Akashi menggandeng tanganmu menuju atap. Kedua bekal masih kalian pegang pada satu tangan bebas. Kau diam—menikmati setiap langkah seirama yang kalian lalui bersama.

Pemuda di sebelahmu juga tampak nyaman dengan atmosfir tenang pada koridor minim insan berlalu lalang. Ah, Akashi kan memang cenderung tak banyak bicara.

Tak lama, kalian telah sampai di depan pintu atap.

Kau mengerjap kala Akashi membuka pintu—menarikmu masuk dalam ruangan terbuka tersebut. Awalnya kau duga lokasi itu tenang, berpemandangan indah, dengan tanah semen kuat bersih, dan sejuk.

"Dai-chan! Aku kan sudah bersusah payah membuatkannya untukmu!"

"Geh, Satsuki! Singkirkan itu! Aku tidak mau!"

"Kurokocchi! Kau mau mencoba masakan Momocchi—ssu?"

"Kyaaaaa! Tetsu-kun mau?!"

"Maaf, Momoi-san. Aku sudah memberi roti di kantin."

—Tapi coret kata tenang. Di sini jauh dari kata tenang.

Stay by My Side

*Chapter 4*

Story © alice dreamland

The Basketball which Kuroko Plays © Fujimaki Tadatoshi

Genre: Romance, Drama, Hurt/Comfort (maybe)

Warning: Typo(s), all in 2nd PoV, alur lambat/ngebut, AkashixIgnorant!Reader, slight KisexReader, OOC, Request Nakamura Hikari

Terus terang, kau suka suasana damai tentram tanpa pencemaran suara berlebihan.

Dan entah, kau tak menyangka bahwa teman masa kecilmu setiap hari hidup dalam lingkup kecil yang berisik dan buat pusing kepala.

Terlebih dengan kehadiran Kise Ryouta sang model ahli tutur kata.

Ups, padahal kau jelas-jelas mendengar perintah Akashi untuk Kise segera ke atap. Sekali lagi—salahkan naturmu yang tidak peduli akan lingkungan sekitar.

Dalam ruangan terbuka itu—kau dapati enam orang berbeda warna rambut. Ah, maksudmu delapan orang; termasuk dirimu dan Akashi. Sedikit kau heran, itu asli atau dicat? Kenapa warnanya begitu norak?

Kini kalian berdua telah bergabung makan bersama mereka—duduk membentuk lingkaran. Dengan Akashi di sebelah kananmu, lanjut Midorima di sebelah kanan Akashi, kemudian Murasakibara, setelah itu Kise, Aomine, Momoi, Kuroko, dan kembali pada dirimu.

Kau sangat bersyukur posisimu berada di antara Kuroko dan Akashi. Jika di sebelahmu Kise, mungkin hal akan bertambah buruk dan nafsu makan hilang total.

(Apalagi mengingat Kise telah menerjangmu dengan pelukan erat penghabis udara tak lama setelah masuk dalam kawasan. Yang langsung kau hadiahi dengan rontaan—namun tidak membuahkan hasil; serta berhasil membuat Akashi turun tangan mengancamnya dengan gunting.)

Entahlah, kau tidak tahu apakah Akashi peduli padamu atau hanya karena dirimu yang dipeluk Kise menghalangi jalan masuk atap. Seingatmu, Akashi menatap Kise tajam—sangat tajam dan menakutkan—tak lupa aura gelap menggumpal yang berhasil membuat Kise mengambil langkah seribu dari posisi.

Kau sudah terbiasa dengan karakter Akashi yang berubah-ubah, jadi tidak mempermasalahkannya. Toh ia tetap Akashi di lihat dari mana pun juga.

Ehem. Kembali pada sekeliling.

Jadi, seiring mendengar percakapan mereka, kau sadar bahwa keenam teman (entah mengapa kau tak yakin mengenai hal ini, sungguh) Akashi adalah rekan setimnya dalam ekstrakulikuler basket—kecuali Momoi yang berkedudukan sebagai manager.

"Dia siapa, Satsuki?" Seorang lelaki berambut biru tua menunjukmu dengan tak sopan. Kau mendelik—menjawab meski tahu pertanyaan itu diajukan pada sang gadis berambut merah muda.

"[surname][name], yoroshiku." Datar—sedikit membungkuk.

"Momoi Satsuki, yoroshiku [surname]-chan!" Gadis merah jambu berucap—melambaikan tangan. "Lalu lelaki di sebelahku ini Aomine Daiki. Dia teman masa kecilku!"

Kau mengangguk. Hendak menyendok nasi lagi jika tak menyadari Akashi menatapmu lurus. Kau menoleh heran—menaikkan sebelah alis. Namun jika Akashi mau membicarakannya, pasti akan dikatakan—jadi kau putuskan tidak menghiraukannya.

Kembali memandang sekeliling, pandanganmu bertemu dengan seorang lelaki asing bertubuh raksasa—setidaknya itu pendapatmu. "Kau siapa? Tolong perkenalkan dirimu."

Ia menatapmu sayu—bertutur malas, "Murasakibara Atsushi... yoroshiku [surname]-chin." Tangannya berusaha membuka bungkus camilan yang ia bawa. Kau mengerjap.

Chin...?

Kenapa ia memanggilmu seperti itu? Apakah ia seperti Kise yang suka memodifikasi nama panggilan seseorang? Tapi sepertinya lelaki ini terlalu malas melakukannya...

Ah, sudahlah. Kau menghela napas.

Nanti kau juga akan tahu sendiri jawabannya. Manikmu kembali meneliti suasana setiap insan dalam ruangan.

Kise dan Aomine tampak sedang mempeributkan sesuatu secara berisik, Momoi berusaha melerai mereka namun kemudian memeluk Kuroko—kala tidak berhasil—yang duduk makan dengan tenang (kasihan sekali karena kini ia menjadi korban tersedak).

Akashi memakan bentonya secara tenang, begitu pula Midorima (meski kau dapati tsundere itu sedikit mendelik pada Aomine dan Kise dengan tidak suka).

Memutuskan mengabaikan, kau kembali melahap nasi beserta lauk pauknya yang telah dibuka. Sepuluh menit berlalu tenang—bagimu yang tak hiraukan sekitar—selagi mulut mengunyah.

Nasi dengan sup tofu andalan butler keluarga Akashi memang sangat enak. Apalagi mengingat ia telah bersama kalian semenjak kau diangkat bagian dalam keluarga mereka, pria dewasa itu telah tahu persis makanan kesukaan tuan muda.

Eh? Lalu bagaimana denganmu?

Jujur, kau bahkan bingung—atau malas berpikir—jika ditanyakan hal semacam itu. Karena itulah, kau cenderung mengikuti apa yang Akashi mau (kecuali ada hal yang kau tak suka—di saat itulah kau akan kukuh pada pendirianmu).

Butler keluarga Akashi—Yamashiro Takeda—juga mengerti jelas (ralat, sangat jelas) apa jawabanmu jika ditanyakan hal berupa pilihan.

"Sama seperti Sei" atau "Terserah."

Lagipula Akashi adalah manusia dengan pilihan bagus nan memuaskan, kau yakin pilihannya selalu berhasil membuatmu puas (meski tak dipungkiri tidak semua yang Akashi pilih adalah hal yang kau 'sangat' sukai—intinya: lumayan).

Kau sangat jarang meminta atau menginginkan sesuatu (sekali lagi salahkan dirimu yang begitu cuek dan tak pedulian). Jika ada yang kau inginkan, kau pasti akan berusaha membelinya dengan uangmu sendiri—lebih tepatnya uang yang diberikan ayah Akashi dan uang kerja sambilan.

Eh? Kerja sambilan?

Ya. Terkadang kau mengikuti kerja sambilan pada liburan musim panas—atau jika ada pekerjaan yang menarik perhatianmu, kau akan langsung mencobanya.

Akashi tentu tidak ikut, ia sudah sibuk dengan berbagai les serta urusan perusahaan ayahnya yang kelak diwariskan padanya. Sedangkan kau? Masa depanmu belum jelas—rencananya; kau akan diadopsi ayah Akashi dan ditunangkan.

Ia pernah memperbincangkannya denganmu sekali secara pribadi, kau sendiri tak masalah jika diadopsi—namun entah mengapa ayah Akashi yang merasa bimbang dengan keputusan ini. Namun waktu mendengar kata ditunangkan, mau tak mau kau sedikit kesal.

Selama ini kau adalah orang yang bebas, hidup tanpa terikat dengan sesuatu yang pasti, juga melakukan segala hal yang kau sukai secara sendiri. Jika ditunangkan, ada kemungkinan kebebeasanmu terambil—hidupmu diikat dan diatur.

Kau benci itu.

Namun setelah berpikir dua kali, sepertinya tak apa—toh kau yakin ayah Akashi juga menginginkan yang terbaik untumu yang notabene telah dianggap anaknya sendiri.

Kau menghela napas—bekal tanpa sadar telah habis dalam gengaman. Cepat, kau menutup kotak dan membungkusnya kembali dalam kain. Yang lain pun tampaknya telah selesai dengan makan mereka dan tengah bersantai.

Sepertinya kau selesai terakhir karena proses penyendokanmu yang kecil juga lamban—serta otak yang terus berpikir tanpa menyadari keadaan lingkungan.

"Sou ieba, apa yang kelas kalian lakukan untuk festival nanti?" Midorima angkat bicara.

"Eh? Festival apa?"

"Kau tidak tahu, [surname]? Setiap tahun di Teiko diadakan festival musim semi." Lelaki hijau itu menjawab—menaikkan kacamatanya yang tak berpindah posisi bahkan sesenti pun (mungkin hanya untuk terlihat keren—pikirmu).

"Oh ya, benar juga." Kau menggaruk sebelah pipi canggung. Baru teringat olehmu Akashi yang biasa mengajakmu mengikuti festival musim semi setiap tahun di sekolahnya pada masa SMP.

Tapi sungguh, ini baru hari pertama dan tak lama lagi diadakan festival? Memang, setahumu kelas tidak berubah—hanya beberapa murid dipindah serta dimasukkan (dan itu membuat sekelas mudah menentukan pilihan karena telah saling mengenal).

Namun tetap saja—tidakkah ini terlalu cepat? Atau mungkin memang sengaja dilakukan dua minggu ke depan demi pembauran para murid baru?

Sepertinya iya.

"Eh—chotto, darimana Midorimacchi mengenal [surname]cchi?!" Kise memekik tiba-tiba. Entah kau tak yakin, tapi sedikit kau rasa ada secuil ketidak sukaan (kecemburuan) di sana. Menghela napas pasrah, kau menjawab.

"Kami pernah bertemu sebelumnya, itu saja." Kau menyibak rambutmu ke belakang punggung—menoleh pada sekeliling, mengganti topik yang berkemungkinan memanjang. "Ngomong-ngomong, apa yang kalian lakukan untuk festival tahun ini?"

Sebenarnya kau tidak terlalu penasaran, hanya saja ini pertanyaan yang pertama muncul di benakmu untuk mengalihkan pembicaraan.

Momoi membatin sejenak—dan ia tampak sangat manis di matamu saat melakukannya. Jika kau lelaki, kau yakin akan jatuh hati terhadapnya (masalahnya kau normal; kau itu perempuan—straight, oke?).

"Kalau tidak salah, 10-D—ah, maksudku kelasku—melakukan Maid Café saat festival." Momoi tersenyum kecil. Kau mengangguk-angguk datar (meski hatimu sedikit antusias, kau jarang menunjukkan emosi berlebihan di hadapan orang lain).

"10-F melakukan drama musikal dan berbagai permainan pasangan." Aomine berujar acuh tak acuh. Permainan pasangan? Semacam love trial kah?

"10-H—kelasku dan Murasakibara—melakukan photo booth beragam latar dan tempat meramal," seru Midorima. Kau menaikkan sebelah alis. Meramal? Tipikal Midorima sekali.

"Kelasku, Akashicchi, dan [surname]cchi akan melakukan—"

"Drama dan Crossdressing Café." Akashi melanjutkan ucapan Kise—bekal telah terletak rapi di hadapannya. Dan aura gelap mencuar di balik punggungnya.

"Huwaa! Aku baru saja mau mengatakan itu!" Kise merengek. Kau tidak memedulikannya dan mulai masuk dalam kereta pikiran. Crossdressing? Jadi perempuan mengenakan seragam lelaki, dan lelaki mengenakan seragam perempuan?

Tapi—wait! Ada yang aneh di sini. Mengapa Akashi mau setuju dengan hal semacam ini? Apa ia mau mengenakan wig berambut panjang dan dress berumbai-rumbai penuh pita semacam itu?

Terakhir kali kau memintanya mengenakan neko mimi, ia langsung menghujanimu dengan lusinan gunting—ah, cukup. Kau tidak mau mengingat memori pembuat trauma itu lagi—di mana dirimu menjadi sangat panik (dan out of character) berlarian menghindari maut.

"Pemilihannya berdasarkan lottery, jadi semuanya harus setuju—ssu." Kise tampak tidak mempermasalahkannya, malah ini hanya penghelihatanmu atau ada aura beribu bunga bertaburan di sekelilingnya.

Weird. Aneh sekali.

Kau sendiri tak mempermasalahkannya, mau memakai apa yang penting enak dan tidak terbuka—jadi intinya; kau suka mendapat pilihan menggunakan baju pria. Lain hal dengan sang emperor yang tampaknya berpendapat sebaliknya.

Bukannya kau tidak mau menghiburnya, tapi siapa pun akan takut berhadapan dengan Akashi yang kini dipenuhi aura hitam menggumpal.

"K-Kelas 10-A melakukan drama apa?" tanya Momoi berusaha antusias—mencairkan suasana akibat aura kelam yang dikeluarkan Akashi Seijuuro seorang. "Juga bagaimana dengan drama musikalmu, Dai-chan?"

"Enggh, entahlah." Aomine memasukkan jari kelingking dalam telinganya. "Sepertinya Cinderella versi penuh nyanyian."

Momoi mengangguk-angguk. "Jaa, bagaimana kelasmu, Ki-chan?"

"Drama Putri Tidur—ssu."

"Putri Tidur? Bukannya itu ada adegan ciumannya?" Aomine kembali angkat bicara—entah bagaimana ia bisa langsung connect ke bagian tertentu.

Hening.

Semuanya speechless.

Tidak tahan suasana cangung, Midorima pun bertanya, "Apa kalian sudah tahu perannya?"

Kise menggeleng. "Belum, tapi setelah ini akan diundi—ssu."

"Sebenarnya kapan acara kelasnya ditentukan? Bukannya kita baru masuk hari ini?" tanyamu heran. Kali ini kau benar-benar ingin tahu. Sungguh, bukankah semuanya baru masuk hari ini? Lalu bagaimana bisa kau tidak tahu?

"Tadi pagi, di saat kau tersesat," ucap Akashi. Kau mengalihkan pandangan padanya—mengerjap beberapa kali. Pantas saja kau tidak tahu. Kalau Kise, mungkin telah mendapatkan info tersebut dari kawan-kawan lamanya.

"Sebaiknya kita masuk kelas sekarang, sebentar lagi pelajaran dimulai." Akashi selaku ketua OSIS mengingatkan.

"Ah! Benar juga!" Kise berdiri diikuti yang lain lalu kalian semua pun berjalan pergi menuju kelas berbeda.


"Nee, nee, apa yang kau dapat?"

"Aku dapat bagian peri!"

"Souka? Aku dapat narator lho!"

"Curanggg! Aku dapat bagian ratu! Huh, apalagi rajanya Okie-kun! Bukan Kise-kun!"

Kini kelas 10-A telah selesai melakukan pengambilan peran serta murid yang bertugas di balik layar—toh tak mungkin semuanya tampil di panggung (hanya setengah lebih sedikit mendapat bagian akting).

Para perempuan sibuk mendiskusikan peran yang mereka dapat setelah melakukan lottery—kecuali kau yang memilih duduk tenang membaca buku di bangku, tanpa (atau belum) membuka lipatan kertas yang diserahkan padamu.

Lottery itu berupa potongan-potongan kertas kecil bertulisan peran masing-masing dan dilipat—kemudian dikocok dan diambil.

Mayotitas murid lelaki tampaknya gembira dengan segala role yang didapat. Sedangkan para wanita mengeluh—merasa dicurangi karena peran mereka berdialog banyak.

Brak!

Tapi lain hal dengan lelaki berambut merah yang satu ini. Ia berdiri dari bangku, menggebrak meja—menyebabkan sekelas seketika tegang, memandangnya takut kala aura gelap mencuar di balik punggungnya.

Jemari Akashi memegang sebuah kertas yang terbuka, dengan tulisan rapi bertinta hitam—milik sekretaris kelas sang pengelola ide.

[Putri]

Seketika semua melotot menyadarinya dan mundur seribu langkah—kecuali dirimu yang tak menyadari, menatap halaman buku intens. Kise yang takut pun berusaha memperingatimu—namun naas, tak kau hiraukan nasehat (atau ajakan) kaburnya.

"Akashi-kun jadi putrinya?! Uso!"

"Tunggu—kalian tidak memisahkan mana peran perempuan dan laki-laki?! Bagaimana ini! Akashi-kun tampak marah! Huwaa! Aku tidak mau mati muda!"

"Meski Akashi-sama marah, ia tetap keren ya!"

"Kau salah fokus! Kita harus lari dari tempat ini! Atau kita akan celaka!"

"Kyaa! Aku penasaran apa yang akan dikenakan Akashi-kun selaku putri absolut! Lalu siapa pangerannya? Kise-kun? Kuharap begitu!"

"Hei, tidak baik memikirkan hal semacam itu! Dan selain Kise-kun, [surname]-chan juga belum membuka lipatan kertasnya. Ada kemungkinan [surname]-chan jadi pangeran."

Akashi yang telah mengangkat guntingnya—bersiap melempar—kembali menurunkan tangannya kala mendengar ucapan seorang murid lelaki. Meski ia hanya berbisik—telinganya mampu mendengar ucapan karena suasana sangatlah sunyi.

Ia memejamkan kedua matanya sejenak seraya menghela napas. Mengalihkan pandang padamu yang sibuk membaca tanpa menyadari hampir terjadi perang dunia ketiga. Kau bahkan tak merespon meski Akashi telah berada di hadapanmu.

Kise? Ia menonton dari pinggir—bersama siswa-siswi lain.

"[name]." Akashi berucap datar. Tak menoleh sedikit pun, jemari membalikkan halaman—tanda kau sadar tapi mengacuhkan Akashi.

Mulai muncul perempatan di pelipis Akashi.

"[name]." Sedikit lebih keras—bonus penekanan pada ucapan. Telingannya mendapati kau menghela napas kecil, membuat Akashi mengerjap. Awalnya ia berharap kau akan menutup buku—mengalihkan pandang padanya seraya menanyakan apa maunya. Tapi—

"Iya, sebentar. Sedikit lagi halaman ini selesai."

—sepertinya itu sangatlah tidak mungkin untuk [surname][name] yang terlampau cuek. Bahkan kau tak menatap Akashi sedikit pun, tatapan terus lurus pada halaman novel misteri karangan Agatha Christie.

Perempatan di pelipis Akashi pun mengganda.

Entah bagaimana ia bisa begitu sabar menghadapimu yang setiap hari memberikannya jawaban serupa kala dipanggil atau pun diperintah.

Beruntung jika kau datang beberapa menit kemudian, tapi ada case di mana kau bahkan menjawab namun merasa tidak menjawab (dalam inti lupa bahwa kau telah menjawab) sehingga kau tidak datang setelah tiga puluh menit dipanggil.

Menyebabkan Akashi harus masuk ke kamarmu—mendapati kau dalam aktivitas semula: membaca fanfiksi—seraya menarikmu keluar.

Itu pun kau masih mengeluh dan menjadi bad mood.

(Meski sesungguhnya Akashi lah yang jadi merasa jengkel dengan dirimu).

Lelaki berambut merah itu menghela napas kesal. Kau memang sejak dulu sangat sulit diperintah dan diatur. Bahkan ayahnya mengakui, kau sangat sulit diperintah—jika moodmu sedang buruk.

Meski itu bukan berarti ia membencimu.

Entah bagaimana—ia tidak tahu—hatinya tak dapat membencimu meski berusaha sebanyak apa pun.

Kembali maniknya menoleh padamu yang sedang mencari pembatas buku. Namun karena tidak berhasil menemukan apa pun, akhirnya memutuskan menggunakan tisu, meletakkannya pada halaman terkait—menutup buku.

Dan manikmu mengadah padanya—lurus dan heran. Tampaknya kau bingung mengapa Akashi menganggumu di saat dirimu sibuk beraktivitas, tapi kau memang telah bosan membaca—jadi tidak masalah.

Akashi bersyukur ia tidak perlu mengambil bukumu karena kau merespon lambat (jika terfokus pada sesuatu, kau dapat menjadi siput). Dan kini ia mengamati permukaan mejamu—mendapati sebuah kertas kecil terlipat rapi.

Undianmu.

"Kau tidak membukanya?" tanya Akashi—menautkan kedua alis. Kau mengerjap kala lelaki itu memberikanmu kertas tersebut. Tak merubah posisi duduk, menerimanya—membukanya cepat.

"Ah, maaf. Aku lupa aku belum membukanya." Kau tak menatap Akashi—sibuk meneliti tulisan bertinta hitam dalam kertas. "Peranku—"

Stop.

Tenggorokanmu tercekat. Manikmu melebar sesaat—sebelum kembali normal meski Akashi dapati kau tak melanjutkan ucapan, membiarkan frasa mengambang.

"Apa peranmu?" Lebih menekan—meski kini ia tahu jelas peran apa yang kau dapat dalam drama Putri Tidur kelas 10-A.

"—pangeran." Terpaksa menjawab—mengerjap tidak percaya. "Bukankah peran perempuan dan laki-laki dipisah? Bagaimana bisa aku..." Kembali mengambangkan kalimat, mengerjap-ngerjap dengan senyuman kaku. Kemudian berdiri.

"Bagaimana denganmu, Sei?" Mencondongkan badan ke depan—berusaha melihat tulisan di kertas kecil pada kertas di genggaman sang lelaki.

"... Putri?"

Hening. Kau tak berkomentar. Hanya mengerjap—membaca ulang kata yang tertera beberapa kali, tidak percaya (atau lebih tepatnya tak dapat membayangkan) Akashi sebagai seorang putri tidur dengan rambut panjang bergelombang.

"Maji de, Sei?"

"..."

—Uh oh, tampaknya takdir sedang mempermainkan mereka.


Gomenasai jadi aneh banget :'v Semoga suka, maaf kalau banyak kekurangannya. Rencananya sih pengen humor, tapi jadinya garing amat huh /crais/ spesialisasi saya bukan di sana *gigit tisu*

Nanti lihat saja akhirnya tuh drama kayak apa #dor

Btw, chap ini saya kepicut sama Cardcaptor Sakura. Dan saya belum bilang kalau chap dua adegan ketemu Kise itu terinspirasi dari Nagareboshi Lens, ya? Gomenasai ;w; tapi entah lanjutannya gtu atau ngak (saya kudet cuman nton animenya doang; langsung pacaran tuh Risa sama cwonya).

Maaf lama lanjut. Saya baru aja pulang sekolah, langsung ngebut lanjut ngetik di rumah—tinggal sedikit. And finally—update!

Ini balasan review anon:

-Guest

Makasih ;3 Senang rasanya. Ini sudah saya lanjutkan~! Makasih banyak sudah rela mereview ya!

-kumaa

Douitashimashite, selama saya masih terus update—saya selalu balas. Biasanya kalau dari akun, saya bales pake PM kok hehee. R-Rapi? Padahal di RL saya ngak rapi lho anaknya #plek

Panggil saya apa aja saya ga keberatan kok '-')/ *yey*

Ha'i, ganbarimasuuuu! X3 Makasih banyak! Dan terima kasih telah mereview!

Terima kasih banyak bagi semuanya yang telah mereview, fave, fol, dan membaca cerita ini. Maaf jika chap ini kurang memuaskan; saya akan berusaha lebih baik untuk chpater depan~! Sekali lagi, terima kasih banyak!

Sekian.

~alice dreamland