"Kemana kau akan membawaku?" Itu pertanyaan yang dianjurkan oleh Slaine ketika ia terbangun dari tidur singkatnya. Tubuhnya dibawa oleh Inaho Kaizuka di atas punggung. Inaho menggendong semudah mengangkat bulu kapas. Mereka tidak melewati jalan menuju apartemen.

Inaho tidak mengidahkan pertanyaan itu. Dengan santai, kakinya melangkah di atas aspal, di antara tumpukan salju, di antara pedihnya perasaan.

Slaine akhirnya memilih menutup rapat-rapat bibir pucatnya. Matanya dipejamkan sekali lagi, menenggelamkan wajah di perpotongan leher Inaho. Slaine menikmati suara-suara di sekelilingnya. Suara hembusan napas Inaho, suara tapak kaki Inaho, bahkan ia bisa mendengar suara detak jantung Inaho. Semuanya berirama, berurutan menuntut untuk disimpan rapi di dalam ingatan.

"Sudah sampai." Ketika Inaho berbicara seperti itu, Slaine membuka matanya. Dan Slaine sama sekali terkejut. Ia memilih melompat turun dari punggung Inaho, yang kemudian dirinya berakhir ditopang.

"Astaga, Inaho-san." Slaine melangkahkan kakinya perlahan, diikuti Inaho. "Apa—apa maksudmu membawaku kemari lagi?"

Karena, di hadapan mereka kini, berdirilah gedung sekolah yang menyimpan sejuta kenangan bagi mereka. Inaho dan Slaine kembali masuk ke sana, mengurut memori sebagai alumni.

.

.

Liebesleid

Last chapter

Sho-ai

.

.

Shiori duduk berhadapan dengan Yuki, di sampingnya sang suami setia menemani. Entah kenapa acara kumpul keluarga ini berakhir di kantor Yuki dengan ditemani oleh atmosfer menegangkan. Terlihat jelas sang Tuan Kaizuka berdeham berulang-kali untuk mengusir canggung.

"Aku punya berita." Yuki membuka suara.

Shiori menatapnya dengan tatapan bertanya. Tadi ia sempat menjelaskan kepada Yuki soal hasil-hasil penyelidikannya beberapa waktu lalu. Ia sempat menanyakan kebenaran akan itu, apakah fakta ataukah sekedar fiksi semata.

"Ini sebuah berita yang besar." Yuki tersenyum. Dan Shiori bisa menangkap sarat kesedihan di sana, namun penuh harapan.

.

.

Sekolah ini tidak berubah. Slaine menyapu pandang ke setiap inchi jalan yang ia lewati. Di tengah libur musim dingin seperti ini, tentunya gedung sekolah akan kosong melompong. Slaine terus melangkah tertatih-tatih sambil berpegangan pada dinding setelah ia menolak bertopang pada tubuh Inaho.

Slaine terus berjalan, menuju satu-satunya ruang yang menyimpan banyak memori. Ruang yang mempertemukannya dengan sang hantu piano. Ruang yang mempertemukannya pada kekasih hati.

Inaho mempersilakan Slaine untuk membuka pintu ruang tersebut sesampainya mereka di sana. Slaine dengan senang hati mendorongnya terbuka. Lalu mereka membeku tanpa suara.

Karena, pemandangan lima tahun lalu seolah kembali ke hadapan mereka.

.

.

Inaho berputar-putar ruangan sedangkan Slaine duduk kelelahan di atas kursi piano. Ia mendengar Inaho bergumam beberapa kali. Yah, tentunya dia pantas mengomentari. Inaho pasti paham betul akan perubahan ruang yang sempat ia anggap rumah pelariannya sendiri.

"Jadi bagaimana?" Slaine bertanya. "Apa ada yang berubah?"

"Banyak."

Slaine mengerutkan kening heran. Sejauh matanya memandang, semuanya tetap berada di tempat yang sama.

"Kertas-kertasku dibuang oleh mereka." Inaho menghela napas pendek. "Yah, tidak apa-apalah."

Slaine mulai tertarik dengan perkataan Inaho. "Kertas apa?" tanyanya.

"Kertas partitur lagu."

"Lagumu?"

"Iya."

"Lagu ciptaan-mu?"

Inaho mengangguk. "Iya," jawabnya datar sekaligus jengah.

Slaine terlihat terperangah, terkagum-kagum sekaligus tidak percaya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menepuk kursi piano yang ia duduki. Memberi isyarat agar Inaho segera duduk di sebelahnya.

Inaho tersenyum samar dan segera melakukan permintaan Slaine. "Lalu apa yang harus aku mainkan?"

"Oh, benar. Aku tidak memikirkan lagu apapun." Slaine terlihat berpikir, dengan telunjuk diletakkan di dagu dan matanya memandang langit-langit, menerawang. Lalu ia tersenyum dan menoleh pada Inaho dengan cepat. "Aku mau mendengar lagumu."

"Apa?" Inaho terkejut, tentu saja. "Tapi, aku tidak yakin, Slaine. Lagu itu aku tulis lima tahun lalu dan aku juga belum menyelesaikannya."

"Oh… begitu, ya."

"Maafkan aku."

Slaine mengerjapkan mata. "A-ah, bukan salahmu, Inaho-san. Maaf aku meminta hal yang aneh." Slaine tertawa canggung kemudian. "Itu… kalau begitu terserah Inaho-san mau memainkan apa."

Inaho terkekeh kecil dan meletakkan jari-jarinya di warna hitam-putih favorit mereka. Ia memulai not pertama, diikuti dengan not kedua dan berikut-berikutnya.

Lagu yang tak pernah disangka-sangka oleh Slaine kini malah dimainkan. Menyampaikan pesan langsung dari sang pianis kepada yang dituju.

Love me.

Karya Yiruma.

Slaine bisa mendengar jantungnya yang mendadak berdetak kencang sekali, beradu dengan musik. Mata sehijau lautnya membelalak lebar, berbanding terbalik dengan sepasang mata Inaho yang bersembunyi dalam kelopak.

Di antara angin musim dingin yang menyapu debu, Slaine bertanya. Kenapa harus lagu ini yang dimainkan.

.

.

Dan ketika lagu berakhir, Slaine masih tidak dapat berkata apa-apa. Terlebih ketika Inaho meraih tangannya, menggenggamnya. Memandang Slaine langsung ke dalam jiwanya. Dan ia berucap dengan penuh permohonan.

Slaine mengaku, suaranya mendadak bisu.

Inaho memindahkan tangannya, menjepit dagu dengan telunjuk dan ibu jari. Mereka mendekat, hidung bersentuhan. Slaine menutup mata perlahan, ia melakukan itu seolah-olah tengah menggantungkan seluruh hidupnya pada Inaho.

Lalu Inaho mengikuti, juga menyembunyikan sepasang karamelnya di balik kelopak mata. Ia menyentuhkan bibirnya pada bibir Slaine. Kemudian melumatnya pelan. Bibir atas, bibir bawah, hisap, jilat.

Pahit.

Inaho menggigit bibir bawah Slaine.

"A-akh!" Slaine mengerang. Tangannya ia bawa untuk mencengkram rambut Inaho. Matanya semakin dipejamkan. Ia membuka mulut dan menyambut Inaho. Dan ketika lidah Inaho masuk, mengajaknya berdansa, Slaine menerimanya.

Mereka bertukar saliva, sampai Slaine kehabisan napas. Jadi, ketika Inaho merasakan bahunya didorong pelan, ia segera mengerti bahwa Slaine butuh pasokan udara secepatnya. Inaho melihat wajah kelelawarnya memerah, napas terengah-engah dan benang saliva mengalir di sudut bibir.

"Slaine." Inaho menempelkan dahinya di dahi Slaine. Ia mendengarkan napas Slaine yang awalnya terengah kini mulai mereda. "Aku mencintaimu. Sangat."

Slaine meletakkan kedua tangannya di pipi Inaho, menangkup wajah lelaki itu. Kemudian matanya kembali ia pejamkan. "Aku tahu, Inaho-san."

"Lantas, jawabanmu?"

Slaine melepaskan dahi mereka, melepaskan tangannya yang menangkup pipi Inaho, kemudian membuka mata. Ia tersenyum pada udara. "Aku akan melakukan operasi."

.

.

"Tingkat keberhasilannya tidak sampai tujuh puluh persen, namun aku rasa itu sudah cukup untuk membesarkan niatku. Aku ingin sembuh. Aku masih ingin hidup. Hidup… demi diriku, demi ayah angkatku, demi Harklight, dan demi dirimu, Inaho-san."

Inaho menggeleng, cepat—terlalu cepat. "Bukan! Maksudku, kita tidak sedang membicarakan ini, bukan?" suaranya terdengar panik.

Slaine mengangguk. "Aku mengerti maksudmu tapi… ini masih ada kaitannya dengan hal itu."

"Apa maksudmu, Slaine?"

"Aku akan memberimu jawaban akan perasaanmu Inaho-san," akunya, "dan saat itu, aku pasti akan berdiri di depanmu tanpa topangan apapun. Saat itu, setelah aku melakukan operasi, setelah aku benar-benar sembuh." Slaine memandangnya penuh keyakinan. Ia berusaha yakin, dan ia berusaha meyakinkan Inaho.

Inaho merasa tenggorokannya kering tiba-tiba, ia menelan ludah dengan susah payah. Dan ketika ia hendak berucap, Slaine menyelanya.

"Tunggulah saat itu, Inaho-san."

"Berjanjilah akan kembali, Slaine. Apapun yang terjadi."

Slaine tersenyum lebar. "Aku janji."

.

.

Sudah dua hari semenjak Slaine berjanji. Dan Inaho menyibukkan diri untuk menyelesaikan semua tugas kuliah yang ia punya. Ia juga menghentikan kerjanya di toko roti. Salju di jalan serasa mulai mencair, Inaho merasa hari-harinya semakin hangat.

Hari ini adalah hari yang ditentukan. Hari dimana Slaine akan berjuang, mempertaruhkan nyawa. Dimana ia akan mencari hidup di antara peluang.

Inaho sudah berada di rumah sakit sejak matahari merangkak terbit. Mengikis waktunya hanya dengan duduk pangku-pangkuan dengan belahan hatinya. Inaho kini terlihat mengenaskan dengan kesendiriannya di luar ruangan. Ia duduk berjongkok bersandar pada tembok, raut mukanya terlihat tak sabaran.

Di dalam ruangan itu, Slaine sedang berbicara enam mata dengan Tuan Saazbaum dan juga Harklight. Inaho diusir keluar oleh karenanya.

"Eh… Inaho-senpai?"

Ketika Inaho menolehkan kepalanya, ia mendapati gadis berambut ungu berdiri di sebelahnya. "Lemrina?"

"Eh? Kau… sedang menjenguk Slaine?" Lemrina bertanya.

Inaho mengangguk. "Ya." Kemudian ia beranjak berdiri. "Kau juga ingin menjenguk Slaine?"

Lemrina mengangguk ragu. Melirik kamar inap Slaine dengan sudut mata, ia menyadari bahwa Slaine tidak bisa diganggu sekarang. "Tapi aku pikir hal itu tidak perlu dilakukan."

"Hari ini operasinya." Inaho tidak mengerti mengapa ia harus memberitakannya pada Lemrina.

Namun Lemrina mengangguk. "Ya," ia menarik napas, "aku tahu."

Inaho tidak ingin bertanya darimana Lemrina tahu akan hal tersebut. Ia hanya menebak-nebak dalam hati saja. Dan mungkin memang hubungan Slaine dengan Lemrina lebih dekat daripada yang Inaho kira.

"Mau jalan-jalan sebentar?" Inaho menawarkan diri. Karena tidak ada tanda-tanda dari keluarga Slaine kalau mereka akan menyudahi pembicaraan enam mata tersebut. "Aku pikir itu ide yang lebih bagus daripada berdiri termenung di sini."

Lemrina tersenyum simpul. "Tentu."

.

.

Jika berduaan bersama Inaho seperti ini Lemrina jadi teringat akan kejadian beberapa saat lalu. Ketika Inaho mengajaknya makan malam berdua hanya untuk bertanya tentang Slaine Troyard. Lemrina tidak bisa membayangkan, seberapa besar sayang Inaho pada si surai platina tersebut.

Lemrina menjelaskan segala yang ia ketahui kala itu.

"Slaine ya? Dia sudah lama dirawat di sini. Dan baru kemarin ia diperbolehkan keluar karena Yuki-sensei meminta secara pribadi agar bisa merawat Slaine sendiri."

"Merawat Slaine secara pribadi, begitu?"

Lemrina kala itu mengangguk pelan. "Aku dengar sih begitu. Yuki-sensei bilang kalau ada harapan yang harus di kabulkan."

Mereka berhenti melangkah ketika sampai di kantin rumah sakit. Lemrina tidak membeli apa-apa dan hanya berdiri bersandar di dinding, tak berminat untuk masuk ke dalam dan duduk di sana. Inaho sendiri keluar kantin dengan segelas kopi hitam di tangan.

"Apa kabar?"

Lemrina sedikit terkejut saat Inaho membuka suara. Namun ia dengan cepat menguasai diri dan segera menyahut, "Aku baik. Seperti yang Inaho-senpai lihat."

"Syukurlah." Inaho menyesap kopinya. "Kau sama seperti Slaine bukan?"

Lemrina mengangguk. "Kami semacam teman seperjuangan. Dulu dia yang menopangku berjalan, kini aku harus membuatnya berani berlari."

Wajah Inaho tetap datar meskipun nyatanya dadanya terasa lega. Entah efek kopi atau efek ucapan heroik Lemrina. "Aku mendukungmu juga kalau begitu."

"Aku yakin Slaine bisa melewatinya. Hanya saja..."

Inaho mengerutkan kening tidak suka. "Hanya saja?"

Lemrina menggeleng. "Ah, tidak! Aku hanya pernah mendengar kalau... Slaine pernah memiliki penyakit jantung. Dan akhir-akhir ini..." Lemrina menelan ludah, "...aku sering melihatnya kesakitan, sesak napas."

Inaho hampir menjatuhkan gelas kopinya. "Yuki-nee tahu?"

Lemrina tidak yakin harus menjawab seperti apa.

.

.

"Baiklah, kalau begitu, kami keluar dulu, ya?" Saazbaum sudah berancang-ancang dengan berdiri di balik pintu. Sebelah tangan menggenggam ganggang, siap membuka.

Harklight mengangguk, menyetujui ucapan Saazbaum, dengan mata masih melekat pada eksistensi berambut pirang di sana.

Slaine lantas tersenyum lembut. Matanya nampak sembab seperti baru selesai menangis.

"Baiklah." Pintu baru terbuka beberapa senti, Slaine memanggil.

"Yah."

Saazbaum melirik dari sudut mata. Namun itu lebih dari cukup bagi Slaine untuk tahu bahwa pria itu tengah menaruh perhatian padanya.

"Aku menyayangimu."

Saazbaum menarik napas dan menghembuskannya. Ia mengulum senyum. "Aku juga."

Harklight yang membuntuti Saazbaum di belakang kini ikut menoleh ke arah Slaine. "Aku?" tanyanya dengan nada menggoda.

Slaine tertawa renyah. "Aku juga menyayangimu, Harklight."

Harklight tertular tawa. "Aku lebih menyayangimu, Slaine," ucapnya.

"Pangeranmu akan segera datang." Saazbaum berujar jenaka. Ia cepat-cepat membuka pintu dan keluar ruangan, sebelum Slaine melemparinya dengan segala ucapan penolakan. Harklight sendiri ikut keluar dengan tertawa-tawa.

Slaine melotot, marah. Wajahnya memerah, malu. Sangat tidak cocok.

.

.

"Berjuanglah."

Inaho masih menggenggam tangannya. Padahal waktu hampir tiba.

Slaine mengangguk. Pelan. Ia melirik, para dokter dan perawat itu sudah berdiri di depan pintu. Mengintip. Mereka siap membawanya pergi dari sini.

Inaho tidak rela. Ia sudah meminta pada Yuki agar diizinkan untuk ikut menemani di dalam ruang operasi nanti. Namun Yuki tidak memperbolehkan, Slaine pun menolak. Inaho berakhir frustasi dalam diam.

"Tetaplah hidup."

Slaine mengangguk. Lagi.

"Aku mencintaimu."

Slaine menahan diri agar air matanya tidak mengalir. Ia mengerjap beberapa kali. Sebelum akhirnya mengangguk lagi.

"Aku menunggumu, Slaine."

Slaine tidak bereaksi. Sampai akhirnya tangannya terlepas dari genggaman Inaho. Dan saat itu, ia baru menyadari, bahwa... tanpa Inaho di sisinya, semua mendadak terasa kosong. Namun Slaine menolak untuk menggapai kembali tangan itu. Ia membiarkan Inaho melangkah keluar. Ia membiarkan jiwanya menjerit memanggil nama Inaho. Ia membiarkan hatinya berbohong agar tidak mengucapkan cinta pada Inaho.

Slaine merasa hancur.

Ketika pemandangan punggung Inaho berubah dengan selusin dokter dan perawat, Slaine hanya bisa menelan kembali harapan.

.

.

Jarum jam berdetik dengan menakutkan. Waktu berjalan dengan lambat dan cepat di saat bersamaan. Di satu sisi, Inaho merasa waktunya berhenti berputar. Ia tidak ingat sudah seberapa lama ia menunggu. Menyaksikan sendiri bagaimana Lemrina yang menyerah terhadap waktu dan memilih kembali pulang, menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Saazbaum yang terus merapal doa, menyaksikan sendiri bagaimana Harklight berusaha terlihat tenang dengan tubuh bersandar kaku pada kokohnya dinding.

Inaho tidak bisa melakukan apa-apa sekarang. Ia meremat fabrik kemeja, membuatnya kusut. Sebelumnya ia tidak pernah merasa setakut ini, tidak pernah merasa secemas ini.

Ia belum pernah menggantungkan seluruh hidupnya pada satu harapan kecil seperti ini.

Maka dari itu, ketika lampu operasi dipadamkan. Ketika pintu bergeser terbuka. Ketika Yuki keluar dari ruangan. Inaho lah yang pertama menyambutnya, dengan sentakan kuat menggoyah bahu sang kakak.

"Slaine…"

Inaho tidak menyela. Ia menunggu.

"…sudah berjuang."

"…apa?" Inaho ingin mengorek telinganya sendiri, namun urung. Ia meminta Yuki mengulang kembali. "Maaf?"

Inaho bisa merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya. Tapi ia pura-pura tidak sadar.

"Slaine…" Yuki mengulang. Kini ia menatap langsung wajah adiknya. Dan Inaho melihat kenyataan, bahwa Yuki tengah menahan air mata.

Saat itu, mereka tahu, bahwa Slaine tidak akan pernah membuka matanya lagi.

"…jantungnya, berhenti berdetak. Operasinya bisa saja berhasil, kalau saja… kalau saja…"

Telinga Inaho tuli seketika.

.

.

Bagaimana ini bisa berakhir dengan sangat cepat?

Inaho bertanya-tanya dalam hati. Rasanya seperti baru kemarin ia bertemu dengan Slaine untuk yang kali pertama. Namun, dalam sekejap mata, Slaine sudah diambil kembali darinya.

Inaho mencoba percaya, di antara ketidak adilan dunia, bahwa sebenarnya Tuhan adalah adil.

Ia berkeliling kota. Melewati lalu-lalang bayang-bayang manusia. Berjalan di antara kenangan. Sampai akhirnya Inaho lelah mencoba untuk lari dari sebuah kenyataan.

Ia sampai di apartemen pukul satu dini hari. Tampangnya tidak lebih baik dari seorang brengsek yang kerjanya mabuk-mabukan hingga kelar. Tapi siapa yang memilih peduli.

Ketika Inaho memutari ruang di apartemen, ia menemukannya.

Slaine Troyard berdiri di bawah jendela. Menatap langit malam tanpa bintang. Tubuhnya seperti disinari cahaya bulan. Inaho hampir menampar pipinya karena berusaha sadar.

Namun Slaine menoleh, menyadari eksistensinya, dan ia tersenyum lebar kemudian.

Inaho membeku. Matanya membola dengan bibir bergetar seperti ingin berucap. Slaine melangkah ringan ke arahnya, mendekat sampai jarak mereka layaknya sejengkal. Inaho berhasil sadar saat Slaine menunjuk piano di ujung ruangan, matanya memancarkan permohonan.

"Kau ingin—" Ketika Inaho menemukan kembali suaranya, semuanya terdengar pecah. Ia berdeham satu kali sebelum mengulang perkataannya, "Kau ingin aku bermain piano?"

Slaine mengangguk.

Inaho mendengus. Ia menyanggupi permintaan itu dan membawa langkahnya kepada piano kesanyangaannya. Inaho mendudukkan dirinya di kursi, sementara Slaine berdiri di seberang piano, menunggu dengan sabar.

"Lagu apa yang ingin kau dengar?"

"Apa saja."

Inaho mematung kembali. Sebab, ketika Slaine membuka mulut untuk menjawab, suaranya tidak sampai di telinga Inaho. Suaranya tidak dihantarkan udara. Suaranya… ditelan waktu.

Lagi, sekali lagi, Inaho mencoba menolak menerima kenyataan.

Inaho tidak berbicara apapun. Ia menekan tuts-tuts pianonya. Membiarkan perasaannya tersalurkan pada sebuah lagu, sebuah lagu yang selama ini menjadi sebuah favorit bagi seorang Slaine Troyard.

Liebesleid.

Kau yang mengajarkanku kesedihan di antara cinta, tragedi dibalik kebahagiaan, tangis sesudah senyuman. Kau yang mengajarkanku makna lagu ini, Slaine Troyard.

Kali ini, Inaho tidak berani menutup mata. Ia terlalu takut apabila Slaine menghilang tanpa sepengetahuannya. Ia hampir tidak berkedip kalau saja tidak sadar bahwa berkedip merupakan suatu keperluan. Inaho melihatnya sekarang, Slaine di seberang sana, berdiri di belakang piano. Dengan kepala bergoyang mengikuti irama musik.

Inaho ingin musik ini terus berputar selamanya. Tanpa akhir, tanpa henti. Karena Inaho tahu apa yang akan terjadi berikutnya, ia belum mau bangun untuk menerima kenyataan. Inaho ingin selamanya seperti ini. Meskipun tanpa kata terucap, meskipun kalimatnya harus diganti dengan alunan nada, semua tak masalah apabila ia tetap dapat melihat Slaine ada.

Namun lagu berakhir.

Inaho ingin menggeram marah. Memaki pencipta lagu yang membuatnya menjadi sependek itu, memaki dirinya sendiri yang terlalu cepat menggerakkan jari di atas tuts, memaki waktu yang rakus sekali memakan detik.

Hening mengikis mereka untuk beberapa saat. Hingga Inaho mengambil inisiatif berucap.

"Kau mengingkarinya." Ia mendesis. Matanya memandang lurus ke arah Slaine. "Janjimu."

Slaine berjalan cepat nyaris melompat mengitari piano. Ia mengambil jarak satu langkah di hadapan Inaho. Wajahnya tetap menampilkan senyum tanpa beban, dan matanya balik menatap ke dalam jiwa Inaho.

"Kau bilang akan melewati operasinya?"

"…"

"Kau bilang akan tetap hidup?"

Inaho mulai kehilangan suaranya.

"Kau bilang akan menjawab perasaanku?"

Slaine tidak memberikan respon apapun, tetap tersenyum.

"Slaine," dan kali ini Inaho memanggil namanya bagaikan merapal mantra. Nadanya serius, menuntut, dan begitu berat.

"Kaizuka Inaho-san." Slaine memotong tanpa suara. Hanya mulut yang terbuka dan bergerak. Namun Inaho bagaikan mendengar suara Slaine yang berputar di antara memori, diulangnya di dalam hati dan Inaho terus berusaha agar suara itu tetap abadi di dalam jiwa. "Aku mencintaimu."

Dan segalanya terasa benar sekaligus salah dalam waktu yang bersamaan. Inaho mengaku bahwa ia terkejut. Jantungnya berdebar senang sekaligus sedih. Dadanya sesak dipenuhi perasaan yang bercampur aduk. Senyumnya hilang diganti ekspresi terkejut tak terkira.

Pada akhirnya, Inaho mengulurkan tangannya kepada Slaine. Sejenak, Slaine memasang tampang bingung tidak mengerti. Namun kemudian ia meletakkan tangannya di atas telapak tangan Inaho. Senyumnya melebar hingga matanya menyipit.

Inaho berusaha abai dengan tangannya yang serasa menggenggam angin. Walaupun terlihat jelas bahwa tangan Slaine berada di atas tangannya sekarang, namun ia tidak bisa merasakan kehadiran apapun. Inaho berusaha meniru senyum an Slaine yang dilemparkan padanya.

"Aku juga…" Inaho menghentikan kalimatnya. Ia mendongak dan menatap Slaine dengan hangat. Ia tersenyum meskipun alisnya menekuk sedih. "Aku juga mencintaimu, Slaine."

Slaine tertawa, bahagia sekali. Tawanya tidak menghasilkan suara apa-apa. Inaho tidak bisa lagi mendengar suara tawa itu, ia mengerti.

Slaine tiba-tiba melepaskan tangannya. Inaho hendak mengejar, tetapi Slaine keburu membuka mulut kembali. "Tutup matamu, Inaho-san." Ia membuat gestur menutup mata, agar Inaho lebih mengerti.

Inaho terpaksa menuruti. Kelopak matanya menutup dengan perlahan. Senyumnya tetap ia pertahankan sekuat tenaga. Berharap hal itu akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.

Inaho tidak berani menebak, benda apa yang tiba-tiba menabrak bibirnya. Rasanya hangat sekali. Inaho bisa mati penasaran apabila ia tidak mengintip melihatnya. Maka dari itu, ia membuka kelopak matanya kembali untuk melihat.

Dan yang bisa dilihatnya kemudian, hanyalah ruangan kosong. Tanpa penghuni lain selain dirinya.

Inaho tidak bisa lagi berbohong.

Ia menangis.

.

.

Bunyi piano berdenting nyaring yang ditekan sembarangan itu kembali memenuhi ruangan. Bising memang, namun lagu yang dimainkan tak bisa dipungkiri kalau hal itu memang indah. Kaizuka Yuki berulang kali mengingatkan untuk memikirkan telinga orang lain juga. Tak jarang tetangga sebelah datang dengan wajah sangar karena suara piano yang terlalu keras mengusik tidurnya.

"Nao-kun." Ia memanggil.

"Sebentar lagi, Yuki-nee." Kaizuka Inaho tidak mau mengalah pada waktu. Ia memang sedang menghentikan permainan pianonya. Tangannya sibuk mencorat-coret kertas yang berisi lingkaran-lingkaran not yang jatuh.

"Sedang apa memangnya?" Yuki mendengus.

"Menyelesaikan lagu."

"Lagumu?"

"Hm-mm." Inaho mengangguk. "Sedikit lagi."

"Apa judulnya?" Yuki mendekat, mencoba mengintip.

Inaho tersenyum. Kesedihan tersirat di dalamnya. "Judulnya…"

"Fallen Horizon."

Inaho menoleh cepat. Terkaget karena Yuki menceletuk terlebih dahulu tepat di sebelah telinganya. "Fallen Horizon." Ia mengulang, lalu kembali tersenyum.

"Keberatan kalau aku memintamu memainkan itu?"

Inaho terkekeh pelan. "Tidak." Ia mempoisisikan ke-sepuluh jarinya di atas piano. "Bersiaplah untuk jatuh cinta, Yuki-nee."

Yuki memutar bola mata, dan lagu pun mulai dimainkan.

.

.

"…Aku membuatnya dengan mengingatnya. Harapan setinggi kaki langit yang jatuh terhempas di dasar laut. Selamanya tenggelam, menjadi karang. Senyum keindahan yang tergantikan oleh raung kesedihan.

Aku membuatnya dengan membayangkan perasaan. Leid-Freud. Sedih dan bahagia…"

.

.

End.

Author's :

Jadi pas ngetik ini back-sound nya lagu Sempurna karya Andra. Sumpa. Baper. Feels-nya mendadak jadi lebih melankolis. Disusul lagu Aliez, ost-nya Aldnoah Zero. Duh.

Jadi pokoknya *tarik napas* INI UDAH TAMAT YEAY.

Maaf apabila masih ada kesalahan dalam pengetikan maupun tata bahasa.

Terima kasih sudah mau membaca sampai sini!

Untuk cerita berikutnya ditunggu ya!

Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya!