Disclaimer: Naruto© Masashi Kishimoto, inspired by Byousoku 5 Centimeters © Makoto Shinkai

Warning: AU, miss-typo, miss-OOC(?), SasuSaku slight GS, SK soon

Genre: Romance, drama, angst, hurt/comfort (we've warned you)

©Kimaru-Z and LastMelodya

.

Catch The Distance

.

.

"Do you ever wait for the longest day of the year and then miss it? –F. Scott Fitzgerald"

.

.

Chapter 1: Three Years Later

[Sakura POV]

Hisashiburi desu ne Sasuke-kun,

Senja di taman Konoha masih seindah biasanya, bagaimana dengan Tokyo? Hah, aku baru saja memulai semester baru. Syukurlah, indeks prestasiku cukup memuaskan, meski aku tahu ini masih jauh jika dibandingkan dengan milikmu. Bukan begitu, ne, Sasuke-kun?

Tahun depan, kita menyelesaikan studi di Universitas. Apakah kau … akan kembali ke Konoha? Aku ingin ke Tokyo, sungguh. Tapi aku belum memiliki kesempatan untuk itu. Kaa-chan dan Tou-chan tak mengizinkanku ke sana sendiri. Aku harap, Sasuke-kun berkesempatan untuk kembali ke sini. Oh ya, salam untuk obasan dan jisan di sana. Juga Itachi-nii. Aku harap semuanya dalam keadaan sehat.

Mo Ichi, aku merindukanmu, Sasuke-kun.

.

.

Aku menyobek perlahan lembaran kertas berisi tulisan-tulisan untuk Sasuke yang barusan saja kutulis. Melipatnya dengan rapi, kuselipkan kertas berwarna putih itu pada sebuah amplop berwarna biru tua. Aku tersenyum, sore ini akan kuposkan.

Waktu menunjukkan lewat dari pukul dua belas siang. Jam istirahat sudah berlangsung semenjak beberapa menit yang lalu, tapi aku masih tergeming di sini, di dalam kelas Literature yang menjadi kelas terakhir kuliahku sebelum jam istirahat berbunyi. Aku sedikit lapar, namun gagasan menulis surat untuk Sasuke lebih menggodaku untuk terdiam di sini. Rasanya, semakin cepat aku menuliskan balasan surat untuk Sasuke, semakin cepat pula surat balasan darinya akan kuterima.

Tiga tahun ini, hidupku seolah berjalan statis. Kestatisan yang tak pernah kumaknai segalanya. Aku hanya ingin segalanya cepat terselesaikan, berpegang pada satu destini yang tak mampu kuenyahkan. Salah satu yang membuat semangatku berkobar adalah surat-surat yang setiap minggunya datang dari Sasuke. Pada hal itu aku menaruh harapan, harapan yang sejak tiga tahun lalu seolah tergantung dengan erat, walau menyakitkan, setidaknya aku meyakinkan diri bahwa ikatan itu tak akan lepas.

Aku mengingat masa-masa terakhirku dengan Sasuke. Indah dan pahit. Rasa sakit bercampur keinginan memiliki yang menggebu-gebu hingga membuat kami kehilangan kontrol. Mungkin, kami memang naïf, tak memikirkan segala akibat yang timbul karena hal tersebut. Meski aku tahu—dan yakin, kami melakukan itu atas dasar cinta. Ketika Sasuke di ambang batas, hati kecilku merisaukan segala risiko yang mungkin saja akan kami alami. Tapi, kami tak sempat untuk menghentikan segalanya. Kami sudah tenggelam.

Dan, syukurlah. Hingga berbulan-bulan setelahnya—bahkan bertahun-tahun, aku aman. Kami aman. Setidaknya, tak ada tanda-tanda bahwa aku mengandung.

Hanya saja, yang aku risaukan hingga sekarang adalah; apa benar kami memiliki perasaan yang sama? Aku yakin bahwa hatiku berkata mencintai Sasuke. Tapi Sasuke … lelaki itu tak berkata apa-apa. Pun malam itu, atau bahkan hari di mana kami akhirnya berpisah. Karena itu, aku menjalankan tahun-tahun dalam kehidupanku untuk mendapat jawaban atas hal tersebut.

"Sakura-chan!"

Panggilan seseorang membuatku mengalihkan pandangan, sosok lelaki pirang kutemukan tengah melangkah dengan penuh semangat ke arahku. Di belakangnya, muncul seorang gadis cantik dengan rambut sewarna dengannya. Ia melambaikan tangan.

"Naruto, Ino," balasku ringan, sedikit menaikkan sudut bibir.

"Kau sedang apa, Pink?" Ino menghempaskan tubuh di kursi kosong sebelahku, mata birunya berbinar, "aah! Menulis surat lagi, ya?"

"Untuk Sasuke-mu itu?" Naruto ikut menimpali, mencondongkan tubuh dengan memasang wajah konyol yang membuatku dan Ino terkikik.

Naruto dan Ino merupakan teman dekatku di Universitas, keduanya mengambil jurusan yang sama denganku. Sejak hari pertama bertemu mereka, aku bersyukur karena merekalah yang menjadi temanku. Naruto yang ceria dan setia kawan selalu mampu membuatku tersenyum, dan juga membuatku merasa aman akan keprotektifannya yang terkadang muncul. Ino berkata bahwa Naruto begitu menyayangiku, rasa sayang yang platonik sebagaimana hubungan saudara. Aku mengingatkannya pada Ibunya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Sedang Ino, ia adalah gadis luar biasa yang pernah kutemui. Ia cantik dan kuat, membuatku terkadang iri dengan segala yang ada pada dirinya. Ino digemari banyak lelaki di Universitas, namun ia hanya mencintai senior satu tingkat di atas kami yang bahkan sifatnya begitu dingin. Ino sangat ceria, membuatku selalu tertular keceriaannya itu. Dan satu hal yang penting, Ino melengkapi relasiku dengan Naruto.

Aku bukan orang yang pandai untuk bergaul, dengan kata lain introvert. Dengan Naruto dan Ino, aku sudah merasa cukup.

Mereka tahu tentang Sasuke, tentang relasi taksa yang terbentuk di antara aku dengannya, tentang segala waktu yang kusisihkan untuk menulis surat, tentang waktu dan jarak yang terkadang mengubahku menjadi melankolis, dan tentang tertutup rapatnya segala pintu dalam setiap relung hati yang mendingin ini. Mereka tahu, bagaimana terkadang penderitaan itu menyergapku dan menusuk-nusuk hatiku.

"Aku baru menerima surat balasannya," jawabku seraya tersenyum.

Ino ikut tersenyum, "baiklah, titip salam untuknya lagi, ya!"

"Aku juga, aku juga! Bilang pada Sasuke, cepat jemput Sakura-chan, atau ia akan dimangsa oleh predator-predator tampan di kampus ini." Kata Naruto menambahkan.

Aku hanya menggeleng pelan. Begitulah mereka. Membawaku ke dalam dunia keceriaan mereka. Bagaimana aku bisa menolak?

Sejak tiga tahun yang lalu, rasanya aku telah melupakan segala pergerakan yang terjadi di sekitar kehidupanku. Aku menutup mata, menutup telinga, menutup hati… Aku menutup semua indera dalam diriku, demi mencapai satu tujuan, demi mencapai satu fokus; segera menyelesaikan kuliah dan menjadi orang dewasa yang mandiri. Aku ingin hidup bebas, tanpa harus dikhawatirkan oleh kedua orang tuaku. Tanpa harus bergantung pada siapa saja. Karena, itulah satu-satunya caraku untuk kembali bertemu dengan Sasuke.

Terkadang, aku merasa diriku begitu kebas, merasa segala sesak yang mendera ketika mengingat Sasuke. Bagaimana dia? Apa ia juga merasakan segala kemelut perasaan yang selalu kurasa? Aku tak sanggup membayangkannya, namun hatiku selalu membawaku ke sana, ke dalam bayang-bayang semu bersama Sasuke.

Dosen di depan kelas terdengar telah mengakhiri pembicaraannya, aku hanya mendengar sayup-sayup ucapan salamnya. Dengan malas, kurapikan tumpukkan kertas dan buku yang ada di atas mejaku. Ketika kurasakan sebuah sentuhan di bahuku lembut.

"Aku duluan, ya, Pink!"

Ino melambaikan tangan seraya keluar dari kelas. Aku mengangguk, sembari kembali sibuk dengan kegiatanku. Setelahnya, giliran Naruto yang melambai semangat, lagi-lagi aku hanya mengangguk sedikit enggan. Rumah kami bertiga memang tak searah, maka dari itu kami tak pernah pulang bersama. Ino selalu dijemput supir pribadinya sedangkan Naruto membawa mobilnya sendiri. Aku? Aku selalu pulang dengan sepeda motor matic yang dua tahun lalu dibelikan Tou-chan.

"Sakura?"

Suara itu kurang familiar di telingaku, ketika aku mengangkat wajah untuk melihatnya, barulah aku melihat siapa sosok yang berdiri di sana.

"Kiba-san?" Aku melihat ia mengangguk seraya memberikan cengiran khasnya sebelum kembali melanjutkan, "ada apa?"

Pria itu mengusap tengkuknya tanpa sadar, kedua matanya menelisik emerald-ku. "Aku memerhatikan sepertinya rumah kita searah, uhm … mungkin kita bisa pulang bersama-sama?"

"Ah, terima kasih. Tapi, aku bawa motor, dan sepertinya akan mampir ke minimarket di ujung gang sana terlebih dahulu." Balasku dengan wajah menyesal, pura-pura menyesal.

Kulihat sedikit sorot kekecewaan pada mata tajam itu. Tapi sedetik kemudian, cengirannya kembali melebar. "Ah, begitu." ia terdiam sebentar. "Baiklah, aku akan mengajakmu kembali lain kali."

Senyumku mengembang. "Terima kasih, Kiba-san."

Pria itu mengangguk, kemudian melambaikan tangan padaku sebelum akhirnya melangkah menjauhi kelas. Aku melihat tangannya mengerat pada sisi-sisi jaketnya yang ia pakai. Langkahnya terlihat lesu.

Aku terpaku untuk beberapa saat.

Ini bukan kali pertama aku menolak seorang pria yang mendekatiku untuk mengajak pulang bersama atau sekadar mengobrol ringan. Aku tahu pasti, sebagian besar dari mereka mengharapkan sebuah timbal balik dariku, juga respon positif untuk mereka. Aku tak pernah menghindar, tentu saja. Tapi, secara implisit dan tersirat aku menolak mereka bahkan sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh. Karena aku memang tak menginginkan relasi romantik apapun dari mereka.

Aku teringat percakapanku dengan Ino dan Naruto beberapa waktu lalu.

"Kautahu, Sakura? Kau itu cantik, banyak yang menyukaimu. Bukankah menyenangkan sekali-kali menerima ajakan kencan mereka?" Ino bertanya dengan mata berbinar.

Aku belum sempat menjawab ketika Naruto lebih dulu menyela. "Hei, hei, sebelum kaumenerima ajakan kencan mereka, aku yang akan duluan mengajakmu kencan, Sakura-chan!"

"Heh, kau ini Naruto."

Lagi-lagi aku hanya tertawa, kemudian mencubit gemas pipi Ino, "kalau aku ingin menjalin hubungan yang main-main, tentu saja tidak sulit untuk memilih orang secara acak, Ino." Aku menoleh ke arah Naruto sebelum melanjutkan, "dan mungkin Naruto menjadi orang pertama yang ajakan kencannya kuterima."

Pipi Naruto sedikit bersemu, membuat Ino gemas dan memukul bahunya main-main.

"Tapi aku tak tertarik untuk main-main." lanjutku kemudian, "dan jika ada seseorang yang ingin kuterima untuk menjadi kekasih, orang itu adalah Sasuke. Tak ada yang lain."

Mungkin aku naïf, atau egois, aku tak peduli. Yang jelas, aku hanya merasa diriku hidup untuk kembali pada Sasuke. Menyambung kembali relasional yang telah terputus beberapa tahun ini. Kembali menyambungnya dan menepati segala sesuatunya yang belum terdefinisi. Dan yang pasti, menguak segala hal yang dulu terlewat dan belum mampu terucap.

Aku selalu melihat jauh ke depan, ke sebuah direksi tak terjamah yang hanya diketahui oleh pemikiranku. Direksi di mana hanya ada Sasuke di dalamnya. Tanpa menyisakan sedikit pun ruang kecil untuk entitas lain di sekitarku. Direksi di mana aku dapat melihat pertemuan kembali antara kami berdua.

Dan, aku selalu menunggu saat-saat itu terjadi.

.

.

Sasuke, pernahkah kau merasa telah menunggu sebuah hari dengan jangka waktu bertahun-tahun yang panjang, namun kemudian, kau melewatkannya?

Setiap tahun, aku merasakannya.

.

To Be Continued

.

Author's note:

M: LastMelodya here~ untuk bagian-bagianku ke depannya, sepertinya memang akan memakan banyak deskripsi dibanding dialognya. Karena memang akan ada banyak monolog dari para tokohnya, secara ini pakai 1st pov. Daaan maaf pendeeek. So, semoga nggak membosankan, ya :")

Nah, siap-siap bertemu Z di chap depaaan xD (can't wait to read! hoho)

Z: Wkwkw... Ughh... bingung mau bilang apa, aku gak yakin Chap depan bakal sebagus ini. #mojok. *Kemudian timpuk Hidya pake sendal jepit*

Oh ya, terima kasih untuk yang sudah mereview di chapter kemarin: Ryuga Uchiha, daffodila, zeedezly clalucindtha, Miura Kumiko, suket alang alang, adora13, Anka-Chan, Kuro Shiina, Miss Choshi, undhott, kimmy ranaomi, akasuna no hataruno teng tong, Namikaze Kara, hesty47 éclair, , ayuniejung. Terima kasih review dan masukkannya, ya! Ceritanya nggak akan sama persis dengan 5cm/second kok. Tapi memang cerita itu yang melatarbelakangi cerita ini dibuat :)

Once again, mind to RnR?^^

Melodya-Z