Udah berapa lama aku nggak update? Mohon jangan diingatkan. Namanya mood nulis hilang, susah baliknya
Yosh, silahkan nikmati chapter selanjutnya!
Meski aneh untuk sebagian orang, tapi Yaya sering lupa kalau ia sudah menikah, tapi dia ingat ia sudah bersuami. Bagaimana bisa begitu? Mungkin karena pernikahannya sangat mendadak, hanya ijab kabul, diurus oleh orang lain dan tiba-tiba ia sudah dinyatakan menikah.
Padahal dari dulu banyak teman-temannya cerita bagaimana hebohnya, sibuknya tapi juga senangnya mengatur sebuah pernikahan. Pernikahan impian, sekali seumur hidup, harusnya.
Mulai dari foto pra wedding, menjahit baju pernikahan, memilih tempat, membuat undangan dan sebagainya.
Dan jujur saja, meski sekarang ia sedang menyiapkan resepsi pernikahnnya, setelah sekian lama, Yaya masih merasa ada yang salah dengan semua ini.
"Ada masalah?"
Yaya tersentak dan menatap Gempa yang memandangnya dengan khawatir. Mereka tengah meninjau lokasi acara pernikahan mereka, yang akan dilaksanakan di hall hotel bintang lima milik Aba corporation yang besar dan megah.
Akhirnya setelah sekian lama Yaya menyiapkan resepsi bersama ibu mertua dan wedding organizer, suaminya akhirnya bisa meluangkan waktu untuk ikut.
Atau bisa dibilang, karena kebetulan hari ini ibu mertuanya berhalangan untuk hadir.
"Nggak apa-apa kok," tepis Yaya. Daritadi Gempa langsung sibuk bercakap-cakap dengan sang WO, tiba-tiba seperti dalan mode kerja dan setengah melupakan Yaya.
Gempa melihat ke sekitar dan entah memikirkan apa.
"Maaf ya," katanya. Entah maaf untuk apa, Yaya tidak tahu. Suaminya itu cepat sekali dalam meminta maaf, sering merasa bahwa ia bersalah atas banyak hal.
Sebelum Yaya bisa menepis lagi, Gempa menggenggam tangannya dan membawanya keluar dari hall, ia hanya berpamitan sekilas pada sang WO dan mereka pun akhirnya berdua saja.
"Mau makan?" tanya Gempa.
Yaya mengangguk lirih, kebetulan sudah lewat jam makan siang tapi mereka belum makan.
Gempa menariknya ke bagian restoran dari hotel, langkahnya sangat percaya diri seakan ia bos dari hotel ini.
Yah, dia memang anak pemilik hotel ini sih, batin Yaya.
Mereka sampai di sebuah meja yang cukup jauh dari keramaian, sikap gentleman Gempa yang menarikkan kursi untuknya membuatnya tersipu, belum sempat Yaya bertanya kenapa mereka tidak langsung mengambil makanan buffet restoran yang disediakan, Gempa sudah pergi lagi untuk mengambil makanan.
Yaya tersenyum kecil, suaminya itu terlalu sering memanjakannya.
Gempa dengan cepat kembali dengan beberapa potong daging dan seafood bakar.
"Aku juga sudah pesan sup ayam, nanti datang," katanya.
"Kukira kamu lebih suka makan sayur," komentar Yaya.
"Ini untukmu," jelas Gempa. Ia menaruh piring tersebut di depan Yaya dan akhirnya duduk di depan istrinya tersebut.
"Kamu suka daging kan?" tanya Gempa.
"Ya... Suka sih," jawab Yaya lirih. Meski ia juga suka sayur, Yaya tidak anti makanan tertentu.
Belum sempat Yaya menanyakan dimana makanan Gempa, ada pelayan yang datang membawakan sup ayam dan juga salad.
"Sup di sini enak lho, cobain deh," kata Gempa lagi. Untungnya salad untuk Gempa sendiri terlihat dalam porsi banyak, ada ayam dan seafood juga di sana jadi Yaya tidak akan berkomentar soal Gempa yang makan sayur.
Mereka makan dalam diam, Yaya sesekali memandang pemandangan di luar hotel. Tidak terasa beberapa hari lagi resepsi pernikahan mereka akan digelar, Yaya tahu acaranya akan sangat megah, tapi ia merasa berat akan hal itu. Namun pada saat yang sama, ia tidak bisa protes. Pada akhirnya ia sadar kalau resepsi pernikahan bukan digelar untuk dirinya maupun suaminya, tapi untuk pencitraan ke orang lain.
Saat Yaya mengangkat dagunya ia melihat tatapan khawatir Gempa dan Yaya merasa bersalah.
"
Aku nggak apa-apa kok," jawab Yaya. Aneh rasanya, mungkin ia terserang rasa galau dan cemas yang umumnya menyerang pasangan calon pengantin sebelum menikah, tapi kan ia sudah menikah, ini cuma resepsinya saja.
Gempa meraih tangannya dan menggenggamnya. "Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa," katanya lembut.
Yaya mendesah, di bawah tatapan mata yang hangat dan penuh cinta itu membuat Yaya tidak bisa berkutik.
"Aku hanya sedang memikirkan resepsi pernikahan kita," akhirnya Yaya berusaha menjelaskan sumber kegelisahannya.
"Ada masalah?" tanya Gempa. Yaya menggeleng.
"Bisa dibilang, sebelum menikah dengan kalian, selama ini kukira resepsi pernikahanku akan sangat sederhana, mungkin di gelar di rumahku atau di restoran ibu, mengundang saudara, tetangga dan teman-teman dekat, hanya itu. Tapi, resepsi pernikahan kita sangat besar, mungkin aku sedikit takut," jelas Yaya. Genggaman tangan Gempa semakin erat, seakan berusaha menenangkannya.
"Takut kenapa?" tanya Gempa.
Yaya menatapnya, mungkin suaminya itu sudah terbiasa menghadiri acara skala besar, meski tidak menyukainya.
"Resepsi pernikahan kita nanti akan dihadiri oleh banyak orang penting, yang tidak kukenal. Saudaramu, kenalan ayah ibumu, partner bisnis dan semacamnya," jelas Yaya lagi.
Memang keluarganya juga datang, teman-teman sekolah Yaya juga diundang, tapi jumlahnya jauh lebih kecil dari undangan untuk orang yang tidak ia kenal.
"Aaaah...," Gempa tampak mulai mengerti. "Selama ini kupikir semua pesta memang seperti itu," katanya terdengar polos.
Yaya ingin tertawa miris. Mungkin di kepala Gempa bahkan tidak terpikir kalau pesta seharusnya menyenangkan, bukan melelahkan.
Mereka berdua kembali diam, tangan yang menggenggam tangan Yaya kini sibuk memainkan jemari Yaya.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk itu, maaf," akhirnya Gempa mengatakan hal itu. Yaya menggeleng.
"Ini bukan salahmu, bukan salah kalian," jelas Yaya. "Aku akan mencoba menikmatinya, banyak orang bermimpi untuk menggelar pernikahan megah, masa aku tidak bersyukur, tidak boleh, " tambahnya.
Gempa masih terlihat khawatir namun mengangguk.
IoI
Di hari H, perasaan Yaya sangat campur aduk. Ia bangun begjtu pagi karena harus di make up dengan cepat, meski acara pernikahannya digelar hanya 4 jam, 2 jam pertama untuk keluarga dan teman dekat, 2 jam selanjutnya untuk relasi dan yang lainnya, tapi make up dan persiapan yang dibutuhkan akan memakan waktu lama.
Suaminya sudah menjelaskan padanya bahwa pada akhirnya hanya Gempa dan Taufan yang akan bergantian keluar, karena terlalu banyak mata yang akan melihat mereka.
Yaya tidak bisa protes untuk itu, ia sudah tahu pada akhirnya akan seperti tapi ia tetap kecewa.
"Mau obat penenang?" ketika Halilintar bertanya itu padanya dalam mobil menuju hotel, Yaya hampir tersedak ludahnya sendiri.
"Jangan bercanda," tegur Yaya.
"Aku serius," jelasnya. Yaya ingin tertawa. Ia separuh mengerti kondisi suaminya sehari-hari bagaimana, hidup di bawah tekanan yang tak kasat mata itu ternyata memang berat.
"Tidak perlu, nanti aku ngantuk," jelas Yaya. Meski ia tergoda, tapi ia tahu obat penenang itu ada efek kantuk berat.
Halilintar mengangguk dalam diam dan ia membiarkan Yaya kembali dengan pikirannya.
Saat sampai dan sebelum mereka keluar dari mobil, Halilintar menariknya dan mengecup bibirnya dalam kemudian membisikkan "tenang, semuanya akan baik-baik saja."
Wajah Yaya memerah dan ia mengangguk.
IoI
Yaya merasa dejavu saat lapis demi lapis make up disapukan kewajahnya. Lama kelamaan ia merasa wajahnya seperti topeng. Tapi ia tidak bisa protes pada sang make up artist, karena toh ia juga hanya mengerjakan pekerjaannya.
Yaya merasa bersyukur suaminya memberikan kamar hotel yang tenang untuknya bersiap, karena Yaya bisa membayangkan baik ibu mertua atau pun ibunya pun sedang sibuk dirias dan suasana kacau lainnya.
Saat Yaya membuka mata setelah selesai diberi pensil alis, ia terkejut suaminya sudah ada di sebelahnya tanpa mengatakan apapun.
"Minum," katanya. Ia menaruh secangkir lemon tea hangat di atas meja rias, tak lupa, dengan sedotan agar lipstik di bibir Yaya tidak berantakan. "Awas panas, kalau minum pakai sedotan tambah panas," katanya dengan nada bercanda.
Taufan ya.
Yaya tersenyum dan meminumnya perlahan.
"Duh masnya baik banget," celetuk sang make up artist membuat Yaya hampir menyemburkan tehnya ke cermin.
"Oh iya dong, kalau untuk mbaknya, ada di meja ya mbak, silahkan dituang sendiri," jelas Taufan dengan nada bercanda lagi.
"Ya ampun, makasih mas," balasnya. "Nggak mau komentar nih istrinya gimana? Cantik kan?"
Wajah Yaya hanya bersemu, bajunya masih belum rapi, ia hanya pakai dalaman kerudung yang ketat dan wajahnya masih belum selesai dirias.
"Oh istri saya sih selalu cantik," kata Taufan tersenyum usil padanya. "Tapi masih lebih cantik waktu habis selesai mandi."
Yaya tak bisa menahan diri dan akhirnya ia tertawa dan cangkir teh di tangannya hampir jatuh. Beberapa orang yang menyiapkan kerudung dan baju Yaya ikut terkikik di kejauhan.
"Aduh masnya lucu deh," goda si mbak make up artist. Yaya masih ingin tertawa, sadarkah dia kalau yang diajak bicara untuk pewaris generasi ketega dari Aba corporation.
"Aku pergi sebentar ya," kata Taufan memberi kedipan mata pada Yaya.
Istrinya tersenyum geli dan mengangguk.
Secangkir teh hangat dan candaan Taufan membuatnya sedikit lebih tenang.
IoI
Yaya menatap dirinya di cermin. Cantik, tapi ia separuh tidak mengenali dirinya sendiri. Make up yang dipoles pada wajahnya adalah make up natural yang membuat wajahnya bersinar seperti artis. Meski eye shadow dj matanya terlalu tebal baginya, tapi sang make up artist menerangkan kalau untuk kelihatan cantik di kamera, make up harus tebal. Yaya tak mau memikirkan akan banyak kamera menyorotnya.
Kerudung yang ia gunakan diberi banyak hiasan jadi terasa berat, setidaknya bajunya tidak terasa ketat, tapi panas karena Yaya menggunakan lapisan di dalam baju agar baju pengantinnya tidak basah oleh keringat.
"Mbaknya tunggu di sini ya, saya mau cek yang lain," kata sang make up artist.
Yaya termenung saat akhirnya tertinggal di kamar seorang diri. Semua orang terlihat sibuk, seharusnya dirinya juga. Mungkin harusnya ia menghampiri ibunya, untuk melihat bagaimana ibunya mengenakan baju mewah dan dirias tapi jujur Yaya merasa lelah.
Belum di mulai saja ia sudah merasa lelah.
Tapi tidak boleh!
Yaya mengencangkan tekadnya dan pergi ke luar kamar. Sebagai anak dan menantu yang baik, ia harus memberi salam pada ibu dan mertuanya.
Di lorong penuh dengan barang dan orang-orang, semuanya sibuk mempersiapkan acara ini. Memang kalau skala besar dan budget tidak terbatas, sepertinya mereka tidak kekurangan tenaga.
Ia menghampiri kamar lain dan mengintip diam-diam ke dalam. Pertama ia menemukan ibunya.
Dibanding Yaya, ibunya tampak bahagia.
"Aduh anak ibu cantik sekali," katanya, ibunya masih sibuk dirias kerudungnya jadi tidak bisa bergerak.
"Ibu juga kok," puji Yaya. Jujur saja ibunya kelihatan bersinar, mungkin akhirnya lega karena putrinya menikah dengan orang yang tepat. Dulu saat akad menikah, ibunya tak berhenti menangis. Sekarang tampaknya sudah lega, apalagi ia sudah belajar menerima kondisi Boboiboy seperti apa.
"Aku mau lihat mertuaku dulu ya bu," jelas Yaya ketika melihat bagaimana orang-orang masih sibuk di sekitar ibunya.
"Iya hati-hati," sahut ibunya.
Ah, mungkin karena Yaya pakai heels. Ia tidak tahu kemana sandal yang dipakainya saat ke hotel, hanya ada heels di kamarnya.
Daripada ia tidak beralaskan kaki.
Yaya keluar dan terkejut melihat suaminya hampir bertabrakan dengannya.
"Aku kira kamu pergi kemana," katanya.
Nada rendah dan terdengar malas itu, Air?
"Ssst, semuanya terlalu sibuk untuk melihatku," jelasnya. Yaya mengangguk.
Ia tidak protes, justru senang kalau ia bisa bergantian bertemu dengan semua kembaran suaminya. Ia butuh itu, ia butuh dukungan mental dari semuanya.
"Buka mulutmu," kata Air.
Yaya sedikit bingung namun menurut, Air memasukkan sesuatu ke dalam mulut Yaya dan saat Yaya menutup mulutnya, ia bisa merasakan manisnya coklat yang meleleh.
Air menjilat sisa coklat di jarinya dan tersenyum pada Yaya. Yaya membalas senyumannya.
"Kamu cantik banget, tapi bener kata Taufan, kamu paling cantik kalau habis mandi."
Yaya menahan tawa, tak ingin menarik perhatian orang-orang yang ada di lorong.
Air memperhatian wajahnya dengan seksama, membuat Yaya jadi was-was takut ada hal aneh yang menempel di wajahnya.
"Kayaknya kamu udah baikan," gumamnya kelihatan lega.
Wajah Yaya tersipu. Ternyata memang suaminya sedang berusaha menenangkannya yang gelisah karena resepsi pernikahan ini.
Air ingin mengatakan sesuatu lagi namun handphonenya berbunyi dan ia segera mengangkatnya.
"Maaf ya aku harus pergi lagi," katanya. Ia terlihat ingin melakukan sesuatu sebelum pergi dan akhirnya mengecup kening di atas kerudung Yaya. Wajah Yaya tetap tersipu meski kecupan itu di atas kerudungnya.
"Takut berantakan," jelas Air sebelum akhirnya ia pergi.
Yaya tersenyum memandang suaminya berbalik pergi.
IoI
Yaya mengurut kakinya di kamarnya setelah ia selesai berkunjung ke mertuanya. Untungnya hanya ada bunda, yang terlihat nyaman dan profesional ketika dirias. Memang kalangan kelas atas sepertinya berbeda.
Permasalahannya, Yaya sadar sekarang kalau heels yang ia gunakan terlalu tinggi. Mungkin sekitar 8 cm dan kakinya merana. Semoga sepanjang resepsi pernikahan ia akan sering duduk.
Tapi tidak juga, ia akan melakukan banyak hal, seperti menyalami tahun undangan, memotong kue dan lain-lain.
Selamat tinggal tumit dan pergelangan kakinya.
"Yaya?"
Yaya mendongak dan mengenali Api yang memgambil alih tubuh suaminya.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Api menghampirinya dengan wajah khawatir.
"Kakiku cuma sakit, heelsnya ketinggian," jelas Yaya. Wajah Api terlihat kesal jadj Yaya buru-buru menambahkan, "salahku kok, waktu dipilihkan sepatu, aku cuma setuju saja, tidak berpikir apa-apa."
Kedutan di dahi Api terlihat menghilang namun wajahnya masih cemas.
"Sebentar ya," katanya. Ia mengambil handphonenya dan sibum mengetik sesuatu, entah apa.
"Kira-kira begini? Ah sudahlah," gumamnya kemudian ia beralih ke Yaya lagi.
"Mau kupijat?" tanya Api. Yaya jadi ingat saat kencan mereka di kebun binatang, wajahnya memerah.
Tanpa meminta persetujuan Yaya, akhirnya Api memijat kaki Yaya. Sentuhannya terasa lebih lembut dari biasanya.
Yaya tidak bisa menolak dan hanya tersenyum melihat Api fokus memijat kakinya.
"Permisi-"
Yaya hampir melonjak ketik sang wedding organizer mendadak muncul di kamarnya.
Ia tidak berkomentar apa-apa melihat Api sedang memijat Yaya.
"Ini sepatu cadangannya, saya sudah takut ini terjadi, jadi sebenarnya saya bawa banyak sepatu cadangan, coba dipakai," jelas sang WO.
Api beranjak dan Yaya akhirnya mencoba sepatu lain yang diberikan padanya.
Heelsnya tidak terlalu tinggi dan cukup nyaman, desainnya beda dengan sepatu yang sebelumnya namun warnanya sama.
"Sepertinya ini cocok, terima kasih dan maaf ya merepotkan," kata Yaya.
"Syukurlah, tidak apa-apa kok, ini kan kerjaan saya, saya pergi sebentar ya," katanya sebelum menghilang lagi. Semua orang sibuk sekali kelihatannya.
"Fuh," Api menghela napas. Kentara sekali ia berusaha tidak bicara apa-apa ketika ada WO di dekat mereka.
"Kakinya udah enakan?" tanya Api lagi. Yaya mengangguk dan menggerakkan kakinya.
"Iya, udah pas," kata Yaya cukup senang.
"Syukur deh," Api tersenyum lebar.
Yaya kemudian baru sadar.
"Ah, kamu yang panggil dia ya?" tanya Yaya. Api mengangguk. "Tadi ku chat, soalnya kalau telpon nanti ketahuan," kata Api.
Yaya sedikit terkesima dan merasa bangga. Jarang sekali Api bisa diandalkan.
"Makasih ya," kata Yaya dengan tulus. Api tersenyum dan menggenggam kedua tangan Yaya.
"Sama-sama."
IoI
Saat pertama masuk ke dalam hall yang sudah dihias untuk resepsi pernikahan, Yaya terkesima. Efek dari lampu hias, bunga dan jumlah orang yang ada di sana membuatnya merasa seperti tuan putri yang sedang masuk ke dalan kastil.
Tanpa sadar mungkin Yaya mendekap lengan suaminya lebih erat dari seharusnya. Untunglah mereka berjalan beriringan, kalau tidak mungkin Yaya akan mematung sendirian.
"Yaya, tenanglah, ikuti langkahku."
Suara suaminya lembut dan tenang, Yaya mengikuti langkah suaminya, membiarkannya menariknya kemana ia harus pergi.
Mereka sampai di pelaminan dengan pencahayaan yang paling terang, mungkin karena itu suaminya terlihat bersinar.
"Jangan khawatir, fokus saja padaku."
Yaya mengangguk.
Ada serangkaian acara yang dilakukan sebelum resepsi pernikahan mereka dimulai. Mulai dari berbagai sambutan kata dari ayah Boboiboy dan beberapa relasi mereka. Ada video yang diputar mengenani mereka, jujur Yaya tidak tahu soal video itu. Dan serangkaian acara lainnya.
Yaya tidak bisa memandang jauh ke depan, melihat banyak mata yang tidak ia kenal menatapnya, jadi ia lebih sering menoleh pada Gempa, yang terus tersenyum padanya.
Saat resepsi di mulai dan orang-orang akhirnya mulai menjabat tangan mereka dan kemudian makan, Yaya merasa tubuhnya menjadi semakin lemas.
"Yaya, kamu nggak apa-apa? Wajahmu makin pucat," bisik Gempa padanya dengan khawatir. Yaya ingin membalas bagaimana ia bisa tahu sedangkan wajahnya dilapisi banyak make up, tapi Yaya tidak kuat untuk mengatakannya.
"Aku... Pusing..."
Yaya yang awalnya berdiri segera merasakan dekapan suami dan ia dituntun untuk duduk. Matanya sedikit berkunang-kunang dan tidak fokus tapi ia merasakan ada sedotan yang disodorkan padanya jadi ia meneguk air yang diberikan padanya tanpa banyak bertanya.
"Kamu nggak apa-apa? Mau istirahat? Mau ke kamar?" tanya Gempa, suaranya semakin meninggi karena khawatir.
Yaya menggeleng. Dan menghancurkan resepsi pernikahan yang sudah dipersiapkan sejak lama? Ia tidak bodoh, resepsi pernikahan ini juga akan berpengaruh besar pada bisnis perusahaan suaminya. Ia tidak boleh mengacaukannya.
"Hei Yaya, tatap mataku."
Yaya menatap mata Gempa dan melihat ekspresi khawatirnya di sana. "Tarik napas dalam-dalam, keluarkan, ayo ikuti."
Yaya mengikuti instruksinya, matanya fokus menatap refleksi mata Gempa. Sambil menarik napas panjang, ia perlahan sadar kalau bola mata suaminya tidak sepenuhnya hitam, tapi terdapat warna kecoklatan.
Gempa menemplekan dahinya ke dahi Yaya dan menggenggam tangannya erat. "Bagaimana? Sudah baikan?" tanyanya lembut.
Sejujurnya di hall ini sangat berisik, banyak sekali suara, mulai dari musik, berbagai macam suara orang dan lainnya tapi Yaya memfokuskan diri mendengarkan suara Gempa yang sangat dekat dengannya.
"Iya," jawab Yaya yakin, pandangannya terasa lebih jelas dan tubuhnya terasa sedikit bertenaga dibanding sebelumnya.
"Kamu nggak usah berdiri lagi ya, aku aja yang berdiri, nggak apa-apa."
Yaya tidak bisa protes dan mengangguk. Acara jabat tangan akhirnya dilakukan dengan singkat, Yaya hanya mengangguk dan memberikan senyuman dari tempatnya duduk. Terlihat sekali Gempa berusaha menyambut para tamu undangan dengan lebih hangat agar mereka tidak menatap Yaya yang duduk terlalu lama.
Begitu juga saat acara jabat tangan selesai, Gempa selalu berada di sisi Yaya, meski ada kalanya Alif berusaha menariknya untuk pergi menemui beberapa orang.
Lalu Ying muncul di dekat Yaya membuat gadis itu hampir bersorak, Ying memasukkan beberapa potong buah ke mulut Yaya sebelum ia pergi mengendap-ngendap seperti mata-mata membuat Yaya hampir tersedak karena tertawa.
Sisanya resepsi acara pernikahannya seperti blur, ia ingat ibunya menangis karena sesuatu, entahlah, Ying kembali bicara padanya, ada Fang yang menyindirnya bersama dengan suaminya tapi yang jelas, begitu sadar Yaya sudah berada di gendongan suaminya yang membawanya ke kamar hotel.
Yaya menutup matanya kembali dan bersandar pada dada Gempa
IoI
Gempa membaringkan Yaya dengan hati-hati dan menghampiri dokter yang sudah ia panggil. Dalan hati ia bersyukur menuruti saran Alif untuk memanggil tenaga medis untuk stand by bila terjadi sesuatu. Sang dokter memeriksa Yaya dan ada suster yang membantu melepaskan semua hiasan yang memberatkan badan istrinya itu.
"Ia cuma kelelahan dan sedikit anemia," jelas sang dokter membuat Gempa menarik napas lega.
Yaya tidak pingsan, untungnya, tapi Gempa tahu sejam terakhir ini istrinya berfungsi dengan sistem auto pilot, seperti tidak berada di tubuhnya sendiri.
Mungkin tekanan dari resepsi pernikahan besar terlalu berat untuk Yaya. Terlalu banyak orang asing, kamera ataupun lampu yang menyorotnya.
"Maaf, nyonya Yaya tidak hamil kan?"
Pertanyaan sang dokter membuat wajah Gempa memerah. "T-tidak," katanya yakin namun terbata-bata. Sang dokter mengangguk.
"Kalau begitu tidak apa-apa, istri anda hanya butuh istirahat yang cukup, mungkin terlalu stres," katanya. Gempa mengangguk.
Seharian ini ia dan saudara-saudaranya sudah berjuang keras untuk menghibur Yaya, tapi sepertinya tidak cukup. Sang dokter dan suster pun pamit, meninggalkan Gempa dan Yaya di dalam kamar.
Gempa menghampiri Yaya yang terbaring di tempat tidur, setidaknya wajahnya tampak lebih baik dibanding sebelumnya.
"Hm... Acaranya sudah selesai?" tanya Yaya dengan suara yang masih lemah.
Gempa mengangguk. "Iya, sudah selesai, sekarang kamu istirahat saja," jawab Gempa sambil membelai kening Yaya yang berkeringat dingin.
Yaya mengangguk dan kembali terlelap.
Hati Gempa hancur melihat kondisi Yaya. Ia harusnya lebih perhatian selama beberapa hari terakhir. Ia harusnya tidak setuju ketika orang tuanya memintanya untuk membuat acara resepsi semegah ini. Ia seharusnya-
"Boboiboy."
Gempa menoleh pada Yaya yang memanggilnya. Ia tidak peduli istrinya itu tidak memanggil nama khususnya, ia sedang sakit dan tidak fokus dengan keadaan sekitar.
"Ya?" tanya Gempa merunduk ke arah Yaya.
"Temani aku di sini," pinta Yaya pelan. Butuh beberapa saat sampai Gempa mengerti maksudnya. Ia tersenyum tipis.
Gempa melepaskan dasi dan jasnya serta membuka kancing kemejanya sebagian agar ia bisa berbaring dengan nyaman. Ia membaringkan diri di sebelah Yaya dan istrinya segera menyamankan diri di dadanya.
Gempa merangkulnya dan mengusap kepala istrinya dengan lembut.
Ia tidak peduli handphonenya sedari tadi bergetar di atas meja, ia yakin Alif bisa memback upnya selama beberapa waktu.
Sekarang daripada terus menyalahkan dirinya, ia harus mencari cara untuk membahagiakan Yaya.
Karena dibanding dengan pencitraan dan status sosial yang harus ia pertahankan, senyuman bahagia Yaya jauh lebih penting untuknya.
Dan ia yakin semua kembarannya pun berpendapat hal yang sama.
To be continued
Sori kalau feelsnya nggak dapet, tapi kalau mau ditunggu sampai feelsnya dapet, bisa sampai kapan nggak ditulis? Okeee, kenapa acara resepsinya jadi ngeangst gini? Mungkin terinspirasi dari film Ngenest yang calon pengantin wanitanya pingsan di tengah acara. Tenang, chapter selanjutnya akan lebih hepi kok
Silahkan review bila berkenan