Disclaimer Masashi Kishimoto

Sasuke U. & Hinata H.

T, M

Misstypo(s), Crack Pairing, Fanon, Dunia Ninja, etc.

.

.

Teach Me

.

.

Story by Dayuta

.

.

Chapter 7 – Freedom

Suasana yang tercipta diruangan itu menjadi sunyi. Terlihat dua shinobi wanita terdiam mendengar kalimat terakhir kali yang baru saja lelaki uchiha itu katakan. Tidak ada yang menduga, siapa nama wanita yang akan terucap dari mulut Uchiha Sasuke.

Terbesit sejenak dikepala Tsunade bahwa sosok wanita itu adalah Haruno Sakura. Wanita yang paling banyak menghabiskan waktu bersama Sasuke, dibandingkan dengan kunoichi seangkatan mereka yang lain. Namun semua dugannya hancur, mendengar dengan jelas ucapan Sasuke yang membuatnya merasa berhalusinasi.

"Hyu-Hyuuga Hinata katamu?" mata Hazel Tsunade menatap Sasuke dalam bingung. "Tu-tunggu, bagaimana bisa?" pikirnya.

"Kau bicara seperti itu seperti kau mengenal dekat Hinata Sasuke, aku tak percaya"

Sasuke tersenyum sarkastik mendengar ucapan menusuk Tsunade yang masih menatapnya tak percaya.

"Aku mengenal Hinata jauh sebelum dirinya mengenal kalian semua."

Tsunade masih menatap Sasuke, tanpa percaya sedikitpun apa yang dikatakannya. Mata itu berkilat tajam, membalas tatapan Sasuke. "Benarkah?"

Nafas Sasuke mendengus panjang. Tidak menjawab pertanyaan wanita tua itu. Percuma saja beradu mulut untuk mempertahankan argumen masing-masing, Sasuke tidak suka menghabiskan waktunya hanya untuk hal tidak berguna. Terlebih kepada Tsunade, ia tidak menyukai Hokage kelima itu sedari dulu.

"Kau tak percaya? Tapi aku sedang tidak ingin menceritakan masa lalu ku." ucap Sasuke dingin.

Apapun yang berhubungan dengan masa lalunya, jika itu adalah Konoha Sasuke tidak akan pernah buka mulut. Terlalu berat untuk menceritakan tentang kehidupan sosok kecil dirinya dulu yang sekarang pun bahkan telah ia lupakan. Baik itu tentang keluarganya, Itachi, bahkan Hinata sekalipun.

"Kalau begitu, bagaimana bisa aku mempercayai mu?" tanya Tsunade.

Sekali lagi Sasuke menghela napas kembali, "Katakan saja apa jawabanmu."

"Tidak."

"Tsk." Sasuke mendesis tak suka.

"Iya atau tidak." Pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya dilontarkan Sasuke.

"Kenapa kau sangat bersikeras Sasuke? Apa Hinata begitu penting? Bukankah Sakura lebih dekat denganmu?"

Sasuke tidak ingin mendengar nama itu.

"Aku hanya ingin Hinata."

"Kau keras kepala sekali." Tsunade memijit keningnya yang terasa sakit ketika menahan emosi.

"Baiklah terserah kau saja. Tapi jika yang kau inginkan adalah Hinata, kau harus berhadapan dengan Klan Hyuuga."

"Baiklah."

Tsunade pikir Sasuke tidak akan pernah sembarangan menentukan sesuatu yang akan dilakukannya. Namun kali ini, berani sekali Sasuke yang notabene adalah nukenin kelas atas bermimpi untuk membawa pergi Hinata yang merupakan pewaris dari Klan Hyuuga. Itu tidak akan mudah−sangat mustahil. Mendengar kata 'Hyuuga' saja berarti Sasuke harus mempertaruhkan semua yang ia punya. Dan ketika mengetahui yang menginginkannya hanyalah seorang ninja buronan kelas atas yang sekarang bahkan tidak memiliki apapun untuk dipertaruhkan, terasa sangat aneh.

"Dan aku tidak akan ikut campur untuk urusan ini Sasuke, camkan itu baik-baik."

Sasuke menutup mata sejenak, "Aku tidak akan melibatkanmu."

Ditempat yang sama, berdiri Shizune. Ia juga datang bersama dengan Tsunade. Wanita itu hanya mengamati apa yang dilakukan oleh Tsunade dan Sasuke tanpa ikut campur sedikitpun. Tanpa terasa, mereka cukup lama berada diruang inap Sasuke. Dan ia ingat, jika ada banyak pekerjaan wajib yang harus diselesaikan Tsunade setelah ini. Awalnya mereka hanya ingin memeriksa keadaan pria Uchiha itu. Tapi karena sikap Sasuke sendiri, sampai sekarang mereka masih berada di dalam ruangan itu.

"Tsunade-sama, sudah waktunya."

Helaan napas Tsunade membuat Shizune gusar. Bagaimanapun, itu adalah pekerjaan seorang Hokage yang tidak boleh ditinggalkan demi desa Konoha. Ia hanya ingin mengingatkan. "Ya, Baiklah." ucap Tsunade ketus.

Sasuke menatap kepergian kedua wanita itu dalam diam. Tatapannya penuh arti, ada hal yang sedang ia pikirkan sedari tadi yang selalu membuatnya bingung. Ya, Tentang perjodohan konyol itu. Dengan adanya Tsunade yang sekarang tepat berada di depannya, adalah kesempatan bagus untuk bertanya. Sedikit berharap bahwa kenyataan pahit yang telah ia dengar tadi hanyalah kesalahpahaman.

"Tunggu!" teriak Sasuke ketika sedikit lagi sosok Tsunade menghilang dari pandangannya.

Sedikit terkejut, Tsunade berhenti melangkah dan menoleh kepada Sasuke. "Apalagi?" tanyanya emosi.

"Siapa yang memulai perjodohan itu?"

Tsunade tersenyum, "Kau ingin tahu?"

"Katakan tanpa basa basi, Tsunade." nada dingin Sasuke membuat Tsunade memasang wajah serius.

"Klan Hyuuga yang membuatnya." jawaban singkat yang membuat Sasuke melebarkan matanya−terkejut.

"Hyuuga?" tanya Sasuke balik.

"Bahkan mereka membuat perjodohan itu tanpa persetujuan dari Hinata terlebih dahulu." tutur Tsunade. Ia bisa melihat wajah Sasuke dipenuhi oleh rasa penasaran dan tanda tanya.

Sebenarnya, Sasuke menganggap bahwa perjodohan adalah hal yang wajar apalagi jika berhubungan dengan klan besar seperti Hyuuga dan Uchiha. Dulu klannya pun melakukan hal seperti itu, namun hanya sebatas sesama klan Uchiha saja agar darah Uchiha tetap murni. Hal yang dilakukan klan Hyuuga kali ini lah yang membuatnya sedikit bingung, bukan kah lebih baik jika perjodohan dan pernikahan seperti itu harusnya dilakukan sesama klan Hyuuga saja? Mengingat klan itu masih cukup kental dengan tradisi dan nenek moyangnya. Yang membuatnya kesal, mengapa harus Naruto?

"Apa Hinata menerima perjodohan itu?"

"Lusa, Naruto dan Hinata akan mengungkapkan jawaban mereka di hadapanku."

Tangan kanan Sasuke mengepal kuat. "Lusa?"

"Ya, di ruangan Hokage." tambah Tsunade. Pertanyaan yang dilontarkan Sasuke sangat banyak dan membuatnya kesal.

"Baiklah, aku akan kesana."

Mata Hazel itu membulat, "Kau belum pulih Sasuke!"

"Aku akan merebut Hinata tepat saat itu juga jika ia menerima perjodohan konyol itu." Sasuke tersenyum remeh menatap Tsunade.

"Apa yang kau inginkan Sasuke!" ucap Tsunade dengan nada yang tinggi−menahan amarah.

"Sudah kubilang yang kuinginkan adalah Hinata, bukan?"

Pasti, ia akan melakukan apapun demi seorang Hyuuga Hinata. Mendapatkan sesuatu yang hanya akan menjadi miliknya dan tidak boleh dimiliki oleh oranglain. Tidak akan memberikan Hinata, bahkan sehelai rambut pun.

"Tsk, terserah kau saja."

.

.

.


(Teach Me)

Hari yang cerah dengan cuaca panas sedikit lebih menyengat. Pagi itu matahari telah menampakkan diri sedikit lebih tinggi di ufuk Timur. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi menjelang siang, sudah sepantasnya seorang Kazekage harus berada di ruangan Kazekage sambil mengerjakan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya dalam waktu cepat.

Kazekage desa Sunagakure itu menampakkan raut wajah tak percaya ketika melihat laporan darurat yang baru saja ia terima. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi laporan tersebut membuatnya sedikit terkejut. Tertulis dengan jelas, Gaara hanya melihat semua laporan kerugian akibat perang dunia shinobi dua minggu yang lalu. Musuh sangat tak terbendung, Gaara tahu itu. Banyak pertumpahan darah shinobi yang telah mati di medan perang, termasuk shinobi-shinobi terbaik dari desa yang ia pimpin sekarang ini. Bahkan ia yang seorang Kazekage pun merasa jatuh bangun ketika melawan pihak musuh yang tidak ia sangka begitu kuatnya. Aliansi ninja saat itu menjadi tak terkendali, karena kekuatan dari pihak musuh sangat mengejutkan dan tidak sesuai dengan apa yang mereka rencanakan sebelumnya. Saat itu pun Gaara harus memikirkan cara bagaimana membendung kekuatan musuh itu secara cuma-cuma, tanpa persiapan. Walaupun pada akhirnya mereka memenangkan perang tersebut dengan banyak pengorbanan yang terjadi.

"Siapkan shinobi yang sedang tidak ada misi dan bawa ke hadapanku Kankurou." Memberi perintah, Gaara menatap pria dewasa yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

Kankurou menoleh kepada Gaara, adik sekaligus Kazekage yang menjadi kebanggaan desanya. Mengerutkan alis, pria itu memperlihatkan sorot mata penuh tanya dengan suasana hati yang sedikit kesal.

"Semua Shinobi sedang sibuk dengan urusan desa Gaara. Tidak ada yang tersisa, kita juga banyak kehilangan shinobi desa akibat perang waktu lalu." Kankurou menghela napas panjang.

"Baiklah." balas Gaara tanpa ekspresi apapun−datar. Mata Zamrudnya menatap nanar lembaran laporan yang sekarang sedang ia pegang. Sepertinya ia harus bekerja ekstra juga saat ini sama seperti shinobi lain.

"Istirahatlah sejenak." ucap Kankurou lembut.

"Tak apa."

Apapun yang terjadi, Kankurou tidak akan pernah meninggalkan kewajiban seorang kakak terhadap adiknya. Tidak peduli jika Gaara adalah seorang Kazekage, ia akan tetap memarahi, menasihati, dan mengkhawatirkan Gaara. Menjadi seorang pemimpin desa itu tidak mudah, Kankurou tahu akan hal itu. Gaara selalu terlihat tenang, itu yang selalu orang lihat. Tetapi tidak dengannya, Kankurou tahu bahwa adiknya itu telah banyak menyimpan beban dipundaknya dan sengaja menyembunyikan agar oranglain tidak merasa khawatir. Dibalik sifat polosnya, Gaara adalah orang yang keras kepala.

"Jika kau sakit aku tak ingin menggantikan pekerjaanmu, Gaara."

Mata Zamrud itu menoleh, "Kau keras kepala, Kankurou." ucap Gaara dingin. Tidak marah, Gaara hanya kesal karena kakaknya itu selalu mengkhawatirkannya.

"Aku selalu seperti ini karena kau adikku." ucap Kankurou ketus. Menertawakan diri sendiri, bahwa sifat yang ada pada Gaara juga diwariskan kepadanya. Sama-sama keras kepala.

Gaara tahu akan hal itu.

"Ya." Kazekage itu tersenyum tipis.

Bersyukur, itu yang bisa dilakukan Kankurou. Sejak Gaara menjadi Kazekage, kekhawatirannya sedikit menghilang. Meskipun pekerjaan Gaara tidaklah mudah, tetapi dialah orang yang selalu berada didekatnya. Kenyataan bahwa Gaara bukanlah anak kecil, dan juga bukanlah wadah jinchuriki ekor satu lagi. Hal tersebut membawa perubahan besar pada diri Gaara. Seseorang telah merubah pandangan Gaara. Orang itu adalah bocah kyuubi dari desa Konoha, Uzumaki Naruto. Bahkan, sekarang mereka pun telah menjadi teman dekat. Mempunyai kehidupan yang sama, membuat Naruto dan Gaara mengerti dan memahami perasaan satu sama lain. Mengetahui bahwa Gaara mempunyai seorang sahabat, sangat membuat Kankurou bahagia.

"Aku baru ingat, beberapa jam yang lalu penjaga gerbang mendapat kabar bahwa desa Konoha telah mengirim beberapa shinobi ke desa kita."

"Benarkah?" tanya Gaara. Ia berhenti sejenak memeriksa laporan, dan menggapai sebuah gelas berisi air mineral. Tenggorokan itu terasa kering, akibat cuaca desanya yang sekarang tidak cukup stabil. Mungkin akibat dari perang dunia shinobi lalu, terlalu banyak dampak yang cukup merugikan, pikirnya.

"Mungkin sebentar lagi mereka akan sampai."

Gaara mengangguk mengerti, "Aku berharap banyak pada mereka."

Respon yang cukup mengejutkan bagi Kankurou, "Ya, semoga saja mereka mengirim beberapa ninja medis." harapnya.

.

.

.


"Memangnya, apa isi dari gulungan rahasia ini?" Sakura menatap serius sebuah gulungan yang digenggamnya. Nampak kecil, hanya terlihat seperti gulungan kertas biasa dan tidak berharga. Namun benda inilah yang membuat mereka sekarang berdiri tepat di depan gerbang desa Sunagakure, sambil menahan rasa panasnya suhu desa di atas hamparan padang pasir itu.

"Buka saja." saran Kiba. Wajah tanpa rasa bersalahnya menatap Sakura.

"Kau mau ku Shannaro hah?" urat-urat di kening Sakura nampak terlihat. Berusaha untuk menahan emosinya.

Kiba, salah satu dari orang yang suka sekali menganggu dirinya. Itu telah terlihat jelas sekali, saat Kiba menyinggung tentang Sasuke dalam perjalanan menuju kemari. Apapun keinginannya, Sakura tidak tahu.

"Panas sekali." Sai mengelap permukaan keningnya yang basah dipenuhi keringat dengan telapak tangannya. Bagaimana mungkin penduduk desa Sunagakure bisa tahan dengan rasa panas ini!

Sakura menoleh menatap Sai, "Kau belum pernah kesini sebelumnya Sai?"

Sai menggelengkan kepala. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan sebuah misi ke desa Sunagakure. Tidak lebih tepatnya ini misi pertamanya ke desa Sunagakure dengan status sebagai shinobi biasa, bukan sebagai Anbu.

"Tidak, aku pernah ke sini sebelumnya."

"Tapi kau tampak terkejut." tungkas Kiba.

"Suhu disini terasa lebih panas dari yang sebelumnya, kurasa." jawab Sai. Ia masih mengelap tetesan keringat yang tak kunjung berhenti membasahi wajahnya. "Aku tidak terlalu suka cuaca panas."

Kiba dan Sakura nampak sedikit terkejut mendengar penuturan dari Sai.

"Eee~ benarkah?" tanya Kiba. Wajahnya nampak tak percaya.

"Karena suhu tubuhku sedikit lebih tinggi dari orang kebanyakkan."

"Aha! Pantas saja kau memakai baju setengah telanjang seperti itu? Benar kah?" tebak Sakura.

Sai menggangguk mengindahkan.

Kiba dan Sakura menatap Sai dengan wajah aneh.

"Karena kau memang suka telanjang kan."

Sakura tersedak,"Jaga ucapan mu Kiba!"

"Bukankah aku berkata benar, Sai?" tanya Kiba menatap Sai berbinar-binar. Berharap bahwa perkataannya benar. Kiba melihat kilat amarah terpampang jelas di wajah Sakura. Wanita itu sebentar lagi pasti akan memukulnya.

Sai tersenyum palsu seperti biasa. "Benar sekali, Kiba" Sambil menatap Kiba penuh dengan makna. Membuat seseorang yang jika berada di situ akan merasa gelisah. Seperti sedang berada pada dunia yang terlarang.

"K-kalian, a-apa yang sedang kalian bicarakan?!" tanya Sakura gugup. Wajah itu sudah semerah tomat. Bukan karena suhu panas, tetapi melainkan karena sikap kedua lelaki yang berada di depannya sungguh menjijikan. Kiba dan Sai saling menatap mesra. Hal itu memang di sengaja.

"Hei, apa yang terjadi dengan wajahmu Sakura? Terlihat merah, apa kau kepanasan?" tanya Sai dengan wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sedikit lagi, mereka berhasil.

"Ti-tidak apa, hanya sedikit kepanasan." Sakura menyembunyikan wajah dengan menutupnya menggunakan tangan. "Tidak, mereka jangan sampai melihat!" Sakura merintih dalam hati. Bodoh, kalau seperti itu dirinya akan dituduh mesum oleh mereka berdua karena memikirkan hal yang tidak-tidak.

Kiba berusaha untuk menahan mulutnya agar tidak tertawa.

"Jangan-jangan kau memikirkan hal yang mesum?"

Nada suara Kiba membuat Sakura merinding. Ia ingin menjauh, bukan karena takut. Kedua pria itu membuat dirinya malu. Kiba menyunggingkan senyum aneh. Kemudian mendekati Sai dan merangkulnya dengan sengaja untuk menggoda Sakura.

Bukkk!

"K-kau mesum Kiba!"

Pukulan itu dengan sukses mendarat di perut Kiba tanpa ampun.

"Ughhh." Kiba merintih menahan sakit yang bukan main menjalar di perutnya "Mengapa kau memukulku!"

"Karena kau membuat suasana menjadi lebih panas!" jawab Sakura penuh emosi.

"Hah?" Kiba tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Sakura.

"Ah lupakan, kita harus mengantar gulungan ini kepada Kazekage."

Sakura meninggalkan kedua teman misinya tanpa menunggu. Wajah itu masih memerah, dengan kening yang masih mengerut−menahan emosi. Bukan hal yang benar jika dirinya terus saja membalas perkataan Kiba. Bahkan harusnya ia tidak peduli. Entah apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Dia tidak suka dengan orang yang terlalu berisik. Apalagi sampai mengusik kehidupan pribadinya.

.

.

.


(Teach Me)

Jika berbicara tentang kekasih, wanita mana yang tidak bahagia jika pria yang ia cintai akan menjadi miliknya. Menghabiskan waktu bersama, menjalani kehidupan baru dimana didalamnya hanya ada mereka berdua. Sama halnya seperti yang Hinata pikirkan selama ini, akan menjadi anugerah terindah jika semua itu terkabul. Sebuah mimpi tentang mendapatkan Naruto pun tidak pernah disangkanya akan menjadi kenyataan. Wajar saja, sedari dulu hati itu terus menetap. Mencintai seseorang yang bahkan mustahil untuk ia dapatkan, yang tidak pantas untuk menjadi miliknya. Dulu pria itu hanyalah seorang shinobi biasa, yang selalu merengek dan tak pernah menyerah sedikitpun untuk mendapatkan pengakuan. Pria yang kelihatan lemah, tetapi semangat api dalam dirinya tidak pernah padam membuat Hinata kagum. Pria yang berlawanan dengan dirinya, seperti sinar matahari yang selalu menghangatkan. Berbeda dengan dirinya yang tidak berguna, seperti sebuah wadah retak dan terus dibiarkan hingga kusam dan tidak menarik.

Dan kini Hinata menjadi seorang wanita yang telah beranjak dewasa. Ia masih mengikuti dan mengagumi jalan ninja yang Naruto tempuh. Rasa kagum itu semakin lama semakin besar dan menjadi sesuatu yang biasa orang sebut−cinta. Lebih dan lebih, hati itu terus merintih ingin menggapai hati Naruto akibat rasa yang telah ia pendam sekian lama semakin kuat. Pada kenyataannya, semakin ia mendekat, semakin jauh sosok Naruto terus melangkah dan menghilang dari pandangan. Sulit memantaskan diri, karena Naruto yang sekarang adalah sosok yang dikagumi oleh orang banyak dan menjadi pahlawan desa. Semakin mustahil diri itu terlihat bersanding bersama Naruto.

Hinata ingin perasaan yang ia rasakan juga dirasakan oleh Naruto−ingin dicintai olehnya. Namun apa daya, perjodohan yang ia dapatkan itu tidak didasari oleh rasa cinta. Hinata tidak pernah tahu apa alasan dari semua, dan apa yang membuat Ayahnya bersikukuh agar perjodohan itu harus ia terima, tanpa pengecualian. Sejak kapan Ayahnya mengkhawatirkan kebahagiaannya? Lucu sekali.

Perjodohan adalah hal yang dibencinya, sedari dulu. Hinata bukanlah seorang wanita yang akan mengemis cinta kepada seorang pria, dengan merengek dan meminta kasih sayang. Ia memang lemah, Hinata sadar akan hal itu. Hidupnya seperti terkurung di dalam tembok besar, dan berlindung didalamnya agar tidak ada yang bisa mengendalikan hidupnya, baik itu Ayahnya sendiri. Egois memang, namun hanya itulah satu-satunya yang bisa Hinata lakukan untuk melindungi diri.

Dan akhirnya, bukan menerima kesempatan itu, Hinata malah menolaknya mentah-mentah. Padahal itu adalah kesempatan yang mungkin hanya akan terjadi sekali dalam seumur hidupnya. Namun, saat ia mengatakan dengan lantang kepada Ayahnya bahwa ia menolak, Hinata tidak merasa bergetar sedikitpun. Ada sesuatu yang terasa melegakan di hatinya, walaupun Hinata sendiri tidak mengerti sedikitpun perasaan apa itu. Yang jelas, ia merasa sedikit 'terbebas' dari sesuatu yang mungkin selama ini telah membelenggunya tanpa sadar.

Ketika mendengar dengan jelas Ayahnya mengatakan kata 'perjodohan', Hinata tahu bahwa jika ia menerimanya, maka kebebasannya akan hilang. Perjodohan berarti harus menikah, namun bukan menikahlah yang menjadi masalah untuk Hinata. Ia pun kemudian teringat perkataan dari Neji,

'Terbanglah tinggi bebas seperti seekor burung, maka kau akan menemukan jalan yang selama ini tersembunyi.'

Keraguannya pun terjawab. Saat itu pula ia mengerti maksud dari perkataan kakak sepupunya itu.

'Ikutilah kata hatimu tanpa keraguan, dengan begitu kau akan menemukan kebahagiaan tanpa kepalsuan.'

Keadaan Hinata saat itu memang tidak stabil, banyak hal yang memenuhi pikirannya, juga keraguan yang membuat hatinya goyah. Namun, ada satu sisi dimana Hinata merasa bahagia, bukan karena perjodohan itu tetapi karena ia telah menemukan arti kebebasan yang ia cari selama ini.

Kebebasan yang akan menuntunnya menuju kebahagiaan tanpa kepalsuan.

Karena sejak dulu, kasih sayang yang ia dapatkan dari klan Hyuuga dan Ayahnya, semua adalah palsu. Hanya karena ia adalah seorang pewaris utama klan Hyuuga, ia diperlakukan khusus. Kenyataannya, hari semakin hari ketika Hinata tidak memperlihatkan perkembangannya sedikitpun, motif terselubung dari para tetua klan Hyuuga itu pun akhirnya sedikit demi sedikit terlihat. Dengan mata Byakugan itu, Hinata bisa mengetahui segalanya. Namun sekali lagi, Hinata hidup dalam kepalsuan. Ia pura-pura tidak tahu menahu tentang tujuan tersebut dan terus saja patuh pada keinginan mereka yang telah merenggut kebahagiaannya sedikit demi sedikit.

Bagi Hinata, perjodohan adalah kepalsuan. Dan kali ini, ia tidak ingin lagi hidup dalam kehidupan yang juga penuh dengan kepalsuan. Menikah karena perjodohan? Tidak, bukan itu yang ia inginkan. Hinata akan menertawakan dirinya sendiri jika itu terjadi. Bayangkan saja, selama bertahun-tahun Hinata mencintai Naruto, lalu cinta itu hanya dibalas dengan cinta palsu? Hinata tahu bahwa Naruto mencintai Sakura. Lalu perjodohan? Itu tidak adil! Apakah dirinya tidak boleh bahagia?

.

.

.

Gadis bersurai indigo panjang itu melangkah pelan, berdiri mendekati jendela. Hembusan angin kecil menerpa wajah putihnya, menggoyangkan helai-helai rambut seirama dengan daun yang berjatuhan dari ranting pohon. Mata amethystnya menatap langit biru yang bersih tanpa awan. Sepertinya ia kenal warna biru itu. Warna yang sama dengan warna mata seseorang, terang dan penuh semangat, mata yang ia kagumi. Ya, bagi Hinata langit biru sama halnya seperti Naruto.

Ketika ingin menyerah, wajah itu selalu mengadah ke atas langit. Dengan begitu ia akan mengingat, bahwa ia tidak sendiri, bahwa Naruto selalu ada bersamanya. Seperti orang yang kesepian kan? Kenyataannya memang seperti itu, ia haus akan kasih sayang. Dan tanpa sadar, ia terlalu berharap kepada Naruto.

Namun dirinya bukanlah seorang Hyuuga Hinata jika ia tidak berpura-pura bahagia. Karena dirinya lemah, Hinata tidak ingin merepotkan orang lain. Baginya, ia adalah orang yang harus menderita dan mati terlebih dahulu agar teman-temannya tidak berkorban terlalu banyak untuk melindungi dirinya yang tidak begitu berguna.

Beberapa hari yang lalu, ia telah dihadapkan oleh masalah yang bertubi-tubi. Emosinya naik turun dan membuat kepalanya berdenyut. Hyuuga Neji, Perjodohan, Uchiha Sasuke, dan Uzumaki Naruto. Keempat hal yang terus menghantui pikiran dan perasaannya. Dan sekarang, cukup terkejut ketika tahu bahwa bukan Naruto lah yang kali ini memenuhi otaknya, melainkan Sasuke. Kejadian saat di Rumah Sakit kemarin membuatnya kepikiran. Hinata tidak suka dengan cara Naruto yang seperti itu, dan seolah-olah bahwa dirinya lah yang selama ini telah mempermainkan Sasuke. Nasib sialnya, ketika ia sudah bertekad untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kepada Sasuke dengan keberanian, tiba-tiba saja tubuh itu melemah dan tidak sadarkan diri. Sampai hari ini pun, ia belum meminta maaf kepada Sasuke atas apa yang terjadi kemarin. Hinata merasa bersalah dan malu untuk menjenguk Sasuke. Ini adalah kali pertama ia merasa dekat dengan sosok Sasuke yang dulu selalu ia hindari. Dan sekarang? Apakah hanya sampai sini saja hubungannya dengan Sasuke? Bukankah harusnya awal pertemanan memberikan kesan baik? Apakah dengan ini Sasuke dan dirinya akan kembali kepada masa-masa yang dulu saat di akademi ninja yang tidak mengenal akan satu sama lain? Tidak, Hinata tidak ingin itu terjadi. Kali ini, ia harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk Sasuke.

"Nee-chan, apa yang kau masak untuk makan malam hari ini?" ucap gadis remaja yang muncul dari luar pintu dapur.

"Kau ingin makan apa Hanabi?" Hinata menatap bahan masakan yang ada di dalam kulkas.

"Aku ingin makanan yang lezat!" ucap Hanabi bersemangat menghampiri Hinata.

'Sepertinya bahan masakannya tidak cukup.' batin Hinata.

Hanabi menatap kakaknya yang terdiam. "Ada apa nee-chan?"

"Mau kah kau membantuku?"

Angguk Hanabi mengindahkan pertanyaan Hinata. "Katakan saja kau perlu apa nee-chan."

Hinata tersenyum dan meraih secarik kertas dan sebuah pulpen. "Ini adalah bahan yang harus kau beli di pasar untuk makan malam kita kali ini Hanabi." sambil menggerakan tangan kanannya yang cekatan menulis sesuatu.

"Hanya ini saja?" Hanabi membaca daftar belanja yang tertulis di kertas yang baru saja Hinata kasih. "Jika nee-chan ingin hal lain, katakan saja. Saat ini aku sedang tidak ada misi."

Hinata terdiam sebentar berpikir. Harusnya hanya itu saja bahan yang ia butuhkan, tidak ada yang lain.

"K-kau belum makan Sasuke-kun?"

"Aku tidak selera."

Ah iya, Hinata ingat saat menjenguk Sasuke dihari kedua sebelum menjenguk Neji. Saat itu, Sasuke tidak menyentuh makanan Rumah Sakit sama sekali. Siapa yang mau memakan makanan tanpa rasa asin ataupun manis sedikit pun? Hinata bisa mengerti mengapa Sasuke melakukannya.

'Apa aku harus membuatkan makan malam juga untuk Sasuke?' batinnya lagi. Mungkin dengan ini, ia ada alasan untuk menemui Sasuke. Tidak, tidak. Hinata menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin ia memasakkan makanan untuk Sasuke jika dirinya sendiri tidak tahu selera Sasuke seperti apa?

.

.

"Hei, apa kau tahu apa makanan kesukaan Sasuke, Naruto?" tanya murid perempuan bersurai pink kepada pemuda bernama Naruto, objek utama yang sedang ia perhatikan. Bersembunyi dari balik pohon, Hinata mendengar sayup-sayup pembicaraan oleh kedua teman akademi ninjanya itu.

"Mana ku tahu!" jawab Naruto ketus. Ia mengerucutkan bibir, tanda bahwa ia sedikit merasa cemburu.

"Jadi kau tidak tahu makanan kesukaan Sasuke? Menyedihkan sekali Sakura," seseorang muncul mendekat kearah Naruto dan Sakura. Hinata bisa melihat dengan jelas, dia adalah anak perempuan dari klan Yamanaka, yang menurut rumor adalah rival setia Sakura yang juga menyukai Sasuke.

"Hah? Sombong sekali kau Ino!"

"Mengapa kau marah? Kau terlihat penasaran sekarang." Kekeh Ino. Ia melihat Sakura dan menunjukkan seringai meremehkan.

"Aku tidak butuh informasi dari mu Ino!" Sakura tanpa sadar berteriak karena hatinya sudah merasa jengkel.

"Tsk, seperti biasa kau selalu tidak ingin merasa kalah dariku." sama halnya seperti Sakura, Ino pun merasa jengkel. Ada suatu waktu dimana Ino ingin berbaik hati kepada rivalnya itu, tetapi sikapnya tersebut malah dianggap remeh oleh Sakura. "Tetapi, tidak seru jika hanya aku yang mengetahui makanan kesukaan Sasuke."

Sakura mengerutkan alisnya, "Apa kau mengasihaniku?"

Ino menggeleng, "Tidak, aku hanya ingin bersaing sehat denganmu." menghela napas sejenak, Ino kembali berbicara. "Sasuke tidak suka manis, dan ia menyukai Tomat." ungkap Ino sambil menatap Sakura, menunggu ekspresi apa yang akan terpampang diwajah terkejut rivalnya.

"Tomat?" tanya Sakura. Ia masih tampak ragu.

"Kau tidak percaya? Asal kau tahu saja, demi mendapatkan informasi ini aku telah merasuki jiwa Sasuke secara diam-diam dan membaca isi pikirannya. Harusnya kau berterima kasih padaku." anak perempuan bermarga Yamanaka itu menatap malas Sakura.

"Kau lancang juga berani melakukan hal seperti itu kepada Sasuke, Ino."

"Dengan begitu kita impas. Aku mendapatkan informasi dengan merasuki jiwa Sasuke dan aku juga memberitahukan informasi itu kepadamu kan?"

"Ya ya baiklah, kau dan aku sama-sama impas."

"Tomat?" gumam Hinata pelan.

Hanabi mengerutkan alisnya, "Kau bilang apa nee-chan?"

Hinata tersadar dari lamunannya, "A-aku baru ingat, tolong beli tomat juga Hanabi."

"Baiklah."

.

.

.

.

.


Hanabi melangkahkan kaki secara perlahan sambil melihat sisi kiri dan kanannya. Sekarang ini ia berada disebuah pasar yang letaknya tidak seberapa jauh dari rumahnya untuk membeli bahan-bahan makanan yang telah Hinata pesan. Pekerjaan yang cukup mudah, karena ia mengenal dan mengetahui bahan makanan tersebut. Memang, pembawaan dirinya tidak terlihat seperti gadis remaja lain yang lemah gemulai dan anggun. Namun jangan salah, perlu diketahui bahwa ia mempunyai kakak perempuan yang hebat dan selalu mengajarinya tentang sesuatu hal yang harus dilakukan seorang gadis remaja yang beranjak dewasa seperti dirinya. Seperti bahan-bahan masakan yang sedang ia beli ini dan tentu saja cara memasak. Beruntung sekali kan Hanabi punya kakak seperti Hinata?

"Ah, itu dia!" Hanabi mengalihkan pandangannya kearah kios pedagang kaki lima yang menjual aneka sayuran. Ia menemukan sayuran terakhir yang ia cari, yaitu Tomat.

"Paman aku be−"

"Tolong pilihkan tomat yang segar." Hanabi menoleh kearah pria disampingnya, dengan wajah emosi.

Jengkel, itu yang tengah dirahasakannya kali ini. Namun Hanabi tak ingin menghakimi orang lain karena ia tahu mereka sama-sama membutuhkan tomat-tomat itu. Melirik dari ujung rambut sampai ujung kaki, Hanabi mendapati kejanggalan dari penampilan pria yang berada disamping kanannya. Bukankah dibalik jaket yang menutupi bagian atas tubuh pria itu adalah baju pasien dari Rumah Sakit Konoha?

"Apa nii-san melarikan diri dari Rumah Sakit?" meski Hanabi tidak mengenal pria itu, ia tidak bisa mengelak bahwa dirinya merasa heran melihat pemandangan tidak masuk akal yang sekarang terjadi tepat didepan matanya.

Pria itu melirik tajam Hanabi melalui ekor matanya yang sedikit tertutupi jubah jaketnya, "Apa peduli mu?"

"Aku bisa saja melaporkan mu kepada petugas Rumah Sakit." jawab Hanabi. Ia tidak merasa takut dengan tatapan tajam yang telah dilayangkan kepada dirinya.

"Apa kau seorang ninja?"

"Lalu kenapa jika aku seorang ninja?" pria itu tetap menjawab pertanyaan dari Hanabi. Nada dinginnya tidak mempengaruhi Hanabi sama sekali. Sedikit penasaran, pria itu menoleh ingin melihat gadis ingusan yang berani bertanya padanya tanpa tahu identitas dirinya yang sebenarnya.

"Hyuuga?" pria itu nampak terkejut.

"U-uchiha S-sasuke?" Hanabi berucap terbata-bata ketika tahu identitas sebenarnya dari orang yang telah berbicara padanya. "Yang aku tahu, kau mengalami luka cukup parah. Tetapi kenapa kau sekarang berada disini?" tanyanya.

"Kau tidak lihat? Aku sedang membeli tomat."

"Apa makanan Rumah Sakit terasa kurang bagimu hingga kau pergi keluar hanya untuk membeli tomat?"

Sasuke tersenyum sarkasme, "Bahkan aku tidak menyentuh makanan itu sama sekali."

"Yang benar saja."

"Paman, aku beli sekantung tomat ya!" teriak Hanabi.

Hanabi tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk bertanya kepada Sasuke yang jelas-jelas bukanlah orang yang ia kenal dekat. Yang lebih penting, sekarang ini ia harus bergegas karena kakaknya sedang menunggunya di rumah.

"Kau seorang Hyuuga?"

Hanabi merespon pertanyaan Sasuke dengan wajah sedikit kesal, "Bukankah sudah jelas?" jari telunjuknya menunjuk kearah mata kanannya sambil melihat Sasuke.

"Sepertinya wajahmu tidak asing." Onyx itu menatap tajam Hanabi, lebih tepatnya dibagian wajah. Sambil menerka-nerka siapa yang mempunyai wajah kurang lebih sama seperti gadis didepannya ini.

"Kau tidak tahu siapa aku?" tanya Hanabi. Menggeleng-gelengkan kepalanya karena begitu terkejut akan ketidaktahuan Sasuke tentang identitas dirinya. "Aku adik dari Hyuuga Hinata, Hanabi." sambil menghembuskan napasnya cukup panjang.

Sasuke cukup terkejut akan jawaban Hanabi. Namun dengan wajah dinginnya, ia masih mampu menyembunyikan ekspresi.

"Aku tidak menyangka jika adiknya sendiri ternyata berlawanan sifat dengan dirinya."

"Sepertinya kau mengenal dekat Hinata nee-chan?" Hanabi bingung, sejak kapan kakaknya dekat dengan pemuda Uchiha ini? Ia tidak pernah cerita sama sekali.

"Kau tidak perlu tahu."

"Kau memang orang yang menyebalkan."

Beraninya gadis ingusan ini mengatakan hal seperti itu kepada dirinya.

"Dimana Hinata?" Sasuke bertanya dengan nada datar tanpa melihat sedikitpun kearah Hanabi.

"Mengapa kau bertanya? Kakak ku sedang di rumah. Kau mau bertemu dengannya?"

Kecurigaan Hanabi bertambah kuat tentang hubungan antara kakaknya dan Sasuke. Pria ini sepertinya mengenal dekat kakaknya. Namun, dari Hinata sendiri tidak pernah sekalipun menceritakan padanya tentang hal yang berhubungan dengan Sasuke. Bahkan pria ini berani bertanya tentang dimana kakaknya berada sekarang? Mengejutkan sekali.

"Katakan, Sasuke sedang menunggunya."

Hah?

'Sebenarnya apa hubungan antara nee-chan dan Sasuke-nii?' batinnya penasaran.

"Apa hubungan mu dengan kakak ku?" Hanabi menatap curiga Sasuke.

"Sudah ku bilang kau tidak perlu tahu."

Pria ini benar-benar mencurigakan!

"Aku perlu tahu jika itu berhubungan dengan kakak ku!" teriak Hanabi.

Sasuke mengangkat kedua alisnya. "Kau mengancamku?"

"Ya! Aku mengancammu! Jika kau berusaha menyakiti Hinata-nee, aku tidak akan tinggal diam!" Hanabi mengambil sekantong tomat yang telah dibeli dan membayarnya dengan tergesah-gesah. "Terima kasih Paman." tanpa pamit meninggalkan Sasuke dengan amarah.

Sasuke hanya tersenyum kecil melihat adik dari orang yang dicintainya itu pergi.

"Sayang sekali Hanabi, sebentar lagi kakakmu akan menjadi milikku."

.

.

.


(Teach Me)

Masih berada di ruang yang sama, Kankurou membantu Gaara yang masih mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang Kazekage. Sesekali pria itu keluar dari ruangan untuk memeriksa apakah ninja utusan dari desa Konoha telah tiba di desa mereka apa belum. Seharusnya, mereka bisa datang setengah jam yang lalu jika dilihat dari jarak yang mereka tempuh untuk menuju kesini.

"Mereka belum datang?"

"Tidak, mereka sudah datang baru saja." Sahut Kankurou.

Kankurou masuk ke ruang Kazekage dengan tiga orang shinobi Konoha yang berada dibelakangnya.

"Permisi, Kazekage-sama." ucap Sai dengan hormat. Ia adalah ketua tim untuk misi kali ini.

"Selamat datang." sambil tersenyum, Gaara menoleh untuk melihat siapa saja shinobi yang dikirim oleh Konoha.

"Maafkan kami telah membuat anda menunggu lama, Kazekage-sama." Sakura ikut berbicara. Wanita itu sedikit khawatir jika Gaara kecewa terhadap mereka akibat keterlambatan yang terjadi.

"Tidak usah sungkan Sakura, seperti biasa saja."

Sakura tersenyum lega. Dengan cepat, tangannya meraih gulungan yang disimpan di tas dan meletakkannya di atas meja Kazekage. "Tujuan kami kemari adalah untuk menyampaikan gulungan rahasia ini kepada anda, Kazekage-sama."

"Gulungan?" Gaara mengerutkan alis. "Dari Tsunade?"

"Benar, Tsunade menyuruh kami untuk menyampaikannya kepada anda." jawab Kiba.

Meraih gulungan itu, Gaara memperhatikan sejenak. Mata Zamrudnya menatap segel yang menyegel gulungan itu. Rupanya itu adalah segel rahasia yang hanya diketahui pemimpin aliansi desa shinobi termasuk dirinya dan Tsunade. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang sangat mendesak atau informasi rahasia dalam gulungan tersebut. Gaara meletakkan kembali gulungan tersebut di atas mejanya. Kali ini, ia menggerakkan tangannya untuk merapal jurus pembuka segel.

"Bakuryouso."

Gulungan itu terbuka, dan membuat mata Kazekage melebar.

Melihat respon Gaara yang terkejut, Kankurou mengerutkan alis. Pasti, ada sesuatu yang terjadi. "Ada apa Gaara?"

Mata Zamrud itu kemudian tertutup perlahan dan terbuka. Sorot matanya kembali tenang, dan tersenyum kembali seperti biasa. "Tidak apa." Gulungan rahasia itu diletakkannya kembali di atas meja. Ketiga shinobi Konoha itu melihat Gaara dalam kebingungan. Apa yang membuat Gaara sampai menunjukkan ekspresi terkejut seperti itu? Apa sebenarnya isi dari gulungan itu? Mereka mempertanyakan sendiri didalam hati mereka.

"Lalu, apa ada lagi misi kalian disini selain mengantar gulungan rahasia ini?"

"Sebenarnya hanya itu saja misi kami. Tetapi−..." Sakura berhenti bicara sejenak. Sebenarnya ia ragu untuk berbicara, namun jika ia tidak melakukan sesuatu ia akan merasa kecewa terhadap dirinya sendiri. "Apa aku boleh membantu tenaga medis disini untuk beberapa hari kedepan? Aku melihat banyak sekali korban yang terluka dan ninja medis yang tersisa sangat sedikit. Bagaimana pun, aku adalah murid Tsunade-sama, tidak mungkin aku mengabaikan itu semua."

Pria bersurai merah itu tersenyum, "Silahkan, kau bisa melakukannya sesukamu. Lagipula, aku memang mengharapkan hal itu saat tahu bahwa Konoha mengirimkan beberapa shinobi ke desa ini. Saat ini kami kekurangan tenaga medis akibat perang dunia shinobi lalu."

"Baiklah, aku akan melakukannya Kazekage-sama." wajah Sakura menunjukkan ekspresi senang.

"Aku serahkan padamu Sakura." ucap Gaara menambahkan. Sakura merespon dengan mengangguk.

"Hai, Kazekage-sama."

"Kalau begitu, kalian boleh pergi. Kankurou akan mengantar kalian ke tempat penginapan yang sudah kami sediakan. Aku harap kalian menikmatinya."

"Hai Kazekage-sama. Kami permisi." Sai membungkukkan badan begitu juga dengan Kiba dan Sakura lalu meninggalkan ruangan itu bersama Kankurou.

.

.

.

Gaara terdiam sejenak. Otaknya sedang berpikir dengan hal-hal yang kemungkinan berhubungan dengan isi dari gulungan tadi. Tidak menyangka sedikitpun, ada kejahatan lain yang sedang menunggu untuk menghancurkan dunia shinobi lagi. Padahal baru kemarin perang dunia shinobi terjadi meluluhlantakan seluruh penjuru negeri. Istirahat sejenak pun belum ada, karena begitu banyaknya pekerjaan akibat kerugian perang.

Gaara yakin, ada alasan tersendiri mengapa Tsunade mengantar gulungan rahasia itu kepadanya. Pola yang ada pada gulungan itu mengingatkan Gaara tentang lambang klan. Mirip seperti lambang Klan Hyuuga dari Konoha. Namun ada satu hal yang membingungkannya. Apa hubungan Klan Hyuuga dengan kebangkitan itu? Lalu darah Uchiha? Sepertinya ini adalah masalah yang serius karena menyangkut antara kedua klan terkuat di Konoha yang memiliki kekuatan Doujutsu. Setelah urusannya di desa selesai, mungkin ia akan mencari tahu lebih banyak.

"Lelah sekali." Gaara menyenderkan kepalanya di kursi.

Berpikir untuk rehat sejenak dari pekerjaan. Namun Gaara yakin hal itu tidak akan terjadi. Padahal sebenarnya tubuhnya masih dalam masa pemulihan. Tapi untuk penduduk desa, ia rela melakukan segalanya walaupun mungkin akan mempengaruhi kesehatannya sendiri.

Hazel itu menatap keluar jendela, merasakan hembusan angin siang hari yang bercampur hawa panas. Ia memperhatikan gedung-gedung dan rumah penduduk yang sebagian masih terlihat berdiri kokoh. Setidaknya, mereka masih ada tempat untuk berlindung. Ini, adalah awal dari sebuah kehidupan baru. Musuh terbesar shinobi telah lenyap. Untuk beberapa bulan kedepan, ia berharap, semua orang akan kembali bahagia.

Mata Gaara menyipit tatkala melihat sebuah objek di atas langit yang terbang mendekati ruangannya.

Burung Elang itu masuk ke ruangan Gaara dan singgah di atas meja kerjanya. "Surat?" menyadari bahwa suatu benda yang dibawa Elang tersebut adalah surat, Gaara meraihnya pelan.

"Konoha?" alis Gaara mengernyit.

Dengan perasaan sedikit tidak sabar, Gaara membuka surat tersebut. Apakah surat ini berhubungan dengan gulungan rahasia yang baru saja ia terima tadi? Ia harus memastikan.

"Perjodohan?" Gaara masih membaca kalimat demi kalimat dalam surat itu dengan pelan hingga selesai.

"Uzumaki Naruto dan−..."

"Hyuuga Hinata?"

Hal yang terlintas seketika dalam benaknya,

Naruto akan menikah?

Gaara terdiam sejenak.

Tidakkah itu terlalu cepat? Bukan, itu hal yang tidak ia duga. Wanita yang akan dijodohkan dengan sahabatnya itu adalah seorang kunoichi dari klan Hyuuga. Hyuuga Hinata? Wanita yang menjadi lawan Hyuuga Neji di ujian chunnin Konoha dulu bukan? Ia tahu wanita itu namun tidak mengenalnya secara dekat. Jadi, bukan Haruno Sakura?

Ini adalah rahasia antara Hokage dan Klan Hyuuga. Namun karena kau adalah teman dekat si bocah Kyuubi itu, maka aku harus memberitahu mu. Dengan catatan kau tidak boleh memberitahukannya kepada oranglain.

Sayang sekali. Padahal ia sudah berpikir untuk menanyakan tentang perjodohan ini kepada Sakura.

"Perjodohan." gumam Gaara. "Apa kau sudah menyerah Naruto?"

.

.

.

.

Siang itu tepat di Rumah Sakit desa Sunagakure, Sakura berkunjung bersama dengan Kankurou. Tekadnya sudah bulat ingin membantu tim medis yang tersisa. Jika tidak, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Sedikitnya tim medis, tidak sebanding dengan jumlah korban yang terluka. Bukan mengurangi, tetapi korban akan semakin bertambah. Ia tidak ingin menyaksikan orang-orang mati secara perlahan seperti itu.

Ia ingat, dulu sekali ia juga pernah menyelamatkan seseorang di desa ini. Sunagakure mengalami kekacauan karena Kazekage diculik oleh anggota Akatsuki. Saat itu, bekal kemampuan medisnya belum seberapa jika dibanding dengan gurunya, Tsunade. Masih banyak ilmu yang seharusnya ia pelajari.

"Aku jadi teringat kejadian dulu."

Kankurou tersentak, "Ah saat itu ya, aku sangat berterima kasih padamu, Sakura." sadar bahwa sakura mengajaknya untuk mengingat kejadian masa lalu.

"Aku hanya ikut membantu saja."

"Tidak, jika saat itu kau tidak ada, mungkin aku akan mati."

Sakura tersenyum.

"Aku mungkin tidak bisa menyelamatkanmu jika tidak ada Nenek Chiyo saat

itu." Tambah Sakura. Perasaannya sedikit terenyuh, tidak sengaja mengingat sosok ahli medis desa Suna yang telah memberikan nyawanya untuk Kazegake.

Sosok yang juga dikenal oleh Kankurou. Ahli medis desa Suna yang telah ia anggap sebagai neneknya sendiri. Juga nenek dari seorang pengkhianat desa yang telah menusuk dirinya dengan senjata milik bonekanya yang beracun.

"Benar."

Langkah mereka terhenti di ruangan yang terlihat luas. Mencekam, suasana yang pertama kali dirasakan Sakura. Terlihat menyakitkan melihat banyaknya korban terbaring di lantai dengan tubuh bersimbah darah. Mereka berteriak kesakitan menahan luka. Sangat kejam.

"Kankurou, apa kau mau membantu ku?"

"Katakan saja."

"Baiklah, tolong ambilkan daftar semua korban yang berada didalam sini." Perintahnya. Sambil mengikat rambut agar tidak merepotkan ketika memulai mengobati. Sakura meninggalkan Kankurou dan berjalan mendekati salah satu ninja medis yang sedang bekerja.

"Istirahatlah."

Wanita itu menoleh, "Tapi, lukanya."

"Aku yang akan melakukannya." angguk wanita itu.

Sakura menurunkan badannya. Telapak tangannya yang mengeluarkan cakra hijau itu diletakkan tepat diatas luka sobek yang cukup dalam dari ninja yang sekarang terbaring didepan matanya. Darah mengalir tanpa henti, mengotori tangan Sakura. Sambil berusaha, Sakura terus mengontrol cakranya agar tidak cepat habis.

Keringat menetes dipelipis Sakura tanpa henti. Wanita itu mengobati ninja-ninja yang terluka tanpa ada istirahat sedikitpun. Bersyukur, sekarang dirinya memiliki jumlah cakra yang cukup besar karena telah menguasai jurus pemulihan Tsunade. Jika tidak, mungkin sekarang ia tidak akan bisa melakukan apapun.

Ia tersadar, sudah tiga hari mereka meninggalkan Konoha karena misi ini. Sakura merasakan ada perbedaan. Ia rindu akan sesuatu. Setiap hari yang ia jalani di Konoha, membuatnya bahagia, dan terkadang menjengkelkan. Sosok itulah penyebab semuanya.

Ada seorang ninja yang selalu membuatnya emosi, namanya Uzumaki Naruto. Namun, Sakura tidak pernah merasa marah terhadapnya. Pria itu mengenalnya luar dalam, begitu pula dengan dirinya. Begitu banyak hal yang sudah mereka jalani bersama sampai saat ini. Hingga sosok yang ia cintai pun akhirnya kembali ke Konoha. Perbuatan tanpa pamrih yang Naruto lakukan untuknya, membuat Sakura merasa memiliki banyak hutang hingga ia bingung bagaimana cara dirinya untuk berbalas budi. Masih teringat dengan jelas, bagaimana saat itu dirinya yang lemah meminta Naruto untuk menyelamatkan Sasuke. Bahkan, janji itu telah terikrar di dalam diri Naruto. Sakura merasa sangat bersalah, hingga sekarang, Naruto masih saja melindunginya. Sampai sekarang ia terus berpikir, apakah Naruto bahagia dengan itu semua? Begitu banyak beban yang Naruto pikul, termasuk permintaan darinya sendiri. Naruto yang berjanji agar menjadi kuat, demi membawa Sasuke kembali ke Konoha, agar dirinya bahagia.

Sakura jadi berpikir, apa dirinya ini memang serakus itu? Masih pantaskah ia mendapatkan Sasuke, jika selama ini yang berjuang adalah Naruto dan bukan dirinya?

.

.

.

.


(Teach Me)

Hinata mengangkat tangan kirinya, menyingkirkan helaian tipis rambutnya yang menganggu pandangan mata. Wangi semerbak harum masakan menggoda penciuman itu memenuhi dapur rumah utama Hyuuga. Hanabi datang dengan berlari, menghampiri Hinata yang terlihat sangat anggun saat memasak. Ia terpancing, karena lapar telah mempengaruhi pikirannya. Lidah itu tidak sabar ingin mencicipi masakan kakaknya yang selalu enak.

Hanabi hanya mengamati, tidak ingin mengganggu. Namun, sebuah kotak bekal kecil yang terletak di meja dapur itu membuatnya penasaran. Makan malam untuk siapa?

"Apa nee-chan ingin mengunjungi teman nee-chan?"

Hinata menelan ludah. Hal yang disembunyikan ini bahkan tak luput dari rasa penasaran sang adik.

"I-iya." Hinata gugup.

Hanabi mengangguk. "Untuk Sasuke-nii-san?"

Hinata tersedak. Hampir saja ia menumpahkan masakan yang sedang diletakkannya ke atas piring.

"Bu-bukan." elak Hinata.

"Benarkah?" pertanyaan itu hanya direspon anggukan oleh Hinata.

"Tadi Sasuke-nii-san mencari nee-chan loh."

Hanabi melebarkan senyumnya, mengejek sang kakak. Untuk kedua kalinya lagi, fokus Hinata pecah dan membuat sendok yang dipegangnya jatuh.

"Ah iya benar, aku lupa memeriksa keadaannya tadi." bohong Hinata. Ia mengambil sendok yang telah ia jatuhkan tadi dilantai.

Hanabi mengangguk lagi, berpura-pura mengerti. Namun ia tahu bahwa kakaknya sedang berbohong. Selama ini kakaknya itu tidak pernah menceritakan sesuatu tentang Sasuke kepadanya. Itu berarti, ada sesuatu yang sengaja Hinata sembunyikan darinya.

.

.

.

.

.

Waktu selalu berjalan dengan cepat. Namun Sasuke merasa hari ini adalah hari yang sangat panjang. Ia ingin waktu cepat berlalu, agar bertemu dengan malam. Dan sekarang, yang dapat dilakukan hanyalah duduk termenung−menunggu seseorang. Padahal sudah sore, namun wanita yang ia harapkan itu tak kunjung datang menjenguknya.

Sasuke jelas masih sangat terluka. Tapi saat ini, ia hanya ingin Hinata agar menemuinya dan menjelaskan semua kepadanya. Jawaban dari permintaannya kemarin pun masih ia tunggu, namun tidak sekarang pun tak apa. Menyadari bahwa sebenarnya dirinya tidak begitu layak untuk mendapatkan Hinata, membuat Sasuke sedikit putus asa. Jika hanya berdiam diri saja, Hinata pasti akan menjadi milik orang lain. Terlebih jika yang memilikinya adalah Naruto, Sasuke begitu tak suka.

Suara hentakan sepatu menggema dilorong rumah sakit dimana kamar Sasuke berada. Seorang wanita terlihat berjalan sendiri sambil membawa sebuah kotak makan yang didekap kedua tangannya. Sasuke menyadari ada seseorang yang mendekat, namun ia tak peduli.

Kegugupan yang berlebih menjalar ke seluruh tubuh Hinata. Tangan yang mendekap kotak makan itu bergetar. Kakinya terasa berat melangkah. Hanya sekitar sepuluh langkah lagi, ia tepat berada di depan kamar Sasuke. Dan sekarang, ia berhenti melangkah. Bahkan, ia tak bergerak satu sentimeter pun.

"Tadi Sasuke-nii-san mencari nee-chan loh."

Hinata merasa khawatir. Ia ingat dengan jelas, saat Hanabi mengatakan bahwa Sasuke sedang mencari dirinya. Itu berarti, Sasuke benar-benar ingin mendengar kebenaran dari semua hal yang telah terjadi. Sekarang, adalah waktunya. Tapi mengapa ia merasa ketakutan?

Ia takut, Sasuke akan membencinya.

Hinata semakin mendekap erat kotak makan yang ia pegang.

Dari arah yang sama, seorang wanita muncul berjalan dibelakang Hinata.

"Hinata, kau sedang apa?"

Tersadar akan lamunannya, Hinata menoleh. Seorang wanita berambut pendek mendekatinya.

"Shizune-sensei."

"Kau ingin menjenguk Sasuke?"

Mata amethyst itu menatap sendu Shizune. "I-iya."

"Ta-pi aku merasa takut." lirih Hinata.

"Apa ada masalah?"

Tidak biasanya Hinata terlibat masalah dengan oranglain, apalagi dengan orang seperti Sasuke. Shizune menyadari tangan Hinata bergetar. Matanya melihat sebuah kotak makan yang tengah dipegang Hinata.

"Kau ingin memberikannya pada Sasuke?" Shizune menunjuk kotak bekal itu dengan jari telunjuknya.

"I-iya."

Shizune menghembus napas panjang. "Biar aku yang mengantarkannya."

Hinata menatap Shizune. "Apa boleh?" Shizune mengangguk dan tersenyum. Mengulurkan tangannya, wanita Hyuuga itu memberikan kotak makannya kepada Shizune.

"Apa ada pesan yang ingin kau sampaikan padanya?"

Hinata berpikir sejenak. Begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sasuke. Tapi tidak mungkin sebanyak itu pula ia harus merepotkan Shizune.

"A-ano Shizune-sensei, katakan padanya, maafkan aku. Lain kali, aku akan menyampaikan hal yang sebenarnya, semua." ucap Hinata. Berharap dengan pesan ini Sasuke akan menunggunya sampai waktu tiba.

"Baiklah." Shizune mengangguk.

"Terima kasih Shizune-sensei." Senyum Hinata. Mereka berdua pun kemudian saling berpamitan.

Hinata sadar, kali ini, ia melarikan diri lagi. Begitu pengecut, hingga membuat gurunya sendiri yang menyampaikan pesan kepada Sasuke. Harusnya, dirinya sendirilah yang menyelesaikan masalah.

Gadis itu melangkah dan menghilang dari balik lorong. Shizune kemudian mengetuk pintu, lalu membukanya. Seorang pria yang dirawat di ruangan itu menoleh kepadanya−tajam.

"Kau sendiri?"

Shizune mengerutkan alis.

"Aku merasakan cakra lain." Sasuke sedikit penasaran.

Shizune tersenyum licik, "Ya, aku bersama Hinata tadi."

Sasuke membatu. Siapa tadi?

"Hi-hinata?"

"Ya, Hinata."

Sasuke mengalihkan pandangan matanya pada sebuah kotak makan yang digenggam Shizune.

"Kau ingin memeriksa keadaanku?"

Shizune mengangguk. Ia letakkan kotak makan tadi di atas meja. Sasuke menatap gerak-gerik Shizune. Matanya masih tidak bisa beralih dari kotak makan itu.

Shizune menyuruh Sasuke berbaring di kasur. Untuk saat ini, Sasuke mematuhinya. Hati Shizune bertanya-tanya, hari ini Sasuke tidak menolak. Padahal kemarin, jelas-jelas pria itu tidak ingin seorang pun menyentuh dirinya. Apa karena perjodohan itu?

"Kau sudah mulai membaik Sasuke. Mungkin sekitar tiga hari lagi, kau bisa keluar dari sini."

Sasuke bangkit. Punggung itu kembali menyender di kepala kasur. Ia hanya merespon Shizune dengan anggukan. Mata onyxnya menatap malas pemandangan diluar jendela.

"Tadi, Hinata menyuruhku untuk menyampaikan pesannya kepadamu."

Wanita dewasa itu berbicara pelan. Sasuke melirik Shizune dari sudut ekor matanya. Ia terkejut, namun masih bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. Mendengarkan dengan seksama, Sasuke menunggu kalimat berikutnya keluar dari mulut Shizune.

"Hinata meminta maaf padamu, karena belum bisa memberitahukan yang sebenarnya."

Shizune terdiam sejenak.

"Hanya itu?" tanya Sasuke.

Shizune menggelengkan kepalanya. "Ia berjanji akan menemuimu."

Pria Uchiha itu melebarkan matanya. Apa itu benar?

"Hn."

Alis Shizune mengerut. Matanya menatap Sasuke tak percaya.

"Jika kau terus berdiam diri, Hinata mungkin akan menjadi milik orang lain."

Sasuke menoleh cepat. Mata hitam itu menatap tajam Shizune. Wajah tampannya terlihat lebih menyeramkan dari yang sebelumnya.

"Kau tidak perlu ikut campur."

"Aku tahu, tapi pikirkanlah lagi Sasuke. Ini masalah yang sulit, karena menyangkut perjanjian desa dan tetua Klan Hyuuga."

"Aku tidak akan ikut campur."

Jawaban Sasuke cukup membuat Shizune terkejut. Hari ini, Sasuke sangat berbeda dari kemarin. Sebelumnya ia terus saja mengamuk pada Tsunade, namun kali ini Sasuke tidak banyak berbicara. Pria itu mendadak menjadi dingin dan tidak peduli, seperti Sasuke yang biasanya.

"Besok, adalah hari yang akan menentukan semuanya."

"Hn"

Shizune tersenyum. "Baiklah. Aku akan pergi." dan bangkit dari kursi. Langkah kakinya yang perlahan-lahan meninggalkan ruangan itu berhenti sebelum menutup pintu kamar. Sasuke memanggilnya.

"Kau melupakan kotak makan itu."

Shizune membalikan badannya. "Itu untukmu."

"Dari?" tanya Sasuke. Alisnya berkerut.

"Wanita yang kau cintai." ucap Shizune singkat. Ia langsung menutup pintu kamar dan pergi.

.

.

Sasuke menatap kotak makan berwarna biru yang tergeletak di atas meja. Tanpa sadar, hari sudah mulai gelap. Pantas saja, perutnya sudah menunjukkan gejala kelaparan. Mengingat siang tadi, ia hanya memakan buah tomat yang dibelinya dipasar. Sasuke mengulurkan tangannya, meraih kota makan itu. Matanya menatap sendu kotak makan itu. Apa Hinata mengkhawatirkannya?

Tidak.

Jangan-jangan Hinata hanya kasihan padanya?

Sasuke sempat ragu untuk membuka tutup kotak makan itu. Tapi bagaimana pun juga, ia tidak bisa menolak makanan yang telah Hinata buat untuk dirinya.

Dibukalah tutup kotak makan itu. Mata Sasuke membulat. Sebuah senyum terukir di wajahnya dengan rona merah tipis di pipi. Tampilan makanan itu sungguh indah, menurut Sasuke. Jelas, ini memang dari Hinata. Tapi ada yang lebih membuatnya senang dan begitu terharu. Mengapa banyak sekali potongan tomat di makanan ini? Seingatnya, tidak pernah ada yang tahu tentang makanan kesukaannya itu.

"Jadi, Hanabi membeli tomat tadi siang karena Hinata?" senyum Sasuke semakin lebar.

Dengan ini semakin membuat Sasuke yakin. Ia, Uchiha Sasuke. Tidak akan menyerahkan Hinata, hanya karena perjodohan itu. Untuk siapapun, selain dirinya.

"Kau membuatku semakin menginginkan dirimu menjadi milik ku Hinata."

Tidak terasa, hari semakin malam. Udara dingin menusuk kulit putih Sasuke hingga sampai ke tulang. Kotak makan yang telah kosong itu ia letakkan kembali di atas meja. Besok, adalah hari penentuan akhir perjodohan antara Naruto dan Hinata. Hari dimana hatinya harus siap, dengan jawaban dari Hinata yang akan menentukan semuanya. Ia tidak akan diam begitu saja. Pada saat itu juga, Sasuke akan merebut Hinata walaupun perjodohan itu disetujui kedua belah pihak. Persiapan telah selesai.

Perang baru akan segera dimulai.

.

.

.

.


(Teach Me)

Matahari telah menampakkan diri menerangi desa Konoha. Para penduduk desa telah sibuk dengan segala aktivitasnya. Shinobi-shinobi desa itu kembali ke tugasnya masing-masing. Begitu pula dengan Hokage, sejak pagi telah duduk di kursi tempat ia bekerja setiap harinya didampingi dengan asisten kesayangan, Shizune. Namun keadaan kali ini nampak beda. Di ruangan ini, berdiri tiga shinobi Konoha selain mereka berdua. Satu dari dua shinobi itu adalah salah satu shinobi penting desa Konoha. Dan menjadi saksi mata satu-satunya dari Klan Hyuuga.

Hari ini, perjodohan antara Naruto dan Hinata akan segera ditentukan. Kedua shinobi yang terlibat perjodohan itu akan memberikan jawaban mereka. Suasana yang terasa sangat mencekam dan menegangkan. Hyuuga Hiashi yang berdiri di samping Shizune, memberikan tatapan tajam. Mata Byakugan itu bergantian menatap anak sulung dan calon menantunya.

"Jadi hari ini, aku ingin mendengar jawaban dari kalian berdua."

Tsunade memandang Naruto dan Hinata yang berdiri tidak jauh di depan meja kerjanya. Ia menangkap ekspresi kedua shinobi itu menunjukkan kegelisahan. Saat ini, mata byakugan Hinata menatap sendu lantai yang ia pijak. Wajah itu tak kuat melihat tatapan kecewa Ayahnya yang ditujukan kepada dirinya. Ayahnya tidak menunggu jawaban darinya, ia lebih tertarik menunggu jawaban dari Naruto. Karena sebelumnya, ia telah menolak tawaran ini tepat di depan Ayahnya sendiri.

Naruto terlihat gusar karena jujur ia tak suka dengan suasana ketegangan seperti ini. Merasa dihujani tatapan tajam oleh ketiga shinobi yang berada didepannya, membuat Naruto terdiam. Salah satu memecahkan ketegangan ini adalah dengan bercanda. Tapi Naruto tidak akan melakukannya. Saat ini, jawaban yang keluar dari mulutnya akan menentukan nasib perjodohan mereka berdua.

"Naruto kau yang pertama." ucap Tsunade beserta wajah yang seperti biasa menakutkan.

Naruto tersentak. Menghirup udara panjang sejenak dan menghembuskan napas panjang. Naruto telah siap dengan apa yang akan diucapkannya.

"Aku, menerimanya." Naruto menatap serius Tsunade.

Hening sesaat.

Mata Byakugan Hinata melebar−terkejut. Tubuhnya membatu.

Jadi Naruto menerima perjodohan ini?

Hinata menggigit bibirnya sendiri.

Tidak mungkin.

Wanita itu shock berat.

Ketiga shinobi itu juga terkejut. Mereka pun terdiam. Hiashi menatap nanar Hinata.

"A-aku me-menolaknya−...Ayah"

"Kenapa kau menolaknya Hinata?"

"A-aku tidak akan bahagia jika menikah dengan Naruto hanya ka-karena perjodohan ini Ayah, aku tidak ingin."

"Kau aneh. Bagaimana jika Naruto menerima keputusan ini? Apa yang akan lakukan setelah kau tahu bahwa kau telah menolaknya? Apa kau akan menarik kembali ucapanmu itu anakku?"

Kepala Hinata terasa sakit, ingatan tentang dirinya yang menolak tawaran Ayahnya waktu lalu menghantui pikirannya saat ini.

'Jadi, apa jawabanmu Hinata.' batin Hiashi. Ia prihatin, melihat anaknya dihadapkan oleh kenyataan bahwa orang yang dicintainya menerima perjodohan itu sedangkan dirinya sendiri telah bersumpah akan menolak perjodohan itu.

Tsunade tersadar dari lamunanya. "Selanjutnya, Hinata."

Hati Hinata seakan tercabik-cabik.

"A-aku..." kedua tangan itu mengepal begitu keras.

Suara sepatu terdengar dari luar ruangan Hokage. Seorang shinobi berjalan mendekat.

Hinata menggigit bibirnya lagi. Matanya tertutup, hatinya bergejolak hebat.

"A-aku..."

"Me..."

Prakkk!

Suara pintu terbuka menghantam dinding belakangnya begitu keras. Semua mata di ruangan itu tertuju kepada seorang pria yang telah berani masuk ke ruangan Hokage tanpa permisi dan berbuat kekacauan.

"K-kau!"

.

.

.

To Be Continue

Akhirnya!

Chapter 7-nya update ya mina. Maaf selama ini karena telah menelantarkan fic ini :")

Terima kasih buat yang sudah review, suka, dan follow cerita ini. Saya sangat terharu sekali TT. Maaf gak bisa jawab review satu-satu. Intinya, saya sangat-sangat berterima kasih kepada kalian semua yang selalu semangatin saya di kolom review untuk selalu semangat update fanfic ini :")

Untuk chapter ini sendiri, bisa dibilang bukan cukup panjang lagi, tapi sangat panjang. Saya gak nyadar, keasyikan ngetik jadi keterusan deh haha. Mungkin karena saya sempat ninggalin dunia ini cukup lama akibat kesibukan saya di real life, jadi merasa rindu dan merasa seperti baru terlahir kembali #abaikan

Untuk moment Sasuhina-nya, mohon maaf lagi yang sebesar-besarnya, di chapter ini bahkan tidak ada sama sekali. Saya lagi fokus ke beberapa chara masing-masing yang kemungkinan di chapter-chapter selanjutnya akan terlibat konflik. Jadi saya simpan dulu moment-nya. Btw, ini sudah tanda-tanda konflik akan terjadi. Mungkin kedepannya, setiap chapter akan panjang. Jadi, saya tetap berusaha untuk sering-sering update semua fanfic saya di ffn ini. Jika saya hiatus tiba-tiba, harap dimaklumin karena saya sedang kuliah dan termasuk mahasiwa tua karena tahun depan udah mulai siap-siap skripshittt *ehhh

Buat adegan terakhir tadi, pasti semua udah pada -ngira kan apa jawaban Hinata yak?

Pokoknya siap-siap tunggu Naruto vs Sasuke di chapter-chapter selanjutnya ya. Eitss tapi ini versus-nya bukan perang-perangan lagi kok. Semua pasti sudah pada tau kan maksudnya apa? Haha

Oke, tetap semangat membaca ya Mina.

See you next time!

Dayuta.

July 17th, 2017