ANNYEOOOOOOOOOOONG!
Chapter terakhir datang. Udah pada siap, kan?
G banyak basa-basi deh, langsung bales review aja kali ya...
kimkyungshoot: Jongin ngelepas Sehun yang pernah dicintainya dek. Tapi dia masih tetep sayang sama Sehun yang jadi sahabatnya ;)
ludeer: Sehun sama Kai masih labil sangat, makanya rada nguke gt kesannya, sama2 cengeng hehe. FF ChanLu? Pokoknya kl KrisLunya udah kelar deh :P
Secret: Hmmmm, end nya udah jelas kan? G gantung kan? hehehe
alietha doll: Masalahnya berat dek, makanya proses baikannya juga rada ribet. Sehun sendiri yang bikin ribet nooohh XD
Liyya ucapin banyak-banyak terima kasih buat yang mau, baca, follow dan atau Fav, n review. Tinywings pasti seneng kalau responnya bagus. Buat yang punya akun, Liyya udah balas di PM masing-masing
Liyya udah translate-kan cuap-cuap author Tinywings yang ada di akhr cerita. Silahkan dibaca kalau ada yang minat
Sincerely
0312_luLuEXOtics
.
Title: 520
Author: Tinywings (dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh dikitlagisampe '1-5' dan 0312_luLuEXOtics)
Pairing: HunHan (SehunxLuhan)
Lenght: 13 Chapters
Rate: T
Genre: Romance, Drama, Fluff
Original fic: story/view/201184/520-kai-luhan-sehun-sehan-hunhan-sekai-selu
Disclaimer: Cerita ini sepenuhnya milik the wonderful Tinywings, tapi terjemahan ini milik Liyya.
.
Chapter 13: 520
Sehun bukanlah seseorang yang bijak dalam artian tahu banyak tentang kehidupan. Karena masih ada banyak sekali yang masih harus ia pelajari. Sering sekali ia mendengar tentang kalimat 'tidak ada yang mustahil di dunia ini', bahwa pengetahuan itu selalu menjadi sebuah tekad untuk dinikmati. Tapi Sehun tidak setuju dengan pikiran seperti itu. Menurutnya, orang bijak adalah yang bisa menerima kenyataan bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan semua jawaban yang diinginkan. Seseorang yang bijak tidak hanya mengetahui, tapi juga memahami dan menerima kenyataan bahwa kau tidak akan bisa menjadi orang bijak seperti yang selalu kau pikirkan.
Namun begitu, Sehun juga tentu saja memiliki visi hidup tersendiri. Dia memiliki pandangannya sendiri tentang bagaimana ia harus menjalani hidupnya. Hidup itu tidak lain adalah kumpulan dari kebetulan dan takdir yang bercampur secara acak, dan agar semua itu menjadi masuk akal, kau perlu menerima kenyataan bahwa terkadang sesuatu itu memang ditakdirkan untuk terjadi. Terkadang sesuatu itu menghasilkan sesuatu yang baik, dan terkadang justru sebaliknya. Kadang-kadang, Sehun akan terbang tinggi di atas awan, dan di kesempatan lain dia akan terjatuh di atas tanah. Itu semua adalah siklus. Sebuah siklus kehidupan tanpa akhir sejak ia menghembuskan nafas untuk pertama kalinya saat dilahirkan hingga tiba waktunya ia harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Dan perasaan cemas, rasa takut akan berulangnya siklus itu, bukanlah solusi yang tepat. Bahkan seharusnya, tidak ada yang perlu ditakuti selain kurangnya tekad dan kegigihan yang kau miliki. Sehun percaya, kalau seseorang seharusnya tidak melihat masalah dan tantangan yang ia hadapi sebagai sesuatu yang negatif, melainkan sebagai sesuatu yang harusnya ia rengkuh. Mengpa? Karena setiap kesulitan tidak lain adalah sebuah kesempatan untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Karena itulah hal-hal seperti itu seharusnya bisa dilihat sebagi suatu hal yang positif.
Tentu saja kau akan merasakan sakit saat terjatuh, saat sesuatu diambil darimu, saat kau kehilangan sesuatu, semua itu pasti akan terasa menyakitkan. Tapi karena rasa sakit itulah akhirnya kau menyadari apa yang penting bagimu. Saat kau terjatuh, saat itulah kau menyadari seberapa besar keinginanmu untuk bisa terbang tinggi. Mungkin itu terdengar aneh, bahkan konyol, tapi orang hebat sekali pun pasti pernah terjatuh, kan? Bahkan orng-orang yang telah mencapai puncak langit tertinggi sekali pun pernah merasakan hal itu. Mereka terjatuh, terluka, dan kemudian kembali berdiri dengan tekad yang lebih kuat, lagi dan lagi.
Menyalahkan nasib dan takdir hanyalah sebuah usaha untung membuang jauh-jauh tanggung jawab yang harusnya kau pikul. Menyalahkan dunia yang berlaku tidak adil padamu hanyalah sikap kekanakan untuk melindungi rasa tidak percaya diri. Kenyataannya, dunia tidak hanya diisi dengan bunga dan hal-hal manis. Sesekali kau pasti akan terjatuh. Dan saat kau terjatuh, kau belajar sesuatu. Dan saat kau belajar sesuatu, kau mulai bisa lebih menghargai hal-hal di sekitarmu. Itulah sebabnya, rasa putus asa yang terus menghantui seharusnya bisa menjadi sebuah harapan yang besar. Waktu yang terbuang sia-sia untung berpikir negatif juga seharusnya bisa digunakan untuk memikirkan hal-hal yang positif.
Pada dasarnya, semua itu tergantung pada dirimu sendiri. Bukan orang lain.
Suatu ketika, ada seorang Sehun yang begitu takut untuk ditinggal sendirian, yang pernah mengutuk dunia karena telah membuat hidupnya begitu sulit. Ada juga Sehun yang pernah benar-benar ingin menyerah. Namun selalu ada mereka yang menunjukkan padanya bahwa dunia ini juga bisa menjadi sangat indah. Dan itu membuat Sehun juga ingin melakukan hal yang sama pada mereka. Dia ingin menunjukkan cahaya yang begitu ingin mereka lihat, dan berharap kalau mereka bisa melihat cahaya itu dalam cahayanya. Dia tidak pernah tahu apakah dia berhasil atau tidak, tapi selama ia mengerahkan yang terbaik yang ia bisa untuk membuat tempat yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan kenyamanan, maka dia akan merasa bahagia. Kebahagiaan itu datang saat ia berhasil membuat orang-orang di sekitarnya bahagia.
Jadi, saat ia melihat Kyungsoo dan Jongin yang berdiri di depannya. Dengan Jongin yang terlihat ragu-ragu, tidak yakin apa dia benar-benar ingin duduk atau tidak, serta Kyungsoo yang tersenyum lembut dan terlihat senang karena akhirnya bisa bertemu dengan the one and only Sehun, dia tahu kalau ini adalah sebuah awal dalam chapter baru kehidupan mereka. Dia pernah terjatuh, secara brutal, berkali-kali, tapi luka itu pasti akan sembuh pada akhirnya. Ini adalah saat baginya untuk bangun dan kembali melihat ke langit yang cerah. Hubungan yang terjalin antara dirinya dan Jongin adalah sesuatu yang ia harap bisa bertahan selamanya. Sehun tidak mau berbohong dengan mengatakan kalau dia tidak menghabiskan beberapa waktu dan bertanya-tanya bagaimana jadinya hubungan mereka sekarang jika saja saat itu ia bisa lebih berani. Tapi Sehun juga tidak mau menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk merenungkan masa lalu yang tak akan kembali. Dia lebih memilih untuk menciptakan sebuah masa depan yang lebih baik.
"Kau pasti Sehun," ujar Kyungsoo seraya mengulurkan tangannya. "Jongin banyak sekali bercerita tentangmu sampai-sampai rasanya aku bisa membayangkan seperti apa wajahmu saat ia bercerita."
Sehun buru-buru berdiri dari duduknya, mengusap tangannya yang sedikit berkeringat pada kemeja yang ia kenakan dan menyambut hangat uluran tangan Kyungsoo. Sebuah senyum tipis terulas di bibirnya. "Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
Jongin tidak mengatakan apa-apa dan Sehun sangat paham akan sikap sahabatnya itu. Ada masanya saat Jongin ingin sekali memperkenalkan mereka berdua, tapi saat ini dia tidak tahu apakah dia bisa benar-benar tersenyum seperti dulu lagi pada Sehun. Dan Sehun memahami hal itu. Tapi tetap saja, dia ingin mencoba. Dia ingin mencoba untuk setidaknya memperbaiki hal-hal yang masih bisa diperbaiki.
"Jongin-ah, Kyungsoo-ssi, silahkan duduk." Sehun mempersilahkan keduanya untuk duduk di bangku kosong yang tersedia di depannya sebelum kembali duduk, masih dengan senyum tulus di wajahnya. "Di luar benar-benar dingin, kan?"
Kyungsoo mengangguk pelan. "Eum. Untung saja salju belum turun, atau kita benar-benar tidak akan bisa berjalan di luar sana."
Saat Kyungsoo tersenyum, Sehun rasa dia mengerti mengapa Jongin bisa tertarik pada pemuda bermata bulat itu. Saat Kyungsoo berbicara, Sehun pikir dia akhirnya mengerti mengapa Jongin bisa jatuh cinta pada pemuda di sampingnya itu. Sehun tidak ingin melebih-lebihkan, tapi rasanya, dia seperti melihat dirinya sendiri dalam diri Kyungsoo. Dia melihat kecanggungan yang terpancar dari kedua mata bulat itu, kepolosan dan kenaifan yang tersirat di wajahnya. Dan yang paling menonjol adalah, karena dia melihat senyum cemerlang yang terus terulas di bibir pemuda itu. Sehun dan Kyungsoo adalah dua sosok yang berbeda, dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari dalam dan juga dari luar. Tapi ada kemiripan yang Sehun rasakan saat ia melihat kedua mata Kyungsoo.
"Aku masih tidak percaya kalau Jongin akhirnya bisa menemukan seseorang sepertimu, Kyungsoo." Sehun tertawa pelan saat melihat ekspresi terkejut keduanya. "Dia benar-benar beruntung."
Kyungsoo tersenyum malu. "I-itu tidak benar. Akulah yang beruntung karena bertemu dengannya."
Kadang-kadang, semua terasa seperti mimpi. Dan terkadang, kau melihat ke sekelilingmu dan semua terasa begitu tidak nyata. Rasanya seperti kau tidak benar-benar ada di sana, tidak benar-benar hidup. Dan semua itu benar-benar terasa seperti sebuah mimpi yang begitu panjang.
Duduk di depan Jongin dan Kyungsoo terasa seperti mimpi. Karena sejauh yang Sehun ingat, ia selalu berlari dan menghindar. Jadi ia benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya ia bisa melihat Jongin bahagia bersama orang lain. Saat pandangan mata mereka bertemu, saat itulah pikiran-pikiran seperti itu muncul, membuatnya mengingat perjalanan panjang yang telah mereka lalui sampai akhirnya mereka sampai di titik ini.
"Kalian ingin memesan sesuatu?" tawar Sehun begitu menyadari kalau ia adalah satu-satunya orang yang sudah memesan minuman. "Kalian bisa memesan apa pun yang kalian mau. Aku yang traktir!"
Jongin tertawa kecil untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke dalam kafe kecil itu. "Aku tidak pernah menyangka kalau akhirnya the one and only Oh Sehun akan mentraktirku sesuatu."
"Yaah!" ujar Sehun jengkel. "Aku selalu mentraktirmu! Kaulah yang selalu bersikap pelit!"
"Aku yang pelit?" Jongin mendengus pelan, dan memberikan tatapan mengejek pada Sehun. "Maafkan aku, tapi semua pizza dan bubble tea yang selalu kau nikmati itu memangnya apa?"
Sehun baru saja akan membalas ucapan Jongin saat sebuah suara tawa renyah menghentikannya. Kedua sahabat baik itu mengalihkan pandangan mereka pada pemuda yang duduk di samping Jongin. Kyungsoo terlihat berusaha untuk menyembunyikan senyum lebarnya.
"Jongin benar," ucap Kyungsoo geli. "Kalian berdua benar-benar sahabat baik. Aku bahkan sama sekali tidak terkejut kalau Jongin pernah mencintaimu."
Mata Sehun melebar mendengar kalimat itu. Jantungnya mulai berdetak begitu kencang. "K-kau ... Kau tahu?"
"Aku yang mengatakannya," ujar Jongin tanpa menatap mata Sehun. "Karena dia perlu tahu mengapa aku menangis hebat hari itu, saat kau mengungkapkan semuanya."
"La-lalu... Lalu mengapa?" Sehun menggeleng tak percaya. "Bagaimana kau bisa duduk di sini dan melihatku tanpa merasakan apa-apa?"
"Siapa bilang? Aku merasakan sesuatu saat ini," ujar Kyungsoo jujur. "Aku merasakan sebuah persahabatan yang begitu berharga dari dua pemuda yang benar-benar saling perduli satu sama lain. Dan tidak perduli seberapa besar rasa takut yang aku rasakan saat melihatnya, aku tidak akan bisa membencinya." Pemuda dengan rambut hitam itu tersenyum. "Aku tidak akan pernah bisa membencimu, tidak saat aku akhirnya bisa melihatmu secara langsung. Membencimu tanpa benar-benar tahu seperti apa sosokmu pasti akan jauh lebih mudah. Tapi sekarang, saat kita sudah bertemu seperti ini, aku rasa aku tidak akan bisa membencimu. Tidak saat Jongin sendiri tidak pernah berhenti menyukaimu sejak awal hingga akhir."
Sehun mengalihkan tatapannya pada Jongin, ia benar-benar kehabisan kata-kata saat ini. Dia merasa bahagia, sangat bahagia. Memikirkan kalau Jongin tidak pernah menyerah padanya, berhasil membuat Sehun tersenyum seperti orang bodoh. Memikirkan bahwa meskipun beberapa hal saat ini telah terkubur di masa lalu, tapi beberapa hal lain masih akan terus berlanjut benar-benar membuat Sehun ingin memeluk Jongin saat itu juga.
"Mengapa kau menatapku seperti itu? Apa kau kira aku akan meninggalkanmu sendirian? Aku khawatir kau tidak akan memiliki siapa-siapa lagi," Jongin menggigit bibirnya, mencoba untuk menghentikan senyum khas yang terulas di bibirnya. "Aku benar-benar tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri kalau nantinya kau akan merasa depresi karena terlalu merindukanku."
Sehun tertawa senang mendengarnya. "Terima kasih."
Jongin menatap Sehun tepat di kedua matanya dengan kebahagiaan yang sama. "Kau memang harus berterima kasih."
Sehun mengangguk pelan. "Terima kasih karena telah memberitahu Kyungsoo."
"Kau memang harus berterima kasih."
"Terima kasih karena telah menjadi teman terburuk yang pernah aku miliki."
"Dengan senang hati."
"Terima kasih karena mentraktirku hari ini."
"Tch! Enak saja!"
.
Sehun pernah berteriak nyaring di depan Luhan bahwa dia mencintai Jongin. Jadi Luhan tahu betul perasaan seperti apa yang pernah ia pendam untuk Jongin. Yang Luhan tidak tahu adalah perasaan seperti apa yang Sehun pendam untuknya. Sehun belum pernah mengatakannya. Timing-nya selalu tidak cukup bagus untuk mengungkapkannya. Karena itulah, saat ia tengah menyusuri jalan setapak sambil menggenggam tangan Luhan hari itu, Sehun sadar bahwa tidak akan ada kesempatan yang lebih bagus dari sekarang. Tidak ada tempat dan waktu yang lebih tepat untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan pada pemuda itu.
Luhan perlu tahu. Dia berhak untuk tahu.
"Sehun, kau mau es krim?" tanya Luhan lembut seraya menatap Sehun.
Untuk sesaat Sehun merasa ragu, sebelum ia akhirnya menelan dalam-dalam semua keraguannya dan membalas tatapan Luhan. Membuat pemuda itu sedikit terkejut karena sedari tadi Sehun terus bersikap aneh. Dia akan mengalihkan pandangan dari Luhan setelah tiga detik dan selalu menghindar saat Luhan mencoba untuk bersandar lebih dekat padanya. Tapi sekarag dia justru berdiri di depan Luhan dengan kebulatan tekad yang terpancar di kedua matanya. Sudah cukup lama ia ingin melakukan ini, jadi tidak ada kata 'berbalik' lagi.
"Aku... Luhan, aku..." Sehun terus membasahi bibir dan menggaruk tengkuknya karena gugup. "Aku..."
"Ada apa?" tanya Luhan khawatir.
Sehun menghirup nafas dalam-dalam, menutup matanya beberapa detik, sebelum kalimat itu akhirnya mengalir lancar dari bibirnya.
"Aku mencintaimu."
Senyum yang terulas di bibir Luhan terlihat bersinar dengan begitu indah, kilau yang terpancar di keduanya mengalahkan cahaya dari ribuan bintang, dan saat Luhan berusaha untuk menutupi kegembiraan itu dari wajahnya, ia terlihat begitu menawan. Luhan tidak bisa dibandingkan dengan orang lain, karena di mata Sehun, keindahan pemuda itu benar-benar tak terlukiskan. Ada sesuatu tentang Luhan yang membuatnya merasa begitu spesial, membuatnya merasa lebih dari sekedar seseorang yang bertahan hidup di dunia ini. Dan Sehun akan menjadi seseorang yang amat sangat bodoh jika ia sampai membiarkan Luhan pergi dari hidupnya.
"Aku memang tidak membawa bunga saat ini, memang tidak mengatakan itu saat kita sedang makan malam di sebuah restoran mewah. Tapi aku bisa memberikan hatiku dan mengungkapkan perasaanku di tengah jalan, dimana semua orang bisa mendengarkannya. Dan aku rasa itu cukup menyenangkan." Keduanya tertawa pelan mendengar pernyataan itu. "Jadi, aku harap kau mau menerima alasan menyedihkan itu, dan menerima perasaanku."
"Aku..." Luhan mencoba menutupi senyumnya tanpa hasil. "Aku benar-benar tidak percaya kau sama sekali tidak membelikan beberapa tangkai bunga untukku."
"Bunga-bunga itu akan layu pada akhirnya." Sehun mencoba membela diri.
Luhan tertawa. "Meski begitu, akan sangat menyenangkan kalau kau memberikanku sesuatu."
"Aku akan memberikan hatiku!" ujarnya tak mau kalah.
"Hmmmm, bagaimana ya? Tapi aku tidak yakin kalau aku menginginkannya," ucap Luhan seraya menatap Sehun dengan tatapan jahil.
Sehun tersenyum miring sebelum merogoh sakunya, mencoba untuk menemukan hadiah yang telah ia persiapkan untuk Luhan sebelumnya. "Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan dengan hadiah ini?"
Mata Luhan melebar terkejut begitu melihat sebuah kotak putih kecil dengan pita merah yang melingkarinya. "I-itu apa?"
"Hatiku!" jawab Sehun berpura-pura merasa kecewa. "Tapi sepertinya kau tidak menginginkannya, jadi lebih baik aku memberikannya pada orang lain—"
Sehun baru saja akan berbalik dan bersikap seolah-olah akan memberikan hadiah itu pada siapapun yang pertama ia lihat saat Luhan dengan cepat mengambil hadiah itu dari tangannya. "Tidak boleh! Ini milikku!"
Sehun tertawa melihat Luhan yang memegang erat hadiah itu di tangannya yang terlihat memerah karena cuaca yang begitu dingin hari itu. Ia lalu sedikit menundukkan kepala dan menempelkan bibirnya dengan bibir Luhan. Membiarkan kelopak matanya menutup, untuk menikmati momen indah ini. Perasaan dicintai dan mencintai seseorang benar-benar tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan Sehun sadar kalau dia mulai berubah menjadi sosok yang begitu romantis saat berhadapan dengan Luhan. Baginya, tidak ada yang lebih sempurna dari ini, bersama dengan Luhan seperti ini, dengan dua hati yang berdetak menjadi satu.
"Jadi..." Sehun berbisik pelan di bibir Luhan. "Apa itu berarti kau mau menjadi kekasihku?"
Binar di mata Luhan sudah cukup memberikan jawaban yang Sehun inginkan, tapi satu kata yang keluar dari bibir pemuda itu memperjelas semuanya.
"Yes!"
Memberikan hatimu untuk orang lain adalah suatu hal yang mustahil. Jelas saja, kau pasti akan mati jika melakukan itu. Namun demikian, kenyataan bahwa kau merasa seolah hatimu bukan milikmu lagi, pemikiran seperti itulah yang membuatmu mengatakannya. Saat Sehun berkata kalau dia akan memberikan hatinya pada Luhan, Sehun mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Dia benar-benar bermaksud bahwa hati yang ada di dalam tubuhnya bukan lagi miliknya. Luhan telah mengambilnya, membuatnya berdetak begitu cepat saat ia sedang bersama Sehun dan membuatnya berdetak amat sangat lambat saat Luhan tak di sana. Lagi dan lagi, Luhan-lah yang mengontrol hati yang pernah menjadi milik Sehun, pernah sekali menjadi milik Jongin, tapi sekarang seratus persen milik Luhan,
"Apa kau mencintaiku?" tanya Sehun seraya menautkan jemari tangan mereka dan menempelkan keningnya dengan kening Luhan.
Luhan selalu membuat jantungnya berdegup tak beraturan, selalu membuatnya lupa bagaimana caranya bernafas, selalu membuatnya gelisah. Luhan bisa saja dengan sangat mudah membuat Sehun merasa kalah, membuat Sehun ingin melakukan semua perintah Luhan hanya demi bisa menikmati momen kebersamaan mereka lebih lama. Karena jika itu Luhan, maka yang terjadi akan selalu seperti itu.
"Menurutmu bagaimana?"
Ya. memang selalu begitu.
.
Sehun berbaring dengan kepala di atas pangkuan Luhan, membiarkan pemuda itu bermain-main dengan rambutnya. Matanya tertuju pada program yang sedag ditayangkan di televisi . Tidak butuh waktu lama sampai Sehun menyadari kalau Luhan sama sekali tidak memperhatikan program itu. Ia tersenyum kecil sembari memegang tangan Luhan, menghentikan kegiatan pemuda yang tengah mengacak-acak rambutnya itu.
"Apa kau begitu mencintai rambutku?"
Luhan tersenyum jahil. "Tentu saja."
"Tch! Aku merasa terganggu."
"Tidak saat kau dengan sukarela membiarkan orang lain menyentuhmu."
Sehun menghela nafas kalah. "Baiklah, baiklah. Kau boleh memainkan rambutku sepuasmu. Dan aku hanya akan meratapi nasib sambil merenung mengapa aku bisa jatuh cinta pada seseorang yang lebih mencintai rambutku daripada diriku."
"Kau benar-benar kekanakan, Oh Sehun," ujar Luhan dengan jemari yang masih berada di atas rambut lembut Sehun.
"Hmmm, benarkah? Tapi sayangnya aku sudah dewasa," jawab Sehun dengan seringai nakalnya.
"Berbicara denganmu kadang-kadang memang menjengkelkan," Luhan menggelengkan kepalanya.
Sehun sedikit mengangkat kepalanya, menghapus jarak di antara mereka. "Kalau begitu, kita tidak perlu bicara."
.
Hari-hari yang ia lalui bersama Luhan terasa begitu indah, begitu luar biasa, begitu sempurna. Rasanya seolah Luhan mengubah semua pola pikir rasional yang selama ini telah ia yakini. Luhan bisa membuatnya benar-benar gila hanya dengan satu senyuman dan satu ciuman di bibir. Terkadang, mereka hanya mengobrol hal-hal tak penting tapi terasa begitu penting baginya. Setiap kali mereka bersitatap, rasanya seperti baru pertama kali. Pertama kali merka jatuh cinta. Rasanya seperti jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama.
"Aku tidak bisa hidup tanpamu," Sehun berbisik di telinga Luhan yang menyandarkan kepala di bahunya.
Sehun tersenyum saat merasakan sebuah senyuman yang terbentuk di bibir Luhan. "Aku juga mencintaimu."
"Aku lebih mencintaimu." Sahut Sehun.
Luhan menggigit pelan bahu Sehun sebelum berkata. "Aku rasa, aku yang paling mencintaimu!"
"Aku tidak keberatan jika kalian mau bermesraan. Tapi TOLONG! Berhentilah bersikap seperti dua abg yang sedang dimabuk cinta di depanku."
Jongin berujar saat melihat bagaimana Luhan dan Sehun sedikit terlalu menikmati es krim mereka, saling menyuapi dengan sendok masing-masing seolah Jongin tidak ada di sana. Pemandangan seperti ini bukanlah apa yang ingin ia lihat saat mengatakan kalau ia ingin bertemu dengan keduanya. Benar-benar bukan apa yang ia perkirakan saat Sehun berkata kalau mereka sedang berada di kedai es krim.
"Tidak ada yang memintamu untuk datang kemari," ujar Sehun seraya menjulurkan lidahnya.
"Jika aku tidak datang, aku takut kalau-kalau aku tidak akan ingat lagi bagaimana wajah sahabatku," Jongin duduk di kursi yang tersedia di depan keduanya. "Beginikah caramu memperlakukan sahabatmu sendiri, Oh Sehun?"
"Kaulah orang yang lebih memilih ajakan Kyungsoo untuk pergi ke konser daripada jadwal membunuh zombie mingguan kita!" bantah Sehun tak mau kalah.
Jongin terbahak mendengar sanggahan itu. "Yaaah! Aku kan sudah bilang kalau aku akan membayarnya. Aku bahkan mengajakmu untuk menginap di rumahku minggu berikutnya."
"Bagaimana mungkin konser EXO lebih penting dari pada menghabiskan waktu bersama sahabatmu sendiri? Sejauh yang aku tahu, boyband itu tidak lebih dari segerombolan flower boys yang sedang berkumpul. Apa kau yakin kalau Kyungsoo tidak naksir pada salah satu dari mereka? Aku dengar magnae-nya cukup seksi," ucap Sehun panjang lebar kemudian kembali memakan es krimnya.
"Kyungsoo bukan pemuda seperti itu!" sanggah Jongin tak terima sebelum mengerang pelan. "Dan please! Berhentilah memakan es krim dari mangkuk yang sama di depanku. Pemandangan ini membuatku bergidik ngeri."
Luhan berhenti makan dan mendorong mangkuk es krim di depannya pada Sehun dan menatap Jongin dengan sebuah senyum menyesal. "Maafkan kami, Jongin."
"Tidak, tidak. Ini bukan salahmu, Luhan. Hanya saja, pria bodoh di sampingmu itu," Jongin menggelengkan kepalanya. "Aku tidak percaya kalau aku pernah jatuh cinta padamu, Oh Sehun. Kalau saja aku tahu kau akan berubah seperti ini, lebih baik aku bunuh diri daripada jatuh cinta padamu."
"Yaaah! Kim Jongin! Tarik kembali kata-kata itu!" teriak Sehun.
Jongin menyeringai jahil, jelas sekali kalau dia merasa senang dengan reaksi sahabatnya itu. "Bagaimana caranya aku menarik kembali kata-kata yang sudah terlanjur aku ucapkan?"
Sehun merengut kesal. "Kau mengerikan, Kim Jongin!"
"Aku bisa mengatakan hal yang sama untukmu, Oh Sehun!" Jongin tersenyum puas, kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
Sehun baru saja akan membalas ucapan Jongin saat sebuah nada dering menarik perhatiaannya. Luhan cepat-cepat mencari ponselnya sebelum kemudian undur diri untuk menjawap panggilan itu. Sehun mengangguk dan tersenyum lembut mengiyakan. Dan begitu Luhan pergi, Jongin langsung mengambil sendok di tangan Sehun dan memakan es krim mereka.
"Yaah! Apa yang kau lakukan, Kim Jongin?" tanya Sehun kaget.
"Aku hanya penasaran dengan rasa es krim itu karena kalian berdua terlihat benar-benar menikmatinya tadi." Jongin menjulurkan lidahnya jijik, "tapi ini terlalu manis untukku."
"Kalau begitu berhentilah memakannya!" tukas Sehun seraya mengambil kembali sendoknya.
Pandangan mata Jongin melembut saat ia melihat bagaimana Sehun berusaha menghabiskan sisa es krim itu. "Aku ikut bahagia untuk kalian berdua."
Kelembutan dan ketulusan yang tersirat dalam suara Jongin benar-benar sangat berarti untuk Sehun. Lebih dari yang ia bayangkan. Karena itu, ia memilih untuk tetap menundukkan kepala dan menghindari tatapan Jongin. "Terima kasih."
"Apa... Apakah Luhan masih menunggu?"
Pertanyaan sederhana itu membuat Sehun membeku di tempat. Membuatnya memikirkan sesuatu yang benar-benar terlupakan olehnya. Membuatnya mengingat kalau semua ini berawal dari dia yang menyukai Jongin dan Luhan yang mencintai Joonmyun. Dan Luhan yang selalu menginginkan sebuah perpisahan, sebuah kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Joonmyun. Dan entah Luhan memang telah melepaskan semua keinginan itu atau tidak, Sehun tidak pernah tahu. Dia tidak perah bertanya.
"Aku... Aku tidak tahu."
"Lalu... Apa kau pernah mengatakan padanya tentang tulisan itu. Kalau kau adalah orang yang—"
"No!" teriak Sehun, sedikit terlalu keras. "Aku... Aku tidak pernah mengatakannya!" Ia membenamkan wajah pada kedua tangannya. "Aku tidak mengatakannya..."
Bukannya Sehun tidak ingin mengakui perbuatan dosa yang pernah ia lakukan di masa lalu. Karena sejujurnya, dia benar-benar ingin mengakui hal itu pada Luhan. Tapi pada satu titik, kebohongan itu tertutup begitu saja oleh cinta yang mereka miliki, dan perasaan takut kehilangan itu menjadi semakin besar dalam dirinya, dan Sehun tidak tahu lagi apakah dia bisa mengatakan hal itu. Sehun merasa kalau itu semua bukanlah sebuah masalah besar selama ia ada di sana untuk Luhan, karena Joonmyun sudah tidak di sini lagi dan Sehun-lah bisa menjanjikan kebahagiaan seumur hidup pada Luhan.
"Itu... Mungkin tidak akan mengubah apa pun, atau justru mengacaukan semuanya," ujar Jongin ragu. "Tapi aku rasa kau seharusnya bisa jujur pada Luhan tentang apa yang telah kau lakukan. Tidak adil bagi Luhan jika kau tetap merahasiakan ini darinya, Sehun."
"Aku akan membayar hal itu dengan hidupku!" teriak Sehun, kedua tangannya mengepal kuat.
Jongin menatap sahabatnya dengan penuh simpati. "Tapi aku tahu kalau kau tidak akan bisa menyimpan rahasia itu seumur hidupmu. Sehun-ah, perasaan takut kehilangan yang kau rasakan itu tidak sepadan dengan semua yang telah terjadi antara kau dan Luhan. Aku... Aku tahu, mungkin memang sudah tidak masuk akal lagi untuk mengatakan semuanya pada Luhan, tapi jika kau tetap bersikeras ingin membangun hubungan kalian di atas sebuah kebohongan, aku tidak yakin kalau itu akan membawa kebaikan untuk kalian berdua."
"Tapi bagaimana, Jongin...? Bagaimana caranya aku bisa mengatakan pada Luhan kalau akulah orang yang telah menulis pesan di belakang kursi itu? Bagaimana—"
"Kau... melakukan apa?"
Jantung Sehun berhenti berdetak. Suara yang sarat dengan nada menuduh itu membuatnya mendongak, kedua matanya terbelalak lebar saat bertemu pandang dengan kedua mata Luhan. Pemuda itu berdiri tak jauh dari mereka dengan bibir bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Menatapnya dengan ekspresi yang paling takut untuk ia lihat.
"L-Luhan ini semua tidak seperti yang kau pikirkan—" Jongin akngkat suara karena Sehun terlihat begitu terkejut untuk mengatakan sesuatu.
"Tidak, Jongin! Aku ingin Sehun yang mengatakannya padaku," potong Luhan seraya menatap tajam pada Sehun. "Apa sebenarnya yang sudah kau lakukan, Oh Sehun?!"
Oh Sehun.
Suara Luhan saat menyebut namanya membuat Sehun ingin menangis saat itu juga. Semua ini salah, sangat salah dan dia benar-benar berharap kalau ia bisa kembali ke masa beberapa menit lalu untuk mengubah semuanya.
"Aku... Aku tidak pernah bermaksud untuk menyimpan kebohongan ini darimu, Luhan!" teriak Sehun panik, tidak perduli pada beberapa pasang mata yang menatap penasaran ke arah mereka.
Setetes air mata mengalir di sudut mata Luhan, dan Sehun tahu kalau kali ini dia tidak bisa lari. Seperti ada sesuatu yang meremas kuat jantungnya dan membuatnya sesak. Tapi tidak ada yang lebih buruk dari bayangan Luhan yang sedang menangis yang akan selalu tersimpan di memori otaknya. Tidak ada yang lebih buruk dari itu.
"Aku penasaran, aku besikap bodoh, sangat bodoh..." aku Sehun dengan suara yang begitu pelan dan lemah. "Aku... Memang aku yang menulis pesan itu... Aku... Aku hanya ingin membantumu! Aku benar-benar tidak menyangka kalau semua itu akan menjadi sangat rumit!"
Saat itu Sehun berpikir kalau Luhan menginginkan bantuannya untuk melepaskan semuanya. Dari awal hingga akhir, Sehun selalu berpikir seperti itu. Dia tidak pernah menyangka kalau semua justru akan menjadi begitu rumit, amat sangat rumit.
"Jadi... Kalimat menghibur yang kau katakan waktu itu... Kenyataan bahwa kau mengatakan padaku untuk mempercayaimu saat sebenarnya kaulah orang yang telah menciptakan semua kesedihan itu... Kau!" seru Luhan seraya menangis, "Kau adalah orang yang telah menghancurkan hatiku dan berusaha untuk menyatukan kembali serpihan-serpihan itu! Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku?!"
"Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu, Luhan! Aku tidak pernah menginginkan hal itu! Dan aku berusaha sebisaku untuk membayar semua yang telah aku lakukan!" ujar Sehun, dengan suara yang bergetar, seraya berdiri dari duduknya untuk meraih tangan Luhan. Tapi pemuda itu justru menepis tangannya. "Bukankah... Bukankah kita telah saling menemukan cinta yang baru saat ini?"
"Ini bukan tentang apakah kau bermaksud untuk menyakitiku atau tidak! Ini bukan tentang hubungan yang kita jalin saat ini! Bukan tentang perasaan yang sama-sama kita miliki! Ini adalah tentang sebuah kenyataan bahwa ini! Semua ini!" Luhan menunjuk pada mereka berdua. "Dibangun di atas sebuah kebohongan! Hanya sebuah hati yang merasa menyesal dan sebuah hati yang hampa! Aku pikir kau adalah satu-satunya orang yang percaya padaku. Tapi nyatanya kau hanya berusaha untuk menebus kesalahan yang sudah terlanjur kau lakukan!"
Kekecewaan itu. Tuduhan itu. Kebenaran itu. Jelas sekali bagi Sehun kalau dia telah amat sangat menyakiti Luhan. Saat itu, dia begitu takut untuk mengakui perbuatannya. Benar-benar takut. Tapi saat ini, dia takut sekali untuk berbohong lagi. Karena dia tahu, satu saja kebohongan lagi maka Luhan benar-benar akan hancur. Bagi seseorang yang tidak menginginkan hal lain selain kebenaran, satu kebohongan adalah sebuah kehancuran. Satu saja kebohongan sama berbahayanya dengan sebilah pisau yang menancap tepat di jantung.
"Mengapa, Sehun..." Luhan berbisik pelan. "Mengapa...?"
Sehun menangis dalam diam. "Karena saat itu aku benar-benar hanya ingin menolongmu."
.
Sehun mengusap wajahnya gusar sambil terus tetap berusaha untuk menghubungi Luhan. Baru setelah pesan yang ke tujuh dan panggilan yang ke lima belas akhirnya Sehun menerima kenyataan bahwa Luhan benar-benar tidak ingin berbicara dengannya. Baru setelah lima jam kemudian akhirnya Sehun memutuskan bahwa dia tidak bisa lagi memegang ponselnya tanpa meneteskan air mata. Tanpa kata, dia melihat Luhan meninggalkan kedai es krim yang mereka kunjungi tadi, menepis pelan tangan Jongin yang berusaha untuk menenangkannya, dan menangis tanpa bisa dicegah saat kembali ke rumah.
Bukannya Sehun berpikiran kalau apa yang terjadi hari ini tidak akan pernah terjadi. Karena jika dipikir-pikir lagi, pada akhirnya dia tetap harus mengatakan semua itu pada Luhan. Tidak mungkin Sehun bisa menyembunyikan kenyataan itu selamanya. Tapi tetap saja, kejadian tiba-tiba yang baru saja terjadi sore tadi benar-benar mengguncang dirinya.
Luhan butuh waktu. Karena semua ini bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Dan Sehun siap untuk memberikan waktu selama apa pun yang dibutuhkan oleh pemuda itu. Sehun benar-benar siap. Tapi kenyataan kalau setelah ini hubungan mereka bisa saja berubah menjadi seperti sebelumnya, kalau mereka tidak akan bisa bersama lagi, itulah yang paling ia takutkan.
Sehun membenamkan wajahnya di atas bantal, berharap akan ada sebuah jalan keluar untuk masalah ini.
Jongin bilang, Luhan kembali duduk di dalam bis 520 lagi setiap hari, menghabiskan waktunya untuk menunggu seseorang yang selama ini ia tunggu. Luhan terlihat sangat kacau, seperti mayat hidup. Jongin berkata padanya kalau Luhan bilang dia merasa seperti telah mengkhianati Joonmyun, mengkhianati cintanya dengan melupakan pria itu dan berlari bersama Sehun. Ia merasa seakan-akan dirinya telah terperdaya oleh trik menyakitkan dari surga dan sekarang surga itu tengah mengejeknya yang telah terpikat dengan begitu mudah.
Semua yang diceritakan oleh Jongin sama sekali tidak mengurangi kesedihan di hati Sehun juga keinginannya untuk masuk ke dalam bus itu dan berkata pada Luhan kalau dia harus menghentikan semua ini. Karena ini bukanlah kehidupan yang mestinya dijalani oleh pemuda itu. Jika saja Joonmyun benar-benar datang dan bertemu dengan Luhan, dia pasti juga akan berkata pada Luhan untuk hidup dalam kebahagiaan. Tapi nyatanya Luhan tidak bahagia saat ini. Sama sekali tidak bahagia.
Dan akhirnya, setelah berhari-hari menghindari bus itu, setelah berhari-hari ia mengumpulkan semua keberaniannya, Sehun memutuskan untuk menemui Luhan. Dia telah melakukan sebuah kesalahan, dan dia tidak akan mengelaknya. Tapi dia juga berhak untuk memberitahu Luhan bahwa itu semua bukan hanya sekedar sebuah kebohongan. Ada hal lain yang juga tersimpan dalam kebohongan itu.
Saat tatapannya jatuh pada sosok yang dicarinya, jantung Sehun terasa seperti diremas dengan begitu kuat, ingin rasanya ia memukul dirinya sendiri, karena Jongin sama sekali tidak melebih-lebihkan kalimatnya. Sosok di depannya telah kehilangan cahaya yang selalu terpancar dari sana, kehilangan binar-binar indah, kehilangan segalanya yang pernah membuatnya terlihat seperti seorang malaikat dulunya. Saat ini, sosok terlihat begitu kacau dan tidak lebih dari seorang pemuda yang tidak lagi menunggu karena dia percaya kalau mereka akan bertemu, tapi karena ia merasa bersalah dan harus menunggu. Penantian itu tak lagi terlihat seperti sesuatu yang begitu murni melainkan sebuah upaya sia-sia sebagai penebus dosa.
Luhan bahkan tidak menyadari kehadiran Sehun sampai pemuda yang lebih muda itu berdiri di depannya. Mata kosongnya menolak untuk menatap Sehun tapi sedikit pergerakan dari kedua bola mata yang begitu dikaguminya itu adalah bukti yang cukup kalau Luhan telah melihatya. Luhan tahu kalau ia ada di sini.
"Luhan..."
Tidak ada respon. Sehun tahu dia tidak bisa berharap kalau pemuda itu akan menanggapinya. Tapi tak apa. Selama Luhan tidak lari darinya, tidak memotong apa yang ingin ia sampaikan, itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Itu adalah yang terbaik yang bisa ia dapatkan saat ini.
"Aku... Aku benar-benar tidak bermaksud untuk menyakitimu. Saat itu... Saat itu, saat kau mengatakan padaku siapa nama pria itu, aku pikir aku hanya ingin tahu mengapa kau mau menunggunya dengan begitu setia. Apa yang membuatmu mau menunggu seseorang hingga seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti. Rasanya begitu sulit untuk dimengerti. Sama sekali tak pernah terintas di benakku kalau ternyata Joonmyun telah tiada dan kau benar-benar berharap agar bisa bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya. Aku... Aku merasa takut, aku akui itu. Aku kira aku bisa menebus kesalahan itu tanpa harus menceritakannya padamu. Seperti seorang bocah yang telah memecahkan vas bunga kesayangan ibunya tapi tidak mau mengaku. Lalu kemudian... Kita menjadi lebih dari sekedar orang asing. Dan perlahan aku melupakan hal itu, atau mungkin itu aku hanya berusaha untuk meyakinkan diri kalau semua itu tidak penting lagi, tidak perlu lagi untuk bercerita padamu. Karena aku melihat kau tersenyum dengan begitu indah dan aku pikir itu sudah lebih dari cukup. Aku melihat kau mulai bisa melepaskan penantian itu dan mulai menjadi Luhan seperti yang selama ini kau inginkan... Maafkan aku karena telah menyakitimu."
Luhan tidak mendongak apalagi menatapnya, tidak mengucapkan apa-apa, tapi Sehun bisa melihat air mata yang terus megalir di kedua pipi tirusnya. Rasanya sakit sekali melihat Luhan yang menangis seperti ini, dan yang lebih menyakitkan lagi, dia sendirilah penyebab air mata itu. Karena jika itu karena orang lain, paling tidak Sehun bisa melakukan sesuatu untuk menghiburnya. Tapi dia tidak bisa melakukan itu karena dirinya sendirilah yang telah membuat Luhan menangis. Yang bisa ia lakukan hanya menatap Luhan yang berusaha menyembunyikan wajahnya, berusaha untuk menghentikan tangisnya. Dia hanya bisa melihat dan menahan diri untuk tidak berhambur ke sana dan mengusap air mata itu. Yang bisa ia lakukan hanya menyaksikan sang terkasih hancur berkeping-keping di depan matanya sendiri.
Detik berikutnya, Sehun memutuskan untuk turun di pemberhentia selanjutnya yang berada di dekat rumah Jongin, karena dia sudah tidak sanggup lagi untuk mendengarkan Luhan menangis tanpa bisa melakukan apa pun. Dia segera berlari begitu pintu terbuka, tanpa sekalipun menoleh ke belakang, karena jika dia melihat ke belakang saat itu, Sehun tidak tahu apa yang bisa ia lakukan.
Baru saat ia sudah berdiri di luar, nafas tak beraturan dan jantung yang berdetak kencang, akhirnya dia bisa menoleh ke jendela bus dan bersitatap dengan kedua mata Luhan. Sehun menelan ludahnya yang terasa begitu pahit sebelum merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan segera menghubungi Luhan. Sehun sendiri tidak tahu mengapa, tapi hatinya seolah memerintahkan seperti itu. Memerintahkannya untuk menghubingi Luhan. Pintu bus mulai kembali tertutup, dan jantung Sehun terasa seperti akan melompat dari tempatnya karena cemas.
Saat Luhan menerima panggilannya, Sehun hampir saja menangis.
"Luhan, aku..."
Bus itu mulai kembali berjalan, membawa Luhan jauh dari Sehun. Sekarang atau tidak sama sekali.
"Aku mencintaimu."
Luhan tidak menjawab. Tidak mengatakan apa pun. Tapi dia juga tidak memutuskan sambungan telepon. Perlahan, wajah Luhan mulai tak terlihat seiring bus yang melaju semakin jauh dari tempatnya berdiri, sampai kemudian bus berbelok dan benar-benar hilang dari pandangan. Tapi Luhan masih belum memutuskan sambungan telepon, dan itu membuat Sehun semakin berharap.
Butuh satu menit lebih sebelum akhirnya suara lembut Luhan terdengar di telinga Sehun.
"Aku tahu, Sehun. Aku tahu."
.
.
Sehun menunggu datangnya bus dengan sabar. Sebuah senyum tersungging manis di bibirnya. Sudah berminggu-minggu sejak ia menelfon Luhan di halte bis saat itu, sejak terakhir kali ia melihat wajah Luhan. Awalnya memang terasa begitu berat, tapi setelah beberapa waktu Sehun sadar, jika ia menginginkan sebuah kesempatan, maka dia harus bersabar. Dia harus menunggu. Luhan bahkan menunggu berbulan-bulan, jadi beberapa minggu bukan masalah untuk Sehun.
Hari ini, tiba-tiba saja ia menerima pesan singkat dari Luhan. dia terkejut, tapi juga merasa sangat senang, karena akhirnya ia bisa berkomunikasi lagi dengan Luhan.
Aku sudah bertemu dengan Joonmyun.
Sehun tahu kalau dia harus menemui Luhan secepatnya. Pasti ada alasan mengapa pemuda itu mengatakan itu padanya, dan Sehun harus bertemu dengan Luhan, apa pun yang terjadi. Dia merasa perlu mendengarkan langsung dari Luhan apa yang dikatakan oleh Joonmyun saat mereka bertemu. Apakah dia sudah mendapatkan perpisahan yang selama ini ia inginkan atau tidak. Dia butuh jawaban itu.
Begitu bus itu berhenti di depannya, Sehun segera masuk ke dalam, menggesek kartu transportasinya dan bergegas ke bagian belakang bus. Keadaan bus saat itu nyaris kosong. Dan Luhan duduk di tempat biasa dengan tatapan penuh harap namun juga sarat akan keraguan. Sepertinya Luhan ingin mengatakan sesuatu padanya, dan Sehun akan mendengarkannya dengan sukarela. Lebih dari sekedar sukarela, karena sebenarnya dia sangat berharap untuk bisa mendengar suara Luhan.
Dia mengambil duduk di ujung satunya dari kursi paling belakang, di seberang Luhan, sebuah tempat duduk yang membawa begitu banyak kenangan. Kenangan yang baik dan juga yang buruk.
"Joonmyun... Dia menemuiku hari ini." ujar Luhan lembut, dan Sehun tidak pernah menyadari kalau dia begitu merindukan suara Luhan sampai dia mendengarkannya lagi.
"A-apa... Apa yang dia katakan?" tanya Sehun.
Luhan menatap ke bawah, menatap kedua tangannya yang tengah bermain dengan sesuatu sebelum kembali menatap Sehun ragu, "Sebelum aku mengatakannya padamu, aku ingin mengetahui satu hal. Saat kau berkata kalau kau mencintaiku, cinta seperti apa yang kau maksudkan?"
"Aku..."
"Ada saat ketika kau berpikir bahwa hidup sendiri bukanlah suatu hal yang sulit. Kau tidak membutuhkan siapa pun untuk menemanimu dan membuatmu tetap bertahan. Namun saat kau bertemu dengan seseorang yang bisa membuatmu berpikir kalau hidup tanpa dirinya adalah sebuah hal yang tidak mungkin, itu berarti kau mencintai orang tersebut."
"Aku tidak pernah tahu apa itu cinta sampai aku bertemu denganmu. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa arti dari kata cinta. Tapi saat aku berkata kalau aku mencintaimu," ujar Sehun seraya menatap Luhan tepat di kedua matanya. "Yang aku maksud adalah, saat aku memikirkan kalau aku harus hidup tanpamu... Hanya memikirkannya saja sudah terasa seperti akhir dari segalanya bagiku. Karena saat itu, dan bahkan sampai sekarang, kau telah menjadi seseorang yang begitu penting bagiku, dan aku tidak akan bisa hidup lagi tanpa adanya dirimu."
Luhan terisak beberapa saat, pandangan mata kembali tertuju pada sesuatu di tangannya. "Kau mau duduk di sebelahku?"
Sehun terbelalak kaget mendengar kalimat Luhan. Tempat duduk di sebelah Luhan bukanlah sekedar tempat duduk biasa. Di mata mereka tempat duduk itu adalah tempat yang istimewa bagi Luhan.
Tapi kerinduan yang terpancar di kedua mata indah itu mengatakan padanya kalau Luhan benar-benar serius saat meminta Sehun untuk duduk di sana. Karena itu Sehun berdiri perlahan dan berjalan ke arah Luhan. Perjalanan yang harus ia lalui dari tempat duduknya ke tempat duduk di samping Luhan adalah sebuah perjalanan yang begitu panjang. Sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan. Berkali-kali, ia terjatuh dan kemudian kembali berdiri. Tapi akhirnya dia menang, akhirnya dia bisa duduk di tempat itu dengan keinginan Luhan sendiri.
Sehun akhirnya bisa menjadi orang yang duduk di samping Luhan.
Dan saat dia duduk di dekat Luhansaat ia akhirnya bisa merasakan kehangatan tubuh Luhan yang bersentuhan dengan tubuhnya. Saat itulah dia bisa melihat dengan jelas benda apa yang sedari tadi terus digenggam oleh Luhan. Sebuah hadiah yang telah ia berikan pada Luhan saat ia mengungkapkan perasaannya hari itu.
Hatinya.
Saat Luhan mencium Sehun tepat di bibir, Luhan memutuskan Sehun tidak perlu tahu kalau sebenarnya dia tidak pernah bisa bertemu dengan Joonmyun selain di dalam mimpi-mimpinya. Saat Luhan mencium Sehun tepat di bibir, dia memutuskan kalau dia tidak akan pernah melepaskan Sehun, apapun yang terjadi. Karena saat ini, menunggu Joonmyun tidak lagi terasa berarti apa-apa baginya. Dulu, dia bahkan tidak pernah memikirkan apakah Joonmyun benar-benar akan datang menemuinya atau tidak, dia hanya ingin menunggu. Tapi sekarang, Luhan pikir, kalaupun seandainya Joonmyun benar-benar datang dan menemuinya, semua itu sudah tidak lagi berarti baginya.
Dan untuk beberapa alasan, dia ingin sekali percaya kalau Sehun adalah seseorang yang telah dikirimkan oleh Joonmyun untuknya. Kalau semua ini adalah perbuatan Joonmyun. Bertemu dengan Sehun adalah karena keinginan Joonmyun. Untuk beberapa alasan, dia percaya kalau pada akhirnya, Sehun-lah orang yang benar-benar ia tunggu selama ini. Karena walau bagaimanapun Joonmyun tidak akan mungkin kembali. Malaikat penjaganya telah berada di surga, mengamatinya dari sana. Dan Sehun adalah orang yang, tanpa sadar, telah ditunggunya selama ini.
Dan saat ia membuka kedua matanya, dan melihat wajah Joonmyun yang tersenyum begitu indah di samping Sehun, Luhan tahu kalau dia benar-benar mengerti Joonmyun.
"Kau telah menunggu begitu lama," ujar Joonmyun dengan senyum lembutnya, "jadi jangan pernah melepaskannya!"
Luhan tersenyum.
"Tidak akan."
Luhan menatap Sehun dengan senyum cerah yang terulas di bibirnya.
"Aku tidak akan melepaskannya."
.
.
I love you.
.
Wo ai ni.
.
520.
.
Tinywings' Note:
Dear all,
Ini adalah chapter terakhir dari perjalanan panjang 520. 520 sendiri dimulai dengan cerita singkat tentang seorang pemuda misterius dan seorang pemuda yang penuh dengan rasa penasaran. Lalu 520 berubah menjadi lebih dari sekedar itu. Cerita ini menjadi cerita paling berarti bagiku, karena dalam cerita ini tersimpan kepingan-kepingan diriku. Dua tahun aku menulis cerita ini. Dan dalam dua tahun itu, aku juga berkembang menjadi lebih dewasa. Dari seorang Sehun yang selalu merasa cemas dan ketakutan menjadi seirang Sehun yang tidak lagi takut terjatuh. Aku pun begitu, dan aku juga belajar banyak. Yang paling utama, aku mempelajari bahwa orang lain memang bisa melihat cahaya dalam cahayaku. Dan hal itu mendorongku untuk terus melakukan apa yang aku lakukan selama ini: tersenyum cerah dan membuat orang lain bahagia.
Dulu aku selalu berharap kalau orang-orang bisa hidup dengan penuh kebahagiaan. Dan sekarang, aku tahu kalau itu tidak mungkin. Hidup tidaklah selalu indah dan juga sempurna. Sekarang, aku ingin berharap agar orang-orang memiliki hidup yang sangat bermakna, sebuah kehidupan dimana setiap tantangan seharusnya bisa direngkuh dengan hangat karena semua itu akan membuatmu menjadi sosok yang lebih baik lagi. Sekarang, aku berharap dari hatiku yang paling dalam kalau kalian semua mau belajar untuk selalu bangkit lagi, karena setiap kali kau terjatuh dan berdiri lagi, kau menjadi seseorang yang lebih hebat. Siklus ini sama sekali bukan sesuatu yang buruk. Ini adalah sesuatu yang sangat indah.
Dan di dalam cerita ini, kalian bisa melihat kilasan dari ceritaku yang lain, karena aku rasa memang beginilah aku. Ketika aku menulis sebuah cerita, aku menaruh perasaanku di dalamnya. Jadi saat kalian membaca tulisanku tentang jatuh dan bangkit lagi, secara tidak langsung kalian juga melihat diriku yang terjatuh dan mencoba untuk bangkit kembali. Kalian juga akan melihat tema-tema seperti kebahagiaan, beranjak dewasa dan masih banyak lagi. Aku telah menghabiskan dua tahun menulis cerita ini dan membaginya dengan kalian semua. Jadi kalian juga boleh menceritakan kisah kalian padaku. Karena kita semua pernah merasakan sakitnya saat terjatuh, dan terkadang kita semua membutuhkan seseorang di samping kita. Dan jika aku bisa, aku pasti akan membantu.
Ini adalah saatnya untuk mengakhiri cerita ini. Saat pertama menulisnya dulu, aku sudah memutuskan untuk memberikannya judul 520. Karena 520 berarti aku mencintaimu. Suholah yang telah membuat Sehun dan Luhan bertemu dan akhirnya bisa bersama. Cinta itu yang membuat mereka bersatu. Ending sebenarnya yang aku pikirkan dua tahun lalu adalah Suho yang datang pada Luhan dan berkata padanya untuk hidup bahagia. Dan dua tahun kemudian, hari ini, saat aku sedang menulis chapter ini, aku rasa ini adalah ending yang lebih baik. Luhan yang berkata tentang bagaimana dia akan melanjutkan hidupnya terasa seperti ending yang bagus. Karena Luhan dan Sehun telah melalui perjalanan yang begitu panjang, jadi semua keputusan ada di tangan mereka. Dan keputusan yang mereka ambil, saat mereka mengikuti apa kata hati mereka, itu akan menuntun mereka menuju sebuah kebahagiaan. Sehun dan Jongin bisa saja menjadi sesuatu yang luar biasa, tapi mereka tetap masih luar biasa dengan cara mereka sendiri. Kita semua pasti memiliki suatu masa saat kita tidak ingin melepaskan sesuatu tapi kita harus melepaskannya, karena jika tidak maka tidak akan ada tantangan baru, tidak akan ada chapter baru. Terkadang, kita juga pasti pernah menunggu, tapi terkadang semua itu tidak memiliki arti yang sama lagi.
Di satu sisi, aku benar-benar tidak ingin mengakhiri cerita ini. Karena pada satu titik cerita ini adalah hidupku. Setiap kata dan aksi yang tertulis berasal dari hatiku yang paling dalam. Tapi aku rasa begini lebih baik. Ini adalah saatnya untuk tantangan yang baru. Meski tidak mudah, tapi tombol 'complete' itu memang harus di'klik' suatu hari nani. Aku benar-benar berterima kasih dari hati terdalamku karena kalian mau membaca cerita ini, mau mendengarkan ceritaku, dan aku harap cerita ini juga dapat membantu kalian semua. Semoga kita bisa tetap terus men-support satu sama lain. Dan semoga kalian semua bisa menjadi sinar matahari yang begitu indah di dunia ini.
I love you all.
Sincerely,
your Tinywings
END
A/N:
Annyeoooong^^
Yuhuuuuuuuuuuuuuuuuuuu!
Finally, chapter terakhir kelar jugaaaaaaaaaaaaaakk. Gimana, gimana, gimana? Happy Ending, kan? HunHan bersatu. Luhan juga udah ngelepas Joonmyun. Sehun udah baikan sama Jongin dan memberikan *uhuk*hatinya untuk Luhan :D
Sampai chap ini, yang masih bingung n punya pertanyaan, atau ada yang kurang jelas dari translate yang gak jelas ini, bisa tanya di kotak review *modus* ato langsung PM Liyya aja. Selama pertanyaan gak beresiko ngasih spoiler apapun, pasti Liyya jawab kok.
Sekali lagi, terima kasih banyak untuk semuanya yaaaaaaa!^^
With Love,
Liyya