"Sial," sebuah gumaman halus terdengar dari seorang gadis yang tampak memijit pelipisnya. "Kepalaku sakit sekali. Apa yang terjadi semalam? Di mana ini?" mencoba mengingat, tetapi tetap saja hasilnya nihil. Satu hal yang gadis itu yakini, kepalanya seperti dipengaruhi… Alkohol?

"Hnngg."

sebuah erangan sensual mencuri perhatiannya. Tidak salah lagi itu suara pria! Ia mencoba menoleh ke arah yang berbanding terbalik dengan posisinya. Ada sesuatu yang menyembul di bawah selimut itu. Jemari gadis itu menyusuri permukaan selimut, gemas ingin membukanya, tetapi merasa takut juga bila di bawah selimut itu sesuatu yang bukan diinginkannya.

Buka. Tidak. Buka. Tidak. Buka. Tidak.

Dilema.

srak. Rasa penasaran mendorongnya untuk membuka selimut itu.

"Kyaaaa!" teriakan gadis itu menggema di seluruh penjuru ruangan tempat ia berada. Bagaimana tidak? Pertama, ia berada di kamar yang bukan kamarnya. Kedua, ia tahu ia tidak memakai sehelai benang pun untuk menutupi badannya. Ketiga, ada seorang lelaki telanjang tidur di sebelahnya, walaupun tampan.

"Jangan berteriak ini masih pagi," protes pemuda itu. Lelaki itu mengangkat salah satu lengannya. Gadis itu dengan sigap berdiri, tidak lupa menarik selimut untuk menutupi badannya, ia takut akan disentuh oleh lelaki itu. Gadis itu berjalan mundur dengan langkah gontai —efek alcohol masih terasa rupanya.

"Tidak usah takut begitu dan mengapa menjauhiku?" tangan yang diangkatnya ternyata untuk mengucek matanya, si gadis merasa sedikit malu karena sempat GR.

Kaki lelaki itu mulai bersentuhan dengan dinginnya lantai ruangan itu, mengambil langkah untuk mendekati sang gadis di sudut ruangan.

"K-k-kau! Siapa kau!" jari telunjuk ditodongkan mengarah lelaki itu. "Jangan kemari! Tutupi badanmu!" Sang gadis berusaha menutupi matanya dengan tangannya meskipun masih bisa mengintip melalui celah jemarinya.

Lelaki itu menghiraukan permintaan sang gadis, langkahnya mengeliminasi jarak antara dia dan gadis itu.

"Hei! Jangan mendekat! Aku teriak, nih!"

"Kamar ini kedap suara tahu. Apa kau tak ingat semalam?" Tanya lelaki itu sambil tersenyum nakal. Gadis yang ditanya hanya diam saja, diam karena memang dia tidak ingat. Namun, mata gadis itu menyipit tidak senang.

"Ah, kau lupa ternyata. Apa karena bermalam denganku membuatmu melupakan dunia?" Goda sang lelaki dibumbuhi tertawa ringan. "Aku, Takao Kazunari. Salam kenal."

.

.

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Desember

by Chieko Akane

Warning: AU. Typo(s). klise. Perubahan kata untuk orang ketiga akan sedikit membuat bingung.

Birthday fict for my beloved friend, Ryuu.

.

.

Chapter 1

"Takao Kazunari," gumam gadis itu. Matanya menerawang, pikirannya terbang melayang-layang karena mengingat sebuah kejadian yang sama secara berulang-ulang.

Badannya yang muskularis, senyum dan kata-katanya yang menggoda, dan mata hitam kelam seperti black hole yang bisa menenggelamkan siapapun —terutama gadis itu— yang melihatnya.

Sebuah tangan melesat dengan kekuatan cahaya —plak! "Apa yang aku pikirkan?!" Sial pikirnya, sejak saat itu Takao Kazunari mengambil alih pikirannya. Atau dia yang memang dari sananya sudah mesum?

"Mungkin aku butuh udara segar." Gadis itu mulai bangkit dari tempat duduknya, lalu mengambil jaket di lemari secara acak. Membuka pintu yang menjadi pembatas antara ruangannya dan dunia luar. Mau mengambil langkah, tetapi ia mengurungkan kemauan itu. Hanamiya Makoto ada di depannya. Gadis itu menghembuskan nafas dengan berat, "Ada apa?" tanyanya ketus.

"Tidak," jawab Hanamiya dengan alis yang berkedut. Untung dia masih ingat bahwa di depannya adalah saudara sepupunya, kalau tidak. Mungkin gadis ini sudah habis di makan oleh Hanamiya. "Kau akan punya tetangga baru, bersikaplah baik dengannya," pinta Hanamiya lalu meninggalkan gadis itu tanpa mengharapkan respon balik.

"Dasar, sejak kapan aku bersikap tidak baik dengan tetangga," keluh gadis sambil bercakak pinggang. Di depan gadis itu ada sebuah jendela, menampakkan sedikit pemandangan langit Tokyo, salju pertama turun di pertengahan desember. Bibir gadis itu membentuk sebuah kurva halus, ia tersenyum, tapi tidak dengan matanya. Matanya menyayu. Desember adalah bulan yang paling ia benci daripada bernostalgia lebih baik ia mengurung diri di kamar saja, tidur seharian. Lebih baik begitu.

.

.

.

.

Brak. Bruk. Brak. Bruk. Brak. Bruk.

"Argh!" Ia ingin istirahat, tapi mengapa ramai sekali? Tangannya mulai meraba-raba sekitar mencari sesuatu untuk menyumpal telinganya.

Bingo.

Bantal sudah ada di tangannya, dengan cepat ia menutup telinganya dan melanjutkan tidurnya.

Ting. Tong. Ting. Tong.

Suara peganggu yang lain, batin gadis itu.

Ting. Tong. Ting. Tong.

Suara yang sama, namun tidak cukup kuat untuk melepaskan dirinya dari gaya gravitasi ranjangnya.

Ting. Tong. Ting. Tong. Ting. Tong. Ting. Tong. Ting. Tong.

Cukup, ini keterlaluan. Gadis itu memaksa dirinya menuju daun pintu dengan terhuyung-huyung. "Ada apa!" nadanya sengak, tentu saja. Siapa yang mau diganggu saat sedang tidur?

Sebuah koran yang digulung diayunkan ke kepala gadis itu. "Ada apa, ada apa, kau tidak tahu betapa kuatirnya diriku? Kau tidak bisa dihubungi sejak awal bulan desember!"

Nyawa gadis itu berkumpul menjadi satu menjadi sadar sepenuhnya, "Riko?" matanya terbelalak melihat sahabatnya berada di depannya.

"Jawab pertanyaanku, dong!" Alis Riko menjadi satu kuatir dan penasaran menjadi satu.

"Masuklah," Gadis itu bergeser membuka jalan agar Riko bisa masuk ke dalam kamarnya. Riko pun masuk dan langsung duduk di sofa yang berada di sebelah pintu masuk.

"Kau mau minum apa?" Tanya gadis itu sambil menutup pintu dan berjalan menuju dapur yang ruangannya berada di sebelah ruang tamunya.

"Tidak usah," Riko menggeleng, "aku masih ada sisa minuman di tas," seraya menunjukkan tasnya kepada gadis itu.

"Aku akan tetap membuat minuman, tunggu sebentar." Gadis itu menghilang ke sebelah ruangan.

Dua gelas orang juice diletakkan di atas meja, warna kuning transparan yang sangat menggoda untuk diminum. "Minum saja, Riko. Aku tau kau menyukai orange juice."

Riko menelan ludahnya sendiri. "Tidak, sebelum kau cerita dahulu." Riko tidak mau disogok orang juice. Riko tahu orang di depannya suka sekali mengalihkan pembicaraan.

"Mengapa aku harus bercerita sesuatu yang sudah kau ketahui jawabannya?" sindir gadis itu sambil memutar matanya.

Satu gelas orange juice habis. Riko tidak tahan dengan pesona orang juice rupanya. "Dengar," ucap Riko sembari menaruh gelas di atas meja. "Mengingat boleh, asal jangan membuatmu seperti ini. Cobalah move on."

"Entahlah, sepertinya sudah menjadi gaya hidup di bulan desember. Move on dengan siapa?" tanyanya sambil mengangkat bahunya.

"Err, tetangga barumu?" saran Riko random.

"Aku saja belum melihat tetangga baruku."

"Kau harus coba menemuinya. Dia tampan, keren, tapi ada bakat playboy."

"Playboy kau tawarkan padaku. Tidak tertarik," ucap gadis itu apatis.

Riko menghembuskan nafas berat. "Inikan pendapatku, seperti kata pepatah, jangan menilai seseorang dari luarnya. Aku berkata begitu karena dia terlewat tampan. Itu saja."

Sharara~

"Riko, ponselmu bunyi, tuh."

"Ah, iya, Tunggu sebentar," kata Riko. Ia melihat siapa yang menelpon lalu berkata, "Teppei." seraya bangkit berdiri dan menuju luar.

"Pasangan yang lagi jatuh cinta, ya?" gadis itu bermonolog. Wajahnya terangkat ke atas, menghadap langit-langit ruangan, entah apa yang menganggu pemikirannya. Yang jelas wajah Takao Kazunari langsung muncul menjadi wallpaper di langit-langit ruangan itu.

.

.

"Aaaaaaaa!" suara teriakan muncul di dalam apartemen tempat gadis itu tinggal.

bruak! Diikuti dengan suara aneh yang menjadi backsound teriakan tersebut.

Riko yang khawatir langsung menutup ponselnya setelah kiss bye dengan seseorang yang menjadi lawan bicaranya di telepon. "Ada a—" Riko tidak habis pikir temannya bisa terjungkal seperti itu.

"Aku tidak apa-apa," sahutnya dengan senyum dan mencoba berdiri, "hanya ada kecoak terbang di langit-langit tadi."

Riko menghela nafas berat kesekian kalinya. Riko terlihat berpikir keras, "hm, sepertinya aku harus pulang. Tidak apa-apa?"

Pasti berhubungan dengan Kiyoshi. "Ya, aku tidak apa-apa," jawab gadis itu acuh sambil mengibas-kibaskan tangannya.

"Ah, Baiklah, aku pergi dulu ya!" Riko langsung menyambar tasnya dan hilang di telan kalbu.

Sendirian. Gadis itu berjalan mengarah balkon rumahnya. Ia memegang besi penghalang antara balkon dan ruangan bebas. Menatap langit. Salju sudah berhenti.

"Move on ya. Bagaimana caranya?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.

I believe I can never find a better person than you

How is your ideal lover in your heart?

Will I be qualified?

I really wanna know what kind of boys can get your perfect marks

My dear, please let me play a more important role in your life

Suara yang indah. Gadis itu mencari asal suara tersebut. Ternyata tetangga barunya yang sedang bernyanyi. Seorang lelaki sedang duduk menyanyi sambil memainkan gitar. Gadis itu tidak dapat meliat wajahnya karena lelaki itu sedang fokus bermain gitar. Jemarinya yang lentik dan indah pada saat memetik gitar menjadikan turn on sendiri bagi wanita yang melihatnya. Iramanya menenangkan hati yang gundah. Dan sepertinya lelaki itu tidak sadar bila diperhatikan oleh seorang gadis.

Genjrengan gitarpun berhenti. "Terpesona dengan permainan gitarku, hm?" Wajah lelaki itu masih menunduk.

—atau pura-pura tidak sadar.

"Ah, Maaf!" kata gadis itu dengan cepat. "Permainanmu indah. Aku menyukainya," ungkap gadis itu jujur.

"Ah… benarkah?" Lelaki itu mengadahkan wajahnya menatap gadis itu.

"KAU! Takao Kazunari!" Seru gadis itu.

"Ah, kau lagi rupanya," ujarnya sambil terkekeh geli. Merasa dirinya dengan gadis itu terlilit benang takdir. "Mohon bantuannya tetangga baru," imbuhnya. Senyum nakal menghiasi wajah tampannya.

.

.

TBC


A/N:

Laptop chi baru kembali. Jadi baru bisa publish cerita, cerita yang lain juga akan di update, tapi gantian ya ^.^

Review please?