*flashback dengan font italic

IX

"Sehun-ah? Luhan-ah? Kenapa tidak masuk? Anginnya semakin kencang, tidak baik untuk kesehatan."

Matanya yang sedang terpejam karena menikmati ciumannya dengan Sehun tiba-tiba terbuka lebar dan Luhan segera mendorong tubuh Sehun menjauh. Setelah Junmyeon berteriak mengingatkan mereka, Luhan semakin kuat meremas kaos Sehun. "A-aku malu. Ah rasanya seperti tertangkap basah sedang mencuri."

Mengabaikan celotehan Luhan, Sehun mengangkat Luhan dalam gendongannya, "Ya baba, aku akan membawa masuk Luhan. Ia tertidur."

Sehun melihat ayah mertuanya masuk keruang kerjanya dan ia berjalan menuju kamar dengan tenang, sementara Luhan benar-benar menutup matanya seolah-olah tertidur. Dengan penuh perjuangan, Sehun menjajaki tangga agar bisa meletakan Luhan di kamar mereka.

"Luhan putar kenop pintunya," Sehun berbisik kelewat pelan.

"Eung?"

"Pintunya, pintu kamar kita. Cepat buka sayang."

Luhan membuka sedikit matanya, melihat keadaan sekitar; melihat daun pintu kamar mereka. "Syukurlah aku sudah benar-benar berada di depan kamar." Luhan memutar kenop pintunya dan membukanya sedikit agar Sehun bisa lebih mudah membawa dirinya masuk. Luhan menggerak-gerakan tubuhnya meminta agar diturunkan dari gendongan Sehun, tetapi si lelaki dengan telak menolak.

"Aku hanya butuh membaringkanmu di kasur, kenapa tidak bisa diam? Hmm?"

Sehun dengan perlahan membaringkan Luhan, ia terlihat benar-benar memperlakukan Luhan seperti seseorang yang jatuh tertidur bahkan Sehun menarik selimut mereka sampai menutupi tubuh Luhan sebatas lehernya.

"Sehun, jangan menatapku seperti itu." Luhan menepuk lengan Sehun.

Dengan cepat Sehun membaringkan tubuhnya tepat disamping Luhan yang memiliki kurang spasi, Luhan berniat menggeser tubuhnya agar Sehun bisa lebih nyaman tetapi gerakannya ia urungkan karena sudah lebih dahulu terpaku dengan tatapan Sehun. Mata Sehun benar-benar memiliki magis yang kuat untuk mengalihkan pikirannya, apalagi Sehun menopang kepalanya hanya dengan satu tangannya.

"Ya Tuhan, kenapa harus ada lelaki seindah ini dihadapanku. Oh jantungku!"

"Apa aku tidak boleh menatap istriku sendiri?"

Luhan menganggukan kepalanya, "A-ah, maksudku tentu saja boleh."

Sehun mencium kening Luhan yang tertutupi anak-anak rambut Luhan, lalu ia merapihkan helaian-helaian rambut Luhan. Ia seperti memberikan sengatan-sengatan kecil pada jantung Luhan, membuat Luhan semakin terbuai untuk kembali diam.

"Setelah aku menikah denganmu, terkadang…aku berpikir kenapa aku tidak mahasiswa abadi saja agar selalu bisa menjagamu dari para lelaki genit."

Sehun masih dengan satu tangan yang menopang kepalanya, dan tangan lainnya yang mulai mengelus lengan Luhan. Sementara Luhan masih dengan keterdiamannya dan menikmati sentuhan Sehun yang lembut.

"Tetapi… disaat yang sama… aku juga berpikir kalau aku menikahimu dan masih menjadi mahasiswa abadi, aku tidak akan bisa menafkahimu. Karena aku juga masih terus-terusan menghabiskan uang ayah dan ibuku."

Luhan ingin menangis mendengar kuatnya rasa tanggungjawab Sehun. Ia merasa hidupnya seperti dalam drama, pertemuannya dengan Sehun, ketika mereka bercinta, dan perlakuan lembut Sehun.

"Sehun," Luhan kembali memeluk Sehun dan menenggelamkan kepalanya diperpotongan leher Sehun. Menghirup aroma kelakian Sehun yang ternyata berhasil membuat darahnya mendesir hebat.

"Aku sedang jatuh cinta dengan istriku sendiri dan dalam proses mencintainya lebih dalam. Rasanya konyol sekali cemburu pada temannya."

Luhan memerah malu bahkan ia berani bertaruh kalau Sehun melihat wajahnya dengan jelas saat ini pasti suaminya itu mengira kalau ia demam karena angin malam. Sehun sendiri terkekeh karena pengakuannya, ia berniat memeluk Luhan. Namun..

Dugh!

Kepalanya membentur kepala ranjang dengan cukup keras membuat Luhan panik sehingga mendorong tubuh Sehun dan kepala Sehun kembali terbentur.

"Astaga! Sehun!"

Sehun tertawa melihat wajah panik Luhan yang luar biasa seperti anak kecil, tangan mungil istrinya mulai mengusap-ngusap kepalanya dengan gusar sehingga rambut hitam Sehun menjadi berantakan. Kaos abu-abu ketat, rambut hitam yang berantakan. Luhan harus berterimakasih pada Baekhyun karena selalu menyuapinya dengan foto model-model tampan berbadan atletis.

"Kenapa kau mengusap kepalaku begitu keras?"

"Karena aku kesal. Kau menghentikan momen romantis dengan terbentur dashboard."

Sehun menarik tangan Luhan dari kepalanya lalu meletakannya disekitaran pinggangnya dan ia dengan cepat mengubah posisinya menindih Luhan. "Kau ingin aku melakukan hal romantis? Disini? Diatas ranjang?" Tanya Sehun semakin menindih Luhan, dan tangan Luhan dengan kurang ajarnya mengelus pinggang Sehun.

"Tentu saja! Kita harus membuat banyak momen romantis disini."

Sehun menyeringai mendengar jawaban berani Luhan, ia kembali bersiap meraih bibir Luhan. Sedikit lagi, bibir mereka saling mengecup tetapi Luhan menahan dada Sehun dengan tangannya yang lain.

"Besok aku ada kelas pagi. Hehe, maaf Sehunnie."

.

.

.

Junmyeon sedang menikmati teh hijaunya di ruang keluarga sambil menonton teve dengan berita pagi yang melaporkan kasus bunuh diri, sementara Yixing sedang memasak yang dibantu ala kadarnya dengan Luhan. Yixing tidak ingin mengambil resiko yang besar saat menyuruh Luhan masak. Putri tunggal keluarga Kim itu belum bisa mengendalikan kompor dengan baik, Yixing tidak ingin rumahnya masuk berita karena kebakaran yang Luhan perbuat.

"Kenapa Sehun belum turun Lu?" Tanya sang mama yang sedang menyajikan telur setengah matang.

"Entahlah, tadi ia terlihat sedang membereskan beberapa kertas."

"Cepat pangil Sehun, lihat kening baba sudah berkerut menunggu sarapan."

"Aku mendengar sayang," Junmyeon meninggalkan the hijau dan teve yang masih berceloteh menuju ruang makan. Ia duduk di kursi yang berada ditengah, karena sarapan belum benar-benar selesai disajikan ia menikmati kegiatan istri dan anaknya yang sibuk berjalan kesana-kemari.

"Luhan, kau ada kelas pagi kenapa belum berangkat?" suara lembut babanya membuat Luhan meninggalkan pekerjaannya, dan memilih duduk di kiri kursi Junmyeon, "Baekhyun sedang dalam perjalanan baba. Apa baba berniat mengantarku? Aku bisa menyuruh Baekhyun tidak usah menjem—au!"

Sehun tiba-tiba datang mencubit pinggang Luhan dan duduk disebelah Luhan, "Jangan bersikap seperti kau masih single Luhan." Junmyeon terkekeh melihat Luhan sedang melotot sebal pada Sehun.

Ketika menatap Sehun, ia jadi teringat kejadian setelah Sehun mengakui hubungan mereka dengan status kakak-adik. Bahu Luhan merosot, tatapan hangatnya menjadi sendu. "Aku akan kembali ke kamar sebentar. Ayah, ibu dan Sehun bisa sarapan tanpa menungguku."

Luhan segera meninggalkan meja makan dengan langkah yang gontai, Sehun menatap punggungnya dengan penuh pertanyaan yang muncul dikepalanya tetapi ia hanya mengurungkannya, Luhan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.

Moodnya benar-benar berantakan, Sehun mengubahnya dalam satu hentakan yang keras. Pikirannya melalang buana, raganya terasa kosong. Kelasnya bahkan ia selesaikan tanpa penutup yang manis, Baekhyun dibuat bingung. Tangannya tanpa berhenti meremas tali ranselnya, "Luhan-ah, kau sakit?" Hyungseok menghadang jalan Luhan membuat wajah mereka hanya berjarak kurang dari lima belas senti.

"Ikut aku," tanpa persetujuan Luhan ia menarik tangan Luhan yang dihadiahi tatapan beragam dari seisi kampus, Baekhyun hampir menjatuhkan rahangnya. Luhan sudah dipastikan bolos dikelas berikutnya, sementara Baekhyun harus menampar pipinya agar melangkah berlawanan dengan Luhan.

Hyungseok menarik Luhan menuju cafeteria, ia menarik kursi untuk Luhan dan duduk disebelahnya. "Apa ada yang menganggumu?" Tanya Hyungseok mulai menggenggam tangan Luhan.

"Aku..hanya.. terlalu banyak berpikir. Aku tak apa."

"Kau terlihat tak baik, akan aku pesankan makanan. Tunggu disini, hm?"

Luhan mengangguk canggung saat Hyungseok mengelus pipinya dengan amat hati-hati. Saat Hyungseok menjauhi meja mereka menuju counter, Luhan tanpa memberitahu Hyungseok berjalan pula kearah toilet. Ia merasa kacau dan ingin memperbaiki penampilannya.

Lima belas menit berlalu, Luhan berjalan kembali ke meja dimana ia dan Hyungseok duduk. Dari kejauhan ia melihat Hyungseok sedang kebingungan, Luhan terkekeh pelan,"Kau mencariku?" Tanya Luhan dibelakang Hyungseok, membuat kegelisahan Hyungseok lenyap seketika. "Darimana saja? Aku pikir kau pulang tanpa pamit." Hyungseok mencubit pelan hidung Luhan.

"Kau berlebihan."

"Kau terlihat kacau, bukan hanya aku yang akan kebingungan. Oppamu bahkan kedua orangtuamu juga pasti akan bertanya-tanya."

Luhan tersenyum kecut. Sehun? Oppa? Pernikahan ini memang baru seumur jagung, pernikahan ini dadakan tanpa pesta kebun, cincin permata, dan tanpa pengiring. Tetapi.. Statusnya dengan Sehun? Luhan hanya menghela nafasnya pelan, "Tenanglah Hyungseok. Aku tak apa. Sungguh." Luhan menyingkirkan tangan Hyungseok yang entah sejak kapan sudah bertengger dipunggung tangannya.

"Mulai sekarang aku akan menjagamu Luhan-ah."

.

.

.

"Kenapa tidak menyusul sarapan hm?"

Sehun menutup pintu kamar mereka dengan pelan, dan mengembalikan pikiran Luhan dengan suaranya yang tenang. Luhan berulang kali menggaruk tengkuknya, dan meremas kedua tangannya. Berusaha menghilangkan kegugupannya. "O..oppa... ada yang ingin aku katakan." Luhan menarik tangan Sehun dengan tangannya yang berpeluh dan dingin. Mereka berdiri di dekat jendela kamar yang dapat dengan leluasa menatap halaman depan rumah Luhan.

"Bisa kita bicarakan di mobil saja? Kau bisa terlambat."

"Tidak! Ah.. Ada sesuatu yang membuatku tidak tenang."

Sehun melirik jam dinding kamar mereka yang menunjukan pukul setengah delapan. "Luhan-ah.. sebagai pasangan suami istri, aku percaya padamu. Kau tahu mana yang baik atau tidak." Sehun menarik Luhan dalam pelukannya, "aku mengerti kalau kau hanya ingin terbuka padaku. Kita memiliki banyak waktu setelah aku pulang kerja."

Luhan meremas kemeja Sehun, "baiklah."

Ia mengalah pagi ini, demi waktu yang semakin sempit untuk berangkat ke kampus dan ke tempat Sehun bekerja.

Sehun menggandeng Luhan keluar dari kamar mereka, bahkan ketika berpamitan kepada orangtuanya, Luhan enggan melepas genggaman tangan mereka. "Kau sedang kasmaran denganku ya? Sampai tak mau lepas begini?" Sehun menatap tangan mereka yang bertautan, walaupun Luhan sudah duduk nyaman di kursi penumpang dan Sehun ingin menutup pintu mobil. Luhan menggeleng malu, semburat merah muncul disekitaran pipinya.

"Cincinnya...?" Tanya Luhan saat memeriksa cela-cela jari Sehun tidak ditemukan cincin hitam miliknya.

"Ah benar, akan aku ambil cincin pernikahan kita nanti saat makan siang."

Luhan mengangguk dan tersenyum, "Luhan-ah, kau yakin sudah mengirimi Baekhyun pesan?" Senyuman Luhan luntur dalam sekejap. "Apa dia ada disini?" Tanyanya dengan mata melebar, dan buru-buru ingin keluar dari mobil Sehun.

"Itu pasti mobil Baekhyun, 'kan?" Tanya Sehun tepat disamping Luhan.

"Itu memang mobil Baekhyun. Ta-tapi... Hyungseok?"

Baekhyun berlari kearah Luhan begitu turun dari mobil, "Luhan-ah, lelaki ini menyebalkan! Hyungseok terus merenggek bak bayi saat aku tidak mengizinkannya ikut menjemputmu."

Hyungseok turun dari mobil dan menghampiri Luhan, sementara Sehun sudah tidak ada disekitar mereka. "Ayo berangkat Luhan-ah." Hyungseok menarik Luhan menjauh dari Baekhyun.

Luhan tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya, dan Sehun. Lagi-lagi suaminya itu melakukan hal-hal yang tidak diharapkan. Hyungseok membukakan pintu mobil, dengan mata yang bergerak-gerak gelisah mencari dimana Sehun, Luhan duduk dengan pasrah tepat disamping Hyungseok.

"Ya! Ini mobilku, kenapa Luhan yang duduk didepan?"

Teriakan protes Baekhyun membuat Luhan tersentak kaget, dan dirinya merasa tidak nyaman.

"Kita bertukar posisi saja Baekhyun-ah."

"Ayolah untuk kali ini saja Baek."

"Ya! Hyungseok!"

Dengan dorongan yang penuh paksaan, Hyungseok berhasil menggiring Baekhyun duduk dikursi belakang. Luhan sedikit memutar tubuhnya dan menatap Baekhyun dengan pandangan meminta maaf. Tetapi si pemilik mobil itu bahkan tidak marah, melainkan tertawa lucu.

"Tak apa Lu. Aku sebal dengan manusia aneh itu, bukan dirimu."

.

.

.

Karena Luhan gagal berangkat bersamanya, Sehun memutuskan untuk menjemput adik iparnya—si teman coklatnya yang selalu mengaku seksi. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia bergegas turun, tetapi rumahnya sepi dan hanya ada Kyungsoo sedang duduk di sofa menikmati susu putihnya.

"Kemana ayah dan ibu, Soo-ya?"

"Oppa! Ayah dan ibu sudah berangkat. Jongin masih ada di kamar."

Sehun mengangguk kemudian duduk disebelah Kyungsoo dan mengambil gelas susunya, meneguknya tiga kali. "Sehun-ah! Itu milik istriku!" Sehun menatap Jongin yang turun terburu-buru tanpa berhenti mengomelinya.

"Kenapa tumben sekali menjemput Jongin?"

Sehun mengedikan bahunya, "Pagi-pagi sudah tersulut api cemburu."

"Pernikahan kalian belum diketahui siapapun?"

Sehun mengangguk malas menjawab pertanyaan Jongin. Ia memejamkan mata, mengingat dengan bodohnya ia melarikan diri dari teman-teman Luhan, apalagi si lelaki yang dengan beraninya menarik-narik Luhan. Ia ingat sekali dengan tatapan tajam Hyungseok saat menatap Luhan ketika mereka pertama kali bertemu.

"Sehun-ah, kau tampak tak tenang dengan menyembunyikan status kalian seperti ini. Cepatlah buat pernyataan."

Kyungsoo mengantar kedua laki-laki kesayangannya kedepan pintu, Sehun masih tampak tak bertenaga membuat ia dan Jongin bertukar tatapan yang khawatir.

"Sehun akan baik-baik saja," bisik Jongin pelan ketika mencium kening istrinya.

"Kami berangkat Soo-ya."

Sehun menyerahkan kunci mobilnya pada Jongin. Moodnya benar-benar terombang-ambing, ia ingin melupakannya sejenak tetapi ingatannya semakin jelas. Ia menyandarkan kepalanya dan memijit pangkal hidungnya perlahan, mencoba menghilangkan peningnya.

Jongin sesekali menatap kakak iparnya, ia terus mengemudi dalam diam. Ia dan Kyungsoo beberapa kali membahas masalah status pernikahan Luhan yang belum tersebar luas, berdampak pada kehidupan kampus Luhan yang seperti memiliki celah untuk didekati oleh siapa saja. Kyungsoo bahkan juga mengetahui kalau ada satu lelaki yang selalu mengekori Luhan dan Baekhyun, dimatanya lelaki; yang namanya belum Kyungsoo ketahui, itu sering memberikan perhatian yang lebih pada Luhan.

Satu belokan terakhir, mobil Sehun berhenti mendadak tepat ditepi kiri jalan, "Chanyeol hyung! Chanhee!" Jongin menyapa Chanyeol yang sedang berjalan bergandengan dengan Chanhee.

"Paman Jongin!" Chanhee melepaskan tautan tangannya dengan sang ayah, berlari menuju jendela mobil.

"Hey jagoan, mau ikut paman?"

"Ung! Tentu saja!"

Jongin meng-unlock pintu mobil Sehun, di bantu ayahnya, Chanhee membukanya lalu naik dengan segera. Tanpa pilihan, Chanyeol pun naik, duduk di kursi penumpang bersama anaknya. Chanyeol dan Jongin saling menatap melalui spion tengah, mata besar milik Chanyeol sarat akan pertanyaan 'apa yang terjadi dengan Sehun?' tetapi Jongin hanya mengedipkan sebelah matanya, membuat Chanyeol mendecih.

"Paman Sehun, Chanhee ingin mengatakan sesuatu."

Sehun menolehkan kepalanya menatap Chanhee, "Ada apa?" tanyanya datar, membuat Chanhee sempat mengurungkan niatnya.

"Kau membuat anakku takut, Sehun-ah!"

"Ada apa Chanhee-ya?" ulangnya dengan nada yang lebih ramah.

"Nenek yang biasa menjaga Chanhee sedang sakit, jadi Chanhee akan ikut ayah bekerja bersama paman. Apakah boleh?"

Sehun tersenyum dan mengangguk dengan cepat, "Tentu saja. Bagaimana kalau kita bermain bersama sementara ayahmu dan paman Jongin bekerja?"

Chanhee dengan bersemangat menyetujui ajakan Sehun; Chanyeol dan Jongin mendelik tajam.

.

.

.

Dosen Song memilih Luhan untuk mengumpulkan paper mereka saat perkuliahan berakhir, tetapi sudah lewat lima belas menit Luhan masih berada di kelas duduk dengan sabar menatap Hyungseok yang masih berkutat dengan laptop—ia lupa membawa paper yang telah ia selesaikan sehingga ia harus mengetik ulang bagian yang ia ingat meski hanya setengah dari itu.

"Kau masih memakai cincin metal hitam itu?" Suara Hyungseok memecah keheningan.

Luhan mengangguk membenarkan, "Yah ini lucu dan unik."

"Bagaimana kalau aku belikan satu yang lebih baik dari itu?"

Luhan menahan nafasnya sesaat dan membasahi bibir bawahnya sekali, "tidak perlu Seok-ah. Aku lebih suka metal hitam ini."

Hyungseok diam dan kembali berkutat dengan papernya yang sudah dibagian akhir, sementara Luhan terfokus pada cincinnya, ia bahkan sesekali mengusapnya perlahan, pernikahannya menjadi lebih sulit saat ia dan Sehun tidak satupun memberi kejelasan status pada sekeliling mereka. Ia seperti harus melakoni dua peran disaat yang bersamaan. Luhan yakin sekarang ia mulai menjadi sosok yang jahat pemberi harapan pada Hyungseok.

"Aku sudah selesai. Bisa temani aku menge-print ini?"

"Tentu saja."

Mereka berjalan beriringan menuju ruangan khusus untuk menge-print tugas, meng-copy buku dan hal-hal lainnya yang membutuhkan alat memperbanyak. Luhan memeluk tugas ia dan teman-temannya sementara Hyungseok disampingnya terus memperhatikannya; terlukis senyuman kecil di bibirnya saat menatap Luhan.

"Aku akan menunggu di luar. Selesaikan dengan cepat ya!" Seruan Luhan menyadarkannya kemudian ia menganggukan kepalanya. Ketika di dalam Hyungseok tidak bisa berhenti tersenyum memikirkan ia telah menghabiskan banyak waktu dengan Luhan walaupun beralasan dengan mengerjakan tugas. Ia benar-benar merasakan jantungnya seperti akan meledak karena terlalu senang.

Sesekali ia mendapati Luhan sedang berusaha menatapnya dari luar ruangan dan mereka membuat kontak mata sehingga itu membuat Hyungseok kembali berpikir apa yang harus ia lakukan esok hari agar dapat menghabiskan waktunya di kampus bersama Luhan.

03.15 KST

Sehun berada di parkiran kampus Luhan dengan ChanHee disampingnya, mereka sedang duduk di atas kap mobil menatap mahasiswi yang berlalu-lalang menatap mereka dengan pekikan yang tertahan. Chanhee melipat kedua tangannya di depan dada lalu melirik Sehun sengit tak lupa mencebikan bibirnya, "Paman~" akhirnya ia merengek, "Kapan Luhan noona akan keluar? Chanhee tidak sabar ingin ke taman bermain."

Sehun mencubit gemas pipi Chanhee sampai anak laki-laki itu berteriak kesakitan, "Sabarlah bung! Luhanku tidak mengangkat panggilanku." Chanhee menghembuskan nafasnya perlahan, disisi lain ia menjadi teringat ayahnya yang sedang bekerja dengan paman berkulit bronze panutannya; Chanhee selalu berpikiran mempunyai kulit dengan warna sedikit gelap seperti Jongin adalah hal yang keren. "Paman Sehun! Bisa telponkan ayah? Chanhee tiba-tiba rindu ayah." Tanyanya dengan nada seperti putus asa.

"Tentu saja! Tapi bagaimana kalau kita tunda dulu? Luhan noona sudah datang." Sehun mencoba memberikan pengertian pada Chanhee yang mengangguk lemah.

Luhan sedikit berlari menuju Sehun dan Chanhee meninggalkan Hyungseok beberapa langkah di belakangnya, "Sudah selesai sa—hm—Lu?" Luhan mengabaikan fakta kalau Sehun sedang menutupi status mereka kembali. "Wah oppa datang bersama Chanheeku yang tampan!" Luhan mengecup pipi Chanhee bergantian sehingga untuk kali kedua Chanhee berteriak.

"Luhan-ah, kau tidak pulang bersamaku?" Interupsi Hyungseok membuat keadaan hening seketika. Sehun menatapnya dengan nyalang tanpa sadar, nafasnya memberat dan tangannya terkepal kuat.

Luhan membantu Chanhee turun dari kap mobil, tanpa melepaskan genggamannya dari tangan bocah kecil itu Luhan mencoba mengatakan sesuatu tetapi bibirnya seolah terkunci.

"Tentu saja tidak karena ia akan pulang bersamaku. Kau boleh meninggalkan kami." Jawab Sehun ketus sementara tangannya sudah melingkar dipinggang Luhan.

Hyungseok mendecih, "Wow kau benar-benar kakak yang perhatian."

"Benar-benar perhatian." Ulangnya, lalu Hyungseok mulai maju beberapa langkah mendekati Luhan yang terlihat pucat kemudian tanpa terduga ia mengusak pucuk kepala Luhan.

"Lain kali kita akan pulang bersama, cantik."

.

.

.

Chanhee sedang menelpon ayahnya berulangkali mengatakan ia rindu ayahnya dan akan pulang larut karena dirinya serta Sehun dan Luhan baru akan ke taman bermain pada sore hari. Di seberang telpon Chanyeol tidak bisa berhenti tertawa karena anaknya baru beberapa jam meninggalkan tapi sudah rindu seperti ia sudah lama sekali berpisah dengan induknya.

"Aigoo Chanheeku sangat sayang ya pada ayah sampai menelpon hanya mengatakan rindu."

"Ung! Chanhee kebosanan karena menunggu Luhan noona, paman Sehun juga menyeramkan!"

Chanyeol tertawa semakin keras, sebaliknya Sehun semakin mengeluarkan aura dinginnya. Tawa Luhan yang hampir pecah kembali tertelan kekerongkongannya.

"Ah, Luhannie apa kita batalkan saja ke taman bermainnya?"

"Jangan!" Teriak Luhan dan Chanhee bersamaan, membuat Sehun mengutuk dirinya sendiri. Benar-benar diluar dugaan Luhan akan menentang usulannya, ia lupa kalau Luhan adalah orang dewasa yang terjebak dalam tubuh kecil nan rapuh seperti remaja dan masih menyukai hal-hal manis seperti permen kapas dan taman bermain.

"Ayah sudah dulu ya, Chanhee dalam bahaya. Saranghae~"

Chanhee menutup percakapannya dengan Chanyeol, lalu menyerahkan ponsel Sehun pada Luhan.

"Kau harus mengembalikannya pada paman Sehun Chanhee-ya."

"Tapi paman Sehun sepertinya sedang marah." Bisik Chanhee tetapi karena mobil mereka benar-benar dalam keadaan hening, Sehun dapat mendengarnya dengan jelas.

Sehun sesekali melirikan matanya ke kiri melihat spion, tak tahan mendengar percakapan Luhan dan Chanhee yang benar-benar konyol. Ia bertaruh, rumput-rumput di rumah Luhan pun tahu mukanya ini benar-benar kelewat dingin tetapi tidak dengan hatinya.

"Wah! Wah! Bianglalanya besar sekaliiii," Chanhee begitu girang melihat wahana itu. Matanya benar-benar berbinar tak berkedip melihat sekeliling taman bermain.

Sehun telah memarkirkan mobilnya, mereka berjalan menuju salah satu loket yang menjual tiket terusan untuk semua wahana dengan Chanhee digendongan Sehun. "Noona.. kenapa anak-anak kecil itu pergi tanpa naik wahana?" Tunjuk Chanhee pada segerombolan anak-anak yang berjalan menjauh dari wahana. "Mungkin karena tinggi mereka kurang mencukupi?" jawab Luhan dengan nada bertanya pula.

Chanhee mengangguk tetapi tangannya menggaruk tengkuknya. "Paman, tidak memiliki batasan umur itu apa artinya?"

Chanhee yang dibesarkan sendirian oleh Chanyeol merupakan anak yang pintar, meski baru duduk di kelas nol besar taman kanak-kanak ia sudah mampu membaca dengan cepat walau terkadang tidak mengerti apa maknanya. Sehun mengusak kepala Chanhee dengan sebelah tangannya yang bebas, "Semua pengunjung boleh menaikinya tidak tua ataupun muda, lihat kelanjutannya asalkan memiliki tinggi yang cukup. Berapa tinggimu hm?"

"Noona.. berapa tinggi Chanhee?"

.

.

.

Luhan bersyukur Chanhee mewarisi gen Chanyeol yang mempunyai tinggi diatas rata-rata, sehingga sekarang mereka bertiga dapat duduk digondola—Chanhee duduk bersama dengan Luhan karena ia sedikit bergidik saat diatas ketinggian, lagipula hal yang tidak mungkin membiarkan Chanhee duduk sendirian. Berulangkali bunyi jepretan kamera dari ponsel Sehun terdengar, ia tidak bisa menahan untuk tidak mengambil gambar Luhan dan Chanhee yang berlatarbelakang pemandangan sore kota Seoul.

"Chanhee harus mengajak ayah kesini lain kali."

"Ung! Ayah terlalu keras bekerja."

Sehun terbatuk karena dipelototi tajam oleh Luhan dengan mata rusanya yang berbinar itu namun Sehun tiba-tiba membayangkan dengan wajah Luhan yang mirip anak lima tahun itu, apakah ia akan cocok menjadi seorang ibu?

"Ti, tidak seperti yang kau bayangkan Lu. Chanyeol lah yang bersemangat, karena mottonya adalah membahagiakan Chanhee. Sungguh!"

"Apa itu motto? Apakah itu sejenis dengan sepeda motor?"

Sehun dan Luhan meledak dalam tawa, tapi Chanhee hanya menatap mereka bergantian tak mengerti. Chanhee menggelengkan kepalanya, "sepertinya menyenangkan sekali jadi orang dewasa."

"Paman Sehun akan jelaskan lain kali, sekarang saatnya kita turun."

Seorang petugas membukakan tiap-tiap pintu gondola, Luhan sudah turun terlebih dahulu sementara Chanhee turun dalam gendongan Sehun. Peran Sehun hari ini sangatlah seperti seorang ayah idaman yang diinginkan setiap orang. Ia muda, tampan dan terlihat begitu menyayangi anak kecil.

"Bagaimana kalau selanjutnya kuda yang berputar-putar itu? Boleh paman?"

Sehun mencubit gemas pipi anak laki-laki itu, "maksudmu komedi putar?"

"Chanhee mana mungkin mengerti nama-nama wahana permainan begitu, Oppa." Luhan mencibir Sehun, "Chanhee-ya ayo kita naik bersama. Biarkan paman Sehun menunggu kita. Let's go!"

Luhan benar-benar lihai dalam hal merebut; hati para lelaki, sekarang Chanhee sudah tidak ada dalam gendongan Sehun namun sudah bergandengan tangan bersama Luhan dalam antrian menunggu naik komedi putar.

.

.

.

Kemarin Luhan merasa waktu berjalan dengan cepat, atau mungkin sang waktu berlari? Ia bahkan belum sampai pada titik kesenangannya tapi hari sudah menggelap. Saat ini ia merasa waktu berjalan dengan lambat, ia mendadak ingin cepat pulang dan bertemu Sehunnya. Ia meraba jari manisnya dengan ibu jarinya, lalu tersenyum masam, Sehun mangkir lagi dari janjinya mengganti cincin pernikahan mereka.

"Hei, nona? Kau akan menabrak kalau terus berjalan dengan menunduk begitu."

Ah suara ini lagi.

"Kau tidak bersama Baekhyun?"

Hyungseok tersenyum bak matahari pagi, begitu cerah dan menghantarkan semangat. Tapi Luhan menatapnya dengan sebaliknya. "Omong-omong, Baekhyun sakit. Ia belum memberitahumu?"

Dengan segera Luhan membuka handphonenya, ah, sungguh harinya akan berjalan dengan lambat. "Ya, ia sudah mengirim pesan sejak 20 menit yang lalu."

Mereka berjalan beriringan menuju kelas, sesekali Hyungseok melempar lelucon namun Luhan hanya tersenyum menanggapi. Mood-nya benar-benar buruk. Ia hanya ingin bertemu Sehunnya. Sehun…, haruskah ia bolos saja?

"Hyungseok-ah, hubungi aku kalau ada tugas."

Akhirnya Luhan memilih, dengan segera ia berbalik dan berlari meninggalkan Hyungseok yang masih terpaku ditempat dan berkedip. Laki-laki ini berdecih menanggapi, Luhan benar-benar sulit dipahami. Ia bahkan tidak mengindahkan ucapan Luhan, dan ikut membalikan tubuhnya dan melangkah mengikuti Luhan.

.

.

.

Tunggu kelanjutannya di chapter 10

.

.

.

A/N: Aku mau nulis apa ya di author's note… Hm… Hallo? Apakabar? Hehehe. Setahun loh FF ini enggak update, terlihat aku begitu kejam, cuma ya gimana? Huhu. Maaf ya.. makasih banyak yang masih suka review nagih, aku baca review kalian dan terkadang merasa bersalah juga. Semoga chapter yang enggak seberapa ini bisa mengobati rindu kalian, aku masih punya dua minggu sebelum kembali menggeluti-kekejaman-tugas jadi doakan chapter selanjutnya bisa selesai dengan cepat! Seperti biasa maaf untuk typo(s), penulisan yang tidak sesuai EYD, alur yang terlalu cepat atau bahkan terlalu lambat, dan sebagainya yang membuat kurang nyaman.

Selamat untuk EXO dan EXO-L(s), #TheWar quadruple million seller! Perjuangan belum berakhir. Ayo kerja keras, bersatu dan semangat!

사랑하자! 감사~~~