HUNjustforHAN

Present

.

.

.

.

.

DESIRE

.

Chapter 17

.

.

.

.

.

What would I do without your smart mouth ?

Drawing me in and you kicking me out

Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down

What's going on in that beautiful mind

I am in your magical mystery ride

And I am so dizzy, don't know what hit me

But I'll be alright

.

.

.

.

.

Aroma pahit kopi menguar diujung siraman air mendidih. Cangkir putih bertangkai emas ramping menadah kental dan buruknya kafein dalam satu kenikmatan yang menyenangkan. Segar udara di pukul tujuh pagi tersaji di balik jendela kaca bersih di sisi kanan.

Hidung Luhan mengkerut saat dia menghirup aroma minuman hitam suaminya. Berulang kali dia mengatakan pada Sehun bahwa kopi tidak bagus bagi kesehatan, dan telinga segar Sehun mendengarkan semua ocehan Luhan tanpa mau bersusah payah mengingatnya dalam otak. Dia akan membaca koran paginya khitmat sambil menunggu bibir manis istrinya capek mengomel lalu mendapatkan secangkir kopi kesayangannya. Beratus kali Luhan melarang, maka beratus pagi juga dia tetap membuatkan secangkir kopi untuk Sehun. Sedangkan Luhan sendiri merasa puas setiap kali uap teh hijau menyentuh mukosa di hidungnya dan meluruhkan segala tekanan dalam pikirannya.

"…kopi bisa meningkatkan kadar trigliserida dan kolesterol dalam tubuh, itu menyebabkan lemak tubuh mengendap lalu pembuluh darah menyempit," Luhan datang dari dapur bersama dua buah cangkir di tangannya, "Akhir yang tragis adalah serangan jantung dan stroke," omelnya seperti biasa pada Sehun yang sibuk mengecek schedule hari ini di ponsel pintarnya. Kakinya yang panjang duduk bersilang di kursi meja makan.

Luhan mendengus karena diabaikan. Kopi suaminya tumpah sedikit saat dia meletakkannya dengan keras dan berhasil mendapatkan perhatian Sehun. "Terimakasih, Sayang," kata laki-laki itu bersama senyuman hangatnya yang membuat Luhan mendengus lebih parah.

Tubuh langsing Luhan yang dibalut kemeja coklat mocca dan rok selutut bergelombang ringan memutar kursi dibelakang Sehun, "Minum air putih setelah mengkonsumsi pacar hitammu itu," judes Luhan. Dia menghirup ringkas teh hijaunya sebelum meletakkannya santai di atas meja. "Aku ke atas. Sebentar lagi jam bangun tidur Mingguk."

Sehun menoleh pada lekukan sempurna tubuh istrinya, "Bawa kemari jika anakku sudah bangun," ujarnya menghirup kopi.

Tangan Luhan menyangga pinggangnya dengan gay abos marah-marah, "Wow. Kata-katamu seperti Mingguk lahir dari rahimmu, Sayang. Haruskah ku ingatkan jika aku sendirian di ruang persalinan 15 bulan yang lalu ? Dan sejam setelah Mingguk lahir barulah seseorang datang dengan wajah super berantakan dan menangis tidak tau malu. Berani sekali kau menyebutnya 'anakku' dengan gaya seperti aku tidak berjuang sedikitpun disini."

Senyum Sehun terbias kecil disudut bibirnya. Dengan santai dan napas oke-oke saja dia meletakkan ponsel pintarnya ke atas meja. "Sedang menstruasi ya ? Sensitif sekali," ujarnya konyol. Dia mendesis saat kuku lentik Luhan tertanam di perutnya, meraih tangan itu sebelum menggigit lengan istrinya gemas.

"Kau jorok!" Teriak Luhan mendapati lengan tangannya basah oleh Sehun, sedangkan laki-laki itu tersenyum senang. "Kumohon jangan berlagak menjadi seorang vampir, Oh Sehun."

Sejak menikah Sehun berpuluh tingkat lebih jahil, dan Luhan, beratus tingkat lebih cerewet.

Jemari Luhan disintak oleh Sehun dan ditempelkan pada dagu lancipnya yang menawan, merasa remahan dari kulit sehalus bayi milik istrinya bisa mendamaikan apapun. "Maaf. Seharusnya aku berada disampingmu saat proses persalinan. Menemanimu berteriak, menyediakan rambut untuk kau jambak, ataupun memberikan tangan untuk kau gigit. Jauh hari sebelumnya aku bahkan sudah membuat daftar hal-hal apa saja yang harus kulakukan saat kau melahirkan, tapi sayangnya semua pecah. Berantakan," kata Sehun menciumi punggung tangan istrinya, "Tidak seharusnya aku datang terlambat." Menyesal.

Belaian disurai hitam Sehun menjadi pertanda bahwa makhluk mungil cerewet dihadapannya sudah luluh. Beginilah wanita. Sedetik marah, sedetik kemudian bahagia.

"Bukan salahmu. Aku yang memaksamu pergi, kan ?" tukas Luhan bernada setentram angin sore. Senyum gemilang diwajahnya bahkan lebih indah dari bias aurora di langit kutub. Tapi nampaknya Sehun tidak tertarik, karena apa yang dilakukan laki-laki itu hanya melongo akut. "Kenapa?" heran Luhan.

"Tidak. Hanya…..Takjub saja ada wanita yang mau mengakubersalah di dunia ini."

Satu cubitan lagi untuk sang suami.

.

.

.

.

.

Oh Mingguk. Bayi laki-laki berusia 15 bulan dengan kondisi tubuh subur dan pipi tembam menggemaskan. Lahir dari pernikahan Oh Sehun dan istri mungilnya yang kini telah berubah menjadi ibu muda setelah melalui masa perang batin yang hebat.

Bibir tipis dan mata sipit Sehun menurun pada Mingguk, tapi untuk kulit seputih bulu angsa dan semu merah dipipi seperti ranum anggek hutan adalah titisan dari ibunya, Oh Luhan.

Mingguk selalu mencuri perhatian. Terlahir dari ayah setampan bara api neraka dan ibu secantik pantulan cahaya bulan di danau surga membuatnya dielu-elukan sebagai sebuah perpaduan kesempurnaan. Kepintarannya menjiplak otak Sehun, sedangkan sikap manis dan tingkah manjanya jelas meniru apa yang dia lihat dari sang ibu.

Luhan memberikan ASI eksklusif sepanjang waktu yang disarankan Chanyeol, jenis makanan terbaik daripada segala nutrisi yang terkemas dalam botol di apotik. Dia memasok baju kemeja ringkas lebih banyak, karena pikirnya akan lebih mudah jika Mingguk mempunyai masalah lapar dengan perutnya. Hanya membuka beberapa kancing kemeja dan masalah menyusui tidak memakan banyak kerepotan.

Sedikit atau banyak, Luhan mengambil peran sebagai istri dan ibu rumah tangga yang mengagumkan, walaupun tidak dipungkiri dia masih membutuhkan bantuan dari Baekhyun dibeberapa kesempatan. Kehadiran Baekhyun punya manfaat sendiri, dan sejak beberapa bulan lalu Luhan merasa ada yang janggal pada gadis itu. Wajah juga matanya terlalu jujur mengatakan bahwa dia sering bersemu setiap kali dokter muda, Kim Chanyeol, datang memeriksa kondisi Mingguk. Sebulan lalu pula Luhan menguping obrolan ringan mereka di sudut pantry dapur tentang bagaimana sejarah hidup Chanyeol di Inggris ataupun seberapa tinggi kadargarang yang dimiliki Ibu Baekhyun pada mantan-mantan kekasihnya (Baekhyun). Jika bukan tujuan untuk pendekatan, tidak mungkin mereka berbagi kisah pribadi masing-masing.

Tapi semua itu hak pribadi. Siapa yang bisa melarang rasa suka ?

Kembali pada Mingguk; bocah kecil yang ahli sekali memusingkan ibunya dengan tingkah lincahnya. Masalah pempers dan pakaian akan menjadi kesulitan serupa disetiap pagi, dan disaat seperti ini bantuan Baekhyun sangat dibutuhkan.

"Baek, bisa tolong pegang Mingguk sebentar ?" Luhan menoleh pada Baekhyun yang baru melintas di pintu kamar, "Kamar mandi pecah oleh tangan jahil si nakal ini. Aku harus membersihkannya sebelum melihat bahu Sehun terkulai karena parfume kesayangannya tinggal kenangan."

Pihak yang dimaksud menggangguk simpel, "Tentu, Lu. Biar aku yang urus pangeran nakal ini," katanya mengambil alih Mingguk, menggemas di kenyal pipi si bayi.

Butuh 20 menit bagi Luhan membereskan semuanya. Entah bagaimana anak Sehun yang baru berusia 15 bulan itu membuat kegaduhan semenakjubkan ini di kamar mandi.

"Baek," Luhan melempar handuk kepala ke keranjang pencucian dan melangkah keluar, "Bisa tolong ambilkan bubur bayi Minggu di bawah ? Sebentar lagi jam sarapan Ming…..Mana Mingguk ?"

Baekhyun mengendikkan bahu menuju belahan pintu kamar yang tersibak, "Diculik oleh ayahnya," katanya tersenyum tulus melihat bahu Luhan lemas.

"Lelaki itu! Kenapa harus jadi suamiku sih!"

.

.

.

Dunia punya nada sendiri untuk bernyanyi tentang lagu-lagu cinta dan kekecewaan. Begitu pula Sehun yang mengatur nadanya sendiri menikmati seluruh rentetan hidupnya.

Jika dulu apa yang pintu loby kantornya temui setiap pagi adalah Sehun yang berjalan tegap dengan wajah tampan antagonis, namun sekarang keadaan jauh lebih baik. Perubahan yang menyenangkan bagi semua orang melihat Sehun mulai tau caranya tersenyum. Menjadi seorang ayah memberikan efek perubahan yang signifikan.

Lihat saja pagi ini, saat di masa lajangnya Sehun akan datang bersama segerombolan api di pucuk kepala, maka di masa taken dia datang bersama seorang bayi mungil di tangan kanannya dan juga tangan kokoh sebelah kiri menggenggam botol susu. Ravi menyusul di belakang dengan sekotak mainan.

Awalnya mungkin terasa aneh memiliki seorang anak bagi Sehun yang memilih ideologi liberalisme untuk gaya hidupnya, ataupun saat Mingguk buang air kecil sembarangan di kemeja kerjanya dan dia harus rapat sepuluh menit kemudian, semua merepotkan. Tapi Sehun juga tidak mengerti alasan mengapa dia menyayangi makhluk kecil menyebalkan itu lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri. Kenakalan Mingguk, Sehun pusing pada tingkah liar anaknya, tapi dia juga suka membawa Mingguk ke kantor dan berakhir dengan menelpon Luhan jika Mingguk buang air. Luhan akan merepek, itu pasti.

Mereka baru saja memasuki lift, Ravi harus menekan tombol angka dengan siku karena dua tangannya penuh oleh kotak mainan Mingguk. Bocah kecil itu terkikik melihat Ravi kesulitan, Ravi curiga jika besar nanti Mingguk akan sama menyusahkan seperti ibunya, Oh Luhan.

Yang Mulia.

"Ravi.."

"Ya, Tuan."

Sehun melirik Ravi di sisi kanan, "Bubur bayi Mingguk kau bawa kan ? Dia tidak boleh telat makan," katanya lanjut mencubit sang anak. Sedangkan Ravi, membeku di tempat.

"M-maaf, Tuan. Saya…. meninggalkannya dalam mobil," ujar Ravi kemudian berhasil membuat Sehun melotot.

"Bagaimana bisa kau melupakannya ?! Mingguk bisa mati kelaparan!"

Sebenarnya Sehun sedikit berlebihan, tapi tidak ada yang bisa membantah disini. Termasuk Ravi yang menciutkan kepala dan lebih memilih berdoa dalam hati daripada menyelakan alasan. Berharap saja dewi keselamatan sedang mengikutinya hari ini dan…

ponsel Sehun berbunyi.

Ravi harus puas pada botol susu yang semakin memperberat kotak bawaannya, memberikan Sehun waktu merogoh ponsel disaku celananya kemudian….

"Hallo sa..."

"YAK! OH SEHUN! KEMBALIKAN ANAKKU SEKARANG!"

Sesuai ekspektasi, Luhan meledak dalam letupan ocehannya. Sehun harus menjauhkan ponsel dari telinga beberapa saat agar suara lengkingan Luhan tidak merusak gendang telinga.

Mingguk menyukai ini, saat wajah ayahnya memelas meminta pertolongan dari amukan sang ibu, dia terkikik kegirangan mendengar bagaimana ibunya bisa menyelesaikan rentetan kalimat menarik dalam satu helaan napas. Ravi juga tidak jauh berbeda. Dia harus menahan tawanya agar tidak keluar terbahak-bahak melihat bagaimana sedetik lalu Sehun mengomel tidak menyenangkan ditelinganya dan sekarang, Sehun harus berhati lapang menebalkan sedikit pendengarannya untuk ceramah singkat yang ia dapatkan dari istrinya secara gratis.

Itu pasti.

Yang Mulia.

.

.

.

.

Luhan membiarkan rambutnya tergerai lurus siang ini, tanpa gulungan apapun atau pita-pita mungil yang membuatnya terlihat seperti gadis kelas senior menengah atas. Walaupun Sehun tidak pernah sekalipun mempermasalahkan bagaimana Luhan mengolah penampilannya, tapi Luhan tau jika dia ingin menginjakkan kaki di kantor suaminya, dia harus berpakaian sedikit lebih dewasa dan normal. Tidak lucu jika tiba-tiba ada klien Sehun yang menemukannya dalam balutan bendo hello kitty pink menggemaskan, bisa-bisa dia disangka keponakan Sehun alih-alih sebagai istrinya.

Reseptionist lantai dasar otomatis membungkuk saat Luhan masuk, diikuti beberapa karyawan lain yang jelas mengenalnya baik sebagai Nyonya perusahaan. Satu-satunya makhluk dunia yang dapat menginjak Sehun dibawah tumit highheelnya.

Luhan selalu mengagumkan. Bertambah bagus dengan kemeja putih lengan panjang tertempel dasi berbentuk simpul pita tegas di lehernya, juga lekukan tubuh bawahnya yang digelut rok ketat pendek berwarna darkgoldenrod. Dia menggambarkan tubuh langsing ibu menyusui yang bahagia dan menutupi dengan teliti beberapa tumpukan lemak hasil melahirkan.

Siang ini mulutnya sedikit berisik dengan omelan-omelan kecil tentang Sehun. Sudah terhitung lima kali dia melarang lelaki itu untuk menenteng anak mereka ke kantor jika pada akhirnya Sehun masih belum bisa mengurus popok bayi sendiri. Bukannya Luhan lelah melakukan tugasnya sebagai ibu, hanya saja cuaca sedang panas bukan main dan Luhan sangat tidak suka mendapati kulitnya menggelap karena itu; malu tidak bisa mengimbangi kulit albino Sehun.

Jongdae sedang menjepit gagang telpon di pundak dan rahangnya saat Luhan keluar dari pintu lift 25. Dia terlihat sibuk mencatat sesuatu pada note kecil bercover merah maroon seperti anak sekolah dasar yang mencatat soal ujian. Saat Luhan melintas, otomatis saraf kejut milik Jongdae berfungsi cepat yang menyambung lurus pada gerakan tegak tubuhnya. Luhan melambai tidak perlu, berkata pada Jongdae bahwa dia tidak perlu melakukan itu. Luhan bukan Nyonya Besar yang gila hormat.

"Sama sekali tidak bertanggung jawab." Adalah kalimat pertama dari mulut Luhan begitu dia memasuki ruang kerja suaminya lalu mendapati Sehun sibuk di meja sedangkan Ravi menjaga Mingguk yang belum fasih berjalan di dekat sofa. Bermacam mainan terhampar di lantai seperti pasar loak. Padahal Luhan jelas kenal sekali jika suaminya seorang penggila kerapian. "Ravi punya banyak pekerjaan daripada menjaga bayimu, Oh Sehun," marahnya sambil bersedekap dada.

Sehun menilik Luhan kemudian tersenyum layaknya orang tuli, "Istriku datang," dia berujar simpel tanpa rasa bersalah. Meletakkan pulpen di atas meja, dia beranjak menghampiri istri cantiknya. Sehun sudah menyiapkan bibir yang sehat untuk mencium Luhan siang ini sebelum Luhan malah menabrakkan tasnya ke perut Sehun dan meminta lelaki itu memegangnya secara gratis seperti penjaga barang sewaan.

Senyum Ravi merekah sempurna saat Luhan datang untuk mengambil alih si nakal. "Maaf sudah merepotkanmu, Ravi," kata Luhan merasa bersalah.

Laki-laki itu mengendikkan bahu, "Apapunlah untuk Yang Muliaku dan Pangeran Mahkota nakal ini."

Luhan menyentuh pundak Ravi, "Dapatkan beberapa cup kopi dan makanan yang bernutrisi sekarang. Energimu harus diisi," katanya.

Ravi linglung, "Tapi …"

"Jam istirahat masih setengah jam lagi Nyonya Oh, dan sebagai Direktur perusahaan ini aku mengingatkan," Sehun menyahut dibelakang. Surai depannya yang terangkat menampar keras kewarasan perempuan.

Dan Luhan merupakan wanita yang melupakan kewarasan itu, "Peduli apa aku, wahai Tuan Direktur ?" Mata bulatnya mendial pada Ravi agar segera mencari beberapa porsi ayam panggang madu untuk makan siang, tapi sepertinya Ravi punya masalah dengan lem di telapak sepatunya. "Ravi, aku yang menjamin pekerjaanmu tetap aman. Jadi pergilah dan kembali dalam keadaan kenyang dan sehat."

Kaca mata Ravi sedikit turun saat dia menundukkan kepala dan menghilang di balik pintu.

Mingguk membasahi rambut hitam ibunya dengan memasukkan beberapa helai ke dalam mulut sebelum Luhan memekik kecil agar Mingguk berhenti. "Jangan rambut mommy, sayang. Itu bukan brownies buatan paman Xiumin," rutuknya pada Mingguk yang merajuk.

Selagi Luhan membujuk Mingguk, Sehun sudah berada tepat di sebelah pundaknya. "Kurasa ini perusahaanku, dan orang yang baru saja kau berikan waktu istirahat lebih adalah karyawan disini -ralat- sekretaris pribadiku. Siapa dirimu Nyonya sehingga berani-beraninya memerintah semau hati ?"

Hembusan napas Sehun Luhan rasakan di lehernya. Luhan mendengus, "Mau tau siapa aku, Tuan ?" balasnya bermain kalimat.

"Jika anda bersedia," tangan Sehun terulur meraih pinggang Luhan. Merambat di ujung tulang ekor istrinya, berputar tidak senonoh dibagian tubuh belakang Luhan dan dia bisa saja melakukan pelecehan terencana pada istrinya sendiri andai saja Luhan tidak mendorong Mingguk pada dekapannya.

"Aku.." dia menunjuk Mingguk, membiarkan mata anaknya mengerjab rajin sekaligus polos tanpa dosa sebelum berkata,"Wanita yang memberimu anak!"

.

.

.

.

Wanita itu seolah punya waktunya sendiri. Sesuka hati berkata gembira, bergelora penuh akan hidup dan menyatakan cinta sebanyak yang dia bisa, lalu sedetik kemudian membuang laki-lakinya menjadi kulit ice cream coklat dalam tong sampah. Luhan berada dalam waktu yang dimaksud sekarang.

Moodnya benar-benar buruk entah karena apa. Dari kemarin dia selalu punya komentar tentang apapun yang dilakukan Sehun, bersyukur jika sekarang Sehun adalah lelaki cuek yang akan menanggapi omelan istrinya dengan sebuah ciuman, walaupun diujungnya dia mendapatkan omelan lebih panjang.

Di tangan Sehun sudah siap siaga sebuket bunga mawar merah yang harumnya lebih menggoda daripada mukjizat pohon zaitun dewi Athena. Luhan mungkin masih dalam mode pesawatnya yang menyebalkan. Begitu otak Sehun pikir.

Namun ketika dia membuka pintu kamar mereka, melihat Luhan baru saja meletakkan Mingguk dalam babycot biru ceria seperti warna gaun Cinderella, Sehun melepas napas dengan tenang. Sepertinya ibu muda itu telah mendarat di bumi dan berhasil menghirup oksigen normal.

Wanita kan? Berubah seenak jidat mereka.

"Bunga untuk siapa ?" piyama sutra lemah bertali spaghetti milik Luhan berayun senang melihat Sehun datang bersama mawar semerah darah. Dia menghampiri suaminya, sengaja menampilkan wajah kekanakan yang dia miliki sejak lahir. "Mingguk sudah tidur, dan anak kita laki-laki kuingatkan. Bunga bukan mainan anak laki-laki," katanya.

Sehun mendekat, "Anakku bermain robot," dia menggoyangkan satu kotak mainan ditangannya yang lain kemudian menjatuhkannya di sofa, "Bunga itu untuk satu ciuman panas," goda Sehun sambil menjulurkan buket-nya pada Luhan.

Seperti gadis kasmaran kemarin hari, Luhan merona. Diterimanya bunga itu untuk di lemparkan ke ranjang lalu menarik krah kemeja suaminya dihandarkan menuju dinding terdekat.

"Bagian mana yang ingin dipanaskan ?"

"Bolehkah semuanya ?"

Luhan menjinjit untuk menggigit ujung hidung Sehun. "Serakah bukan ajaran yang benar."

"Masih perlukah sebuah kebenaran dibicarakan di atas ranjang ?"

"No, Sehun!" katanya bukan demi menjawab pertanyaan, melainkan memberi larangan pada Sehun agar tidak mengganggu posisi celana dalamnya dari tulang pinggul.

Laki-laki itu memelas, "I hope yes," dia memohon lebih parah saat Luhan menggeleng. "Mau menunggu apalagi ? Tidakkah cukup membuatku bersabar 15 bulan terakhir ?"

Kekehan Luhan terdengar serak, "Mingguk terlalu kecil untuk mendapatkan seorang adik. Kalaupun tidak," jemarinya bermain di rambut hitam legam Sehun, membiarkan nyawa suaminya merintih menunggu kepastian, "Jika kau punya stok karet pengaman, mungkin aku tidak akan kejebolan. Yah, jika kau punya."

Itu bukan bentuk penolakan dari Sehun saat dia melepaskan diri dari hadapan Luhan demi berlari menuju laci meja nakas, membongkar sesuatu yang tidak jelas dari sana dan berakhir dengan desahan keras tersakiti.

"Sial! Selama menikah stok kondom-ku tidak pernah diisi ulang," jerit Sehun frustasi yang membuat Luhan geli. Wanita itu mengabaikan suaminya yang sekarat di telan nafsu, sedikit tidak punya hati saat dia malah berbaring nyaman di ranjang dengan Sehun bersungut resah mengontrol dirinya sendiri.

Ternyata memiliki istri terlalu cantik itu tidak selalu menyenangkan.

"Simpan gairahmu sampai besok," kata Luhan, berniat menjahili suaminya sebelum kedua alisnya bertaut untuk sesuatu yang hebat. Dia melihat Sehun merogoh kunci mobil di saku celana. Suaminya seperti berniat pergi. "Mau kemana ?"

"Mencari minimarket terdekat yang menjual kondom," jawab lelaki itu dan berlalu meninggalkan Luhan yang melongo.

.

.

.

Jika dua puluh menit lalu Luhan masih waras dengan eskpresi wajahnya, namun sekarang mungkin harus dipertanyakan kemana rahangnya yang tirus itu jatuh. Dia tidak bisa memejamkan mata sementara Sehun sedang berkeliaran mencari mas kawin malam panas. Bila lelaki itu sudah berusaha, maka yang terjadi adalah apa yang sulit untuk dibayangkan.

Luhan berdebar sendiri.

Lalu saat pintu kamar terbuka dan Sehun menampilkan senyum miringnya yang menyebalkan, Luhan tau ini akan terjadi.

Satu kantong berukuran sedang ditumpahkan di sisi ranjang.

"Sehun, sebanyak ini ?! Kau waras ?!"

Sayangnya Sehun sudah membayar kewarasannya di sinar laser merah meja kasir.

"Mau rasa apa ?" dia bertanya sekaligus menantang kegilaan Luhan. "Banyak pilihan, Nyonya."

"Kau mengosongkan seluruh barisan kondom di rak minimarket ya?"

"Seluruh stok-nya kurasa."

"Ya Tuhan! Adakah manusia lebih gila dari suamiku ?!" erang Luhan merasa Sehun tidak pernah main-main dengan sesuatu bernama gairah.

"Kegilaan yang akan membuatmu puas, sayang. Jadi jangan pernah mempertanyakan betapa gilanya aku," ujar Sehun membalas pertanyaan Luhan. Tangannya mulai meloloskan satu persatu kancing kemejanya, membiarkan leher Luhan gelisah oleh saliva pensaran milik perempuan.

Sehun menaiki selangkangannya, Luhan berniat duduk untuk mempertanyakan apakah ini serius pada Sehun yang langsung ditolak lelaki itu dengan cara mendorong tubuhnya kembali jatuh.

"Ini bukan rapat, tidak ada interupsi atau apapun yang lain."

Piyama Luhan diloloskan dari atas. Keberuntungan Sehun adalah Luhan lupa memakai bra malam ini. Payudaranya yang segar dan lincah tumpah dihadapan Sehun. Masih kencang seperti dulu, waktu pertama kali Sehun menikmati payudara ini dalam mulutnya.

Masih belum menyentuh apapun akses (yang berlebihan) menuju tubuh istrinya, Sehun beranjak dari selangkangan Luhan untuk melorotkan celananya sendiri.

"Strawberry."

Luhan memalingkan wajahnya ke samping, menahan malu karena ketahuan mengeluarkan isi pikirannya saat Sehun kebingungan memilih rasa untuk mempermanis malam mereka.

"Strawberry ? Okay." Satu bungkus berwarna merah di kusak, lalu di pakai pada milik Sehun yang luar biasa. Entah Luhan berungtung atau tidak ketika dilahirkan dengan dirinya yang sempit sedangkan jodohnya memiliki kejantanan yang melebihi kata besar memuaskan. "Memakai pengaman, aku seperti penjahat yang akan menyetubuhi gadis perawan," kata Sehun geli.

Dia mempermainkan Luhan lewat tatapannya sampai gadis itu kehilangan pikiran rasional sebagai seorang dewi kemakmuran. Dan ketika Luhan nyaris berusaha membiasakan diri, Sehun terlebih dahulu menarik pelapis bawahnya lalu menikmati istrinya tampil bugil dengan tubuh sebening berlian.

"Pelan-pelan, oke?" Luhan memberi saran di nada suara cemasnya. Tapi Sehun malah mengendikkan bahu.

"Tidak janji," jawabnya cuek, mengangsur kaki Luhan hingga menekuk nyaris utuh dan menyibaknya sampai Luhan meringis untuk kakinya yang terlalu lebar.

Luhan selalu mempertanyakan dimana akal sehatnya saat Sehun berada di atas tubuhnya dan siap menungganginya seperti kuda betina yang haus disetubuhi. Mendapatkan gelar seorang suami, Sehun nampaknya tidak mementingkan sebuah perizinan. Dia melakukan apapun yang dia suka pada tubuh Luhan selama wanita itu menyukainya.

Permulaan mereka yang akan ditambahi Sehun dengan ciuman-ciuman manis dari puncak kepala sampai ke ujung pusar adalah sesuatu yang memutarbalikkan bola mata Luhan menghilang tanpa pupil. Kerasukan setiap kali lidah Sehun mempermainkan bibir-bibir bawah diantara selangkangannya.

Kemudian saat Sehun kembali tegak dan semakin melebarkan bukaan pahanya, Luhan bertaruh kepercayaannya pada bahu bidang Sehun.

Satu erangan melambungkan tulang rusuk Luhan demi menerima suaminya masuk tertanam. Tapi Sehun harus mendorong sekali lagi dan melambungkan tulang belakang Luhan lebih tinggi lagi agar mereka benar-benar menyatu dalam satu kenikmatan yang menggigit bibirnya agar tidak menjerit.

Semua kesadaran di muka bumi terpungut habis setiap kali Sehun melesakkan diri dalam tubuh Luhan. Bergerak sesuai nyanyian erotis para pelacur-pelacur neraka yang menjanjikan kepuasan beratus tingkat di atas awan-awan.

Luhan merasakannya. Kepuasaan Sehun yang mengobrak-abrik tubuhnya seperti iblis menjilat bunga api hingga menjadi bara. Sengaja membakar Luhan dengan cara berputar-putar pada pusat kenikmatan wanita yang membuat Luhan mengelinjang seperti wanita buta kepanasan.

Sehebat itukah gairahmanusia ?

.

.

.

.

Hari separuh sehat. Mingguk adalah bayi penyuka mimpi dan tidur. Sangat pengertian pada ibunya yang bangun sedikit terlambat pagi ini hasil ulah liar ayahnya yang kurang waras. Lelaki itu membooking tubuh istrinya sampai lewat dari tengah malam. Selesai dengan semua cairan sperma dalam kantong karet pengaman, mereka berdua terkapar nyaris kehilangan nyawa.

Luhan mendapatkan tubuhnya remuk di bukaan mata pertama. Bahunya ngilu dan selangkangannya mengatakan bahwa mereka terlalu gila semalam. Rasa perihnya yang asing membawa Luhan seperti gadis perawan, padahal dia sudah melewatkan masa itu beberapa tahun lalu.

Selimut tidak lagi berfungsi dengan baik karena begitu Luhan memposisikan dirinya untuk duduk, hanya selangkangan mereka yang tertutupi. Merasa heran kenapa tubuhnya tidak kedinginan terlelap dalam posisi tersebut.

Dia melirik sekilas pada Sehun, mendapati dada bidang Sehun setengah terlentang. Akan pas sekali untuk Luhan menempelkan dirinya disana seperti parasit.

Perhatian Luhan teralihkan pada bias cahaya dibalik tirai gorden kamarnya. Ini sudah sangat pagi dan sepertinya dia harus membiarkan Xiumin menyiapkan sarapan seorang diri.

Tubuh Luhan yang lentik menggeliat saat dia menarik tangannya bersimpul ke atas, meneruskan keinginan sendi-sendinya meregangkan diri agar permulaan hari ini menjadi lebih santai. Begitu awalnya, sampai saat Luhan menjerit kecil untuk rambutnya yang ditarik dan tubuhnya jatuh terhandar ke belakang.

"Mau kemana ?" bisik seseorang ditelinganya, mengekang tubuh bagian atas Luhan dengan lengannya yang kokoh dan berotot, "Meninggalkanku tanpa morning kiss itu perbuatan illegal, Nyonya."

Luhan mengela napas rendah, "Ada cara lebih berkualitas meminta sebuah ciumandaripada menjambak rambut istrimu pagi-pagi," kesalnya kemudian bergerak gelisah mencari jalan keluar dari dekapan suaminya.

Sehuk terkikik, "Payudaramu terlalu jauh untuk ku jangkau," ujarnya lalu membalas gerakan-gerakan kecil Luhan dengan sebelah kaki melingkari pinggang istrinya. "Maaf kalau sakit," satu kecupan dia daratkan di puncak kepala Luhan kemudian diusap berkali-kali. Mata Sehun masih terpejam saat dia melakukan itu. Menghembuskan napasnya pelan sampai Luhan merinding dan kedinginan.

"Mandilah. Sudah jam 7. Mau kekantorkan?"

Gumaman serak Sehun terdengar menggoda di telinga Luhan, "Hari sabtu. Aku akan cepat pulang," ujar laki-laki itu bukannya bangkit, malah melesakkan diri di leher istrinya. "Bagaimana dengan mandi berdua ?"

Luhan menyikut perut Sehun atas tawarannya, "Tidak lagi, Daddy," tolaknya, tapi pipinya yang merona jelas berkata bohong, "Jika kau berjanji hanya sebatas mandi, mungkin bisa. Mandi berdua,—"

Sehun tersenyum lebar walaupun Luhan belum menyelesaikan kalimat. Dia pikir tidak ada salahnya mengerjai wanita ini dan membuat air dalam bath up pecah bergelombang selagi dia merasuki Luhan dengan gairahnya. Namun saat terdengar suara rengekan dari arah baby cot di samping, mereka saling pandang. Sehun harus mengambil cangkul dan mengubur dalam-dalam imajinasinya di bawah pohon pinus.

"—maksudku….., mandi bertiga."

.

.

.

.

Chanyeol, dokter muda yang dulu bekerja semau hati di klinik keluarganya, telah mendapatkan arti dari apa yang dia sebut dengan 'uang hidup'. Sejak ayahnya, dokter Kim, memutuskan berhenti menstransfer uang dalam jumlah banyak ke dalam rekeningnya dan mengganti uang jajan Chanyeol menjadi gaji perbulan, Chanyeol harus memperhatikan dengan baik jadwal kerja yang telah disusun. Kalau tidak, Ferarri kesayangannya tidak akan bergerak kemana-mana karena kehabisan bahan bakar.

Tahun pertama dilalui Chanyeol dengan keluhan dalam jumlah terhadap lingkungan kerjanya tidak berjalan cepat. Ayahnya sama sekali menjadikan dia pegawai biasa di Rumah Sakit walaupun pada kenyataannya dia adalah keponakan direktur di Rumah Sakit tersebut. Chanyeol memang sopan, namun dalam hidupnya dia berpikir bahwa dia hanya ingin menjadi dokter biasa di klinik keluarganya dan bekerja saat dia mau saja. Toh, seluruh keluarganya sudah menjadi dokter yang professional. Chanyeol bukanlah satu titik yang penting. Menjadi dokter professional bukan keinginannya. Saat itu Chanyeol hanya tidak tau harus memilih kuliah jurusan apa dan ayahnya bilang dia sudah terdaftar menjadi salah satu mahasiswa baru Fakultas Kedokteran di Inggris. Ya sudah, Chanyeol tinggal kuliah.

Namun sekarang, Chanyeol merasa dia telah menemukan alasan kenapa dia harus menjadi seorang dokter professional.

Pertemuan dengan Sehun, dibawa mengenal Luhan yang manja dan memasuki kehidupan kecil mereka menjinjing Chanyeol masuk dalam permainan ini.

Bukan. Bukan karena dia mencintai Luhan atupun berpikiran kotor untuk membawa kabur istri Oh Sehun itu -Chanyeol masih sayang nyawa -tapi sesuatu yang lebih sederhana. Sehun dan Luhan membuatnya bertemu dengan gadis manis berbibir mungil dan juga suara cicit burung yang menawan.

Byun Baekhyun. Satu alasan kenapa Chanyeol menyempatkan diri berkunjung ke kediaman keluarga Oh diantara jadwalnya yang padat, berkilah bahwa dia merindukan si nakal Mingguk walaupun tidak sepenuhnya bohong. Entahlah, padahal Chanyeol bisa langsung mengatakan pada Baekhyun bahwa ada ketertarikan yang dia rasakan disetiap tatapan mata mereka. Mungkin salah Baekhyun yang memiliki sikap ramah terlalu parah pada semua orang. Chanyeol harus bertanya ulang pada dirinya sendiri apa wanita itu punya perasaan lebih terhadapnya ataukah perlakuan Baekhyun selama ini hanyalah sebuah kewajaran.

"Hai, Bee."

Bee untuk Baekhyun.

Baekhyun medongak, "Hai, Yeol" balasnya sejenak lalu kembali berkutat pada potongan buah apel di meja dapur. "Sudah selesai menjahili Mingguk ?"

Chanyeol mengangguk, menggaruk leher belakangnya meskipun tidak gatal. "Ya. Dan kurasa dia bertambah nakal dari hari ke hari," kakinya berhenti di seberang Baekhyun. Takut salah tingkah jika berada disamping gadis itu dan menghirup aroma lavender dari tubuh Baekhyun yang menyakiti logika. "Tapi Mingguk anak yang pintar."

Baekhyun tersenyum, "Mau ?" tawarnya sambil mengacungkan satu potong apel ke depan wajah Chanyeol. Lelaki itu sempat melongo sebelum membuka mulutnya tanpa sadar dan menerima satu suapan dari si lavender. "Mingguk tidak nakal, dia hanya terlalu menggemaskan. Hiperaktif."

"Ya. Dan dia baru saja menyusahkan ibunya dengan menumpahkan mangkuk bubur tepat di sofa tengah."

"Benarkah ?" Baekhyun meletakkan pisau buah dari tangannya. "Aku permisi sebentar, Yeol. Tumpahan buburnya harus cepat dibersihkan," katanya berniat pergi sebelum Chanyeol meraih tangannya ringkas.

"Sudah dibersihkan oleh Bibi Nam."

"Oh," satu sahutan kecil yang Baekhyun tidak pernah tau bisa membuat keadaan berubah canggung. Mereka terdiam dalam posisi yang salah. Baekhyun melirik langit-langit dapur, sedangkan Chanyeol sibuk dengan pikiran lepaskan atau tidak ?lepaskan atau tidak ? melihat pergelangan tangan Baekhyun masih berada dalam rengkuhan jemarinya.

Dia menghela napas setelah memilih untuk melepas tangan Baekhyun. Ada guratan kecewa di ujung bibir gadis itu dan Chanyeol bahkan terlalu gugup untuk menyadarinya.

"Bee.."

"Hm ?"

"Satnite nanti, mau pergi kemana ?"

Oh! Chanyeol mengutuk nada gugup disuaranya.

"Aku ?" Jari lentik Baekhyun yang menunjuk dirinya sendiri –dan sialnya menunjuk tepat ke payudaranya—berhasil mencekik Chanyeol. Bahu sempit Baekhyun mengendik kecil. "Sejak beberapa tahun terakhir, satnite telah dihapus dari kalender harianku." Tawa kecil mengakhiri kalimatnya.

"Tidak membawa seseorang berkunjung kerumahmu ?"

Ya! Bagus Chanyeol! Itu adalah pertanyan paling menjijikkan sepanjang sejarah!

"Tidak lagi."

"Kenapa ?"

Senyum sederhana Baekhyun yang menggoda. Dia harus mengehentikan itu sebelum Chanyeol menjadi abu di corong perapian. "Karena kau belum bertemu ibuku."

"Ibumu ? Kenapa memang?"

"Yah, sedikit memalukan. Tapi harus kukatakan jika hubunganku berakhir setiap kali pacarku pulang setelah bertemu ibu. Ibuku seperti tukang interview pekerjaan. Banyak sekali profesi di dunia ini yang tidak dia senangi. Lumayan galak juga orangnya. Jadi aku memutuskan tidak berhubungan dengan siapapun dimulai dari beberapa tahun silam. Mungkin itu salah satu alasan kenapa ayah meninggalkan kami dan ibu terkena hipertensi."

"Bee, aku tidak bermaksud…"

Bahu Chanyeol dipukul pelan oleh Baekhyun, "Aku tidak secengeng itu, Yeol. Hidupku baik-baik saja. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku."

Sudut bibir Chanyeol tertarik ke atas dan dia suka melakukannya untuk Baekhyun. "Kau tau, Bee."

"Apa ?"

"Menurut survey, 73% ibu-ibu menginginkan menantu seorang dokter."

Baekhyun cemberut, "Pamer, ya ?" katanya menyikut perut Chanyeol.

Chanyeol menahan kepala Baekhun di telapak tangannya, mengabaikan rutukan gadis itu tentang ikatan rambutnya yang mencuat keluar. "Mau membuktikannya ?" tantang laki-laki itu berhasil membungkam Baekhyun. "Besok malam. Aku akan kerumahmu besok malam. Jikapun ibumu tetap tidak menyukai seorang dokter, maka akan kubawakan kartu berobat gratis seumur hidup untuknya. Bagaimana ?"

"Yeah, itu terdengar menakjubkan. Tapi kurasa tidak ada untungnya kau melakukan itu bila hanya sebagai ajang coba-coba."

"Ada." Ujar Chanyeol merunduk, "Agar aku bisa menikahimu."

Entahlah, mungkin Chanyeol sudah gila saat dia mengatakannya, atau saat dia membawa Baekhyun dalam sebuah ciuman manis yang memabukkan dan gadis itu menerimanya dengan sedikit terkejut, Chanyeol tidak berniat berhenti untuk langkah majunya yang sudah terlanjur basah.

Doakan dia selamat sampai tujuan.

.

.

.

.

"Mingguk, kemari sayang. Saatnya minum susu dan tidur siang."Luhan memijat pelipisnya saat diabaikan Mingguk. Si kecil sibuk sendiri dengan mainannya, menyingkirkan selimut selimut tebal milik ayah dan ibunya jika itu memang dia rasa mengganggu. Bermain robot-robotan tengah hari di ranjang orang tuanya adalah bagian yang membuat Mingguk senang.

Dibeberapa sisi, Luhan mengeluh Mingguk terlalu mirip dengan Sehun. Sebagai contoh, Mingguk punya konsentrasi tinggi ketika memainkan sesuatu, dia akan merengek bila Luhan sudah ikut campur dan mengatakan bahwa jam tidur segera datang. Itu berarti Mingguk harus melepaskan mainannya dan si kecil tidak pernah menyukai hal tersebut.

Seperti siang ini, Luhan menghela napas, mengalah dan membiarkan Mingguk tetap bermain pada tangan robotnya yang patah.

Tapi jika ditilik dari sudut pandang lain, sesungguhnya Mingguk memiliki sifat Luhan yang kentara. Keras kepala.

Pintu terbuka saat Luhan menyelesaikan napasnya.

"Daddy's coming…"

Lelaki yang mengaku seorang ayah datang.

Ini mungkin tidak benar, tidak masuk akal pada Luhan yang iri melihat Mingguk melompat kegirangan setiap kali Sehun pulang, selalu membawa sekotak mainan.

"Mainan lagi ?" Luhan bersedekap, bersandar di kepala ranjang. "Ruang bermain Mingguk sudah seperti toko mainan dan kau terus menambahnya dari hari ke hari. Anak kita bahkan belum mengerti cara memainkan semua itu."

Sehun mengabaikan Luhan, lebih memilih menangkap Mingguk dan menggulingkan tubuh si kecil ke ranjang hingga kikikan tawa puasnya tidak terelakkan. Cara tertawa Mingguk membuat dia kehilangan matanya, sipit dan menggemaskan.

"Jangan menggelitik Mingguk. Itu tidak baik."

Alis Sehun bertaut, dia setengah berbaring saat melirik istrinya di samping kanan lalu beralih pada Mingguk sedetik kemudian. Dia mencubit lembut hidung anaknya, "Mommymu kenapa ?Apa yang Mingguk lakukan hingga menumbuhkan tanduk dikepala Mommy, hm ?"

Jawaban dari anaknya, gelengan kepala dan tawa-tawa mungil yang bahagia. Sehun tidak tahan dengan tingkah si kecil, dia menciumi pipi gembul anaknya sampai tepukan dari Luhan dibahunya membuat Sehun berhenti. Mingguk memberenggut.

"Anak kita tidak suka dicium laki-laki," kata Luhan membuat Sehun terbahak.

"Ada apa ? Wajahmu murung sekali," Sehun berpindah ke sisi sebelah Luhan, memberi pipi si cantik kecupan singkat dan membiarkan Mingguk memutarbalikkan kotak mainan baru.

"Mingguk. Dia susah sekali meminum ASI akhir-akhir ini. Itu membuatku khawatir."

Jemari Sehun bermain dirambut Luhan ketika dia memikirkan sesuatu, memelintir ataupun merusak tatanannya tanpa sadar. "Biar aku yang membujuk Mingguk," kata Sehun. Luhan meragukan kalimat yang keluar dari bibir laki-laki ini, karena seringaian di wajah Sehun menayangkan potongan-potongan hal yang tidak masuk akal.

"Apa ?" antisipasi Luhan begitu Sehun mulai bermain dikancing kemejanya, "Sehun, jangan gila! Anakmu punya mata, Oh Sehun!" pekik Luhan dalam suara minim.

Tapi Sehun malah merangkum kedua tangan istrinya dalam satu genggaman, sedangkan tangannya yg kosong digunakan untuk meloloskan butir-butir kecil di baju istrinya. Luhan nyaris menendang Sehun saat lelaki itu berhasil melepas bra-nya. Sehun sinting!

"Mingguk.." lebih sinting lagi ketika dia mengundang anak laki-lakinya menyaksikan hal tidak senonoh ini. "Lihat Daddy."

Mata Mingguk berkedip-kedip, kurang mengerti mengapa ayah dan ibunya dalam posisi seperti itu. Ibunya yang meronta dan ayahnya yang menahan rontaan. Tapi saat ayahnya berkata, "Come and Follow Daddy," Mingguk melepaskan mainannya dan merangkak lincah menuju sang ibu.

Kepala Luhan pening melihat suami dan anaknya. Tidak mengerti mengapa Mingguk malah menuruti kata-kata Sehun untuk hal-hal semacam ini, semacam Sehun menghisap payudaranya dan mengajak Mingguk berlomba untuk itu. Lelaki memang punya otak kotor sejak lahir.

Satu cubitan peringatan di perut Sehun karena terlalu bersemangat.

"Mengalah pada anakmu," ujar Luhan galak, tapi tidak tahan untuk melepas kekehannya melihat Sehun mengusap bibirnya sendiri seperti anjing kehausan. "Nanti malam, giliranmu," bujuknya.

Sehun terlentang dengan kebahagian menari di atas hidungnya, "Bisakah malam dipercepat ? atau tidak adakah manusia yang bisa membuat katrol matahari ?setidaknya turunkan matahari lebih cepat dari bi—akh!"dia meleguh. Mingguk berdiri di atas perutnya.

"Mingguk, jangan nakal. Daddy kesakitan," Luhan memperingatkan tapi si kecil malah semakin melompat-lompat kegirangan. Dia menginjak-injak perut datar Sehun yang berotot.

"Tidak apa, Lu. Aku kuat—AKH!"

"Mingguk!"

Kejadiannya secepat kilat. Sehun yang berkata bahwa dirinya kuat dan Mingguk yang melompat-lompat sampai hilang keseimbangan kemudian berakhir dengan satu injakan di selangkangan ayahnya. Sehun menjerit, Mingguk terkejut dan Luhan lekas melarikan Mingguk dari sana.

Namun benar kata orang jika masa kecil adalah masa dimana hidup bebas tanpa beban. Karena ketika ayahnya sedang berguling-guling memegang kehidupan diselangkangannya, Mingguk malah mengeluarkan tawa tersengal-sengal.

Luhan tidak sanggup meredam diri, malah ikut tertawa bersama Mingguk sambil mencubit gemas pipi anaknya. "Kehidupan Daddy jangan di injak, sayang. Mingguk akan mengerti betapa berharganya itu saat dewasa nanti."

"Ya Tuhan! Sakitnya!"

"Kau baik ?" hati-hati Luhan bertanya pada Sehun, sekuat mungkin menahan diri agar tidak terbahak karena keringat dingin menari-nari di dahi suaminya. Lalu sistem kerja tubuh tanpa sadar yang membuat Luhan mengelus milik Sehun seraya menenangkan laki-laki itu, yang nyatanya tidak menghasilkan sesuatu yang lebih bagus.

Kata "Ahh.." adalah apa yang Sehun ucapkan berulang-ulang sebagai respon. Luhan tidak memahami itu semua diawal sebelum dia mendapati Sehun terpejam bersama raut wajah yang—

"Oh Sehun! Berhenti mendesah!"

.

.

.

.

.

Huangzi, wanita bermata lancip seperti kucing hutan yang mengagumkan itu membiarkan kepalanya terkulai di meja makan. Rambutnya di cat merah kehitaman seperti warna minuman bersoda yang di pesan untuk memeriahkan malam tahun baru. Segar. Namun tidak sesegar mimik wajahnya.

Satu tahun. Ya, satu tahun adalah waktu yang Huangsi habiskan menjadi istri seorang WuYifan. Dan sekarang, dengan sedikit aneh dia harus membiasakan telinga saat Yifan memanggilnya dengan sebutan Wuzi, Wu Zitao, alih alih memanggil nama aslinya. Yifan bilang Wuzi lebih terdengar menyenangkan. Seperti membeberkan pada dunia jika wanita bernama Huangzi telah resmi dinikahi seseorang berwarga Wu yang tampan. Huangzi mencemoh untuk alasan terakhir.

Yifan merupakan sosok suami idaman. Orang-orang yang mengerti kisah mereka sejak awal pasti tau alasannya dan tidak perlu lagi mengulang pertanyan kenapa, mengapa dan bagaimana. Dia mencintai Huangzi dengan sangat, namun hal itu juga yang membuat istrinya merasa tertekan.

Memang apa arti sebuah pernikahan jika tidak mendapat keturunan ?

Lima bulan lalu mungkin mereka memiliki kesempatan, tapi obat-obat pencegah kehamilan yang rutin Huangzi konsumsi sewaktu di Cina memberikan efek buruk terhadap kondisi rahimnya. Lemah, dan Huangzi harus berlapang dada saat janin di dalam kandungannya luruh pada usia menginjak lima bulan.

"Barang-barangmu sudah siap ? Besok kita berangkat pagi," Huangzi tidak bergeming, membiarkan Yifan mencium pundaknya lalu menarik kursi samping. "Terjadi sesuatu yang salah ?"

Huangzi menggeleng.

"Mau pindah lokasi honeymoon kedua kita ?" Yifan mencolek dagu istrinya, berniat bercanda namun sayang, Huangzi tidak berada dalam posisi tersebut. "Lenturkan sedikit wajahmu, Nyonya Wu. Tidak ada oranghoneymoon dengan ekspresi seperti ini."

Surai merah kehitaman Huangzi bergoyang saat dia menegakkan tubuh, menatap Yifan dalam dan membiarkan dahi suaminya berkerut parah.

"Fan.."

"Hm ?"

Uap napas Huangzi sampai di wajah Yifan, menafsirkan jika ada sesuatu yang ingin disampaikan wanita itu dan Yifan sabar menunggu.

"Bolehkah tujuan honeymoon kita besok diubah ?"

"Tentu saja. Apapun yang kau ingingkan," jawabnya menenangkan Huangzi lewat genggaman tangan. "Memangnya mau kemana ?"

"Bukan. Bukan tempatnya yang diubah."

"Lalu ?" Yifan keheranan.

"Aku tidak ingin honeymoon berdua, tapi… Bisakah kau membujuk Luhan agar meminjamkan Mingguk beberapa hari pada kita ? Akan sangat menyenangkan jika liburan ini kita membawa seorang bayi. Aku akan belajar cara memasang popok, membuat susu dan memandikan Mingguk. Tidak masalah jika nanti Mingguk mengotori bajuku ataupun menangis ditengah malam, aku bahkan akan menghapal lagu anak-anak untuknya dan—"

"Wuzi…."

Satu tetes jatuh di pipi tirusnya tanpa Huangzi sadari.

"A-aku…."

"Kumohon, jangan pernah tertekan karena itu. Sudah beribu kali kukatakan bahwa aku tidak pernah mempermasalahkan ini. Jikapun Tuhan tidak mengizinkan kita untuk memilikinya, masih banyak anak yatim piatu yang bisa diadopsi. Kita bisa membesarkannya bersama-sama. Aku bersumpah pada kata-kataku."

Dia memberikan pelukan hangat untuk suaminya.

"Teruslah hidup bersama sumpahmu. Karena jika bukan kau, tidak ada hal yang baik lagi pada hidupku."

"Ya. Karena Wu Yifan adalah suami terbaik di dunia. Tampan, tinggi, dan… Sexy?"

Dia sukses membuat Huangzi tertawa.

.

.

.

.

.

Menilai dari seberapa normal Sehun mencintai Luhan, mungkin dia sedikit melanggar batas. Walaupun tidak ada ketetapan yang menjadi tolak ukur akan cintanya, tapi Sehun benar-benar yakin itu lebih dari cukup.

"Itumu oke ?"

Dari bayangan dibalik cermin wastafel, Sehun menemukan kepala Luhan mengintip di celah pintu beberapa detik setelah Sehun membasahi wajahnya. Dia memutar tubuh, "Sedikit pijatan sangat berarti," ujarnya nakal, mengulurkan tangan untuk meraih Luhan dan mengukur seberapa sempurna lingkaran pinggang istrinya. Kecil, pas sekali.

"Masih berfungsi dengan baik ?"

"Meragukanku ?" Kemeja Luhan kusut saat Sehun mengangkat tubuhnya, disinggahkan ke atas sink cabinet dan melekuk indah seperti patung angsa. "Jangan khawatir. Punyaku masih keras, cukup untuk memuaskanmu semalaman."

"Inilah mengapa aku menahan gairahmu selama 15 bulan. Karena sekali diizinkan, kau benar-benar tidak tau diri."

"Dan lebih tidak tau diri lagi jika aku menelanjangimu disini."

"Oh Sehun!"

"Sstt. Pelankan suaramu. Mingguk sedang tidur dan aku sama sekali tidak mentolerir apapun yang mengganggu saat ini kecuali— Sial! Siapa yang sedang menghantarkan kepalanya untuk kupenggal!" Sehun meraih ponsel di celananya, bernapas di nada paling kesal kemudian melirik pada Luhan.

"Siapa ?" tanya Luhan dan Sehun langsung menghadapkan layar ponselnya.

"Umatmu."

"Kupenggal kepalamu Oh Sehun jika berani menceramahi Ravi."

Sesungguhnya Sehun tidak lebih beruntung daripada lelaki berkacamata itu.

.

.

.

.

Pukul 8 malam. Pikiran tentang pulang lebih cepat dan menghabiskan hari sabtu bermainn robot-robotan dengan Mingguk, ataupun mengusili Luhan sampai dia berang sudah pupus dari harapan. Sehun melonggarkan dasinya, membuangnya asal sebelum menelungkupkan diri ke ranjang.

Suara shower dari kamar mandi baru saja dimatikan, itu membuat otak Sehun mencerna kondisi kamar. Lalu beberapa selang kemudian pintu kamar mandi terbuka, mengeluarkan Luhan beserta rambut basahnya yang gemilang dan juga handuk tidak memadai untuk membuat dirinya terlihat sopan.

"O, Kau sudah pulang ?" tanya Luhan, melenggang begitu saja menuju ruang pakaian suaminya bahkan tanpa peduli Sehun ingin memberikan jawaban atau tidak. Dia sedang memilah gantungan kemeja putih di lemari Sehun saat pria itu datang.

"Tumben mandi malam."

Luhan menoleh sekilas ke belakang, menemukan Sehun berdiri tidak jauh darinya dengan salah satu tangan menelusup dibalik saku celana membuatnya merasa cukup. "Mingguk menumpahkan makan malam ke pakaianku. Tidak banyak sih, hanya saja tanganku sedikit terkena tumpahan bubur. Aku tidak suka rasa lengketnya, jadi kuputuskan mandi setelah menidurkan Mingguk sambil menunggumu pu— Yak! Oh Sehun! Apa yang kau lakukan?!"

"Meminjam handuk."

"Ada selusin stok handuk di lemari dan kenapa malah menarik handuk ditubuhku ?" Luhan mempertahankan handuk di dadanya agar tidak melorot lebih parah. Tapi tangan Sehun sangat nakal dengan terus menariknya ke bawah. Sial!

"Karena kau cantik saat telanjang."

"Mulutmu!"

"Kenapa jadi pemarah sekali sih ?" Sehun memutar tubuh Luhan lalu terjadi perebutan handuk di antara mereka. Luhan sendiri cukup merasa pusing atas tingkah suaminya yang keterlaluan. Mungkin Sehun suka istrinya bugil dalam kamar. Bahkan Luhan ingat saat dia meminta Sehun mengganti lukisan wanita telanjang dalam kamar mandinya, keesokan hari malah yang Luhan temui adalah foto dirinya yang telanjang bugil sewaktu tidur. Sehun memang luar biasa. Luhan harus mencekek leher Sehun agar bingkai foto bugil raksasanya diganti dengan lukisan bunga geranium.

"Makanya jangan memancing amarahku."

"Tolong katakan padaku Luhan apa tugas pokok seorang istri ? Melayani suaminya kan ? lalu saat aku meminta sebuah layanan tanpa pakaian, apakah itu illegal ? Kau istriku, sesuatu yang boleh kusentuh didaerah manapun yang kumau."

"Memang tidak masalah. Tapi kau punya cara yang lebih waraskan untuk meminta ?"

Kepala Luhan diraih oleh Sehun sementara sebelah tangannya yang lain menggeser pintu lemari belakang tertutup. Sehun membutuhkan tempat untuk menyandarkan kepala istrinya dan menggodanya disana. Dan dia mengalas kepala Luhan dengan telapak tangan, agar kerasnya kayu jati putih kualitas terbaik tidak mampu menyakiti istrinya.

"Lu.."

"Hm ?" bernada cuek.

Sehun mengarahkan bibirnya ke telinga Luhan, meniupkan beberapa napas yang membuat kaki Luhan lemas. "Buka handukmu.." pintanya pelan dan Luhan tidak tau kenapa dia bertingkah seperti gadis murahan. Menuruti pihak yang memberikan kepuasan. Merelakan tubuh bugilnya disantap mentah-mentah oleh gairah di mata Sehun yang sepanas tungku perapian. "I have something."

"Kuharap bukan sesuatu yang sinting."

Bahu Sehun mengendik tipis saat dia merogoh saku celananya, "Jika kau mengatakan ini sinting, well, mungkin kau harus mempertanyakan jenis kelaminmu, Sayang," katanya simpel, meringis saat Luhan mencubit lengannya sebelum meraih belakang leher wanita itu dan…

Yeah. Luhan mendapatkan rangkaian huruf 'OL' titanium jatuh tepat dibelahan dadanya. Berkilau, mewah dan expensive ?.

"OL ?"

"Oh Luhan."

Tidak perlu hadiah semahal ini bila tujuan Sehun hanya ingin meletakkan bibir di atas payudara Luhan. Tapi secara keseluruhan, Luhan dengan tulus berterimakasih.

"Oke. Jadi ini DP bayaranku malam ini?"

"Seharusnya tidak semahal itu jika hanya dapat satu malam."

Satu cubitan (lagi) di perut Sehun untuk cibiran diwajahnya sebelum Luhan memulai peran wanita bayarannya dengan mengalungkan lengan di leher Sehun.

Cumbuan-cumbuan basah mulai merasuki logika Luhan, menggeser pusat masuk akal menjadi titik bodoh tidak berfungsi. Yang Luhan tau, dia suka saat Sehun membejati payudaranya dengan mulut dan pikiran yang sama-sama kotor. Atau saat lidah Sehun menjilat garis atas sampai ke depan vagina, Luhan rasa dia benar-benar sudah gila.

Milik wanita bukanlah permainan menggali lubang di tepi pantai ataupun bongkar pasang yang bisa disusun semau hati. Wanita itu berharga. Prinsip Luhan tinggi akan hal tersebut, namun setiap kali Sehun menjelajahi setiap inci tubuhnya, Luhan tanpa sadar meletakkan harga dirinya dalam teko abu kematian. Tidak bersisa.

Dan ketika napas dari hidung Sehun melingkar di area pribadinya dengan suhu hangat yang nyaman, Luhan bergetar menahan tungkai kakinya sendiri. Mulut Sehun mulai terbuka dan lidahnya sudah merencanakan hal-hal tabu yang membuat bumi bertemu matahari terhadap kewanitaan istrinya sebelum….

mereka lupa sudah memiliki anak.

Mingguk merengek.

Gamblang sekali raut frustasi berkerut di sekitaran dahi Sehun saat mereka memandang kosong satu sama lain, untuk kemudian menertawakan semua kegilaan ini sampai nyilu.

"Pakai bajumu. Biar aku yang mengurus Mingguk," katanya pasrah, menyisakan satu kecupan di kening Luhan sebelum mengurus pangeran nakal mereka dan mempertanyakan mengapa dia tega melakukan ini pada orangtuanya.

.

.

.

.

.

Sering Sehun bertanya pada dirinya sendiri mengapa dia melakukan ini. Padahal banyak wanita diluar sana yang mungkin mulutnya tidak secerewet Luhan ataupun kata-katanya tidak sepemarah Luhan, tidak akan membuat kepala nyeri setiap kali Luhan memarahinya karena mengkonsumsi kopi terlalu banyak. Sejujurnya Sehun kerap merasa pening mendengar ceramah dari Luhan, dia tidak bercanda, seperti ada sesuatu yang menusuk kepalanya dengan jarum dan yang paling mengherankan, Sehun merasa dia baik-baik saja. Merasa tetap sehat dengan seluruh alasannya adalah Luhan.

Karena baginya, saat menangis dengan wajah terburukpun Luhan akan terliat cantik dan menakjubkan. Sehun lemah. Sial sekali.

"Mingguk sudah tidur ?"

Luhan mengisyaratkan Sehun agar memelankan suaranya. Dengan bathrobe putih dan rambut basah hitam yang disumpah api kematian, Sehun merangkak di ranjang, menuju punggung belakang Luhan yang terbaring miring lalu mengintip mulut Mingguk yang masih berada di puting ibunya.

"Oh Sehun, Mingguk baru saja pejam," katanya memperingatkan saat Sehun mengangkat tangan untuk menjahili anak mereka.

Pundak Luhan adalah tempat Sehun menyandarkan diri, "Lu.."

"Hm?"

"Tadi sore Yifan menemuiku."

"Tumben. Memangnya ada apa ?"

"Dia ingin meminjam Mingguk beberapa hari, terlalu takut mengatakannya langsung padamu tapi tidak tega juga melihat Huangzi terus merintih. Sepertinya sejak keguguran waktu itu Huangzi sedikit tertekan. Bagaimana ?"

Napas serak Luhan terdengar. "Sebenarnya aku tidak bisa, Mingguk masih terlalu kecil. A-aku….."dia mendesah, "Aku hanya terlalu khawatir. Takut kesepian tanpa Mingguk," aku Luhan.

"Aku tau," Sehun mengusap lengannya, "awalnya aku juga tidak memberikan izin, tapi mendengar Yifan bercerita bagaimana semangatnya Huangzi berlatih memasang popok dan memandikan bayi, kurasa kita harus membantu mereka."

Tidak ada tanggapan dari Luhan. Dia memperhatikan Mingguk yang tidur sambil menyusu. Entah bagaimana cara seorang bayi melakukan itu.

"Lagi pula," Sehun membujuk lagi, "Masih ada suamimu disini jika kau merasa kesepian. Stok kondom-ku masih banyak kok," katanya membuat Luhan melotot.

"Tolong, Sehun. Pikiranmu, kendalikan."

Semakin Luhan berkata agar Sehun memperbaiki pengendalian dirinya, semakin pula Sehun kehilangan hal tersebut. Bibirnya mengendus leher Luhan, menjilatnya di beberapa bagian sampai rambut-rambut halus di tubuh istrinya meremang.

"Oh Sehun.."

"Apa ?"Sehun menjawab seiring tangannya bermain di satu persatu kancing kemeja Luhan yang tersisa.

"Jangan sekarang. Kumohon, tunggu sebentar. Jangan mengganggu Mingguk." Tapi Sehun tidak peduli. "Aku milikmu malam ini, oke ? Tolong kontrol dirimu sebentar saja dan biarkan Mingguk tidur lebih nyenyak."

"Aku tidak akan mengacau Mingguk, janji."

Kemudian Luhan hanya dapat meleguh keras saat Sehun menarik kemejanya, mengangkat tangannya ke atas untuk meloloskan diri meraup payudara bebas Luhan dalam mulut. Sehun bersaing dengan anaknya sendiri. Sedangkan Luhan, terpejam memikirkan untuk inikah sebenarnya tubuh wanita diciptakan ?

Tubuhnya dijamah oleh anak dan suaminya dalam waktu bersamaan. Lupakan dimana Sehun meletakkan otaknya saat dia mulai merambat disekitar kewanitaan Luhan.

"Hun!.. Kumohon… tung-guhh!" usaha Luhan disisa pikiran rasionalnya, menahan jemari Sehun yang mulai melorotkan celana dalamnya dan pinggul Sehun yang mulai mencoba melesak menggoda sebatas mana gairah mampu menahan kegilaan mereka.

You're my downfall, you're my muse. My worst distraction, my rhythm and blues.

Sehun semakin meluap sebagai bajingan saat dia membelai kewanitaan Luhan dengan tarian-tarian erotis lewat ujung-ujung jarinya. Memutarbalikan kewarasan gairah Luhan sampai wanita itu setengah mati menahan dirinya sendiri.

Lalu ketika Sehun mengangkat sebelah paha Luhan dan menggeram memasukan diri ke dalam istrinya, dia mendapat satu jambakan keras dari Luhan.

"Pengamanmu!"

"Persetan dengan pengaman!"

.

.

.

.

.

My head's under water but I'm breating fine

You're crazy and I'm out of my mind

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

My Desire

.

.

.

.

.

.

.

.

END

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Finally, I can finish this fanfic. Butuh waktu setahun untuk menyelesaikannya. Huh!

Gue tau endingnya enggak banget, ancur sumpah. Ide awal itu hunhan mau dibikin ena-ena di sofa, tapi gue lagi kehabisan kata-kata dan deadline dari para readers adalah malam ini. So, I'm sorry if it makes you disappointed.

Gak nyangka ff ini bisa dapet apresiasi begitu WOW dari para readers. Bahkan mungkin ada dari kalian yang banting stir jadi penyuka FF HunHan GS setelah baca Desire. Kekeke

Gue gak tau mau bilang apa. Yang jelas, gue mau berterimakasih sebanyak-banyaknya untuk semua readers yang udah support ff ini sampe tamat. Dari mulai Kakre HHI yang dibuat kesemsem, trus para pasukan burung ababil di fb yang kerjaannya ngerusuh di fb gue, para mesyumers di IG yang juga nanya kapan apdet, trus buat kopel SPHADLOR gue si Eclaire Delange yang katanya mau post ff baru bulan Februari tapi nyatanya enggak nongol-nongol (mungkin yang elu maksud itu bulan februari tahun depan kali ya beb -_-), buat para temen BBM yang juga nagih-nagih mulu kek rentenir semur jengkol (si otul nin entu yang paling parah dan kak XiaoluOdult itu yang paling damai. Kekeke) dan juga buat semua yang udah ngisi kolom review sampe nempuh angka 3000. WOW! Haruskah gue goyang-goyang kesyahduan buat ngerayain ini ? Syalalalala

Oh iya, selamat ulang tahun buat 'Ttha Ta Shinta' tanggal 15 maret nanti. Maaf ya gak bisa bikin ff baru buat kamu, bidadari lagi sibuk mau persiapan ujian. T.T
ada juga tu yang kemaren ultah tanggal 6, happy birthday juga ^^
Pokoknya yang lahir bulan maret, Happy Birthday ^^

.

Masih banyak banget kekurangan dalam dalam FF ini.Termasuk ada beberapa konflik yang masih belum terselesaikan.Tapi yaudahlah ya, udah ending juga kok.Selesain sendiri aja masing2 menurut kemauan readers.Wkwkwk author apaan yang kek gini. Belagu banget lu sumpah. Hahaha

Maaf kali ada pihak-pihak yang tersakiti baik sengaja maupun yang tidak sengaja selama proses ff ini di publish (gue gak nerima yang jomblo. Elu udah tersakiti sejak lahir mblo. Hahahahaha).

Entahlah, seharusnya banyak yang bisa gue sampein di note terakhir ff Desire ini (gue sedih sumpah T.T) tapi semuanya gak bakalan bisa ditulis pake kata-kata. Yang jelas, gue terharu sama dukungan kalian semua.

.

for the last, AI LOP YU ALL! AI LOP YU! AI KENOT LIP WIDOUT YU! AI LOP YU! (tebar kembang tujuah rupa)

.

See you next time, with my new Fanfic ^^