Miss Office Girl Tajir Season II

Summary : 'OMG.' Batin Naruto merana, mengingat kertas laknat yang diterimanya tadi pagi. Ia nyaris tak percaya kalo saja ia tak mengkonfirmasi pada petugas yang bersangkutan. Kaki Naruto seperti tak menapak tanah begitu mendengar jawaban 'Iya' dari petugas yang diteleponnya. Dan sekarang Itachi bilang, 'tak mau tahu?' ItafemNaru, KisafemNaru, SasufemNaru.

DISCLAIMER : Naruto Belongs to Masashi Kishimoto

Genre : Romance dan Friendship

Rating : Masih T aman untuk segala usia. Seiring perkembangan akan jadi M. Tapi nanti.

WARNING : FEMNaru, OOC, Bertebaran typo, hasil SKS, tak sesuai EYD, bikin kepala pening, gaje and many mores.

Pair : ItafemNaru, SasufemNaru, KisafemNaru

Author Note :

Trims untuk kritiknya. Terkadang, saat mengetik aku lupa seting ceritaku. Setingnya Jepang, tapi sering kali aku lupa karakteristik masyarakat Jepang dan hukumnya. Karena itu, aku republish chapter-chapter sebelumnya.

Langsung aja cekidot... (^_^)

Don't Like Don't Read

Mimpikah diriku melihat dirimu

Walau kau berada dekat di sisiku, namun terasa jauh

Di mana ceriamu…Ku lihat dirimu

Di mana kasihmu, di mana manjamu..

Yang ku suka darimu

Kau bukan dirimu…lagi

Kau bukan yang dulu…lagi

Ku lihat dari wajahmu jarang hias dirindu

Kini ku sadari sayang…

Kau bukan dirimu

Chapter 8

Menyerah

Selama ini, Sasuke tak pernah merasa dirinya sebagai pria brengsek. Meski, ia gemar meniduri semua wanita cantik yang lewat di depan matanya. Meski, teman tidurnya tidak pernah sama. Ia tak pernah mencap dirinya sebagai pria bejat. Kenapa? Karena ia tahu, para wanita itu dengan suka rela melemparkan dirinya padanya. Ia tak pernah memaksa mereka untuk menaiki ranjangnya. Dan, ia selalu memberi mereka kompensasi yang sepadan atas pelayanan plus-plus mereka baik secara material maupun immaterial seperti kenikmatan jasmaniah.

Sasuke bahkan rela, walaupun berat, meninggalkan wanita yang bertahta dalam hatinya, menceriakan hidupnya yang monoton demi masa depan wanita itu. Ia rela mengaborsi separuh hatinya, meski Sasuke harus hidup dalam neraka kesepian dan kehampaan, demi dia. Sumpah, ia rela.

Tapi, kali ini lain. Ia merasakan ah bukan ia sadar sesadar-sadarnya betapa bejatnya dia. Dia tega membiarkan biduk pernikahan sepasang suami istri yang sama-sama saling mencintai karam tertelan gelombang laut nan ganas. Padahal, ia bisa mencegahnya. Demi apa? Demi keegoisannya.

Ya, Sasuke akui ia sangatlah brengsek dan luar biasa egois. Ini adalah puncak dari segala keegoisannya. Lebih kejinya lagi, ia melakukan ini pada Itachi, kakak kandungnya sendiri yang sudah sedemikian baik padanya selama ini. Kurang apa coba yang dilakukan Itachi padanya? Selama ini, Itachilah yang selalu berdiri di sampingnya, menyokongnya, dan memberinya semangat. Ia tak pernah meninggalkan Sasuke dalam keterpurukan. Itachi selalu ada untuknya. Tapi, apa coba balasannya untuk semua kebaikan kakaknya itu? Sebuah pengkhianatan. Keji. Sangat keji.

Sasuke meremas rambutnya frustasi. Matanya menatap marah pada amplop warna putih yang isinya surat undangan untuk Itachi dari pengadilan. Seharusnya, sebagai adik yang baik, ia memberikannya pada Itachi, agar ia bisa menyelamatkan pernikahannya. Tapi, tidak. Ia justru melakukan hal sebaliknya. Ia dengan sengaja menyitanya. Ia bahkan sengaja mengusir kakaknya keluar kota untuk memuluskan perceraian ItaNaru. Benar-benar bastard.

Apa kau tak bisa lebih hina lagi, Sasuke? Kenapa kau bisa jatuh serendah ini? Demi Tuhan, itu kakakmu, kakak kandungmu? Pertanyaan-pertanyaan itu bergema dalam kepalanya, menyindirnya agar menyadari kesalahan besar yang telah dilakukannya. Tapi, Sasuke dengan keras kepala menepisnya.

Memang, dimana letak salahnya? Ia juga mencintai Naruto, sama seperti Itachi. Ia memiliki hak yang sama seperti Itachi untuk memperjuangkan cintanya. Lagipula, ini kan salah Itachi sendiri. Ia sendiri yang bersikeras menceraikan Naruto. Bukan Sasuke yang memaksanya. Lalu, kenapa ia yang disalahkan dan dicap bajingan egois?

Sasuke benar. Ia tidak salah karena mencintai Naruto. Ia memang tidak memaksa Itachi untuk menceraikan Naruto. Tapi, tindakannya yang menyembunyikan kebenaran itu tidaklah benar. Tindakannya yang sengaja mengail di air keruh itu sangatlah kejam. Hampir setara dengan pengkhianatan Sengkuni, tokoh antagonis dalam pewayangan Mahabarata. Keji dan juga memuakkan. Dan, sampai kapanpun, Sasuke tak akan bisa lari dari dosanya itu.

"Aku tak suka melihat ekspresi di wajahmu itu, Sasuke." cetus Gaara dari ambang pintu yang terbuka. Tangannya menggenggam berkas di satu tangan, sedangkan tangannya yang bebas menutup pintu ruangan Sasuke kembali. "Terakhir kalinya kau berekspresi seperti itu saat kau menghancurkan sendiri hubunganmu dengan Sakura," tambah Gaara mengambil tempat duduk di depan Sasuke. Jadenya menatap lurus oniks Sasuke, menyelidik, seolah ingin menguak rencana busuk apa yang tengah dipikirkan Sasuke.

Mata Sasuke berkedut, merasa was-was. 'Dam'n it. Terkutuklah Gaara dengan intuisinya yang tajam,' batinnya mengutuki Gaara, yang entah bagaimana caranya, selalu bisa mencium kapan tepatnya sisi gelap Sasuke muncul ke permukaan. Sasuke berpura-pura minum tehnya yang sudah tidak hangat untuk menutupi kegelisahannya. "Mana mungkin? Memangnya hubungan siapa yang mau ku hancurkan?" elak Sasuke.

"Mana ku tahu. Kau lebih tahu isi pikiranmu daripada aku," jawab Gaara ambigu. "Hentikan Sasuke! Sebelum terlambat."

Mata Sasuke kembali berkedut. Hatinya semakin was-was, terbukti dari genggaman tanganya pada cangkir tehnya yang mengerat hingga buku-buku jarinya memutih. "Gaara…" desah Sasuke menatap Gaara sayu, memerlihatkan sorot matanya yang terluka, masih tak mau mengaku.

Gaara menghela nafas panjang dan lalu tersenyum tipis. "Banyak yang bilang kalau kau ini sangatlah egois. Tapi, tidak di mataku. Bagiku, kau orang paling pemurah yang pernah ku kenal."

"Hah!" gumam Sasuke. Ia menahan diri agar hidungnya tidak megar karena bangga. Ternyata, ia punya sifat baik juga. "Omong kosong,"

"Apa kau ingat? Dulu, kau pernah bilang, cinta dan keegoisan tidak akan pernah berada dalam satu tempat. Cinta berasal dari hati nurani sedangkan keegoisan dari hawa nafsu. Tidak mungkin keduanya bersatu. Karena itulah, kau lebih memilih melepaskan keegoisanmu untuk memiliki Sakura demi besarnya cintamu padanya."

Tubuh Sasuke mengejang kaku. 'Ia tahu. Gaara sudah tahu,' pikirnya menyadari jika Gaara tengah menyindirnya. Dengan cerdas, ia memberikan nasehat bijaknya padanya tanpa harus mendudukkannya ke kursi pesakitan. Oh, well inilah salah satu yang disukainya dari Gaara. Ia tidak pernah langsung memvonis seseorang, meski kesalahanya sudah terang benderang. "Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, Gaara?" tukas Sasuke tidak sabar, masih bertahan dengan keegoisannya.

"Jangan berubah Sasuke! Janganlah jadi orang egois, karena keegoisan tidak akan membawamu kemana-mana selain kehancuran." Gaara tersenyum muram. "Jangan mengikuti jejakku yang egois ini," tambahnya sebelum memberikan berkas yang ada di tangannya pada Sasuke.

Sasuke terdiam. Ia merenungkan kata-kata Gaara. "Aku hanya ingin bahagia, Gaara. Apa itu salah?" ujarnya pada Gaara sebelum sahabat berambut merahnya menutup pintu kantornya.

"Kebahagiaan tidak bisa diperoleh dengan merampas kebahagiaan orang lain. Kalaupun kau bahagia, itu hanyalah kebahagiaan semu. Camkan ini dalam otakmu! Kebahagiaan sejati itu untuk diperjuangkan bukan direbut." Petuahnya sebelum menghilang dari balik pintu.

"Aku tahu Gaara. Aku tahu," gumam Sasuke lirih. "Tapi.." Sasuke menggeleng muram, "..aku tak sanggup melepasnya. Sekali ini saja, tolong biarkan aku jadi orang egois," Gumamnya lirih, tertekan oleh beban dosa yang menghimpit pundaknya.

Lalu, bayangan wajah sendu Naruto melintas dalam benaknya. Hati Sasuke seperti diremas-remas oleh tangan invisible saat matanya menangkap bulir-bulir air mata mengalir deras dari mata Naruto saat membaca undangan dari pengadilan. "Sial! Sialan!" rutuknya kesal dan marah pada dirinya sendiri.

Sasuke menarik dasinya hingga longgar dan lalu melepaskan tiga kancing teratas, memperlihatkan dadanya yang bidang. Ia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi sambil menutup kelopak matanya. Ia mengingat-ingat percakapan antara Naruto dan Ayame yang tak sengaja didengarnya tadi siang.

Flashback

"Mau apa kau kemari?" tanya Naruto dengan sorot mata dingin.

"Aku ingin bicara denganmu," balas Ayame tak kalah dinginnya.

"Apalagi yang mau kau bicarakan? Semuanya sudah selesai." Kata Naruto lelah.

"Belum selesai. Aku bahkan belum memulai."

"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?" tanya Naruto gusar.

"Lepaskan Kaa!"

"Huh!" Naruto mendengus. "Lucu sekali."

Ayame menarik tangan Naruto kasar dan membenturkan tubuh gadis itu ke dinding membuat Naruto mengaduh kesakitan. "Aku tidak main-main dengan ucapanku, N-A-R-U-T-O!" geramnya.

Safir Naruto mengeras. "Begitu pula denganku, Ayame."

"Brengsek kau!" raung Ayame geram hendak menampar Naruto tapi tangan Naruto dengan sigap menahannya.

"Aku melepaskanmu dari jeratan penjara karena aku kasihan pada calon bayimu, tapi jangan pikir aku akan menerima tamparanmu," tukas Naruto dingin. Ia yang kini berganti mendesak Ayame, memerangkapnya diantara Naruto dan dinding. "Dengarkan kata-kataku ini baik-baik! Aku tidak pernah menggoda suamimu, ataupun mencoba merebutnya darimu. Hubungannya denganku hanya sebatas profesionalitas, just bisnis."

"Aku tidak percaya," raung Ayame berusaha memberontak.

"Terserah, kau percaya atau tidak. Itu bukan urusanku."

Wajah Ayame memerah, marah. "Lalu, kenapa kau ingin bercerai dari suamimu, kalau bukan karena kau ingin bersama dengan Kaa-ku lagi?"

"Karena suamiku ingin bercerai dariku," sembur Naruto meluapkan beban emosinya selama ini. Wajahnya memerah sempurna lalu melunak, tampak lebih sendu dari sebelumnya. Ada gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. "Ia tak cukup mempercayaiku, hingga ingin berpisah dariku. Padahal saat itu aku…aku sedang mengandung benihnya." Tambahnya dengan suara lirih.

Ayame terdiam, merasa bingung dengan ironi ini. Situasi mereka hampir mirip. Pernikahan mereka sama-sama diambang perceraian karena suami mereka tak ingin hidup dalam satu atap lagi dengan mereka. Bedanya, ia masih memiliki harapan untuk mempertahankan pernikahan mereka, meskipun tipis. Sedangkan Naruto tidak. "Apa kau mencintainya?" tanyanya terdengar asing bahkan di telinganya sendiri. Soalnya, ia membenci Naruto. Semua orang juga tahu. Jadi, tak mungkin ia perduli dengan nasib Naruto.

"Sangat. Aku sangat mencintainya," Mata Naruto menerawang jauh, menatap pemandangan di luar sana. "Apa kau tahu? Aku membencimu, sangat membencimu. Semua yang kau lakukan padaku dan Kaa itu jahat." Katanya lagi dengan mata kosong, seolah-olah jiwanya sedang mengembara ke tempat lain.

Ayame diam mendengarkan. Naruto melanjutkan lagi kata-katanya. "Tapi, aku juga kagum padamu. Kau berani melakukan apa saja untuk mempertahankan cintamu, menerima semua resikonya, termasuk dibenci olehnya. Sedangkan aku? Aku hanyalah si pengecut. Aku lebih memilih kabur darinya, daripada harus melihat memudarnya cintanya padaku. Aku..aku tak sekuat kau."

Suasananya kembali hening. Keduanya, sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing. "Hidup ini pilihan. Aku lebih memilih dibenci dari pada hidup dalam penyesalan. Setidaknya, aku tidak mati dengan bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup dengan orang yang sangat ku cintai." Kata Ayame memecah keheningan.

Ayame merasa sangat bodoh. 'Mulut busuk,' makinya pada dirinya. Ia tak percaya akan datang masanya, ia bercakap-cakap secara beradab —tanpa cacian, tanpa ledakan amarah, dan tanpa kebencian— dengan Naruto. Tapi, di sinilah dia berada sekarang, berbincang santai dengannya.

Naruto tersenyum muram, membenarkan. Ayame ada benarnya, tapi ia tak sekuat Ayame. Ia tak sanggup menghabiskan hidup dengan seseorang yang dari hari ke hari hanya mengganggap kita orang asing. Kepala Naruto tertunduk. Wajahnya yang ayu tampak lelah. Safirnya terlihat keruh dan kehilangan sinarnya, seiring padamnya semangat hidupnya.

"Kau masih ada waktu untuk mempertahankannya," kata Ayame memberi semangat.

Naruto menggeleng. "Sudah tak ada harapan. Ia bersikeras ingin menceraikanku,"

"Kau harus lebih keras kepala darinya. Rayu dia. Pakai gaun terbaikmu. Lakukan apapun untuk meluluhkannya. Selama palu belum diketuk, kau masih ada waktu."

"Tapi.."

"Lakukan yang terbaik atau kau akan hidup dalam penyesalan selamanya."

Naruto tersenyum dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia merasakan adanya secercah cahaya dalam hidupnya. "Kau benar. Aku akan mencobanya."

"Hm," gumam Ayame. "Aku pergi." Pamitnya.

"Ayame, trims." Kata Naruto untuk terakhir kalinya.

"Sama-sama," balas Ayame tulus mendoakan agar rencana Naruto berjalan mulus. Jika Naruto tidak bercerai dari suaminya, maka harapan pernikahannya selamat akan lebih besar.

Sasuke cepat-cepat meninggalkan tempat persembunyiannya agar tidak ketahuan. Ia buru-buru ke ruangan Itachi untuk menyingkirkan Itachi selama beberapa hari ke depan untuk menggagalkan rencana Naruto dan memuluskan percerian ItaNaru.

End Flashback

Sasuke meremat amplop putih itu hingga membentuk gumpalan. "Aku harus bagaimana Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?" katanya risau. Ia harus memilih antara kebahagiaannya ataukah kebahagiaan kakaknya. Keduanya sama sulitnya. Jika ia memilih kakaknya, maka ia harus bersiap hidup dalam neraka kesepian lagi untuk kedua kalinya. Namun, jika ia memilih sebaliknya, maka ia akan melihat kakaknya yang baik hati hancur. Dan, juga Naruto. Sanggupkah dia melihatnya? Rasanya tidak.

"Oh, God! Aku bisa gila kalau begini caranya," keluhnya. "Kenapa kami harus mencintai orang yang sama? Kenapa Tuhan? Kenapa?" Ujarnya bermonolog penuh sesal.

TOK TOK TOK… suara ketukan menarik atensi Sasuke. "Ya?"

"Kau belum pulang?" tanya Neji berbasa-basi.

"Tidak, malas."

"Malas?"

"Buat apa? Di rumah tak ada orang."

Neji tertawa kecil. "Makanya cari kekasih. Biar ada yang menyambutmu di rumah saat kau pulang,"

Sasuke mendelik galak. "Seperti aku tidak berusaha saja,"

"Oh, ya?" kata Neji tak percaya. Ia menghampiri Sasuke dan lalu duduk di sofa tak jauh dari Sasuke. "Ku lihat kau tak pernah terlibat dalam hubungan serius dengan seorang wanita pun? Kau masih pengamal One night one stand yang setia, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin kau punya kekasih? Kekasih tidak muncul dari dunia dugem. Kau harus mengenalnya lebih dalam, menggali kepribadiannya, baru bisa." Tambah Neji.

Sasuke memutar bola matanya malas. 'Dasar sok tahu,' dumelnya dalam hati.

"Aku serius Sasuke,"

"Aku juga," balas Sasuke malas.

Neji melirik Sasuke yang tampak muram. Ada kesedihan mewarnai wajah tampannya. Biasanya, jika Sasuke sudah seperti ini, berarti ia tengah terlibat dalam urusan asmara. "Kau masih belum bisa move on dari Sakura?" tanya Neji iseng.

"Tidak. Aku sudah merelakannya."

"Berarti ada orang lain lagi?"

"Hn,"

"Siapa?" Tak ada jawaban. Sasuke memilih bungkam. "Apa ia wanita yang telah punya pasangan?" Sasuke masih diam, tapi Neji bisa melihat kilau di matanya. Berarti, tebakannya benar. "Apa wanita itu mencintai pasangannya dan tak mau berpisah dengannya?" tebak Neji tepat sasaran.

Sasuke untuk pertama kalinya menatap Neji. Neji sebelum menjalin hubungan dengan Tenten untuk kedua kalinya, dulunya sama sepertinya. Sama-sama bastard, bajingan, dan hobi merebut kekasih orang. Oh, well untuk yang terakhir, Sasuke tidak terlibat. Wanita yang ditidurinya selalu masih berstatus single sampai ia bertemu Naruto. Naruto wanita bersuami pertama yang ingin direbut Sasuke. Tidak seperti Neji. "Apa yang kau rasakan saat kau berhasil merebut kekasih orang?"

Wajah Neji berubah. Tampak muram. Ia menundukkan kepalanya, menatap karpet di bawah kakinya. "Saat pertama kalinya aku melakukannya, aku tidak bisa tidur. Aku dihantui perasaan bersalah. Setelah itu…" Neji mengangkat bahu, acuh. "..biasa saja. Sama seperti bernafas. Wajar dan biasa." Kata Neji membuka kenangan lamanya.

"Lalu?" desak Sasuke.

"Meski demikian, aku sadar dengan kondisi kejiwaanku. Gara-gara melakukan itu, hatiku jadi mati. Aku tidak lagi bisa merasa. Hanya haus, haus, dan haus yang entah sampai kapan berakhir yang ku rasakan. Pada satu titik, aku mulai merasa lelah dan jenuh. Aku bosan dan muak dengan diriku sendiri. Lalu Naruto hadir,"

"Apa hubungannya?" sergah Sasuke menduga-duga yang tidak-tidak. Siapa tahu dibalik permusuhan dinginnya, Neji diam-diam ada hati dengan Naruto. Bagaimana pun Naruto seorang wanita yang sangat cantik rupawan?

"Kehadiran Naruto mengusik hati nuraniku. Saat itulah, aku berfikir. Merenungi semua yang telah lalu. Akhirnya, aku memutuskan ingin memulai hidup yang baru. Aku lega. Aku melakukannya. Karena berkat itu, aku sadar betapa aku mencintai Tenten. Aku sadar, meski aku hanya melakukannya dengan Tenten seorang, aku tetap puas. Kenapa? Karena aku mencintainya dan ia mencintaiku. Tenten adalah obat dahagaku,"

"Semudah itukah?"

"Tidak, itu berat. Sangat berat. Karena lawanku diriku sendiri. Keegoisanku lah yang harus ku tundukkan."

Topik itu menarik perhatian Sasuke. "Caranya?"

Neji tersenyum tipis. "Aku ingin bahagia, Sasuke. Aku ingin hidup dengan tenang dan damai. Dan, itu tak akan bisa ku dapatkan, jika aku masih jadi orang egois." Akunya. "Memang dengan keegoisan kita bisa memperoleh apa yang kita inginkan. Namun, itu hanya sementara. Hanya semu. Saat orang itu tahu betapa egoisnya kita, maka ia pun akan berbalik membenci kita, dan lalu meninggalkan kita. Saat itulah, kehancuran yang sebenarnya."

Sasuke diam menyimak. Ia pikir Neji benar. Mungkin, dengan memisahkan ItaNaru, ia memperoleh kesempatan untuk PDKT dengan Naruto. Akan tetapi, itu tidak menjamin ia akan berhasil mendapatkan hatinya. Sasuke kemudian ingat cacat permanen Naruto. Naruto sangat sulit move on.

Hidup Naruto pernah terpuruk dan ia hampir menghancurkan masa depannya karena kandasnya hubungannya dengan Kisame. Setelah Kisame, Naruto menutup pintunya rapat-rapat untuk pria lain baik yang ingin menjalin hubungan permanen ataupun selingan. Hanya sebuah keajaiban yang membuat Itachi berhasil mendapatkan Naruto. Itu sesuatu yang Sasuke tidak yakin ia punyai. Ia tak punya ibu peri baik hati yang mengayunkan tongkat sihirnya padanya untuk bisa bersama dengan Naruto. Beda dengan Itachi yang memiliki banyak cadangan keberuntungan.

Maaf sedikit ngelantur. BTS (back to story) saja. Jika hal yang sama terulang lagi, Sasuke tak yakin Naruto sanggup bertahan. Itu berarti, Sasuke menghancurkan hidup dua orang dalam satu kali tembakan yakni Itachi dan Naruto. Lalu, apa bedanya ia dengan Ayame? Sama buruknya, kan?

Sasuke menghela nafas panjang. 'Tampaknya, aku harus berkorban lagi,' batinnya. Seharusnya, ia merasa sedih karena akan kehilangan wanita yang dicintainya. Kali ini untuk selamanya. Tapi, sebaliknya. Sasuke justru merasakan hatinya lebih plong. Bebannya seperti terangkat. Hah, ia memang pria baik hati dan pemurah seperti kata Gaara. Ia tak berbakat jadi pengkhianat licik.

"Kau tidak pulang?"

"Nanti. Masih ada yang harus ku lakukan."

"Jangan terlalu larut. Tak baik untuk kesehatan," nasehat Neji sebelum pamitan.

"Hn," balas Sasuke sekenanya. Ia tengah sibuk menelepon kakaknya.

Di balik pintu, Neji menatap Sasuke kagum. Sasuke telah jadi lebih dewasa. Ia memang tidak tahu permasalahan Sasuke, tapi ia yakin Sasuke tidak akan melakukan kesalahan. "Aku harus membantunya," kata Neji. Ia menghubungi seseorang. "Tolong kau ke sini. Sasuke membutuhkanmu. Ya." Ujarnya menutup telepon. 'Semoga ini bisa membantumu, kawan,' pikirnya menatap pintu ruang Sasuke yang tertutup rapat. Setelahnya, ia pun pergi.

….*****…

Itachi lelah dan ngantuk. Yang diinginkannya hanya satu yakni tidur. Tapi, dering telepon sialan itu membuatnya tak bisa memejamkan mata. Sumpah serapah mengalun indah dari bibirnya. Ia berjanji akan menghajar orang sialan yang telah mengganggu istirahatnya, jika ternyata isi teleponnya tidak penting. Dengan kasar, ia mengangkat teleponnya. "Halo!"

"Chi, lekas pulang!"

"Apa? Ada apa? Apa terjadi sesuatu yang buruk pada kaa-san dan tou-san?" tanya Itachi dengan perasaan cemas. Ia buru-buru bangun dan mencari bajunya yang ia lempar sembarangan di lantai.

"Bukan. Ini tentang Naruto."

"Memangnya Naruto kenapa? Apa ia sakit?" teriak Itachi histeris. Saking paniknya ia salah memasukkan kedua kakinya pada satu lubang celanannya, membuat tubuhnya limbung dan membentur lantai dan ia mengerang karenanya.

"Apa itu? Kau kenapa? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Sasuke

"Abaikan itu! Bagaimana dengan dengan Naruto?" sergah Itachi buru-buru membentulkan pakaiannya.

"Ya, ia sakit.." Ada jeda sejenak.

"Sakit apa, Sas?" tanya Itachi dengan hati yang semakin tidak karuan dan membuatnya keserimpet oleh barang-barangnya sendiri.

"..sakit hati." lanjut Sasuke seolah kalimatnya tidak terpotong.

Alis Itachi terangkat satu, pertanda ia sedang kebingungan. "Sakit hati? Maksudnya?"

"Karena kau telah memaksanya bercerai, Bodoh!" Sasuke terdengar sangat marah dan sakit hati.

Itachi memutar bola matanya sebal. Lagi-lagi topic ini. "Dengar, Sasuke! Kau memang adikku, tapi aku minta kau jangan ikut campur dengan urusan pribadiku,"

Sasuke diam. Mungkin sedang mencerna kalimatnya. Karena Sasuke masih diam, Itachi berniat mematikan telepon. "Kalau tidak ada yang penting yang ingin kau bicarakan aku…"

Namun, Sasuke kembali bicara. "Apa yang akan kau lakukan setelah Naruto bercerai,"

Tanpa ragu, ia menjawab, "Tentu saja menikahinya,"

Hening lagi. "Kau ingin ia bercerai dari suaminya lalu menikahinya?" simpul Sasuke.

"Ya. Sudah jelas, kan?"

"Kau gila, ya?"

"Kau yang gila." Bantah Itachi. "Bicara sembarangan lagi, ku pukul kau," ancamnya.

"Itu kenyataannya," kata Sasuke santai. "Kau menikahinya lalu bercerai dan lalu menikahinya lagi. Memangnya, kau butuh berapa kali untuk merayakan pesta pernikahanmu? Tiap tahun?"

Ada jeda sejenak. Itachi adalah orang yang genius. Sumpah, kecerdasannya di atas orang-orang normal. Tapi, sekali ini, ia merasa jadi orang bodoh sedunia. Tak ada satu pun dari kalimat Sasuke yang bisa ia pahami. "Aku tidak mengerti," akunya gentle.

"Kau itu suami Naruto, Bodoh. Kalian sudah resmi menikah. Masak tak ingat?" sembur Sasuke geram.

"Mana mungkin," pekik Itachi terkejut. Kepanikan merambati dirinya. "Dari mana kau tahu lelucon mengerikan ini?"

"Aku membaca surat pribadimu. Maaf, aku lancang. Itu dari pengadilan soal perceraianmu," kata Sasuke terdengar malu.

"T-tapi.. Tapi, kenapa Naruto selama ini diam saja? Kenapa ia tidak bilang pada…" Sebuah ingatan mengerikan melintas dalam benaknya. Dari pesta Valentine yang lalu disusul acara pernikahan sederhana ala Kristiani. Itachi ingat ia menanda tangani sebuah dokumen. Begitu pula dengan Naruto. Beberapa bulan kemudian, Naruto datang padanya. Ia bilang…. Itachi panas dingin. Ia merasa jadi manusia paling idiot sedunia.

"Kau sudah ingat?" tanya Sasuke dari seberang saluran.

"Ya," sahut Itachi lemas.

"Kalau sudah, lekaslah kemari. Bawa bokongmu dan selamatkan pernikahanmu," kata Sasuke. "Jangan membuatnya bersedih lagi!" ujarnya sebagai pamungkas.

"Pasti," janji Itachi.

Setelahnya, Itachi kalang kabut, memberesi barang-barangnya. Ia begitu gugup, hingga barangnya tercecer beberapa kali. Ia bergegas menyetir mobilnya dan kembali ke Konoha. Dalam hati, ia berdoa semoga ia masih sempat. Oh God! Itachi membiarkan barang-barangnya di dalam mobil. Ia berlari terengah-engah ke apartemennya. Hatinya bagai diremas sembilu melihat Naruto tertidur di kursinya di tengah ruang makan yang sudah ia hias sedemikian rupa untuk menyambutnya. "Naruto," bisiknya lirih.

Itachi mengecup puncak kepala Naruto lembut, seolah takut mengganggu tidurnya. Ia memeluknya dari belakang. Kepalanya ia letakkan di atas kepala Naruto, menangis dalam diam. Oh, Tuhan. Setahun yang lalu, ia berjanji akan membahagiakan Naruto. Tapi, lihat siapa yang beberapa bulan ini menyakiti Naruto? Justru dia sendiri. 'Oh, betapa aku tak punya ketetapan hati,' batinnya marah pada dirinya sendiri.

Naruto terbangun karena ada sesuatu yang basah yang mengalir di pipinya. "Chi? Kau sudah pulang?" tanyanya agak sayu, khas orang baru bangun tidur.

"Y-ya," jawab Itachi dengan suara bergetar. "Aku pulang. Maaf membuatmu menunggu."

"Tak apa. Yang penting kau pulang," jawab Naruto sambil menyenderkan punggungnya pada tubuh Itachi. Hatinya terasa tentram. Ia merasa sangat dicintai. "Maaf, makanannya sudah dingin."

"Kita masih bisa memanaskannya, kan?" kata Itachi sambil terkekeh geli. "Aku mencintaimu Naruto, sangat."

"Aku tahu," balas Naruto. Tangannya menggenggam tangan Itachi yang melingkari lehernya dari belakang. Ia terdiam sejenak. "Chi, bagaimana dengan perce…"

"Itu tidak akan terjadi. Aku tak akan pernah menceraikanmu," kata Itachi dengan nada bersalah. "Maafkan aku. Selama ini, ku pikir kau menikahi orang lain. Padahal, kau sedang menjalin hubungan denganku. Aku merasa dikhianati. Karena itu, aku memaksamu bercerai. Aku tak tahu kalau orang itu adalah aku. Maaf. Aku memang bodoh, idiot no 1, dan kau boleh memukul kepalaku kalau kau mau. Sebagai permintaan maaf."

Naruto lega. Itachi akhirnya mengerti. "Aku akan memaafkanmu, jika kau melakukan sesuatu untukku," katanya jahil.

"Apa, Princes?"

"Cintai aku,"

"Pasti," janji Itachi. Ia menggendong Naruto dan membawanya ke kamarnya. Ia menunjukkan betapa besarnya cintanya pada Naruto.

Sejam kemudian, Naruto berbaring dengan berbantalkan lengan Itachi. "Naruto, ada yang ingin ku katakan padamu. Tapi, kau jangan marah, ya?"

Naruto menatap Itachi penuh cinta. Tangannya bermain-main dengan rambut Itachi yang tergerai di atas dada. "Tentang?"

"Tentang jati diriku."

Naruto melihat Itachi agak ragu. "Katakan saja!"

"Sebenarnya, aku bukan Sabaku, melainkan Uchiha." Akunya membuat Naruto terbelalak. "Aku Uchiha Itachi, kakak kandung Sasuke,"

"Untuk apa kau bohong?"

"Saat itu aku putus asa. Aku tak tahu bagaimana caranya mendekatimu. Jadi, aku putuskan berbohong dan melamar jadi asistenmu."

"Hm, pantas sikap Sasuke agak aneh. Rupanya, ini alasannya."

"Kau tak marah?"

"Marah? Tentu saja. Kau bohong padaku. Tapi, ku rasa kau akan mendapatkan hukumannya tidak lama lagi," kata Naruto jahil.

"Dari?"

"Kau akan tahu sendiri, nanti." Kata Naruto terakhir kalinya karena kantuk sudah mulai menyerangnya.

Pertanyaan itu sudah ada di ujung lidah Itachi, tapi ia telan lagi. Ia mengusap rambut istrinya penuh sayang dan lalu mengecup kelopak matanya. "Tidurlah, sayang. Kau pasti lelah."

"Maafkan aku Chi. Aku benar-benar mengantuk. Tolong bangunkan aku sejam lagi," Lalu, selanjutnya hanya dengkuran halus yang terdengar.

Itachi mengecup dahi Naruto. "Selamat tidur sayang. Mimpi yang indah," Itachi meraih HP menekan beberapa nomor dan bicara dengannya sebelum menyusul Naruto kea lam mimpi. Tanganya yang satu ia biarkan jadi bantal Naruto. Sedangkan, satunya lagi menarik Naruto dalam pelukannya erat.

Naruto dan Itachi berencana tidur hingga jam 7 pagi. Ia sudah ijin Sasuke jika mereka akan telat ke kantor. Tapi, suara gedoran di pintu apartemen mereka membuyarkan rencana mereka. Jika bukan karena tak enak pada tetangga, tak sudi Itachi menemui tamu tak diundangnya itu.

"APA?" bentak Itachi dengan mata sayu khas orang baru bangun tidur.

Tamu itu tidak menjawab pertanyaan Itachi, tapi langsung nyelonong masuk begitu saja. Ia tidak meminta ijin terlebih dahulu. "Nar! Naruto!" panggilnya dengan suara panic.

Naruto yang tidak bisa tidur lagi karena gangguan itu menemui tamunya. Tentu saja setelah ia berpakaian dengna pakaian yang pantas. Tidak seperti Itachi yang masih memakai celana tanpa atasan. "Ada apa, Shui? Kenapa kau ketakutan begitu?"

"Tolong selamatkan aku,"

"Dari?"

"Ayahmu, siapa lagi." Sahut Shuigetsu gusar. "Tiba-tiba ia muncul di apartemenku dan mengamuk. Untung saja aku berhasil kabur, jika tidak…" tubuh Shuigetsu bergidik. "…aku pasti tewas di tempat."

Dahi Itachi mengerut, "Kenapa ia mengamuk? Seingatku Minato-san orang yang kalem dan tidak mudah marah,"

"Itu tampilan luarnya, dalamnya sih..parah." Shuigetsu teringat kenangan lamanya saat ia masih bekerja pada keluarga itu. "Penyakit father compleksnya sangat akut dan berbahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya. Aku salah satunya,"

"Aku bisa menangkap akibatnya. Tapi, apa sebabnya? Apa kali ini yang kau lakukan hingga membuat ayah marah?"

"Dia sudah tahu, Nar. Tentang pernikahan dadakanmu itu. Ia tahu jika aku… ukh.." Shuigetsu dengan cemas menelan ludahnya, menggigiti bibir bagian bawahnya. "Ia bilang, 'Aku menyuruhmu menjaga anakku bukannya menggantikan peranku mengantarkan anakku ke altar pernikahan,' sambil memukuliku bertubi-tubi."

Naruto hampir tersedak oleh air liurnya sendiri karena geli. "Jadi itu alasannya." Katanya tenang.

"Ya," sahut Shuigetsu lemas,

"Ya itu sih deritamu," celetuk Itachi kejam.

"Hei, itukah ucapanmu pada orang yang telah membantumu mendapatkan kembali calon tunanganmu yang kabur? Kau itu benar-benar tidak tahu diri. Tidak tahu berterima kasih," gerutu Shuigetsu. "Aku yang membawa Naruto ke acara itu. Tanpa aku …"

"Kami tak akan menikah." Potong Naruto. "Oh, well jujur aku marah padamu, Shui, teganya kau menjebakku." Tuduhnya,

"Aku tidak menjebakmu. Itu memang awalnya hanya game seperti yang dikatakan Orochimaru. Mana ku tahu jika Kabuto sinting itu mengundang pendeta sungguhan. Dan, mana ku tahu jika Orochimaru sudah menyiapkan berkas-berkas resminya secara hukum. Aku sungguh tidak tahu menahu. Kalau ada yang mau kau salahkan? Salahkan saja mereka. Mereka biang keroknya." aku Shuigetsu.

"Hi hi hi… tenanglah. Aku tidak benar-benar marah kok. Malah aku mau berterima kasih padamu," kata Naruto.

"Bilang pada ayahmu untuk tidak mengejarku dengan wajah horornya. Aku takut. Begitu pula dengan Karin," adu Shuigetsu.

"Iya-iya, nanti aku bilang pada ayah." Naruto melirik suaminya yang sejak tadi diam. "Ada apa Anata? Ada masalah?"

"Aku hanya bingung. Aku merasa ada dalang di balik Orochimaru dan Kabuto. Jika tidak, mereka tak mungkin bisa mendapatkan berkas-berkasku begitu saja. Bukankah ini agak aneh? Kelihatan sekali persiapannya. Tapi, siapa?"

"Dilihat dari reaksi ayah, ku rasa bukan ayahku. Aku mengenal ayahku. Meski ia sangat ingin memiliki menantu dirimu, ia tak akan memaksaku dengan cara licik seperti ini. Dan, yang pasti mengantarkan putri-putrinya ke altar pernikahan adalah impian…"

"Jangan terlalu percaya dengan penampilan luar, Naru-chan! Ayahmu bukanlah malaikat." Potong Jugo yang baru datang membuat Naruto tersenyum sumringah.

"Jugo! Kau juga datang? Kapan tiba?"

"Baru saja. Aku sekarang bergabung dengan agency Shuigetsu sebagai rekan,"

"Lalu, orang tuamu?"

"Mereka sudah meninggal,"

"Oh, aku turut berduka. Maafkan aku tak bisa hadir."

"Bukannya kau juga sedang berduka. Kau sendiri baru saja kehilangan calon bayi kalian, kan?" balas Jugo.

Naruto tersenyum miris. "Jdi, menurutmu rencana pernikahanku dengan Itachi ini dibuat oleh ayah?" tanyanya mengganti topik.

"Bukan juga. Tapi, ya ayahmu terlibat. Tepatnya yang merencanakannya adalah Fugaku, ayahmu, dan Orochimaru."

"Jika ini rencana ayah, kenapa ia marah pada Shui?"

"Karena ia kesal. Pernikahan kalian memang rencananya. Tapi, pernikahan Kyuubi tidak. Ia kesal karena dua kali tak bisa mengantarkan putri-putrinya ke altar,"

Itachi diam. Wajahnya netral. Mungkin, ia sedang bingung harus berekspresi seperti apa. Tapi, Naruto lain. Ia bengong karena terkejut. "Kyuubi sudah menikah? Dengan siapa?"

"Gaara."

"Gaara!" pekik Naruto terkejut. 'Kok, aku tidak tahu, sih.' Batinnya.

"Jangan tanya bagaimana mereka menikah! Itu adalah lelucon paling mengerikan dalam keluargamu. Setidaknya, pernikahanmu sudah diketahui dan direncanakan ayahmu, tapi Kyuubi lain. Itu murni kecelakaan." Jelas Jugo yang malah membuat Naruto kebingungan. "Mereka menikah di Las Vegas dalam kondisi setengah tidak sadar. Tapi, mereka sudah resmi secara hukum. Jadi, tidak bisa seenaknya membatalkan pernikahan. Lagipula, Kyuubi sepertinya menyukai Gaara. Buktinya, saat ini ia tengah mengandung anak mereka."

Naruto kehilangan suaranya. "Oh, pantas ayah seperti itu. Itu adalah tragedy yang mengerikan," katanya setengah geli. "Kasihan Shion-nee. Ia pasti tersiksa sekarang."

"Memang. Malang betul nasibnya. Ia terkurung dan dipantau 24 jam oleh Minato-sama. Tapi, itu mungkin baik juga. Setidaknya, ia tak lagi seliar dulu."

Naruto tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. Ia merangkul pinggang suaminya ia masih bungkam seribu bahasa, menyadari betapa uniknya keluarga besannya ini.

…*****…..

Kantor Uchiha Company grup ramai oleh banyak orang. Ada konsperensi pers soalnya. Itachi duduk berdampingan dengan Naruto. Di masing kanan dan kiri keduanya ada kedua orang tua mereka yang sengaja datang untuk memberi dukungan moril. Para wartawan dengan setia berada di posisinya untuk mendengarkan penyataan Itachi dan Naruto.

Naruto meski ekspresinya tenang dan datar, tapi Itachi bisa menangkap kegugupannya. Itachi meremas tangan Naruto lembut dari bawah meja. Minato tahu karena itu ia memberikan delikan tajam, masih marah pada Itachi. "Saya menikah pada hari Valentine lalu. Ini akta pernikahan saya. Dan, pria di samping saya inilah suami saya," kata Naruto dengan nada resmi mengumumkan pernikahan rahasianya.

"Kenapa anda menikah diam-diam dan juga terburu-buru? Apakah ada alasan dibalik itu?" tanya salah satu wartawan TV NHK.

"Diam-diam, iya, tapi terburu-buru tidak. Kami sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Kami sepakat untuk membuat pernikahan yang sederhana dan tertutup mengingat sakralnya momen ini," Abaikan jika pernikahan ini berawal dari sebuah permainan konyol. Abaikan jika ini berasal dari sebuah kesalahan dan hasil tipuan licik kedua orang tua mereka dibantu Shuigetsu. Yang penting mereka sudah menikah titik.

"Lalu, bagaimana dengan rencana perceraian kalian?" tanya wartawan berkaca mata dengan ekspresi serius.

"Pernikahan kami memang sempat ada masalah karena miss-komunikasi," aku Naruto. "Tapi, kini kami menyadarinya dan kami sudah memperbaikinya. Karena itu, kami memutuskan untuk mempertahankan pernikahan kami. Rencananya kami akan menggelar resepsi pernikahan kami yang tertunda minggu depan sebagai wujud syukur…."

Suara Naruto terdengar samar-samar oleh Sasuke. Ia berusaha untuk tersenyum pada kebahagiaan mereka, meski hatinya terluka, tersayat oleh duka. Ia patah hati untuk kedua kalinya. Tapi, ia juga tahu ini adalah keputusan yang benar. Ia cukup terhibur melihat Naruto bahagia. Ia suka melihat senyumnya yang secerah mentari. Ia senang melihat wajah cantik Naruto tidak lagi tertutup mendung. Dan, ia rasa itu cukup untuk menenangkan hatinya yang terluka.

Sakura diam-diam menggenggam jemari tangan Sasuke yang dingin, memberinya dorongan moril. Sasuke memang tak mengatakan apapun, tapi ia tahu laki-laki yang dicintainya ini berusaha tegar di tengah bangunan hatinya yang porak poranda. Ia ingin bilang, "Kau tak sendiri Sasuke. Aku akan selalu ada bersamamu,"

Sakura tahu ini terdengar bodoh. Hubungan mereka ah ini tak tepat disebut hubungan juga, karena Sasuke tak pernah menganggapnya ini hubungan. Baginya, Sakura hanyalah teman seapartemen, teman berbincang, dan juga teman tidur. Tidak kurang. Tidak lebih. Tapi, Sakura tetap menyimpan asa, suatu saat Sasuke bisa move on dan kembali ke dalam pelukannya.

…..*****…..

2 tahun kemudian,

Naruto tengah menimang-nimang putranya Minato —namanya sama dengan nama kakeknya—, ketika kakaknya menelepon. "Naru-chan. Tolong beritahu ayah untuk melonggarkan pengawasannya. Aku bisa gila kalau begini caranya." Keluh kakaknya.

"Ha ha ha…" Naruto tertawa terkekeh-kekeh. "Wah itu susah juga. Kau tahu sendiri kan bagaimana watak ayah." Secara tidak langsung Naruto menolak permintaan kakaknya. "Kenapa kau tidak menikah saja? Setelah itu, pasti ayah tak akan lagi seketat itu."

"Menikah? Kau gila." Jerit Kakaknya frustasi. "Kalaupun aku mau menikah, dengan siapa? Aku tidak punya calon yang layak dengan adanya ayah yang membayangiku 24 jam full."

"Bagaimana dengan Jugo? Ia masih single dan kau cukup dekat dengannya. Dia memang agak kalem, tapi aku yakin kalian akan cocok. Dan, yang pasti ia bisa mengendalikan sisi liarmu."

"Aww.., kenapa tidak terpikirkan olehku, ya? Kau memang genius adikku. Itu ayah datang bersama calon suamiku. Aku tutup dulu. Salam untuk suamimu yang menyebalkan dan keponakanku tersayang. Bye."

Naruto hanya tertawa-tawa saja menanggapi. Ia lalu berbicara sendiri menanggapi gumaman tidak jelas Mina-chan. Minato kecil menendang-nendang kakinya ke udara sebagai balasannya. Bibirnya membuat suara-suara lucu seolah-oleh memahami apa yang dikatakan ibunya.

"Bagaimana kabar keponakanku hari ini?" tanya Sasuke yang datang berkunjung bersama Sakura.

"Baik seperti biasanya," jawab Naruto memamerkan senyum bahagianya. "Dan, bagaimana kabar paman Mina-chan ini? Apa ia akan menyampaikan kabar baik tentang rencana pernikahan pamannya atau masih ingin tetap melajang hingga Minato dewasa?" celetuk Naruto tidak bermaksud mengusili status SasuSaku yang tidak jelas hingga kini.

"Wah, bagaimana ya?" balas Sasuke ikutan jahil. "Pamannya masih patah hati karena wanita yang dicintainya sudah menikah dengan orang lain. Tapi, pamannya Minato janji, sebelum ia dewasa ia akan menikah dengan wanita yang cantik yang juga mencintai Minato. Lalu, Minato akan berjalan di sepanjang altar untuk menaburkan bunga untuk pamannya tercinta."

Naruto kembali tertawa cukup puas dengan jawaban Sasuke. Meski ia tak tahu siapa wanita yang berhasil membuat Sasuke patah hati, tapi ia kini yakin Sasuke sudah belajar move on dan ia berhasil menata hatinya kembali. "Kau mau bertemu Itachi?"

"Tidak. Aku sudah melihatnya sepanjang hari ini. Dan, ku ingatkan, wajahnya yang sok itu semakin lama semakin menyebalkan. Aku ke sini untuk menemui keponakanku tercinta." Kata Sasuke sedikit curhat.

"Ooo begitu." Gumam Naruto. "Lalu, kenapa kau bisa datang bersama Sakura?"

"Oh, kata Sakura, ia ada perlu denganmu. Jadi, aku mengajaknya serta."

"Ada perlu?" Dahi Naruto mengerut melihat Sakura dengan tatapan bingung.

Sakura bergerak-gerak gelisah dibalik keanggunannya yang tanpa cela. "Aku ingin mendiskusikan soal proyek filmku denganmu. Aku agak kesulitan menghayati peranku," kata Sakura cepat-cepat memberi alasan.

"Oh, tentu." Sahut Naruto mengerti. "Paman Sasu, apa paman mau menemani Mina-chan bermain,"

"Dengan senang hati," balas Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya dari Minato.

"Terima kasih," Naruto membalikkan badannya menatap Sakura, "Ayo, Sakura-chan." Ajaknya ke tempat yang lebih pribadi.

"Maaf, Naruto. Aku…" Sakura meminta maaf begitu mereka sudah jauh dari Sasuke.

"Aku tak masalah. Aku mengerti, kok." Naruto tersenyum menenangkan paham akan dilema yang dialami Sakura. Ia tahu Sakura sangat mencintai Sasuke, meski Sasuke tak membalasnya dengan perasaan yang sama. Tapi, bagi Sakura asal bisa hidup bersama dengan Sasuke itu cukup.

"Sasuke itu hampir sama denganku. Hanya kesabaran yang bisa menakhlukkannya. Bersabarlah dan tegarlah. Aku yakin suatu saat hati Sasuke akan terbuka untukmu. Lagipula, dulu ia pernah mencintaimu. Jangan menyerah dan keep fight." Kata Naruto memberi petuah. Keduanya lalu terlibat dalam perbincangan menarik antara dua orang wanita hingga lupa waktu.

"Naru-chan, sayang! My honey! Kau dimana?" panggil Itachi menyadarkan Naruto akan waktu-waktu yang dilupakannya.

"Ah, itu Tachi sudah pulang. Kita bergabung dengan mereka, yuk!" ajak Naruto yang diiyakan Sakura. "Bagaimana kalau kita minum teh di taman. Sudah lama pula kita tidak menikmati waktu santai bersama. Kau tak keberatan kan, Anata?" Naruto menoleh pada Itachi untuk meminta persetujuan.

"Aku sih tak masalah. Tapi, bagaimana dengan mereka berdua? Mereka mungkin punya agenda penting sendiri atau ingin menikmati waktu berdua sendiri," goda Itachi sambil melirik-lirik Sasuke yang mendelik tajam pada kakaknya.

"Aku juga tidak keberatan. Toh, aku juga sudah sangat kangen pada keponakanku. Kalau kau?" tanya Sasuke pada Sakura yang dibalas dengan anggukan halus.

Keempatnya ah kelimanya lalu duduk di Gazebo di taman menikmati cake dan secangkir teh bersama. Kecuali, Minato. Ia sibuk ngemil cemilan bayinya dan sebotol susu. Well Naruto memang menyusui Minato, tapi Minato tetap minta susu botolan sebagai tambahan. Menurutnya, ASI Naruto tidak mencukupi asupan gizinya. Benar-benar rakus mirip bibinya yang lain.

Sasuke memandangi kebersamaan ItaMinaNaru dengan tatapan iri. Ia juga ingin memiliki keluarganya sendiri. Ah, bukan hanya pada mereka saja. Ia juga iri pada sahabat-sahabatnya Neji, Shika, Gaara dan Kiba yang kini sama-sama sudah berkeluarga dan punya anak sendiri. Hanya dia yang belum.

Sasuke melirik wanita di sebelahnya. Ia masih belum mencintai Sakura seperti ia dulu mencintainya. Tapi, ia memiliki rasa sayang dan seperempat persen cinta untuknya. Ide menikahi Sakura tidak buruk juga. Ia lalu berbisik pada Sakura, "Apa kau mau menunggu sedikit lebih lama lagi?" pintanya. Sakura memberinya tatapan bingung. "Saat ini, aku belum mencintaimu, tapi aku menyayangi dan memiliki beberapa persen cinta untukmu. Apa kau mau menungguku hingga cintaku padamu menjadi 100% dan lalu menikahimu?" bisiknya lagi.

Sakura diam, berfikir dan lalu mengangguk. Ia mulai merasakan buah dari perjuangan. Yach, seperti orang bijak bilang, hasil tidak pernah mengkhianati proses. Keduanya lalu bergabung dalam percakapan hangat dengan keluarga baru Naruto.

Dan cerita ini pun diakhiri dengan kata

T

H

E

E

N

D

BENAR-BENAR THE END.