhirnya mengangkat kepala.

"Ambil semua sihirku," ujarnya kemudian pada si pemuda berkacamata. "Hanya itu yang kupunya untuk mengabulkan permohonanku."

"Dia sudah mati, Fai-san," balas pemuda itu seperti kaset rusak.

"Kalau begitu buat aku ingat," desaknya putus asa. "Biarkan dia terus hidup dalam kepalaku, bahkan sampai kehidupan selanjutnya."

Si pemuda dengan mata berbeda warna menghembuskan napas pasrah. "Kalau itu, bisa kukabulkan."

Dirinya yang dulu kembali memandang wajah dengan senyum beku di hadapannya, menghapus darah dari mulutnya, lalu mengecup bibir dingin itu sebelum tangannya mulai menarik segala energi kehidupan keluar dari tubuhnya sendiri. Hal terakhir dari masa lalu yang bisa dia ingat adalah wajah beku Kurogane dan salju yang berwarna darah.

Fai meninggalkan apartemen Kurogane saat cahaya matahari pagi pertama kali jatuh menyinari bantal yang basah.