MESMERIZING ME
Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto
Pair : SasuNaru
Warning : AU, BL, Fast plot, Fast story, Maybe Typos, Maybe OOC.
Summary : Wawancara karena terpaksa mempertemukan mereka. Dan Naruto tidak pernah tahu hal yang menyebalkan tidak selamanya akan demikian.
Notes : I don't know why but I never have a deal with summary and title. Multichapter singkat, mungkin 4-5 chapteran. Thanks for reading this stuff.
Chapter 1 : First Impression
.
Naruto menguap lebar.
Rapat redaksi majalah selalu menjadi tempat paling membosankan sedunia baginya. Dimana sebagian orang ribut beradu pendapat tentang apa-apa yang harus dipersiapkan sehubungan dengan terbitnya majalah semesteran sekolah, seperempatnya adu emosi ngotot-ngototan, dan sisanya ada yang diam mencatat di buku agenda, diam memutar kedua bola mata mengira-ngira sambil menghitung detikan jarum jam kapan bagian kecil penderitaan ini berakhir. Ada juga yang menguap bosan seperti dirinya. Tidak peduli walaupun sudah dipelototi dan disindir berkali-kali oleh ketua redaksi, Haruno Sakura yang sibuk mengatur lalu lalangnya rapat yang tidak pernah berjalan mulus dengan peserta-pesertanya yang asik mengobrol sana sini.
Sai menyodoknya. Pas kena tulang iga. Naruto mengaduh. "Setidaknya berpura-puralah mendengarkan. Kau mau ditendang dari ruang rapat?" ucapnya mencoba mengecilkan volume suara. Matanya awas mengawasi Sakura yang sedang menjelaskan sesuatu ke Hinata.
Ruangan klub telah disulap menjadi ruangan rapat. Lumayan besar tempatnya, hingga anggota tim penyusun sixt-month magazine ini tidak perlu duduk berdesak-desakkan. Tidak juga perlu memindahkan seperangkat komputer yang saat ini ditinggalkan pemiliknya, Gaara, si desainer grafis.
"Sebetulnya itu yang paling kuinginkan saat ini," kata Naruto berbisik diantara suasana yang makin memanas. Dagu ditaruh dikedua tangan yang terlipat rapi di atas meja.
Meja ruangan ditata meniru konferensi meja bundar. Dimana peserta rapat dapat saling duduk bertatapan satu sama lain tanpa harus memutar kursinya. Wajah-wajah lusuh mencoba terlihat profesional walaupun ini hanyalah rapat pembentukan majalah sekolah. Seandainya, mereka bisa absen dulu dari rupa-rupa tugas sekolah yang tingginya kian menyamai gunung.
Sebetulnya klub jurnalistik tidak memiliki terlalu banyak anggota, hanya saja mulut-mulut mereka bisa menghasilkan opini-opini dua kali lipat lebih banyak daripada manusia biasa. Terutama yang berjenis kelamin perempuan. Mungkin faktor penyebabnya karena mereka sering mengadakan wawancara hingga peliputan berita yang membutuhkan keahlian bicara cenderung di atas rata-rata. Terutama wanita-wanita ditakdirkan menjadi mahluk penggossip nomor satu di dunia.
"Tidak bisa. Pokoknya harus Kakashi-Sensei. Tahun ini beliau akan mengundurkan diri mengajar." Si rambut pirang, Shion bersikukuh. Dia sampai berdiri dari tempat duduknya.
"Dari mana kau tahu?" seseorang bertanya.
"Dari gossip yang beredar."
Naruto menguap lagi.
Kyuubi terlalu pintar membuatnya begadang sampai pagi. Keping DVD-nya terlalu sayang jika dilewatkan begitu saja bagi movie freak macam Naruto. Sebentar lagi ujian, maka sebelum Kushina mulai marah-marah mengurahnya untuk belajar, sebaiknya selesaikan stok DVD Kyuubi lebih dulu. Kesempatan baik jarang-jarang datangnya. Beda dengan kesempatan buruk yang selalu datang tanpa diundang-undang.
"Eh? Benarkah dia akan menikah tahun ini?" sebuah suara feminin menimpali. Hinata yang biasanya duduk kalem sambil lirik sana lirik sini hanya mendengarkan, sampai bertanya penasaran.
Kali ini Naruto tidak segan menjatuhkan wajah lingkar hitamnya ke atas meja. Sai geleng-geleng di tempat. Percuma.
"Hm. Undangan sudah disebar. Setelah ini dia akan berhenti jadi guru dan melanjutkan usaha milik keluarga Hatake."
"Ah, sayang sekali. Pasti jumlah fans-nya akan segara turun drastis. Apakah tidak sebaiknya kita memuat gossip ini di bulletin sekolah?" Tenten menimpali.
"Iya aku setuju. Catat itu baik-baik dan berikan ke Ayame-san. Dia pasti akan berterima kasih karena kita telah–"
TUK. TUK. TUK.
Sakura menekan palu di mejanya berdiri. Mencoba mengimitasi hakim agung di tempat persidangan. Jubah tiruan berupa jaket berwarna merah menyala berkibar-kibar agresif. Seagresif si pemiliknya yang sedang menahan kekesalan dengan melampiaskannya kepada meja kecil tidak bersalah.
Naruto yang terkejut sampai bangun dibuatnya. Matanya masih merah. Cepat-cepat ditenggaknya air mineral sambil bersungut-sungut.
"Shion. Hentikan dulu gossipmu. Fokus ke majalah dan bukannya ke bulletin sekolah! Itu sudah ada yang mengurus. Atau kau mau pindah saja ke bagian bulletin?"
Shion manyun di tempat. Tapi itu tepat guna karena sekarang si rambut pirang pendek itu menutup mulut rapat-rapat. Duduk sambil menggrundel dalam hati.
"Bagaimana dengan tampilannya? Kita harus segera membuat keputusan karena Gaara sudah berkali-kali menegurku. Katanya membuat layout itu tidak sebentar, jadi kita harus segera menentukan, mau yang berkesan dark atau lebih fokus ke colorful?"
"Menurutku opsi dua. Tahun lalu kita sudah memilih tema dengan tampilan gelap tetapi remaja kebanyakan kurang menyukainya. Aku pernah mengurung diri di toilet sekolah untuk mendengarkan percakapan mereka tentang majalah edisi lalu yang katanya terlalu suram." Naruto mendelik atas pengakuan Shion.
Sakura mengangguk-angguk. Hinata sibuk mencatat dalam diam. Tangan bergerak gesit, telinga dipasang baik-baik. Wajah menatap bergantian, peserta rapat dan buku catatan.
Naruto berdiri untuk menyampaikan pendapat. Sai sampai heran dibuatnya, terkejut karena Naruto diam-diam menyimak ajang diskusi kali ini. Dia pikir beberapa menit yang lalu Naruto hampir mendengkur di tempat.
"Karena edisi tahun lalu kurang memuaskan, bukankah malah seharusnya menjadi revisi edisi sekarang untuk membuktikan bahwa dengan tampilan yang bertema sama, majalah ini bisa menjadi lebih baik lagi? Kita tidak seharusnya menghindar. Aku lebih setuju opsi pertama," katanya mantap. "Pernah gagal bukan berarti kita akan gagal lagi di edisi sekarang."
Sakura memandang kecut Naruto yang mengatakan gagal. Memang edisi lalu mendapat perdebatan yang cukup banyak. Mulai dari kontroversi isinya yang membanding-bandingkan antarkelas, banyak ejaan salah dan typos yang bertebaran, bagian isi terpotong hingga foto yang salah tempat. Misalnya saja lapangan basket yang seharusnya lapangan voli, kegiatan klub karate yang seharusnya klub taekwondo.
Jujur saja Naruto tidak terlalu suka desain yang menonjolkan sisi feminine dimana-mana dengan tampilan warna merah muda, kuning menyala dan warna mencolok lainnya. Itu agak mengganggu mata. Lebih bagus yang bernuansa gelap. Lebih sangar, lebih cowok, lebih macho dan lebih –jantan. Siapa tahu kalau Naruto membawa-bawa majalah itu kemana-mana dia akan dikira membawa majalah otomotif yang pada dasarnya bernuansa gelap.
Masih takut gagal, Tenten berkomentar. "Tapi kita seharusnya bisa mempertimbangkan usul dan tanggapan publik. Jika publik lebih menginginkan nuansa yang cerah ceria kenapa tidak dicoba? Aku pikir tidak ada salahnya mengganti tampilan edisi kemarin. Kita perlu sesuatu yang berbeda," katanya mengundang anggukan setuju anggota lain.
Naruto mendengus. Itu sih maunya kaum wanita saja.
Hinata tiba-tiba bersuara. "Y-ya, aku setuju. Edisi kemarin lebih gelap dan mendung, maka edisi sekarang harusnya lebih riang."
"Oke. Keputusannya, opsi pertama," ucap Sakura tegas.
"Ta-tapi-"
Satu lawan tiga. Palu Sakura dipukul. Naruto kalah tanpa dukungan.
"Hinata, catat itu. Dan silakan masing-masing memberi pendapat untuk tema apa yang akan diambil kali ini. Besok kita briefing pagi sebelum jam pelajaran dimulai untuk menentukan masing-masing rubrik dan pembagian tugas, rapat pulang sekolah ditiadakan karena kita harus mulai fokus akan tugas masing-masing."
Sai terkikik di tempat melihat wajah Naruto yang ditekuk muram.
.
Naruto memandang sebal dua orang petinggi klub jurnalistik dihadapannya yang sedang ribut berdiskusi. Si cerewet Ino sedang mengoceh. Membahas bagaimana kira-kira tokoh utama yang cocok untuk dicantumkan dalam rubrik 'Idola Sekolah' asuhannya.
Narasumber sudah dipilih. Orang paling terkenal seantero sekolah. DJ super tampan yang namanya sedang booming di kalangan partygoers teenagers, Uchiha Sasuke. Memang dia seangkatan Naruto yang usianya belum memasuki usia legal masuk klub malam. Tapi Sasuke sudah lalu lalang di dunia DJ-ing sejak masih bangku sekolah menengah pertama. Dan saat ini ketenarannya semakin meningkat. DJ terkenal itu bersekolah di sekolahnya, SMA Konoha.
"Kenapa bukan orang lain saja?" Naruto menyeletuk tiba-tiba. "Kenapa harus aku?"
"Karena kau belum kebagian tugas sama sekali!" teriak mereka berdua kompak. Naruto sampai mendesis dibuatnya.
Dua orang ini selalu mempunyai cara untuk membuatnya kerepotan. Entah itu menyusahkan atau juga menyebalkan. Selain Ibunya, wanita paling cerewet dan selalu membuatnya jengkel adalah Sakura dan Ino.
Briefing pagi sudah berakhir tujuh menit yang lalu. Dan bel sekolah belum berbunyi. Saat-saat seperti ini naruto seelalu berharap bel dibunyikan lebih awal dari biasanya supaya dia bisa terbebas dari cengkeraman kedua wanita berisik di depannya. Ino dan Sakura selalu bisa membuatnya keluar paling terakhir di setiap kesempatan rapat redaksi. Dan membuatnya patuh menerima apapun perintah kedua orang di depannya tanpa perlawanan yang berarti. Walaupun Naruto laki-laki dan dua orang di depannya ini perempuan, Naruto selalu kalah dalam mengajukan banding ketidaksetujuan. Sai hanya memandangnya iba sebelum tertawa mengejek berlalu bersama DSLR-nya sambil mengunci ruangan. Kunci ruang klub dititipkan ke Gaara yang lebih sering menghuni ruang klub.
Dengan sisa-sisa jiwa pemberontakannya, Naruto menukas. "Aku sudah ditugaskan untuk mengambil gambar kegiatan bakti sosial dua bulan yang lalu!" belanya. Tidak rela dikatakan belum kebagian tugas sama sekali.
Sakura menguap bosan akan perlawanan Naruto yang tak kunjung usai. "Itu sudah lalu. Lagipula, rubrik 'Idola Sekolah' ini adalah rubrik yang mendatangkan kritik sekaligus tanggapan paling besar. Kenapa? Ya tentu saja idola sekolah alias orang paling popular pasti punya banyak fans. Fans tidak akan tinggal diam jika apa yang dimuat tentang idolanya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Foto pun harus kelihatan seperti sebenarnya jangan membuat jelek objek yang ganteng. Foto yang baik itu yang tidak miring sana miring sini, apalagi kabur. Kau tahu? Orang popular tidak suka sembarangan difoto, banyak yang sering menolak. Karena yah. Daripada untuk majalah sekolah yang dananya tidak terlalu besar, bukankah lebih baik menerima tawaran majalah mode atau majalah luar sekolah yang tentu akan menghasilkan lebih banyak..." Sakura memberi gestur fulus dengan jarinya.
Naruto masam. "Kenapa tidak Sai saja? Dia juga kan fotografer."
"Sai sibuk mengurus rubrik fomik bersama Shion, mereka harus mengadakan seleksi ketat untuk para pemerannya." Naruto meringis. Banyak sekali orang sibuk di klub ini. "Hanya kau satu-satunya yang dapat diandalkan. Kau tidak kasihan pada Ino yang harus mengampu tiga rubrik sekaligus?" Naruto menggeleng mantap.
"Kau tahu aku tidak begitu baik dalam memfoto." Naruto mencari alasan.
Sakura berdecak. "Yang penting dapat fotonya Sasuke! Daripada Ino harus kerepotan wawancara sambil foto bagaimana?"
"Kupikir itu bukanlah hal sulit."
Sakura buru-buru menjitaknya. "Kalau Ino sakit baru tahu rasa kau yang harus menggantikan tugasnya!"
Sakura berdehem. "Sudah! Tidak ada lagi alasan untuk menolak! Jadi, kau harus mau menjadi pendamping Ino untuk mewawancarai Sasuke," tekan Naruto. "Keputusan final, diskusi selesai." Sakura melenggang cepat sebelum mendapat protesan lebih lanjut.
"Assa!" Ino terkekeh dengan lidah menjulur. Tampak bahagia di atas ketidakbahagiannya.
Naruto mendelik sebal, berharap tatapan mata dapat menyetrumnya. "Pokoknya, semuanya harus kau yang urus," katanya mutlak. "Jadwal wawancara, topik wawancara, susunan pertanyaan. Oh, dan juga tempatnya. Terserah mau bertemu Sasuke dimanapun yang penting tugas selesai."
"Lalu apa yang kau lakukan?" tanya Ino dongkol.
Enak saja. Hidup Naruto terlalu mudah harusnya dipersulit sedikit. Untuk itulah Sakura dan Ino berada.
"Aku?" Naruto menunjuk dirinya sendiri. "Datang. Ikuti. Pulang," katanya sambil memberi gestur satu dua tiga dengan jari-jarinya.
"Hei! Sialan, kau tidak bisa begitu! Jahat sekali padaku!" teriak Ino.
Ino mengejarnya, memasuki kelas yang sama dengan Naruto.
.
Kikikan gila mengudara. Terdengar di kelas yang kehilangan manusia-manusianya, mereka berbondong-bondong keluyuran di kantin karena jam makan siang sudah tiba, perut memukul-mukul minta disuapi nasi bukanlah hal yang bisa diajak kompromi.
"Rasanya mau mati." Ino menghempaskan wajah ke atas meja meringkik. Ino memasuki sindromnya, stress berlebih terhadap sesuatu. Padahal Sakura bukanlah orang yang akan menekan anggota-anggotanya yang tertib, tentu pengecualian bagi Naruto yang sama sekali bukan golongan yang bisa dikatakan sebagai golongan tertib, untuk melakukan sesuatu yang hanya ditanggungjawabi sendiri. Pada dasarnya Ino adalah seseorang yang jika melakukan sesuatu harus maksimal mungkin tanpa ada kecacatan, baik itu waktu yang harus tepat sesuai deadline, maupun tulisan yang rapi, bersih dari segala macam typos yang bertebaran. Perfeksionis, Naruto menjulukinya. Tapi kadang-kadang jika sedang frustasi Ino mirip orang yang kehilangan nyawanya, lunglai dan hanya bisa terkikik di bangkunya.
Ino menyodok Naruto dari belakang. Naruto tersentak bangun sambil berdecak. "Apa?"
Dengan sisa-sisa suaranya yang masih pulih Ino berbicara. "Naruto, bisa kau antarkan flashdisk ini ke Sakura? Aku sudah tidak punya tenaga untuk melakukannya." Ah, Ino terlihat menyedihkan. Lebih baik Naruto melihat si blonde panjang itu mengomel.
Naruto menyahut dari balik wajahnya yang terpejam. "Nanti pulang sekolah saja."
"Tidak bisa, harus sekarang. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaan. Lagipula sepulang sekolah tidak ada meeting. Cepat antarkan." Tangan Ino tertodong ke depan. Sementara si pemilik tangan mulus itu merebahkan diri di atas meja dengan kuyu.
"Ah, sungguh. Membuat jadwal wawancara dengan Sasuke terlalu sulit," gumamnya sebelum jatuh tertidur.
Naruto membuka mata, menoleh ke bangku belakangnya dimana Ino berada. Menghela napas keras sebelum mengambil flashdisk dari tangan Ino dan berjalan ke luar kelas.
Naruto berpapasan dengan gerombolan gadis-gadis yang mengerumuni seseorang. Uchiha Sasuke dengan sejuta pesona yang membuat wanita-wanita menjerit dan laki-laki mencicit. Laki-laki dengan senyum bernilai dollaran, karena majalah-majalah di luar sana berani membayar mahal untuk satu senyum tulus yang dikeluarkan Uchiha. Sayang dia terlalu kebanyakan duit hingga hanya mau menampilkan seringai disana sini. Naruto melewati kerumunan cepat. Melangkah dibarengi rengekan-rengekan perempuan yang semakin menjauh, hilang ditelan tikungan koridor sekolah.
Naruto membelok ke sebuah ruangan. Ruangan dengan pintu yang berisi aneka tulisan graffity peninggalan dari senior yang sekarang telah menajadi alumni. Langsung membuka tanpa mengetuk lebih dulu. Lebih baik Naruto mengantar langsung ke ruang klub daripada mencari Sakura di kelasnya. Naruto jamin orang itu tidak akan berada di kelas saat ini. Ketua redaksi majalah kan orang yang sibuk, cibirnya.
Disambut pemandangan Gaara yang sedang khusyuk di depan komputer sambil memegangi bentonya yang masih tertutup rapat. "Wah kau! Pantas saja betah berada disini! Rupa-rupanya..."
Gaara terkejut, tidak menyadari Naruto sudah masuk ruangan tanpa sepengetahuannya. Dia membuka tutup mulutnya. "Bagaimana kau masuk?" Gaara mengalihkan perhatian.
Naruto menunjuk, pintu lah. "Akan kuadukan pada Temari-san bahwa ternyata Gaara kau..."
"Sshh. Naruto, ini rahasia!" Naruto tertawa. Rahasia satu orang berada di tangannya. Gaara akan menuruti segala permintaannya kalau begini. Hahaha.
Tidak menyangka Gaara yang terkenal pendiam dan pintar ini ternyata gemar menonton video porno. Apa dia tulis saja di majalah? Judul yang tepat, Rahasia Dibalik Kecerdasan si Jenius.
"Kalau orang lain mungkin aku tidak akan secemas ini. Tapi ini –kau!" Gaara mendengus keras. Benci mengetahui fakta bahwa Naruto mengetahui kartu AS-nya. Menyimpan rahasia apapun pada Naruto tidak akan aman. Tunggu saja sampai Gaara berada di ambang kematiannya.
"Jadi kalau Sakura atau Ino tidak apa-apa begitu?" tanya Naruto meledek. Jarinya mencolek pundak Gaara.
Gaara menghela napas. "Masih mending."
"Cih. Serius aku akan melaporkannya pada semua orang bahwa Gaara ternyata memiliki kecanduan menonton video porno!" kata Naruto keras.
"Naruto." Gaara menggeram elegan bak singa yang anaknya diambil.
"Baiklah. Baiklah. Tapi.." Naruto memberi kode mengedip pada apa yang berada di pangkuan Gaara. Bento yang tertutup rapat, belum sempat disentuh.
"Oh, kau mau bekal dari Temari?" tawarnya tanpa ragu-ragu. Menunjuk bentonya yang berisi makanan lezat. Naruto hampir meneteskan liur.
Naruto tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas. Temari kan pintar memasak. "Aku sedang kelaparan gara-gara Ino menyuruhku langsung menemui Sakura. Jadi.."
Gaara tanpa pikir panjang langsung menyorongkan bentonya. "Aku harap mulut embermu tidak bocor kemana-mana."
Naruto menyuapkan segulung telur ke mulutnya penuh. "Kengku haja. Ahal khau hahu-"
"Telan dulu bodoh," ucap Gaara ketus.
Naruto menelan bulat-bulat tanpa dikunyah. "Tapi ngomong-ngomong siapa yang kau tonton? Aku hanya mendengar suara geraman laki-lakinya tadi," ucap Naruto heran.
"Bukan apa-apa. Mana flashdisknya?" Gaara mengalihkan perhatian. Meraba-raba saku Naruto. Saku atas. Saku bawah.
Naruto menahan tangan Gaara. Dia menyodorkan port USB itu ke tangan si kalem. "Senang ya? Kau hanya perlu duduk diam di depan komputer tanpa harus repot-repot mondar-mandir seperti aku dan yang lainnya," ucapnya dengki.
Gaara mendecih. "Kau mondar-mandir?" Gaara tak habis pikir. "Oh, juga memangnya hal apa yang tidak diirikan olehmu tentangku hah?"
Dari dulu Naruto selalu tidak rela jika Gaara mendapatkan suatu hal yang berbeda dengan dirinya. Naruto pasti akan mengeluh akan sesuatu. Padahal semua itu ada suka dukanya, ada untung ruginya. Tak selamanya apa yang Gaara lakukan lebih mudah daripada Naruto.
"Bisa menskip kelas lagi!" protesnya. Itu kebijakan karena Gaara murid pintar.
"Diam dan pergilah. Aku ada urusan yang harus diurus." Gaara mengusirnya terang-terangan, mana peka Naruto disindir halus.
"Melanjutkan nonton video porno?" tanya Naruto blak-blakkan. Alisnya naik turun menggodanya dengan senyum seolah Gaara adalah orang paling mesum di seluruh dunia.
Gaara menghela napas. Dia benar-benar harus sia-siap jika tiba-tiba ada yang memandangnya aneh atau menghujatnya. Penyebabnya tanpa harus menyewa detektif, Gaara sudah tahu. Pasti tidak jauh-jauh dari Naruto. "Salah satunya. Sana pergi." Gaara mendorong kasar Naruto hingga mencapai bibir pintu. Yang penting dirinya sudah kenyang. Diusir secara tidak terhormat pun tidak masalah.
Naruto berjalan kembali ke kelas.
Dilihatnya tempat Uchiha Sasuke duduk tak lagi ramai seperti sebelumnya. Mendadak dia ingat sesuatu. Ino dan nasib menyedihkannya.
Pelan-pelan dia mengganti tujuan, berjalan ke arah Sasuke. Si target terlihat memejamkan mata sambil memasang headset hitamnya. Entah terputar lagu atau tidak. Naruto sempat terhenti untuk melihat lebih dekat seperti apa wajah manusia yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan di semua tempat. Toilet wanita –kenapa Naruto bisa tahu? Itu semua karena Ino, perpustakaan yang tujuan awalnya menjadi tempat membaca buku malah beralih tempat menjadi ruangan pribadi para gossippers juga koridor-koridor dimana manusia-manusia lebih suka berbicara sambil berdiri. Karena gossip pria tampan terkadang membuat wanita meloncat-loncat kegirangan, tentunya meloncat sambil berdiri lebih mudah dilakukan daripada meloncat sambil duduk.
Um, ya. Naruto menyetujui gossip itu untuk kali ini.
Bayangan Naruto menaungi Sasuke. Hawa keberadaan tidak dapat disembunyikan. Deru napas tidak bisa berbohong. Nyawa tak dapat dihilangkan begitu saja, dan Naruto tidak bisa menyamar tiba-tiba menjadi semut-semut merah di dinding terkecuali kalau dia punya sihir merubah wujud menjadi hewan.
Suara dengan mata tertutup itu berucap datar. "Aku sudah bilang kan kalau waktu tanda tangannya sudah habis? Besok lagi."
Naruto mengernyit.
Mulutnya membuka. "Permisi –Sasuke?" ucapnya tak yakin.
Mata Sasuke terbuka mendengar suara asing, Naruto memundurkan tubuh ke belakang. "Tunggu, kau laki-laki?" Sasuke menoleh tertarik. Memandangi Naruto seperti hendak menelanjanginya. "Hm. Tak masalah karena kau manis." Sasuke menggumam.
"Maaf?" Naruto mengangkat alis. Merasa telinganya agak tuli sejenak. Dan yang terdengar hanya bunyi piiip panjang.
"Kemarikan kertas dan bolpoinnya," kata Sasuke.
Sebenarnya Naruto bukan orang yang akan sangat baik hati membantu orang lain. Tapi Ino terlalu menyedihkan jika tak dibantu. Maka dengan dalih pahlawan kesiangan sudah hampir punah, dia mencoba peruntungan. Sedikit bantuan bisa mengurangi beberapa dosa yang telah diperbuatnya.
Naruto mengeluarkan carikan kertas dalam kantongnya dan menulis sesuatu.
"Aku, emm, salah satu anggota klub jurnalistik ingin mewawancaraimu untuk majalah sekolah yang sebentar lagi terbit. Bisakah?" tanyanya.
Sasuke masih diam. Namun getar-getar ketertarikan tak bisa disembunyikan. Sayang Naruto dilahirkan untuk tidak peka. Apa-apa yang hendak disampaikan dengan bahasa tubuh, bahasa isyarat, bahasa kalbu, sandi morse, sandi rumput dan sandi-sandi lainnya tidak akan tersampaikan. Karena Naruto hanya perlu langsung, to the point tanpa sesuatu yang berbelit-belit. Kapasitas otaknya tidak diciptakan untuk mengetahui sesuatu secara tersirat. Orang diciptakan dengan kapasitas otak beda-beda. Begitulah caranya berkelit dari tuduhan Kyuubi yang mengatakan bahwa dirinya dungu.
"Kami akan menunggu hingga kau bersedia. Kapanpun." Naruto bersungguh-sungguh. Padahal dalam hatinya ketar-ketir tidak yakin. Bagaimana jika Sasuke meminta bertemu ketika waktunya sedang gawat? Di luar Konoha misalnya, atau ketika sedang ujian di kelas, atau ketika badai datang. Ah, itu urusan Ino. Untung-untung juga Naruto sudah membantunya bicara pada Sasuke. Ino harus berterimakasih hingga berlutut-lutut karena ini. Ah, dia akan meminta daftar traktiran panjang setelah ini. "Oh, kutitipkan nomor yang bisa kau hubungi jika kau sudah siap. Ini." Dengan semena-mena Naruto mengulurkan nomor ponsel pada Sasuke. "Kalau begitu, permisi."
Sasuke menatap carikan berisi tulisan tidak rapi namun masih bisa dibaca. Di dalamnya tertulis angka-angka. Nomor telepon. Dia tersenyum miring.
TBC.
See you next chapter~
Chapter 2 : Interview Day