"Sakura—"
"Tak apa, Sasori."
Aku membuang muka, dan aku tahu bahwa Sasori menangkap raut wajahku yang terlihat menyedihkan.
"Kau tahu Deidara seperti apa, bagaimana protectivenya ia padaku."
Aku menghela nafas, aku tahu bagaimana kekasih gay dari sahabatku ini, si pirang yang selalu mencuri kesempatan untuk mengecup mesra Sasori bahkan ketika mereka berada di hadapanku.
"Cobalah untuk berkomitmen, segalanya akan lebih mudah."
Kali ini aku menatap Sasori, kedua mataku menyipit memberinya tatapan tajam.
"Dalam mimpimu, baka!" Ujarku menekankan.
Berkomitmen? Itu adalah hal terakhir yang kupikirkan dalam hidupku— atau mungkin sama sekali tak akan pernah kupikirkan karena hal semacam itu sudah kubuang jauh-jauh.
Dan kini Sasori yang menghela nafas. Sebagai seorang sahabat, ia tahu persis bagaimana reaksiku jika sudah membicarakan hal ini.
"Akan kucarikan kau pria yang dengan suka rela menyumbangkan spermanya untukmu,"
Kedua mataku melebar mendengar ucapan frontal Sasori kemudian menatap sekeliling, khawatir seseorang mendengar ucapan Sasori tadi.
"Sinting! Kau pikir—"
"Dan kau pikir memiliki anak tanpa sebuah ikatan bukan ide yang sinting, Sakura?"
Baiklah, ia benar.
.
.
.
SasuSaku fanfic by yuchida
Inspired : The Proposition Kate Ashley
All Character © Masashi Kishimoto
Warning : Mature, Mild Language, AU, typo(s), OOC
.
.
.
Sakura POV
Jam makan siang sudah berakhir dan aku sudah siap untuk kembali bergumul dengan setumpuk pekerjaan yang begitu membosankan di kantor.
"Jidat!"
Sahabat sintingku yang lainnya menyambut kedatanganku. Ya, kupikir seseorang yang tak sinting tak akan layak menjadi sahabatku.
Kami berdua bertemu di pintu utama kantor kemudian berjalan menuju lift yang akan mengantar kami ke lantai 3, tempat kerja kami.
"Jadi, bagaimana makan siang pertamamu bersama si pucat itu, pig?" aku menoleh padanya, aku bisa melihat Ino tersipu mendengar pertanyaanku.
Gadis gila ini benar-benar sedang jatuh cinta rupanya.
"Sai orang yang sangat menyenangkan! Kupikir kami akan menjalani hubungan yang serius."
Oh, Ino sudah benar-benar gila! Hubungan yang serius?
"Ino, bahkan kalian baru bertemu tiga hari yang lalu."
Ini mendelik padaku, "Sakura, kami sudah menjalin hubungan selama dua bulan."
"Dua bulan melalui social media, ingat?"
Ya, Ino dan kekasihnya yang bernama Sai itu— yang entah berasal darimana (aku tak tahu) pertama kali berkenalan melalui akun jejaring sosial. Oh, benar-benar manis, dua orang yang menjalin hubungan tanpa pernah bertemu sekalipun selama dua bulan kemudian baru pertama kali bertemu tiga hari yang lalu dan kini sudah menganggap hubungan itu serius?
Sebagai seorang sahabat, tentu saja aku tak setuju dengan keputusan Ino untuk berkencan dengan seseorang di akun jejaring sosial. Aku pun melupakan fakta bahwa Ino adalah orang yang keras, ia sama sekali tak mendengarkan ucapanku dan lebih memilih terus menjalani hubungan gilanya itu.
Astaga, aku memang memiliki sahabat yang gila. Sasori dengan kekasih gay-nya dan Ino dengan kekasih tak berwujudnya— oke, mungkin Ino bisa dikatakan lebih baik karena ia sudah bertemu dengan kekasihnya itu.
"Pig, kau gila."
Ujarku seraya duduk di kursi kerjaku, menyalakan komputer dan membuka beberapa file yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Kedua mataku terfokus pada layar namun pendengaranku melayani setiap ocehan nyonya Yamanaka Ino yang sedang jatuh cinta ini.
"Sakura, kau hanya sirik! Aku bersumpah kau akan merasa menjadi wanita paling beruntung jika berada di posisiku sekarang!" Dan aku berani bersumpah Ino memancing tatapan rekan kerja kami yang lain karena baru saja menggebrak meja kerjaku. Sialan si pirang ini.
Ino masih setia menyandarkan tubuh rampingnya di samping meja kerjaku, kemudian ia kembali berbicara; "Aku akan meminta Sai untuk mengenalkan beberapa teman prianya padamu, kita bukan lagi gadis remaja dan kau harus siap untuk berkomint—"
"Stop it, Yamanaka!"
Aku melirik Ino dan kulihat ia memutar kedua bola matanya.
"Sakura," kini suara Ino terdengar pelan, "Lupakan soal Yahiko—"
"Ino, aku bersumpah ini bukan tentang Yahiko dengan semua pengkhianatannya itu. Aku hanya lelah untuk berkomitmen. Aku terlalu malas, aku terlalu sibuk, dan aku tak ingin membuang waktu untuk menangis jika kembali gagal dalam berkomitmen dengan seorang pria."
Aku memijat pangkal hidungku, pusing mendengar ocehan Ino yang kini menatapku khawatir. Dan, ya, aku benci tatapan itu.
"Oke, kau mungkin hanya perlu waktu— tapi ini sudah tahun kedua sejak kau memutuskan untuk sendiri setelah putus dengan tunanganmu yang bajingan itu. Oh, ayolah, apa kau ingin menjadi perawan tua? Tak ingin berkeluarga?"
"Aku akan membentuk keluarga kecilku dengan caraku sendiri."
"Jangan bilang kau—"
"Ya, rencanaku untuk memiliki seorang anak tanpa berkomitmen masih ada di pikiranku." Ujarku santai.
Ino menarik satu kursi kosong yang berada tak jauh dari kami, dan aku mulai berpikir apa ia tak memiliki pekerjaan lain selain menceramahiku untuk berkomitmen?
"Jadi kau dan Sasori akan benar-benar melakukannya?" Tanya Ino dengan jari-jari rampingnya yang mengutip di udara saat menyebut kata melakukannya.
Sebagai sahabat, Ino jelas tahu rencana gilaku ini. Aku masih mengingat bagaimana reaksi Ino saat aku mengatakannya, ia menyemprotkan teh hijau yang baru saja masuk ke dalam mulutnya tepat di depan wajahku, dan tepat di depan umum tentunya karena kami saat itu berada di kedai teh. Memalukan.
Kali ini aku menghela nafas berat, "Deidara tahu, dan kekasih gay-nya itu mengancam akan bunuh diri jika tahu Sasori akan menyumbangkan spermanya untukku."
Ino nyaris terbahak jika aku tak segera membekap mulutnya.
"Oh, astaga," Ino masih menahan tawanya, "apa ia begitu haus sperma hingga tak menginjinkan milik kekasihnya barang setetes pun?" Ino benar-benar gadis dengan mulut yang frontal.
"Kalau begitu aku akan mencari pria yang akan mendonorkan spermanya untukmu!"
"Sasori pun berkata begitu." Aku meraih botol mineral yang berada di mejaku, kemudian meminumnya cepat.
Tiba-tiba Ino tersenyum kecil, kedua tangannya berada di pundakku. Ia menatapku dalam. "Kau benar-benar trauma untuk berkomitmen, ya?"
Trauma? Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi pada diriku ini. Sejak dua tahun yang lalu, sejak kejadian brengsek itu, aku tak pernah dan seakan tak ingin lagi merasakan romansa cinta yang manis. Mendengar kata cinta saja sudah membuatku mual.
Aku hanya merasa bahwa aku selalu gagal dalam berkomitmen. Aku merasa payah, seperti seorang pecundang yang tak ingin mencobanya lagi setelah gagal.
Masalahnya, aku sudah gagal berulang kali.
Aku berpikir, bukankah tujuan menjalin hubungan atau berkomitmen itu untuk membentuk sebuah keluarga? Terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka yang manis. Semudah itu kan?
Karena itu, aku miliki niat untuk memiliki seorang anak tanpa harus berkomitmen. Bukankah aku masih bisa melakukan tujuan dari berkomitmen tanpa melakukan komitmen itu sendiri? Aku juga bisa membentuk keluarga kecilku sendiri. Terdiri dari aku sebagai ibu dan anak-anakku.
Oh, manis sekali membayangkan memiliki anak laki-laki yang menggemaskan ataupun gadis-gadis mungil berada di sekitarku dengan rambut mereka yang berwarna pink.
Dan sialnya, semua tak semudah yang aku pikiirkan. Awalnya Sasori setuju untuk menjadi ayah dari anakku— maksudku hanya secara biologis, setelah melahirkan nanti aku tak ingin Sasori ikut campur dalam mengurus anakku. Kami akan melakukan bayi tabung, karena aku sama sekali tak pernah berpikir untuk bisa melakukannya secara alami bersama Sasori, yaitu melalui sex.
Oh, tolong, bahkan sahabatku yang berumur dua tahun lebih tua di atasku itu adalah seorang gay.
Semua rencana yang hampir saja terlaksana hancur begitu saja saat Sasori berkata bahwa Deidara tidak mengizinkan kami. Aku tahu seberapa Sasori mencintai Deidara dan akan melakukan apapun yang diucapkan pria pirang itu. Shannaro!
Aku tak tahu harus bagaimana, karena aku tak ingin menjadikan sembarang pria untuk menjadi ayah dari anakku kelak. Aku hanya ingin menghindari resiko atau calon anakku. Lagipula Sasori cukup tampan, dan mungkin perpaduan warna merah dan pink akan begitu lucu untuk rambut anakku nanti.
Sialnya semua itu hanya khayalan. Akan kubunuh Deidara!
.
.
.
.
Normal POV
"—bahkan aku akan lompat dari jendela gedung kantor Itachi jika kau tetap menuruti keinginan gila si pinky itu, Sasori!"
"Dei, sudah kukatan bahwa aku sudah menolak untuk menjadi ayah dari anaknya!"
Sasori mengusap wajahnya kasar, ia dibuat pusing oleh sikap Deidara yang kekanakan.
Saat ini keduanya berada di dalam kantor Itachi, teman dekat Deidara semasa kuliah dulu. Mereka sering datang kemari, sekedar untuk mengobrol atau membuat Itachi pusing jika Deidara sudah mengomel. Seperti saat ini, ia terus mengomel layaknya para gadis yang kehabisan diskon di mall!
Deidara melipat kedua tangannya di dada, ia masih setia berdiri menghadap jendela besar yang memperlihatkan jalanan besar di bawah sana. Raut wajahnya masih terlihat sebal.
"Sudahlah, Dei," Itachi yang sejak tadi mendengarkan percakapan keduanya mencoba menenangkan. Memang seperti inilah tugasnya, Itachi selalu menjadi penengah di antara Sasori dan Deidara.
"Aku hanya tak habis pikir, Itachi."
Itachi tersenyum kecil, "Sasori lebih menuruti keinginanmu dibandingkan permintaan sahabatnya itu."
Deidara melirik Sasori yang duduk di sofa panjang, pria itu mengangguk pelan seraya menatapnya.
"Baiklah," tatapan Deidara melembut, "aku hanya tak ingin kehilangan Sasori."
Itachi berpikir mungkin akan mengencani sahabatnya sejak dulu jika Deidara adalah seorang wanita. Segala perilakunya begitu manis. Lihat saja, kini Deidara berjalan menghampiri Sasori dan segera memeluknya erat. Astaga, tingkah lakunya itu sukses membuat Itachi geleng-geleng kepala.
Itachi sendiri tak keberatan dengan hubungan tabu Deidara dan Sasori. Meskipun awalnya sangat terkejut, namun sebagai sahabat ia mendukung apapun pilihan Deidara. Tapi jangan pernah berpikir jika Itachi juga seorang gay, ia bahkan sudah memiliki istri!
"Aku jadi penasaran dengan teman Sasori itu,"
"Dia gadis berisik yang siap kapan saja melempar pukulan dahsyatnya! Dia seperti monster, hanya saja berwarna pink."
Sasori tertawa mendengar ucapan Deidara tentang Sakura. Kekasihnya itu memang tak bisa akur dengan sahabatnya itu. Jika bertemu, mereka selalu saja beradu mulut atau bahkan Sakura bisa melayangkan beberapa tinjuannya.
"Bagaimana bisa ada seorang wanita yang menginginkan seorang anak tanpa berkomitmen? Sedangkan diluar sana banyak sekali wanita yang menyesal memiliki anak tanpa adanya ikatan pernikahan."
Punggung Itachi menyandar pada kursi kebesarannya. Matanya menerawang, membayangkan seperti apa sosok monster berwarna pink yang diceritakan Deidara itu.
"Dia hanya takut untuk kembali berkomitmen, dia memiliki pemikiran yang rumit." Ujar Sasori.
"Kenapa kau tidak membantu mencarikan pria yang mau menjadi ayah untuk anaknya nanti?"
"Aku sudah mengatakan itu dan ia siap untuk melayangkan tinjunya untukku."
.
.
.
.
.
Untuk kesekian kalinya, Sakura menatap lekat benda yang berada di tangannya tersebut. Kedua alisnya menyatu dan matanya memerah. Ia bisa merasa bahwa kedua tangannya selalu bergetar saat memegang benda tersebut.
Benda yang merupakan undangan pernikahan mantan tunangannya, Yahiko.
"Shannaro!"
Setelah meremas undangan berlapis warna perak itu, ia melemparnya ke aspal. Terlihat di parkiran kantornya yang sepi ini Sakura menginjak-injak undangan tersebut dengan menggebu. Amarahnya memuncak setiap kali melihat ukiran nama Yahiko disana.
Marah, tentu saja ia marah!
Setelah bertunangan selama empat tahun dan hampir dinikahi, kemudian tertangkap basah sedang berselingkuh, dan pada akhirnya mereka berpisah yang mirisnya justru Yahiko lah yang memutuskan hubungan mereka, ternyata laki-laki itu masih tak punya malu untuk mengundangnya datang ke acara pernikahannya dengan selingkuhannya itu!
Inilah yang membuat ide gila Sakura untuk menjadi orang tua tunggal tanpa melalui ikatan pernikahan semakin menggebu. Ia ingin membuktikan pada Yahiko bahwa ia masih bisa menemukan kebahagiaannya sendiri. Ia berpikir, satu-satunya harapan kebahagiannya berasal dari seorang anak yang terlahir dari rahimnya sendiri.
Dengan begitu, ia akan sibuk menata kebahagiannya bersama Haruno kecilnya selain pekerjaan kantornya dibanding memikirkan Yahiko yang sebentar lagi menjadi suami dari wanita lain.
Bahkan Sakura merasa gemas sendiri membayangkan gadis mungil atau anak laki-laki yang lucu berada di sekelilingnya dan memanggilnya dengan sebutan mama.
Oh, Sakura akan begitu mencintai hidupnya!
Di usianya yang bukan lagi tergolong remaja, banyak teman-temannya yang sudah menikah atau sedang menjalani hubungan percintaan yang serius. Dibanding itu, Sakura lebih memilih melewati tahap pecintaan dan lebih memilih langsung menemui tahap kebahagian tanpa ada resiko kegagalan.
Ingat, memang ada yang namanya mantan kekasih ataupun mantan suami, namun tak akan ada mantan anak dan mantan ibu!
Meskipun ia berpikir jika Yahiko akan menertawakannya karena memiliki anak tanpa seorang pendamping, Sakura sama sekali tidak peduli.
Ia juga tak peduli apa pendapat orang lain nanti. Setidaknya, ia masih memiliki orang-orang yang mendukung keputusannya. Mereka adalah kedua orang tuanya, Ino, dan juga Sasori. Betapa Sakura mencintai mereka!
"Semua pria memang brengsek!" umpat Sakura seraya berjalan menuju tempat mobilnya terparkir, "kecuali ayahku dan Sasori tentunya."
Sakura masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan sekali bantingan. Ia membenamkan wajahnya pada lipatan tangannya yang bersandar pada kemudi mobil. Ia harus berpikir jernih, marah-marah pun tak ada gunanya. Tak akan bisa membuat Yahiko mendapat karma seperti diselingkuhi oleh calon istrinya itu atau pernikahannya batal karena terjadi penembakan masal para tamu yang dilakukan oleh Sakura sendiri, mungkin?
Oke, pikirannya mulai menggila.
Lebih baik ia pulang. Apartemennya lebih membutuhkannya sekarang, terutama ranjangnya yang seakan terdengar memanggil-manggil di telinganya untuk segera ditiduri.
Sakura menghidupkan mesin mobilnya dan melaju. Baru beberapa jarak meninggalkan tempat parkirnya tadi, Sakura membuang nafas kasar saat melihat sebuah mobil yang menghalangi jalan keluar.
"Siapa si bodoh yang parkir dengan sesuka hati seperti ini?!" Sakura memukul kemudinya. Tentu saja ia kesal, mobil berwarna hitam itu jelas-jelas memblock jalan keluar. "Apa dia pikir jalanan ini miliknya sendiri?!"
Sakura menekan klaksonnya beberapa kali, ia tahu bahwa pengemudi mobil itu berada di dalam karena mesin mobilnya yang menyala. Namun pengemudi mobil itu sama sekali tak menggubrisnya.
Tiba-tiba Sakura dibuat mengernyit ngeri, "Oh, sepertinya aku akan muntah."
Sakura mendecih melihat apa yang dilakukan pengemudi itu. Terlihat dari balik kaca depan mobilnya, pengemudi itu sedang bercumbu dengan seorang wanita yang begitu dikenalnya. Wanita itu adalah teman kantornya.
Dengan menahan kesal, Sakura keluar dari mobilnya dan menghampiri mobil di hadapannya itu dengan langkah menghentak. Ia mengetuk kaca mobil si pemarkir mobil sembarangan itu dengan keras. Butuh usaha hingga ketukan yang lebih cocok disebut gedoran itu mendapat perhatian.
Kaca pintu mobil perlahan turun, menampilkan seorang pria dengan wajahnya yang terlihat tak kalah kesal dari Sakura. Ia baru saja mempreteli dua kancing teratas kemeja wanita yang duduk di sampingnya dan ketukan di kaca mobil yang terus berulang itu benar-benar mengganggunya.
"Sialan, apa maumu?!"
Kedua mata Sakura melebar mendengar ucapan pemuda tersebut. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu! Inner Sakura berteriak.
"Karin!" dibanding menjawab pertanyaan pemuda tersebut, Sakura justru menunjuk wanita berambut merah di dalam mobil tersebut.
"Ada apa, Sakura?!" Karin membalas ucapan Sakura dengan tak kalah berteriak.
"Katakan pada teman kencanmu untuk tak menghalangi jalanku. Aku sedang dalam mood yang buruk dan tingkah laku kalian berdua semakin memperburuk suasana hatiku!" Sakura menghentak high heels yang digunakannya ke aspal, "kau juga akan kulaporkan pada bos karena melakukan tindakan menjijikan seperti tadi di area kantor!"
Sakura adalah salah satu pegawai kantor yang teladan, semua rekan dan atasannya pun mengakui hal tersebut. Ia begitu disiplin dan mematuhi segala peraturan di kantornya ini. Maka dari itu, ketika ia melihat hal yang tak pantas di lakukan di area tempatnya bekerja, ia merasa risih dan akan turun langsung untuk menegurnya.
"—dan kau, jika kau tak bisa memarkir mobilmu dengan baik, lebih baik kau pergi dengan menunggangi seekor kuda saja!" kali ini Sakura menatap tajam pria di hadapannya tersebut.
"Hei! Sialan kau, Sakura! Beraninya kau bicara seperti itu pada Sasuke!" Karin nyaris menarik blazer yang digunakan Sakura dari kaca pintu mobil di samping pemuda itu jika Sakura tak segera menghindar.
"Diam, Karin," Pria bernama Sasuke itu menjauhkan tubuh Karin yang menghimpitnya karena ingin menarik Sakura. "dan kau, pinky—" Sasuke menghentikan ucapannya. Ia menatap lekat Sakura, dari atas hingga ujung kakinya.
Merasa diperhatikan seperti itu, Sakura dibuat canggung sekaligus risih. "Apa yang kau lihat, brengsek?!"
Sasuke tiba-tiba menyeringai, kemudian berkata; "Dengan dada sekecil itu, kau justru memiliki suara yang besar dan merusak telinga. Aku jamin kau adalah tipe yang berisik saat di ranjang,"
Sasuke bersandar pada jok mobilnya, ia melipat kedua tangannya di dada dan masih memperhatikan Sakura.
"—dan dibanding menunggangi kuda, sepertinya aku lebih tertarik untuk menunggangimu." Ujar Sasuke santai, masih dengan seringainya yang terkesan menggoda.
Sontak wajah Sakura memerah padam mendengar ucapan Sasuke. "K-kau—" nafasnya tercekat, dengan segera Sakura merogoh isi tas pundaknya dan mengeluarkan sebotol air mineral. Tanpa pikir panjang, saat itu juga Sakura menyiram Sasuke dengan air mineral tersebut. Tepat di wajahnya.
"Sakura!" Karin berteriak histeris melihat Sasuke yang baru saja disiram air oleh Sakura.
Sasuke sendiri tentu saja terkejut. Namun ia masih bisa menahan emosinya untuk tak mengamuk pada Sakura.
Sakura tertawa sinis, merasa puas melihat wajah Sasuke yang terlihat kesal. Ia berpikir bahwa Sasuke pantas mendapat balasan atas ucapannya yang kurang ajar tadi. Namun Sakura tiba-tiba merasa terhina saat Sasuke tanpa berbicara apapun segera menutup kaca pintu mobilnya.
"H-hei!" Sakura menggedor kaca pintu mobil Sasuke, "Hei, brengsek!"
Dan Sakura kembali dikejutkan saat melihat Karin yang baru saja di dorong keluar oleh Sasuke. Sakura menatap ngeri nasib rekan kerjanya yang diperlakukan secara tak hormat itu. Seakan Karin bisa dibuang begitu saja ketika sudah tak lagi dibutuhkan.
"Sasuke!" kali ini Karin yang menggedor kaca pintu mobil, "kita bahkan baru memulainya, Sasuke!"
Seolah tuli mendadak, Sasuke sama sekali tak menghiraukan teriakan Karin maupun Sakura sebelumnya. Pria itu segera memutar arah dan melaju menuju jalan keluar parkiran. Meninggalkan Sakura yang membisu di tempat dan Karin yang terus saja berteriak.
Merasa semuanya sudah selesai, Sakura memilih untuk berjalan menghampiri mobilnya.
"Ini semua salahmu, Sakura! Kau akan menyesal!"
Langkah Sakura terhenti, ia menoleh ke belakang.
"Menyesal katamu?" Sakura tersenyum sinis.
"Ya! Apa kau tak tahu siapa Sasuke?!"
Sakura kembali tertawa, tawa yang terdengar mengejek. "Tentu saja aku tahu. Dia adalah orang yang baru saja membuangmu, kan?"
Wajah Karin memerah terbakar emosi. Ia membanting tas pundaknya ke arah Sakura.
"Dia adalah calon bos baru kita, sialan!"
Kedua mata Sakura melebar mendengarnya.
"Apa?!"
.
.
.
.
Bersambung.
A/N
Halo! Saya author baru disini, mohon bimbingannya! xD
Ini masih prolog, baru pertemuan awal sasuke sama sakura makannya pendek hehe. Fanfic ini terinspirasi dari novel berjudul sama, The Proposition karya Katie Ashley. Tapi saya ga jiplak ataupun cuman ganti nama, saya cuman ambil ide ceritanya tentang seorang perempuan yang punya rencana buat punya anak tanpa berkomitmen, dan akhirnya dia dapet pendonor sperma dari seorang playboy yang juga gamau berkomitmen lol. Jalan ceritanya beda kok, soalnya saya juga udah lupa jalan cerita asli The proposition dan ga baca novelnya sampai akhir hehe. Yang saya inget cuman si perempuan itu tadinya mau bikin anak sama sahabat gaynya tapi gajadi soalnya ketauan sama pacarnya xD
Segitu dulu, saran dan kritik sangat di terima. Jangan lupa review ya!
.
.
.
yuchida.