"Sial!" umpat gadis berumur duabelas tahun tersebut dengan cukup keras. Gadis bernama lengkap Uchiha Sarada itu menoleh ke belakang dan melihat missing-nin dari Kumogakure masih mengejarnya. Pria missing-nin itu menampakkan seringainya seraya menatap Sarada tajam. Sarada mengumpat lagi dan mulai mempercepat larinya melewati pepohonan di sekitarnya.
"Jangan lari kau, bocah!" Teriakan keras dari missing-nin itu makin mempercepat langkah Sarada. Ia tak boleh lengah apalagi memelankan langkahnya.
Sarada memusatkan chakra-nya ke kedua kakinya lalu meloncat ke salah satu pohon di sebelahnya. Kemudian meloncati pohon yang satu ke pohon yang lainnya. Sarada merasa chakra-nya mulai menipis, tapi ia tak boleh menyerah. Missing-nin itu tak boleh menangkapnya apapun yang terjadi, ia harus bertahan hingga bantuan muncul. Anggota setimnya—Boruto dan Mitsuki, pasti sedang berusaha mencarinya. Ayahnya juga.
Sarada meringis mengingat ayahnya. Ia pasti membuat ayahnya khawatir. Padahal ini adalah misi rank C pertama mereka, tapi ia malah membuatnya berantakan.
Awalnya segalanya berjalan dengan lancar, mereka—Sarada, Boruto dan Mitsuki serta guru mereka, Uchiha Sasuke—hanya perlu mengantar seorang pria paruh baya ke desa asalnya mengantar sebuah gulungan rahasia. Segalanya berjalan lancar hingga perjalanan pulang. Saat itu, mereka sedang beristirahat di hutan dan Sarada yang saat itu sedang mengelilingi hutan tersebut tak sengaja bertemu dengan sekelompok missing-nin yang sedang merencanakan kudeta kepada desanya. Sarada yang menguping percakapan mereka tertangkap kelompok tersebut, untungnya tak lama kemudian Boruto dan Mitsuki serta ayahnya segera menolongnya. Terjadilah pertarungan tiga genin—Boruto, Sarada dan Mitsuki—dan satu jounin—Uchiha Sasuke, dengan kelompok missing-nin yang jumlahnya sekitar duapuluh orang itu. Hingga Sarada tanpa sengaja terpisah dari kelompoknya, dan kini sedang dikejar oleh missing-nin tersebut.
Shing!
Sebuah kunai tiba-tiba mengarah padanya, kedua mata hitam Sarada membulat melihat ujung lancip benda tajam tersebut yang hampir mengenai kepalanya. Ia segera menangkisnya dengan kunainya lalu menghindar dan meloncat ke bawah.
"Akhirnya kau berhenti juga!" Missing-nin yang mengejarnya tampak menatap Sarada dengan kilatan kedua matanya yang berkilat tajam. "Aku tidak akan membiarkanmu lolos setelah ini, bocah! Kau akan menerima akibatnya setelah menghancurkan rencana kami."
Sarada menatap pria tersebut dengan wajah datar. Salah satu tangannya telah memegang kunai. Ia menarik napasnya panjang, berusaha menekan rasa takutnya.
"Nah, sekarang. Ucapkan selamat datang untuk kematianmu," ucap pria tersebut diakhiri tawa yang memenuhi hutan yang tampak lengang itu. Pria itu menghentikan tawanya dan menatap Sarada dengan dendam. Dia lalu merapalkan sebuah jurus dengan sebuah segel tangan yang membuat kedua mata di balik kacamatanya terbelalak.
'Jurus itu...' Sarada menatap ngeri missing-nin di hadapannya, ia segera berlari menghindari terkena jurus petir tersebut. Sekali terkena kau tidak akan tahu luka apa yang muncul setelahnya. Namun, langkahnya makin lama pelan karena chakra-nya yang telah terkuras habis setelah perjalanan misinya.
"Sial!" Sarada merasakan suara di belakangnya—suara yang dikeluarkan dari jurus missing-nin tersebut. Ia menatap horor kilatan petir yang semakin mendekatinya tanpa tahu bahwa di depannya adalah jurang. Detik berikutnya ia merasakan tubuhnya terasa lebih ringan, ia menatap kilatan petir yang melewati tubuhnya tersebut dalam diam. Tubuhnya terasa seperti ditarik oleh gravitasi tak kasat mata yang menariknya makin dalam ke jurang tersebut.
"Papa... Mama...," ucapnya lirih sebelum kegelapan menelannya.
.
.
Paradox
by Vylenzh
Naruto © Masashi Kishimoto
[Young!KakashixSarada]
—slight SasuSaku
Warning: Semi-AT, Canon Setting, Crack Pairing, Time Travel, Typo(s), OOC, and etc
A/N: Aku tahu ide ini sangat absurd, tapi aku tergoda untuk tetap menuliskannya. Maaf untuk ke-absurd-an yang ada. Selamat membaca. ^^
.
.
"Dimana anakku?!" Sasuke dengan mata hitamnya yang telah berganti menjadi sharigan menatap tajam pria missing-nin di hadapannya.
"A-aku sungguh tidak tahu," ucap pria itu ketakutan. Ia tentu mengenal pria di hadapannya, Uchiha Sasuke. Salah satu yang menyelamatkan dunia shinobi dari kegelapan bertahun-tahun yang lalu. Bodoh kalau dia tidak takut dengan pria di hadapannya, dan apabila dia tahu gadis yang dikejarnya tadi adalah anak dari Uchiha Sasuke, dia pasti akan mengabaikannya. Tapi percuma menyesal sekarang nyawanya ada di tangan Uchiha di depannya.
"Jangan berbohong," desis Sasuke tajam.
"Aku sungguh tidak tahu! Saat aku mengejarnya tadi, d-dia tiba-tiba menghilang!" Pria itu berkata dengan takut. Keringat dingin sudah mengalir melewati pelipisnya.
Sasuke menatap pria di hadapannya geram. Ia lalu mengunci mata pria itu dengan sharingan dan masuk ke dalam pikirannya, menggali kenangan dari pria tersebut. Beberapa saat kemudian, Sasuke tersentak. Dia mundur perlahan dan mengabaikan sang missing-nin sepenuhnya. Dia segera berlari diikuti kedua muridnya—Boruto dan Mitsuki.
"Sensei! Ada apa?" Boruto mengejar gurunya seraya memanggilnya.
"Sarada... Dia..." Sasuke berhenti di depan sebuah jurang yang dasarnya sama sekali tak kelihatan, hanya kegelapan yang tertangkap oleh kedua matanya. Lalu dia memusatkan dirinya mencari chakra anaknya, namun nihil. Ia sama sekali tak merasakannya.
'Dia belum...' pikir Sasuke tak berani mengatakan dugaannya. Dia kembali mencari chakra anaknya tapi lagi-lagi tak dirasakan chakra anaknya dimanapun. Tiba-tiba dia diselimuti ketakutan yang amat sangat.
"Tidak... tidak mungkin." Sasuke bergumam lirih. Dia menatap jurang di depannya dengan pandangan takut. Ia berharap apa yang di pikirannya tidak benar. Ia tidak boleh kehilangan anggota keluarganya kembali.
"Sensei..." Boruto memanggilnya, tapi Sasuke tetap bergeming. Dia masih menatap jurang tersebut tak menghiraukan Boruto dan Mitsuki yang menatapnya keheranan.
"Kita... akan kembali ke desa," ujar Sasuke tiba-tiba.
"Eh, tapi bagaimana dengan Sarada?" sahut Boruto.
"Iya Sasuke-sensei, kita belum berhasil menemukannya," ujar Mitsuki sembari menatap punggung gurunya yang masih membelakangi mereka berdua.
"Kita akan mencarinya setelah kembali ke desa. Kita butuh bantuan," ucap Sasuke masih tak mengalihkan pandangannya dari jurang tersebut.
"Kenapa?" tanya Boruto penasaran. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, Boruto tahu ada yang aneh setelah melihat sikap gurunya tersebut setelah menangkap pria missing-nin itu. Apalagi sampai meminta bantuan. Pasti ada yang tidak beres dengan Sarada.
Sasuke terdiam mendengar pertanyaan anak sahabatnya itu, dia memalingkan mukanya dan menatap kedua muridnya yang menatapnya penuh tanya.
"Sarada... Aku tak dapat merasakan chakra-nya dimana pun."
.
.
.
Uchiha Sasuke yang mengampu tim tujuh itu berjalan melewati gerbang Konohagakure dengan tatapan dingin dan tajam. Kedua muridnya yang berjalan di belakangnya mengatupkan bibirnya rapat, mereka berdua sangat tahu untuk tak mengganggu gurunya. Perasaan mereka berdua juga sama-sama kalut mengingat teman se-tim mereka belum diketahui kabarnya bagaimana.
Langkah Sasuke tiba-tiba berhenti melihat sosok wanita dengan helaian merah muda tampak menunggu tak jauh di hadapannya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Wanita itu, istrinya—Uchiha Sakura melambaikan tangannya lalu berlari pelan menghampirinya.
"Sasuke-kun! Okaerinasai." Sakura berhenti tepat di depan pria Uchiha itu yang menatapnya dalam diam. "Kau kenapa?"
"..."
"Sasuke-kun?" panggil Sakura lagi, tak sabar. Dia mengerutkan dahinya melihat suaminya yang diam saja. "Kau kenapa sih diam begitu? Oh ya mana Sarada-chan? Kenapa aku tidak melihatnya?"
Pertanyaan Sakura membuat Sasuke makin mengatupkan bibirnya rapat.
"Sasuke-kun..." Sakura makin tak sabar dengan diamnya Sasuke. Perasaannya mulai tidak enak. "Sasuke-kun," panggil Sakura lagi.
"Sakura." Suara Sasuke terdengar lebih dalam dari biasanya. "Sarada—"
Perasaan Sakura benar-benar tidak enak sekarang. Pikirannya mulai kemana-mana. Entah kenapa, tiba-tiba dia tak ingin Sasuke melanjutkan perkataannya.
"—hilang."
Sakura terdiam mendengar perkataan Sasuke. Dia menatap kedua mata Sasuke, mengharapkan kebohongan di sana. Namun tak ditemukannya, yang ia temukan adalah rasa takut yang sama, yang sekarang mulai menggerogoti hatinya.
"T-tidak mungkin," kata Sakura seraya menutup mulutnya dengan tangannya. "A-apa? Kau bohong kan Sasuke-kun? Sarada-chan tidak mungkin..."
Sasuke menahan rasa sakit yang tiba-tiba merayapi hatinya, rasa sakit karena tidak dapat melindungi keluarganya, lagi.
"Maaf." Sasuke menahan diri untuk tidak membunuh dirinya sendiri saat melihat airmata yang turun dari kedua mata hijau emerald milik Sakura. Hatinya mencelos dan dia merasa tidak berguna. "Maaf," ulangnya lagi.
Sakura tak dapat berkata apapun lagi. Dia menutup wajahnya dengan tangannya dan merasa airmata yang sudah membasahi wajahnya. Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terdorong ke depan dan merasakan sebuah tangan membelai rambutnya lembut.
"Maaf, Sakura. Maaf," ucap Sasuke lagi berharap kata-katanya dapat menenangkan istrinya. "Kita pasti akan menemukannya. Sarada pasti akan kita temukan," ucap Sasuke tegas penuh keyakinan di dalamnya.
Sasuke masih merengkuh wanita yang dicintainya itu, tak menghiraukan tatapan penasaran dari orang-orang di sekelilingnya. Sasuke sungguh tidak peduli. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana menemukan putrinya, gadis kecilnya yang kini entah berada di mana.
Bahkan jika itu membuatku mati. Aku akan menemukanmu, Sarada. Papa akan menemukanmu.
.
.
.
Di suatu tempat, di hutan belantara, tiga kepala berbeda warna—hitam, cokelat dan putih—tampak mengelilingi sesuatu. Si kepala cokelat mendekati 'objek' yang mereka kelilingi. Namun, dihentikan oleh si kepala hitam.
"R-rin! Jangan mendekat. Bagaimana jika dia missing-nin?"
"Dasar penakut," ejek si kepala putih sambil melirik teman se-timnya.
"Apa kau bilang, Kakashi-teme?!" Si kepala hitam menatap tak suka laki-laki yang dipanggilnya Kakashi.
"Sudah, sudah, kalian berdua. Kenapa kalian jadi bertengkar?" Rin—teman se-tim mereka berusaha melerai pertengkaran yang biasa dilakukan oleh Kakashi dan Obito. "Dan aku rasa dia bukan orang jahat. Lihat, dia seumuran dengan kita, kurasa." Rin berjongkok mengamati 'objek' yang ternyata adalah seorang gadis yang sepertinya pingsan.
"Apakah dia terluka?" tanya Kakashi ikut berjongkok mengamati gadis yang pingsan itu.
"Hm, kurasa iya. Aku akan memeriksanya," ucap Rin seraya membalikkan tubuh gadis itu yang semula miring.
"Eh? Dia orang Konoha?" Obito bertanya penasaran sambil menunjuk hitai-ate yang terpasang di dahi gadis berkacamata itu.
"Bagaimana dia bisa berada di sini?" tanya Kakashi. Dia mengamati gadis itu dan wajahnya terasa asing. Kakashi sama sekali tak mengenalnya. "Apakah kalian berdua mengenalnya?"
Rin menggeleng, ia lalu memeriksa tubuh gadis itu dan ternyata terdapat lebam di beberapa bagian tubuhnya. Tidak parah memang tapi pasti menyakitkan. Dia segera mengeluarkan chakra hijaunya.
"Aku baru pertama kali melihat gadis ini," sahut Rin.
"Aku juga, eh, tunggu." Obito mendekati gadis itu dan membulatkan kedua bola mata hitamnya yang tersembunyi di balik google-nya. "D-dia Uchiha?!" teriaknya sembari menunjuk simbol yang berada di pakaian gadis itu—simbol kapas berwarna merah dan putih, simbol Uchiha.
"Benar," gumam Kakashi. Ia menatap gadis itu dengan penasaran. Seorang Uchiha berkeliaran di hutan sendirian, dan ia rasa gadis itu masih genin. Bagaimana bisa dia berada di sini?
"Kau mengenalnya Obito?" tanya Rin.
Obito menggeleng. "Aku bersumpah baru kali ini aku melihat gadis ini. Aku tidak pernah melihatnya sekalipun di distrik Uchiha."
"Kau yakin?"
"Tentu. Aku tidak mungkin tidak mengenal anggota satu klan-ku sendiri kan?" Obito berujar pelan.
"Jadi kita harus menunggu dia sadar agar mengetahui siapa dia," kata Kakashi tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis itu.
Gadis dengan rambut hitam sebahu itu tiba-tiba mengeluh pelan, kedua matanya lalu terbuka menampakkan sepasang bola mata hitam di balik kacamata frame merahnya. Dia mengerjapkan matanya berulang-ulang hingga akhirnya dia dapat memfokuskan diri ke sekelilingnya.
"Kalian siapa?"
.
.
.
Sarada merasa tubuhnya sangat kelelahan, tubuhnya terasa kaku dan sulit untuk digerakkan, belum lagi pusing yang melanda kepalanya. Ia berusaha membuka kedua matanya dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba tertangkap oleh kedua matanya. Ia mengerjapkan matanya berulang kali hingga ia benar-benar terbiasa dengan sekelilingnya.
Kedua matanya menyipit saat melihat tiga orang yang sepertinya sebaya dengannya, mengelilinginya.
"Kalian siapa?"
Orang-orang di hadapannya saling berpandangan tak menjawab pertanyaannya. Sarada mengerutkan dahinya bingung, kepalanya terasa pusing dan ingatannya seperti tercampur aduk menjadi satu. Dia memegang kepalanya dan teringat bahwa dirinya terjatuh ke sebuah jurang.
"Kau baik-baik saja?" Gadis dengan helaian cokelat pendek itu mendekatinya. "Biar aku melanjutkan menyembuhkan luka-lukamu," ujar gadis itu seraya berjongkok dan mengeluarkan chakra hijaunya dan ditempelkan di lengan Sarada yang tampak membiru.
Sarada menatap gadis di hadapannya dengan bingung. Dia tak mengenal gadis ini padahal sepertinya mereka seusia. Selain itu hitai-ate yang ada di dahi mereka menandakan mereka semua adalah orang Konoha membuat Sarada makin bingung, dia tak mengenal satu pun di antara mereka bertiga—atau tidak. Sarada menatap lelaki yang memakai kaus hitam dengan garis putih di bagian lengan, tangannya mengenakan lengan baju hitam dengan pelindung lengan logam di atasnya. Namun, bukan itu yang membuat Sarada tertarik untuk mengamati lelaki itu, masker yang menutupi sebagian wajahnya dan menampakkan dua bola mata hitam itu terasa familiar di ingatannya.
"Kau..." Sarada menyipitkan kedua matanya menatap lelaki itu. "Kakashi-ojisan?"
.
.
.
"Kakashi-ojisan?"
Kakashi mengerutkan dahinya heran. "Kau mengenalku? Dan ojisan?"
"Hahaha, Kakashi-teme! Kau dipanggil ojisan olehnya," sahut Obito sambil tertawa.
Kakashi melirik sebal Obito lalu kembali menatap gadis di hadapannya yang sepertinya dilanda kebingungan. Gadis itu masih menatapnya dengan sorot heran.
"Kenapa kau melihatiku seperti itu?"
"Eh, tidak." Gadis itu mengalihkan pandangannya darinya. "Hanya saja kau terlihat seperti seseorang yang aku kenal."
Rin menatap gadis yang sedang diobatinya, setelah dirasa cukup ia menghentikannya. "Aku pikir cukup. Memang belum sepenuhnya sembuh tapi aku yakin kau akan segera baik-baik saja." Rin berdiri dan mengulurkan tangannya membantu gadis di hadapannya berdiri.
"Terimakasih," ucap gadis itu terdengar tulus. Tak sengaja matanya menangkap wajah Kakashi kembali.
"Apakah kau sendirian?" Rin bertanya kepadanya. "Oh ya namaku Rin. Nohara Rin. Salam kenal," ujar Rin mengulurkan tangannya yang segera dibalas gadis itu.
"Sarada. Uchiha Sarada."
Rin membulatkan kedua matanya. "Kau sungguhan seorang Uchiha?"
Sarada menatap heran Rin. "Iya, aku seorang Uchiha."
"Tidak mungkin! Aku tidak pernah melihatmu di desa sebelum ini, tidak, bahkan di distrik Uchiha aku tak pernah melihatmu." Obito berseru kaget.
Sarada menatap ketiga orang di hadapannya yang tampak terkejut. "Sebenarnya aku juga tidak pernah melihat kalian bertiga di desa. Dan, ah dimana kita? Teman-temanku pasti mencariku."
"Kau sedang ada dalam misi?" tanya Kakashi dengan pandangan penuh selidik.
"Hm. Aku tak sengaja berpisah dengan teman-temanku."
"Oh ya, aku belum memperkenalkan diri. Aku Uchiha Obito, dan di sebelahku ini adalah Hatake Kakashi."
"Kau... Uchiha?" seru Sarada seraya mengamati Obito dengan tatapan penasaran, lalu ia ganti memandang Kakashi. "Dan kau benar-benar Kakashi-oji—maksudku, Hatake Kakashi?"
Kakashi menaikkan salah satu alisnya heran, dia menatap Sarada heran. Gadis itu seolah-olah melihat hantu ketika menatap dirinya dan Obito. Dan wajah kagetnya itu bukan mengada-ada, dia memang sedang kebingungan akan sesuatu.
"Aku harus kembali ke desa. Bisa kalian mengantarku?"
.
.
.
Langkah Sarada terhenti, kedua matanya melihat jauh ke patung Hokage.
"Tidak mungkin," gumamnya dengan takut. Kedua mata hitamnya membulat menatap patung Hokage yang hanya ada tiga, padahal saat terakhir ia melihatnya terdapat tujuh patung Hokage, dari Hokage Pertama—Senju Hashirama hingga Hokage Ketujuh—Uzumaki Naruto, tapi yang ia lihat sekarang hanya ada tiga patung Hokage.
"Hei, kau kenapa? Kenapa kau berhenti?" tanya Obito.
"Tidak." Sarada mengalihkan pandangannya ke sekelilingnya dan melihat desa Konoha yang ia kenal berbeda jauh dari yang ia tahu. Segalanya terlihat lebih 'kuno'. "Aku ingin bertanya. Sekarang tahun berapa?"
Tiga orang di hadapannya saling pandang satu sama lain.
"Apakah kepalamu terbentur sesuatu hingga melupakan tahun berapa sekarang?" tanya Obito heran.
"Jawab saja aku," desis Sarada.
Kakashi menatap Sarada lalu menjawab pertanyaan Sarada dan pekikan keluar dari mulut Sarada.
"Tidak mungkin," seru Sarada dengan kedua matanya yang membulat kaget. Ia menatap sekitarnya dan mundur selangkah.
"Hei, kau kenapa?" Obito memanggilnya namun tak dihiraukan oleh Sarada. Sarada membalikkan badannya dan berlari dengan kencang. Ia tak tahu akan kemana, tapi untuk saat ini ia tak bisa berada di sini. Ia belum bisa menerima bahwa sekarang dirinya berada di masa lalu.
Ini pasti mimpi! Tidak mungkin aku berada di sini. Mustahil. Tidak mungkin, oh Tuhan...
.
.
.
-to be countinued-
Seharusnya ini oneshoot tapi ternyata sangat panjang. Jadi aku potong, mungkin akan jadi 3 - 4 chapter. Untuk pairing-nya sori kalau kelewat crack. Sejak lama pengen banget nulis fic bertema time travel. Akhirnya kesampaian di fic ini.
Terimakasih sudah membacanya.
Mind to review?^^