Sosok tiga belas tahun itu nampak menikmati pasir yang melekat di pakaiannya. Dengan wajah cerah khas marganya, ia kembali mengambil beberapa pasir untuk kemudian dimasukkan ke dalam gelas-gelas kecil—ukuran istana pasir. Meski pasir di taman kota Uzushio tak mirip dengan pasir pantai, namun figur berahang tegas itu tetap antusias.

Karena terlalu antusiasnya, gadis cilik yang mengajaknya berkeliling pun terlupa.

Itachi Uchiha nampak sangat menikmati permainannya.

Wajah ayu yang hanya menatapnya dari ayunan berjarak lima meter itu bahkan semakin menekuk sebal. Ino menggembungkan pipinya seraya menggoyang-goyangkan kakinya agar ayunan yang ia duduki terdorong. Tapi sepertinya nihil—mainkan khas kanak-kanak itu bahkan tak bergerak sedikitpun. Semakin bertambah pula hal yang membuat Ino menyesal mengajak Niisan bermain.

Lagipula ... umur Niisan berapa, sih? Kenapa tua bangka seperti itu masih mau bermain pasir? Mana pasirnya baru kehujanan kemarin malam.

Sedari tadi, Ino panggil tak sekalipun Niisan menjawab. Jika saja Ino bisa, mungkin sudah semenjak tadi ia turun lalu menampar keriput itu. Sayangnya Ino tak bisa ke sana—lebih tepatnya badannya terlalu pendek untuk menapaki tanah. Naik ke ayunan tadi saja, Ino digendong Niisan—dan si Keriput menyebalkan itu justru seenak jidatnya meninggalkan Ino dengan permainannya sendiri.

Oh Kami, kenapa Ino harus menolong seorang penuaan dini yang tak tahu diri seperti Niisan?

"Niisan menyebalkan!" Ino hampir menangis saat obsidian legam itu sama sekali tak menoleh. "Aku ingin turun!" Ia berteriak kencang.

Itachi seketika menoleh, menatap wajah memerah yang masih berada di atas ayunan. Uchiha sulung ini merutuki dirinya yang meninggalkan Ino begitu saja—hanya untuk membangun istana pasir yang tak jua jadi. Dengan tergesa Itachi berdiri—setengah berlari menghampiri Ino yang masih menahan tangis.

Untungnya, taman bermain di kota tengah sepi. Jika tidak, bisa dipastikan Itachi akan menjadi pelaku utama segala asumsi kejahatan anak di bawah umur.

"Ada apa?" Dengan pakaian yang masih terkena pasir di beberapa bagian, Itachi berjongkok di hadapan gadis cilik yan masih terisak.

"Niisan jahat!" Ino menahan sesenggukan. "Aku tidak bisa turun." Ia terisak histeris—kali ini menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangan.

Figur jenius itu menghela napas pelan. Menghadapi seorang bocah cilik perempuan berkali lipat lebih sulit dari yang Itachi bayangkan. Bahkan terasa beribu kali lebih berat dibanding mengurus Sasuke yang tengah manja padanya.

Ia tetap diam. Mengamati wajah yang bersembunyi di balik kedua telapak tangan itu dengan seksama—hal yang mungkin bisa ia lakukan untuk esok dan seterusnya. Entah mengapa, Itachi tak merasa sedikitpun bersalah menatap Ino yang menangis kali ini, berbeda dengan sebelumnya.

Setidaknya tangisan Ino kali ini bukan karena kesedihan atau semacamnya.

Ino yang telah mereda tangisannya mengintip ekspresi Niisan dari celah jemarinya yang terbuka. Harapan Ino untuk mendapati raut khawatir, bersalah ataupun kecewa lenyap. Niisan tetap memasang wajah sedatar triplek dengan tingkat kebekuan pandangan maksimal.

Sekal lagi, sedatar triplek dengan tingkat kebekuan pandangan maksimal.

Si pirang cilik ini benar-benar tak habis pikir, apakah Niisan tak memiliki stok ekspresi lain selain begitu-begitu saja? Dan ke mana seorang yang nampak begitu hangat kemarin malam?

Ah, kemarin malam mungkin Ino hanya bermimpi.

Tapi jika bermimpi, kenapa pelukannya terasa sampai pagi hari?

"Sudah?"

Ino menghentikan pemikirannya saat sosok di hadapannya menurunkan kedua tangan Ino yang menutupi wajahnya. Obsidiannya menghangat—dan inilah seorang yang Ino rasakan pelukannya kemarin.

Seorang yang sama juga telah membuat Ino merasakan bagaimana kasih sayang seorang ayah. Mungkin.

"Aku tak bisa turun." Ino mengerucutkan bibirnya manja—dan entah mengapa itu membuat Itachi ingin sekali mengecupnya.

Eh?

Mengenyahkan pemikiran tak layak umur itu, Itachi bertanya, "Tak jadi minta didorong?"

Ino membuang muka—pura-pura ngambek. Membuat Itachi teringat akan adiknya yang juga sering bertingkah seperti itu ketika merengek. Pewaris utama Uchiha ini tersenyum simpul sebelum berdiri di belakang Ino, bersiap untuk mendorong ayunan.

"HUA!" Ino memekik senang ketika ayunan yang ia duduki semakin melambung. Wajah sendu pasca menangisnya bahkan tak dianggap sebagai sesuatu yang berarti. "Niisan, lebih tinggi, ya?"

Tanpa berniat menjawab, Itachi menuruti kemauan Ino. Menikmati detik demi detik hal yang tak bisa ia dapatkan di Konoha nantinya.

.

.

.

.

.

Childhood

Sebuah cerita fiksi dari Ayam Rusa

Itachi U. — Ino Y.

Waspada! Lautan typo, nista serta OOC

.

.

.

.

.

"Niisan, gendong aku!" rengek Ino manja. Itachi pun hanya bisa menghela napas menghadapi tingkah si pirang ini.

"Ye!" Ino segera memeluk leher Itachi saat Niisan Ino itu berjongkok memunggungi Ino. Entah terlalu bersemangat atau memang Itachi yang belum siap, Uchiha sulung itu nyaris tersungkur ke depan saat tiba-tiba Ino melompat ke punggungnya.

"Kau ingin ke mana?"

Ino menggeleng—terlihat dari gerakannya di punggung Itachi. Ia kemudian menyandarkan kepala dengan nyaman di punggung Niisan—yang terasa begitu nyaman. Bahkan lebih nyaman dibanding kasur empuk Ino di panti sekalipun.

Alih-alih menjawab pertanyaan Niisan, Ino justru terkikik geli, "Hihi ..."

Sekali lagi, Itachi memasang wajar datar.

"Punggung Niisan hangat. Aku jadi ingin selalu digendong Niisan kalau begini." Ino kembali menyandarkan kepalanya. Mencium aroma baju baru yang ia belikan kemarin malam.

"Hihi ... aku senang digendong Niisan."

Sekelebat kenangan Itachi bersama Sasuke melintas. Ia menghentikan langkah tanpa tujuannya. Mengingat segala hal yang membuat adik kecilnya iri padanya, semua tentang Sasuke yang selalu ingin seperti kakaknya, Sasuke yang mati-matian ingin mendapat perhatian Fugaku.

"Jika Niisan sudah lulus Sekolah Atas nanti, aku pasti juga sudah lulus Sekolah Dasar."

Dan Sasuke yang menganggap Itachi adalah orang terhebat yang pernah ia temui.

"Niisan?" Ino tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya ketika Itachi menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Ia menengok dari balik punggung Itachi—pemuda itu menatap lurus ke jalanan di depannya.

"Sasuke ..." gumam Itachi lirih—namun Ino tentu dapat mendengarnya dengan jelas.

Kedua iris biru kehijauan itu mengerjap bingung ketika gumaman Niisan terdengar jelas ke telinganya. Sasuke? Apa nama Niisan itu Sasuke?

Ah, ini memudahkan Ino untuk bertemu dengan Niisan di masa yang akan datang.

"Niisan, Niisan baik-baik saja?" Ino kembali menengok dari balik bahu Itachi—namun pemuda itu masih bergeming. Sosok mungil delapan tahun itu tersenyum singkat sebelum menarik pipi Itachi, membuat sang pemilik manik kelam itu menolehkan kepalanya. "Niisan baik-baik saja?" Ino mengulang kembali pertanyaannya.

Mencoba untuk tak membuat gadis kecil ini lebih khawatir, Itachi bergumam, "Hm."

Ino tertawa kecil sebelum kembali menyandarkan kepalanya ke punggung tegap Niisan. Sementara Ino sibuk mencari kehangatannya, Itachi justru tetap melangkah tanpa pasti. Tak ada yang menarik di pertengahan musim gugur ini. Hanya dedaunan tumbang yang terkadang hinggap.

"Niisan, ayo kita menyewa sepeda." Penuturan Ino ini tentu membuat Itachi menatap si pirang di gendongannya dengan tatapan membunuh.

Bersepeda katanya?

Seumur-umur, membayangkan dirinya sendiri menaiki sepeda adalah hal ke sekian yang terlintas di otak jeniusnya. Bukan apa-apa, syarat superior bagi seorang pewaris utama sepertinya tak memberi waktu barang sedikit pun melakukan hal yang tak ada sangkut-paut dengan Uchiha.

"Aku tidak bisa bersepeda."

"Eh?" Ino kembali mengangkat kepalanya, "Tidak bisa?"

Uchiha sulung itu tak perlu menjawab kembali untuk membenarkan pertanyaan Ino.

"Hihihi ..." Setan cilik serupa Ino tentu memilki beribu alasan untuk memaksa Niisan serupa Itachi menuruti kemauannya. Ia tersenyum penuh arti sebelum berkata, "Niisan, bisa turunkan aku?"

Sedetik kemudian Ino sudah menapaki kakinya ke tanah. Jemarinya turun untuk mengenggam jemari Itachi kuat. Kali ini si Yamanaka kecil yang menuntun Uchiha ternama melangkah. "Aku pasti mengajari Niisan. Tenang saja, Ino Yamanaka itu bidadari luar dalam." Ino terkekeh sendiri mendengar penuturan penuh percaya dirinya.

Meski Itachi tak menjawab, diam-diam pemuda yang memiliki tanda lahir di wajahnya itu menatap Ino dengan senyuman tertahan. Tautan jemari di bawah sana pun semakin erat. Membiarkan angin beku yang membelai keduanya terbantahkan oleh genggaman yang tak ingin saling kehilangan.

Jika bisa, mungkin Itachi Uchiha akan menukar semua yang ia punya dengan kebebasan seperti ini.

Bebas. Hangat. Juga menenangkan.

.

.

.

.

.

Ino melompat-lompat kecil saat melewati bagian lain dari taman kota Uzushio yang dipenuhi dengan pohon mapel. Aroma khas air hujan yang turun kemarin masih sangat terasa—belum lagi guguran daun kecoklatan yang membelai jalanan setapak ini.

Betapa menyenangkannya jika Ino bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk menikmati hal-hal seperti ini.

"Ah, itu tempat penyewaan sepedanya." Ia bersorak girang sebelum setengah berlari menghampiri deretan sepeda berbagai model. Menyeret Itachi untuk bergegas mempercepat langkah keduanya.

Namun begitu Ino sudah berapa di antara deretan sepeda itu, Itachi terlupakan. Sosok cilik yang begitu cantik itu terlalu sibuk dengan dunianya sendiri dalam memilih sepeda. Dan Itachi memang tak berniat menganggu kegiatan Ino. Bisa lain ceritanya jika ia ikut ke sana lalu penjajan sewa sepeda itu tahu jika ia adalah Itachi Uchiha.

Karena itulah, Itachi lebih memilih untuk menunggu Ino seraya menikmati hembusan angin musim gugur yang menggelitiknya di bawah salah satu pohon. Mungkin Konoha jauh lebih indah saat musim gugur dibanding Uzushio. Tapi Itachi tak pernah bisa menikmati hembusan angin yang menggoda seperti ini.

Sulung dua bersaudara ini tersenyum miris jika mengingat dirinya sendiri yang selalu terkurung di balik megahnya mansion utama Uchiha. Menatap matahari pun seolah hal yang jarang dilakukan Itachi. Yang ia tahu adalah menjadi yang terbaik dan selalu melakukan segala hal untuk menjadi yang terbaik.

Bahkan dengan Sasuke yang hakikatnya adik Itachi sendiri, ia merasa terbatasi dinding kokoh yang tinggi.

Jika bersama keluarga sendiri saja merasa lain, lalu apa kabar dengan dunia luar?

"Niisan!"

Obsidian miliknya teralih—menatap Ino yang tengah menuntun sepeda dengan ekspresi berbinar. Seketika saja matanya memincing tak suka menatap sepeda yang dua kali lebih besar dibanding Ino.

Model sepeda perempuan? Itachi tentu masih bisa menerima ini.

Beroda tiga? Uhm, cukup masuk akal bagi ia yang belum bisa menaiki sepeda.

Dan berwarna ungu? Yang benar saja!

"Niisan, ini sepeda yang paling bagus," Ino berujar girang—seakan sudah memahami gengsi si wajah-peot-namun-tampan ini yang tentu akan memprotes keras.

"Aku tidak butuh sepeda bagus." Dan jika Itachi tengah dalam kerumunan para Uchiha, mereka pasti heboh mendengar kalimat utuh yang cukup panjang dari pemuda superior ini.

"Niisan ..." Ino kembali merajuk. Sepedanya telah terjagang dengan sempurna—menyisakan sepasang sosok di bawah umur yang tengah beradu argumen. Ino segera menghampiri Itachi, menggoyang-goyangkan lengannya memohon, "Ya?"

Lagi-lagi pewaris utama Uchiha ini harus membuang segala macam idealismenya. Hanya demi gadis kecil yang telah berbaik hati menolongnya. Hanya demi dia.

Oh, terkadang dunia memang apalah-apalah sekali.

—Childhood—

"Niisan, kayuh sepedanya."

"Aduh-duh, jangan bergetar."

"Niisan, jangan seenaknya berniat menghancurkan sepeda orang."

"Niisan, ayo-ayo. Kayuh seperti itu."

Entah apalagi yang terlontar dari bibir mungil itu ketika pemuda berwajah boros selaku Niisan lagi dan lagi tak bisa mengayuh sepeda ataupun menyetir dengan benar dengan menabrakkannya ke pohon-pohon terdekat. Ino tak akan pernah menyangka jika mengajari seseorang bersepeda akan lebih susah dibanding menggantikan popok adik-adiknya di panti asuhan.

"Niisan bisa mengendarainya ke arah yang lapang bukan? Kenapa harus selalu menabraki pohon, sih?" gerutu Ino frustasi. Padahal ia telah memilih jalanan setapak sepi yang cukup lebar. Tapi tetap saja Niisan mengendarai sepedanya untuk menabrak pohon. Apaan-apaan coba?

Kini keduanya tengah duduk di bangku tepian taman. Napas Ino nampak tak teratur, begitu juga Itachi yang tiba-tiba merasa dungu saat menaiki sepeda. Sepeda yang Ino sewa pun sedikit terlihat tak berbentuk—Ino meringis tertahan menatapnya. Apa yang akan ia katakan pada orang tua yang menyewakannya nanti?

"Niisan?"

"Hn."

"Aku tidak pernah bersepeda." Ino menyandarkan kepalanya ke bahu Itachi. "Aku bisa bersepeda, tapi tidak pernah berkeliling dengan sepeda. Akan terdengar lucu jika penjajan onigiri di stasiun menggunakan sepeda untuk berjualan." Ia terkikik sendiri setelah mengatakannya. Padahal bagi Itachi tak ada hal lucu yang harus ditertawakan dari kalimat Ino.

"Aku juga ingin sebenarnya." Ino menghela napas dalam. Memandang pucuk terjauhh dari tatapannya. "Ingin sekali malah ... bersepeda lalu berkeliling." Ino tersenyum miris menatap lurus ke depan. "Bersepeda, bermain, pergi ke sekolah ... hanya itu." Itachi hanya diam ketika merasakan bahunya basah.

"Tapi gadis panti yang miskin seperti itu tidak mungkin bisa melakukannya ... hiks ..."

Itachi menolehkan kepalanya, menatap kepala pirang yang semakin menenggelamkan wajahnya di balik bahu Itachi. Mengenggam lengan Itachi kuat-kuat. Bahkan dunia ini terasa begitu tidak adil untuk orang kaya ataupun seorang yang serba kekurangan.

"Aku juga ingin ... ingin sekali ..." Tangisan pilu itu semakin memekikan telinga pemuda tiga belas tahun ini. Tetapi ia juga tak bisa berbuat banyak untuk menenangkan Ino. Hidupnya tak jauh berbeda dengan sosok cilik bermanik aquamarine ini.

"Aku benci seperti ini ... h-hiks ... tapi aku tak bisa melakukan apa-apa ..."

Sang pemuda tersenyum pahit sebelum ikut menenggelamkan wajahnya di balik helai platina gadis cilik yang tak jua menghentikan tangis pilunya. Menyembunyikan wajahnya sedalam yang ia bisa. Sementara kedua lengannya melingkar memeluk tubuh mungil itu ke dalam dekapannya.

Itachi kaya, tapi ia kesepian.

Ino iri dengan mereka yang kaya, tapi ia juga kesepian.

Sebuah kosa kata klasik yang dielu-elukan semua orang.

Kesepian adalah kata umum yang sering digambarkan dengan berbagai alasan. Semua hal mengiris yang akan menghasilkan ujung kata yang sama. Rasanya berbeda. Maknanya juga berbeda. Tapi mereka menyebutnya dengan satu kata yang sama.

Kesepian.

Itachi memiliki orangtua, namun ia iri dengan yang lain yang memiliki kebebasan.

Ino memiliki kebebasan, tapi ia lebih ingin memiliki orangtua.

Sebuah kontradiksi yang begitu adil, bukan?

Bahkan mungkin ketika ribuan orang di dunia ini hanya memikirkan permasalahan kecil seperti bertengkar dengan teman, merasa apa yang dimilikinya di bawah teman-temannya yang lain ataupun mereka yang meraung hanya demi sosok berlabel kekasih—Ino dan Itachi memiliki permasalahan mereka sendiri.

Permasalahan yang mereka irikan dari beberapa orang yang tak sempat mensyukuri hal itu.

Isakan itu semakin menjadi di dalam dada hangat Niisan. Sekali lagi mereka kembali mengulang masa-masa menguar mengenai diri masing-masing. Dari balik sikap dingin, kaku, ramah atau ceria sekalipun, tetap tersimpan berjuta pandora yang akan terbuka suatu saat. Entah kini, nanti atau mungkin tak dapat ditentukan.

Mungkin hanya perasaan Ino, atau memang kepalanya juga basah?

Tidak. Itu nyata.

Untuk pertama kalinya dalam tiga belas tahun, Itachi juga menitikan airmata karena takdir hidupnya.

Aku juga ingin seperti yang kau katakan, Ino.

.

.

.

.

.

Pada dasarnya Ino bukanlah gadis cengeng. Ia kuat dengan caranya sendiri. Di saat adik-adiknya hanya bisa menunggu dan berharap menemukan sosok dari keluarga terpandang yang akan mengadopsi mereka, Ino bisa mencari uang dengan jalan yang ditempuhnya. Sewaktu anak seusianya hanya bisa menunggu instruksi guru atau tenaga pengajar lain, Ino sudah mandiri untuk menemukan dan memahami apa-apa saja yang menjadi pembelajaran umum.

Atau pada masa teman yang lahir seangkatan dengannya hanya bisa bergelung dalam selimut tebal ditemani secangkir coklat hangat saat puncak musim dingin, Ino cukup kuat dengan pakaian hangat yang ia miliki untuk tetap berjalan mengitari stasiun—terkadang hingga ke penjuru pusat kota juga.

Ia hebat? Tentu saja Ino hebat.

Ia tumbuh dengan baik melebihi siapa pun yang lahir di tahun yang sama dengannya.

Bisa dibilang, ia terlalu cantik untuk ukuran gadis tak mampu.

Namun ... adakalanya Ino juga merasa ia akan jatuh. Saat di mana pikirannya terpaku pada boneka-boneka mahal yang bagus, pakaian yang selalu berganti setiap harinya, makan dengan makanan yang sehat di salah satu restoran mahal.

Apalagi jika menatap seseorang akan menepuk kepala, menggendong atau sekedar sepasang yang menggengam jemarinya.

Sempat terpikir di benak Ino bayangan-bayangan seperti itu. Bagaimana rasanya ... betapa hangatnya ...

Tetapi Ino tak hidup dalam dunia impian.

Ini dunia nyata, tempat di mana Ino harus menerima semua yang terjadi dalam hidupnya.

Ia yang tak bisa mendapat boneka-boneka mahal, Ino yang tak bisa mendapat dua genggaman pada jemarinya, dirinya yang hanya bisa memakan makanan seadanya. Mau tak mau itu harus diterima.

"Memikirkan apa?"

Ah, mungkin Ino bisa mencoret mengenai genggaman yang ia dapatkan. Karena Ino telah mendapatkannya dari dua orang berbeda. Sama-sama hangat, lebih hangat dibanding yang Ino bayangkan.

Mito-baachan dan Niisan.

Dua-duanya mungkin yang akan menyinari Ino nanti.

"Tidak ada," ujar Ino dengan senyum simpul.

Keduanya kini tengah berjalan di sepanjang kios-kios di pusat kota. Wajah Ino tidak lebih baik dibanding kemarin malam. Pun dengan Itachi tak jauh berbeda. Pemuda Uchiha itu tetap memasang wajah datar. Bedanya, kali ini sarat akan kesenduan.

Tinggal menghitung mundur tiga jam lagi ia akan kehilangan semuanya.

Menatap gadis kecil yang berjalan beriringan dengannya kini membuat Itachi semakin tak ingin untuk segera beranjak. Atau minimal ia bisa menghentikan waktu untuk membuat kebersamaannya dengan Ino terasa semakin lama.

Ada hal-hal mengenai rasa syukur yang ia pelajari dari Ino. Begitu pula mengenai kerja keras dan pandangan yang berbeda tentang pendidikan. Ini membanggakan atau menyedihkan, namun Itachi mempelajari semua itu dari figur kecil yang seusia dengan adiknya.

Terkadang ia yang berusia remaja tak bisa menanggapi beberapa hal dari sisi yang berbeda seperti apa yang dilakukan Ino. Hal-hal yang tadinya terabai—parahnya tak pernah singgah di pola pikir Uchiha sepertinya kini berbeda.

Setidaknya, bukan hanya Itachi yang merasa jika dunia ini tak adil.

Di luar sana ada lebih banyak yang ingin mengenyam segala hal sepertinya. Ada pula yang memberi Itachi pelajaran mengenai kebebasan yang selalu ia elu-elukan di setiap waktu. Lain kali, ia tak akan naif dalam menanggapi sesuatu.

Harta Uchiha membuatnya hidup dalam keemasan—hingga tersangkar.

Kebebasan Ino memberi luang untuk lebih leluasa—sampai-sampai hal yang menjadi pilihannya saat dewasa ia lakukan di usia belia.

Mungkin karena itulah mereka dipertemukan.

Kruyuk ...

Ino menekan sendiri perutnya yang berbunyi nyaring. Dengan wajah memerah ia menatap sekeliling—yang untungnya masih lenggang. Namun ketika ia menoleh untuk menatap Niisan, pandangan geli yang ia dapatkan.

Manik bening menyegarkan itu mengerjap bingung. Tidak seperti sebelumnya, pemuda yang mendadak nyaris menggelandang ini memberinya pandangan yang ... uhm, cukup membuat Ino berpikir jika dirinya memang begitu menggemaskan—hingga sanggup meluluhkan si balok es satu ini.

"Kau ingin makan apa?"

Ino menggeleng pelan, "Tidak usah. Nanti saja."

"Kenapa?" Ino menolehkan kepalanya saat langkah kaki Niisan terhenti. Kembali ia mengerjap bingung.

"Niisan bertanya?" tanyanya memastikan. Pasalnya dari nadanya, itu jelas lebih menyerupai seruan.

Lagi-lagi Itachi hanya bisa mengambil napas dalam. Karena jarang berinteraksi dengan Sasuke, ia menjadi sedikit geregetan dengan gadis pirang lucu ini. Atau memang Ino yang terlalu polos?

"Ayo pergi membeli makanan."

Belum sempat Ino melontarkan kalimat protes atau semacamnya, Niisan kembali menarik lengannya.

.

.

.

.

.

Seharusnya Itachi mempertimbangkan dahulu dampak sebelum ia mengeluarkan kata-kata. Terbiasa hidup dalam gelimangan harta dan tak sempat membuatnya melirik berapa angka nominal yang dihabiskannya untuk membeli sesuatu benar-benar membuatnya lupa diri jika ia kini tak lebih dari seorang gelandangan (sayangnya dia gelandangan paling menawan yang pernah ada) yang tengah menerima kebesaran hati bocah panti asuhan.

Astaga! Ke mana IQ sekian ratus milikmu itu, heh Uchiha?

"Niisan ingin ramen?" penuturan Ino membuyarkan pemikiran Itachi.

Sejujurnya, tentu uang jajan gadis seusia Ino berada jauh di bawah standar yang ditetapkan kedai-kedai di pusat seperti ini pada umumnya. Namun Itachi tak tahu berapa banyak tabungan yang si pirang ini miliki. Dan Itachi memang tak berniat mencari tahu.

Surai hitamnya tergerak pelan seiring gelengan kepala, "Tidak. Kau ingin ramen?"

Ino nampak berpikir, "Kalau misalkan aku makan ramen, Niisan tidak apa-apa?"

"Kenapa?" Entah berapa kali kalimat tanya namun bernada seruan itu terlontar dari bibir Uchiha sulung ini.

"Tidak apa-apa, sih." Ino nampak salah tingkah. Menggaruk dahinya yang sama sekali tak gatal dengan ekspresi kikuk, "Niisan memangnya pernah makan ramen?"

Pertanyaan ini tentu membuat seorang di samping Ino bungkam seribu bahasa.

Seharusnya pernah. Toh ia juga pernah menjadi siswa asrama yang asupan nutrisinya tak terlalu teratur—itu jika dirinya bukan bagian dari Uchiha. Masalahnya, dia Uchiha. Mau diapakan juga para Uchiha selalu terlahir dengan kecukupan. Ya kecukupan. Terkecuali kecukupan batin.

"Niisan?"

Obsidiannya menusuk aquamarine yang kini menatapnya penuh tanya, "Kau saja yang makan. Aku masih kenyang." Tangan Itachi terulur mengacak surai platina sebahu dengan gemas.

"Sungguh?"

Uchiha sulung ini kembali mengangguk.

"Tapi Niisan temani Ino makan, ya?"

"Hm."

Sebuah gumaman singkat itu berhasil membuat Ino mengembangkan senyumnya semakin lebar.

—Childhood—

Manik kelam Itachi menyapu sekeliling kedai yang nampak lenggang. Tak banyak orang yang singgah untuk mengisi perut mereka dengan ramen siang ini. Walau siang sekalipun, Uzushio tetap saja dingin. Jadi makan ramen di siang hari bukan sebuah opsi buruk.

"Niisan sungguh tidak ingin makan?" Ino menatap figur yang duduk di depannya khawatir. "Niisan belum makan semenjak kemarin, jika Niisan lupa," lanjutnya mengingatkan.

"Tidak apa-apa. Aku bisa makan saat sudah sampai Konoha," sahut Itachi menenangkan. Kalimat terpanjang yang diucapkannya selama bercakap di depan umum.

Bibir mungil Ino mengerucut sebelum memisahkan sumpit yang sedari tadi digenggamnya. Ia sengaja memesam ramen jumbo—berharap agar bisa bergilir makan dengan Niisan. Tidak tahunya si wajah boros ini malah mengatakan agar Ino memakan semuanya sendiri.

Memangnya aku apa? Babi? —oke itu memang arti namaku.

"Pantas saja badan Niisan kurus kering seperti papan cucian," ceplos Ino kesal sebelum menyuapi ramen yang masih panas dengan beringas. Sesekali ia bahkan mengangkat mangkuknya untuk meminum kuah.

"Badannya saja sudah seperti korban kelaparan di Afrika." Afrika itu mana? Apa nama gang di dekat stasiun ini?

Namun Ino harus menelan bulat-bulat kekecewaannya saat menyadari Niisan sama sekali tak berniat untuk peduli. Menoleh barang sedikit pun tidak. Obsidiannya senantiasa menyapu sekeliling kedai dengan pandangan campur aduk.

"Wajahnya boros. Badannya kurus. Apa lagi yang harus dibanggakan darinya?"

Lagi-lagi Itachi acuh tak acuh.

"Niisan?"

"Hm."

Dengan tingkat kedongkolan yang mencapai ubun-ubun, Ino berusaha untuk tidak mematahkan sumpitnya, "Menolehlah."

"A—Hmmp." Kedua tangan Itachi terangkat begitu menerima suapan paksa Ino. Mulutnya yang nampak penuh semakin dipermanis dengan sisa kuah ramen yang menempel pada sudut-sudut bibirnya.

Ah, gadis ini memang lebih baik dari apa pun. Dan kau melupakan itu, Itachi!

"Jika tidak begitu, Niisan pasti tak akan makan," ujar Ino enteng sembari kembali menyuapkan ramen itu ke mulutnya. Mengabaikan pandangan tajam yang jelas-jelas ia dapatkan dengan sukarela dari sosok Itachi Uchiha—yang ia panggil dengan sebutan Niisan.

Masih dengan pandangan tajamnya, Itachi memilih untuk ke toilet—membersihkan sisa kuah yang sedikit mengotori pakaiannya. Tapi niat itu harus ia urungkan begitu lengan kecil itu mengenggam lengannya kuat—memaksanya untuk kembali duduk.

"Mau aku suapi lagi?"

Tanpa ia menolak pun, Ino pasti memiliki sejuta cara untuknya agar membuka mulut. Jadi, dari pada ia silang argumen dengan gadis itu yang akan berbuntut panjang, Itachi lebih memilih membuka mulutnya.

"Begini bukankah lebih enak? Aku senang bisa makan bersama Niisan."

Lebih enak jika makanannya sedikit mendekati layak, batin Itachi tak terima.

Ramen jelas bukanlah makanan yang memenuhi gizi seimbang. Dan malaikat kecil di hadapannya ini menganggap memakan makanan seperti ini bersamanya adalah peristiwa yang cukup mengesankan.

Suatu saat nanti, Itachi Uchiha akan memastikan sendiri jika Ino Yamanaka mendapat apa yang lebih baik dari apa yang didapatkan sosok cilik itu kini.

Ya. Tentu saja.

Uchiha tak pernah melanggar ucapannya sendiri, bukan?

.

.

.

.

.

Jam umum di stasiun masih menunjukkan pukul dua siang saat Itachi dan Ino kembali menapaki langkah kaki mereka di sana. Semua hal yang menurut Ino menyenangkan telah dilakukannya bersama Niisan.

Mulai dari membuat istana pasir, bermain sepeda, makan siang bersama, mengunjungi beberapa tempat yang konon memiliki jiwa magis yang kuat, hingga mengitari taman kota Uzushio seperti apa yang sering Ino tonton di televisi.

Itu semua ... dan masih menyisakan satu jam.

Waktu yang memang terlampau lambat, atau memang mereka yang terlalu cepat menyelesaikan permainan mereka?

"Niisan, kita menunggu di sini?" Ino memasang wajah waspada ke sekeliling. Dahinya mengerut bingung mendapati stasiun yang tak seramai biasanya. "Sepi sekali."

"Memangnya kau ingin ke mana?" Itachi menyapu pandangannya mencari bangku kosong yang terabai dari pandangan orang-orang.

"Entahlah." Ino kembali mengamit lengan Itachi. Ia nampak berpikir bingung sebelum kembali bersua, "Aku mendengar jika tak jauh dari sini ada kedai es krim. Mau ke sana?"

Itachi menggeleng, "Jangan terlalu boros dengan uangmu, Ino."

Ino mengerucutkan bibirnya sebal, "Ya sudah. Kita duduk saja." Ia melepas apitan lengannya di lengan Niisan.

Pemuda bersurai hitam itu hanya diam mengamati gerak-gerik Ino. Sesekali obsidian miliknya menyapu sekeliling. Sepertinya Itachi berniat mencari seseorang—entah siapa. Ino yang setengah kesal mengabaikannya. Pipinya menggembung, jemari mungilnya terkadang terangkat untuk menusuk-nusuk pelan pipinya.

Suara kereta datang mengalihkan perhatian Ino. Ia mengalihkan pandangannya lurus ke depan, menatap gerbong panjang yang masih melaju lambat sebelum akhirnya berhenti. Stasiun yang tadinya lenggang berubah ramai. Hirup pikuk yang biasanya menjadi keseharian Ino pun kembali terasakan.

Bedanya, kali ini ia tak membawa apa pun untuk dijajakan.

Netra jernihnya kembali menyapu para penumpang yang sibuk hilir mudik—terkadang bahkan saling bertabrakan satu sama lain. Sejauh matanya dapat menangkap obyek, tak ada satu pun di antara penumpang itu yang berusia belia sepertinya. Semuanya terlihat seperti orang dewasa.

Di tengah-tengah pemikirannya itu Ino tersenyum simpul.

Adakah orangtuaku di antara mereka?

Sayangnya Ino harus mengubur impiannya itu untuk ke sekian kalinya. Ia harus bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang. Berbekal dari cerita Niisan yang memiliki kedua orangtua namun hidupnya terkesan menyeramkan, Ino harus mensyukuri kebebasannya.

Yah, meski rasa iri itu semakin menggerogotinya. Ino tidak apa.

Ino tak apa. Ia kini memiliki orangtuanya sendiri.

Ayah—sekaligus Niisannya. Juga Mito-baachan sebagaoi ibunya.

Benar, bukan?

"Kenapa sendirian saja, gadis kecil?" Iris biru kehijauan itu menoleh ke arah samping—menatap wanita paruh baya yang kini tengah menatapnya dengan senyum ramah.

"Aku mengantarkan seseorang, Baasan." Ino membalas senyumannya tak kalah ramah. Ia hendak memanggil Itachi—tapi pemuda itu tak menapakai batang hidungnya. Di tengah kepadatan stasiun seperti ini sulit bagi Ino untuk mencari. "Dia masih ke toilet mungkin." Ino nyengir kaku menyadari sosok yang ia tunjuk tak berada di tempatnya semula.

"Ah, begitu?"

Ino mengangguk, "Hm. Baasan sendiri?"

"Entahlah." Wanita paruh baya itu menapaki wajah lelah. "Kau mau diramal?"

"Ramal?" Alis Ino menukik tajam. "Ramal itu apa, Baasan?"

Tanpa diduga Ino, wanita yang rambutnya telah memutih di samping Ino ini justru tertawa, membulat tukikan alis Ino semakin terjal. "Aku lupa jika kau masih kecil. Baiklah, mungkin kau mau kuberi jimat?"

"Jimat?" Manik aquamarine Ino nampak berbinar. "Jimat untuk mengikat seseorang agar bertemu lagi ... apa ada yang seperti itu?" tanyanya penuh harap.

Wanita paruh baya itu mengeluarkan beberapa benda dari balik kantungnya. Membuat si cilik pirang ini cukup takjub. Gelang, kalung, cincin, anting, batu, bahkan ada pula bebatuan. Cukup aneh memang.

"Kau ingin mengambil yang mana?"

"Uhm ..." Ino memegang beberapa cincin dan gelang. "Boleh dipegang, Baasan?"

Wanita paruh baya ini mengangguk.

Jemari mungilnya memegang beberapa benda itu bergiliran. Seraya berpikir, ia menatap aksesoris ataupun bebatuan. "Baasan, ini batu apa?" Ino menunjuk batu berwarna legam yang nampak suram.

Mirip seperti manik serta surai Niisan, bukan?

"Itu batu obsidian hitam." Sosok yang nampak berusia pertengahan abad ini menatap Ino dengan pandangan penuh perhatian. "Melambangkan misteri, dingin, teguh dan juga pribadi yang tertutup."

Walau ia tak mengerti, Ino tetap mengangguk-anggukan kepalanya. "Lalu biasanya batu seperti itu digunakan untuk apa?"

"Mereka memakainya sebagai perlambangan—atau bisa juga dijadikan perhiasan." Figur yang masih terlihat cantik di usianya itu mengambil salah satu cincin bermata obsidian hitam. "Biasanya dijadikan seperti ini."

"Ah ... lalu ini batu apa?" Ino kembali menunjuk sebuah batu bening. Kali ini batu yang diambil Ino terlihat berpuluh kali lebih berkilau dibanding batu hitam tadi. "Cantik sekali ..." takjubnya terpesona.

Wanita itu tersenyum, "Bukankah warna manik matamu seperti ini? Ini batu aquamarine. Biasanya disebut batu air laut. Artinya kebesaran, keindahan, kasih sayang dan keterbukaan."

Perlu dicatat jika sosok nenek-nenek ini tengah berbicara dengan gadis delapan tahun yang sedikit pun tak pernah menikmati enyaman di bangku sekolah.

"Uhm ..." Sekali lagi Ino hanya bisa mengangguk. "Bagaimana dengan kalung ini?"

Kalung yang ditunjuk Ino adalah kalung sederhana dengan bandul berupa cincin kecil berjumlah tiga. Cukup unik. Dari modelnya pun, kalung itu sepertinya pantas untuk dikenakan seorang laki-laki sekalipun.

"Itu kalung dasar dari bentuk tulang permohonan."

"Eh?

"Wishbone—tulang permohonan. Kau mungkin tidak pernah mendengar ini. Tapi ini adalah legenda. Jika mereka terpisah akan menjadi seperti itu." Perempuan pertengahan abad itu kembali menunjuk bandul kalung yang berjumlah tiga. "Bandul yang ditengah adalah saat bersama—harapan. Ini tentang hidup manusia."

"Hidup manusia?" Ino membeo. "Memangnya hidup manusia itu bagaimana?" Ia nampak penasaran.

"Meninggalkan. Ditinggalkan. Kebersamaan—harapan."

Ino menatap seksama kalung berbandul tiga itu. Apabila yang tengah adalah kebersamaan, berarti masing-masing bandul di lain sisi adalah orang yang meninggalkan atau ditinggalkan.

Meninggalkan. Ditinggalkan. Kebersamaan.

Bukankah itu cukup manusiawi? Manusia yang hidup bersama akan membangun sebuah harapan. Mereka yang meninggalkan akan membuat ditinggalkan hidup bersama sisa-sisa harapan yang dibangun.

Selalu saja seperti itu.

Meninggalkan. Ditinggalkan. Kebersamaan—harapan.

Kematian. Kebosanan. Keadaan.

Pasti ada alasan bagi manusia untuk menjadi sosok yang meninggalkan atau yang menjadi yang ditinggalkan, bukan?

Lalu pada akhirnya kebersamaan yang telah mengukir harapan akan menjadi penghubung mereka. Hal ini terlihat jelas berlaku pada kematian. Lalu juga keadaan—di mana keduanya pasti membuat janji yang diucapkan satu atau dua belah pihak.

"Apa pun yang terjadi nanti, kau harus mencariku. Cari aku sampai aku bisa menemukanmu."

Kebersamaan—harapan.

Sesuatu yang dikatakan Niisan seperti sebuah harapan, 'kan?

"Jadi, kau mau mengambil yang ini, Gadis kecil?"

Lamunan Ino buyar seketika. Iris biru kehijauan itu menatap sosok di hadapannya linglung sebelum mengangguk yakin, "Terima kasih, Baachan. Aku akan mengambil yang ini."

"Semoga kalian bertemu lagi."

Kali ini anggukan Ino lebih semangat dibanding sebelumnya, "Pasti."

Kematian. Kebosanan. Keadaan.

Meninggalkan. Ditinggalkan. Kebersamaan.

Hal kecil yang terabai oleh manusia pada umumnya. Sedikit yang tahu mengenai ketiga susunan kasta itu. Tapi kenyataan hidup manusia hanya akan seperti itu. Dan hal mendasar yang membuat ketiganya hanyalah kematian, kebosanan, juga keadaan.

—Childhood—

"Niisan dari mana saja sebenarnya?" Ino tak dapat menahan amarahnya setelah figur berkulit putih yang memakai kaus putih itu menampakkan dirinya setelah sekian menit menghilang entah ke mana.

Seolah sudah paham mengenai perilaku Ino yang memang meledak-ledak sewaktu-waktu, Itachi justru memasang wajah tenang andalannya, "Aku dari toilet."

"Selama itu?" Letupan amarah jelas terasa dari pertanyaan Ino ini.

"Hm."

Hening ...

Dua sosok yang duduk berdampingan itu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Salah satu dengan manik obsidian gelapnya sibuk menatap figur di sampingnya. Sementara salah satu sibuk memandangi sosok lainnya, sementara yang lain sibuk memandangi orang-orang yang berlalu lalang.

Hal itu mungkin akan terus berlanjut jika salah satu di antara mereka tak membuka suara. Si cilik pirang lebih memilih untuk mengalah. Mengambil napas dalma sebelum mencoba untuk bersuara, "Niisan berjanji untuk menemukanku, 'kan?" Ia menunduk dalam. Membiarkan gurat tak rela yang terlalu nampak itu bersembunyi di balik surai pirangnya.

"Hm."

"Yakin?"

"Hm."

"Tidak akan lupa, bukan?"

"Hm."

"Janji?"

Setengah dongkol Itachi berujar, "Ya."

"A-aku ..." Iris segelap malam itu sepenuhnya mengalihkan pandangannya. Seorang berusia delapan tahun di sampingnya ini jelas bukan tipikal figur cilik yang akan tergagap begitu saja. "Aku takut ... Niisan melupakanku."

"Tidak akan."

Penuturan tegas Niisan membuat Ino mengangkat kepalanya. Dan betapa aneh rasanya Ino mendapati sosok dingin itu tengah tersenyum lembut. Hal ini tentu membuatnya ingin sekali berteriak tak terima karena Niisan kembali begitu cepat.

"Meninggalkan. Ditinggalkan. Harapan." Itachi mengacak rambut Ino gemas. Mengusap pelupuk yang menggenang itu sebelum menetes. "Sekarang percaya saja dengan itu." Ia kembali tersenyum.

Suara gerbong menandakan kereta akan segera tiba. Pemuda Uchiha ini bergegas berdiri seraya menengenggam lengan Ino untuk ikut berdiri. Itachi memposisikan dirinya berdiri berhadapan dengan Ino yang senantiasa menunduk.

"Di masa yang akan datang, percayalah ..." Ia tahu ini bukan hal yang ada dalam tuntunan Uchiha. Namun Itachi tetap saja menuruskan perkataan panjang lebarnya. "Kau. Aku. Dan bersama."

Ino tak dapat membendung airmatanya, "Aku tidak mengerti apa yang Niisan katakan." Kini tetesan itu berubah menjadi isakan pilu. "Aku tidak ingin mengerti. Aku hanya ingin Niisan tetap di sini. Aku—"

"Bukankah kau ingin memberiku kalung?" perkataan Ino dengan cepat dipotong Itachi. Remaja awal itu menarik lengan kanan Ino yang sedari tadi mengenggam kalung yang diberi wanita tua. "Pakaikan."

Gadis Yamanaka panti asuhan ini masih tetap dia. Matanya memerah serta suara sesenggukan masih terdengar dengan jelas.

"Ino?"

"Tidak mau."

Itachi tetap tak sedetik pun mengalihkan pandangannya dari Ino—yang tengah membuang muka. Membujuk anak kecil bukanlah keahliannya. Berkata kasar juga bukan kebiasaannya. Lalu, ia harus bagaimana?

Suara kereta yang terhenti membuat isakan Ino semakin terdengar jelas. Ia tak lagi membuang pandangannya ke arah lain. Melainkan menatap lurus ke dalam netra tergelap yang pernah ia temui. Kepalanya terdongak—menunjukkan raut kesedihan yang teramat.

Lebih. Lebih. Jauh lebih sakit dibanding malam dingin yang membalut mereka.

"Aku tidak ingin Niisan pergi," lirihnya dengan likuid yang senantiasa mengalir. "Sama sekali tidak." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat.

Pun jika bisa, Itachi juga ingin mengatakan hal yang sama. Toh tak terlalu banyak yang peduli dengan hidupnya. Sayangnya Itachi harus kembali. Secepatnya kembali ke sana agar ia lekas bertemu dengan Ino.

Tapi ... apakah Itachi Uchiha sendiri mampu melepas manik jernih yang selalu menatapnya sayang?

Tidakkah sulung Uchiha itu lebih bahagia dengan apa yang dimiliknya sekarang?

"Baiklah jika kau tak ingin memakaikannya untukku." Kini punggung tegap namun terlihat rapuh itu yang menghadap Ino. "Aku berharap kau sungguh mencariku."

Ino dapat mendengar dengan jelas jika kalimat dengan nada dingin itu begitu menyayatnya. Apa yang sebenarnya diketahui gadis cilik sepertinya? Kenapa rasanya begitu menyesakkan?

"Dan aku bisa mengatakan tiga kata untukmu."

Ino masih terisak.

"Selamat tinggal."

Bukan ini perpisahan yang diinginkan Itachi. Bukan ucapan dingin dengan nada keangkuhan sebagai salamnya. Tidak dengan saling memunggungi gadis yang membuatnya ingin segera menghadapi hidupnya di Konoha.

"Nii-niisan ..."

Ia masih bergeming.

Walaupun begitu, Itachi bisa merasakan jika sesuatu telah menggantung di lehernya. Disertai dengan Ino yang tengah berjengit untuk menyamakan tingginya dengan tinggi Itachi.

"Ino," Itachi merasakan tarikan kuat di kausnya. Ia hendak berbalik sampai kepala di balik punggung itu menggeleng. Kedua lengan mungil cilik ini juga melingkar di perut Itachi.

"Jangan berbalik. Jangan melihatku."

Tangisan itu terdengar semakin kencang. Semua calon penumpang pun seolah mengabaikannya—memilih untuk menekuni aktivitas mereka masing-masing. Suara derap langkah yang beradu membuat tangis Ino teredam keramaian.

Itu hanya bagi orang lain. Tidak untuk Itachi.

"Jangan mengatakan selamat tinggal."

Kaus putih itu pasti sudah kuyub.

"Hati-hati, Niisan. Dan ... sampai jumpa."

Setitik air itu juga menuruni pipi tirus sang pewaris Uchiha. "Sampai jumpa."

Pada akhirnya, ia bisa memasuki pintu kereta dengan senyuman serta sekali lagi rintikan air yang mengenai rahang tegasnya. Tak sedikit pun ia menoleh. Mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor tiketnya.

Niisan menepati janjinya, ia tak menoleh. Juga Ino yang membiarkan kepalanya selalu menunduk. Suara gerbong yang kembali beradu memekikan tangisannya. Diiringi dengan suara mesin kereta yang kembali menyala.

Sejak kapan mendengarkan suara kereta berjalan membuatnya sebegitu terpiuhnya? Bahkan setiap hari ia melintas—semua jenis suara kereta pernah ia dengar. Semua macam gerbong berwarna pernah Ino lihat.

Namun ... kenapa yang ini berbeda?

"Niisan ..." Ino mengangkat kedua telapak tangan untuk menutupi tangisannya yang kian menjadi. "Nii—hiks ..." Wajahnya yang belepotan airmata semakin mempermanis kesenduan Ino. "—hiks, Niisan ..."

Mengabaikan tatapan bingung orang-orang yang mengenalnya serta para petugas stasiun yang berulang kali menanyainya tentang kehilangan orangtua—Ino tetap sesenggukan. Beberapa kali ia sempat terbatuk karena tangisannya yang terlampau memilukan itu.

"Niisan ..." gumaman setia itu membuat tak seorang pun di sana yang sanggup menenangkan Ino. "Niisan ..."

Kerumunan itu terlihat semakin menjadi—bahkan ada dua petugas stasiun yang mencoba membujuk gadis cilik pirang itu untuk mengatakan apa yang telah terjadi dengannya. Lagi-lagi adalah nihil yang mereka dapatkan. Ino masih hanya berminat sesenggukan.

"Ino?"

Shikaku menghela napas berat. Langkah kaki pastinya membuat petugas stasiun lain mengangguk sopan sebelum berlalu. Petinggi di stasiun Uzushio ini berdiri tepat di samping Ino.

"Niisanmu ..." Ia merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukan. Membiarkan isakan yang menyebutkan satu kata yang sama tenggelam di balik seragam kerjanya.

"Dia pasti kembali."

.

.

.

.

.

SETENGAH OWARI

.

.

.

.

.

Shikaku tengah hikmat meminum kopinya sembari mengawasi pergerakan stasiun di Uzushio. Rutinitas di pusat membuatnya semakin ingin melarikan diri ke bagian pemantaun. Tumpukan kertas-kertas yang harus ia pikirkan itu tentu membuat pemalas sepertinya enggan.

Shikamaru baru saja menelponnya, mengatakan jika Naruto mungkin akan sangat bahagia jika tahu ia akan memiliki saudara. Namun Shikaku justru membalas jika bisa saja Shikamaru yang senang akan mendapat teman bermain baru.

Lalu gurauan ayah anak itu terpaksa berhenti ketika Yoshino mengambil alih telepon Shikamaru dan mengoceh panjang lebar pada Shikaku. Entah apa yang diucapkan istrinya itu—kepala keluarga Nara ini tak terlalu peduli, yang jelas itu pasti berhubungan dengan Minato yang mengeluh tentang lamanya pengecekan sarana prasarana di Uzushio.

"Shikaku-san, ada yang ingin bertemu dengan Anda."

Pria yang selalu menguncir rambutnya ini melirik bawahannya malas, "Siapa?"

"Itachi Uchiha."

Pastikan jika semburan kopimu itu tak mengotori layar kamera pengintai, Shikaku Nara!

—Childhood—

"Saya tidak menyangka jika akan bertemu dengan Anda, Nara-san." Pemuda bangsawan di hadapan Shikaku ini membungkuk hormat.

"Langsung saja, Uchiha." Shikaku menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Apa yang ingin kau katakan?"

Itachi Uchiha menatap Shikaku sekilas dengan pandangan dinginnya sebelum menarik sudut bibirnya. Oke, Shikaku hanya sering mendengar para Uchiha mengenai cerita anaknya yang seangkatan dengan kartu emas Uchiha di hadapannya. Tapi ia benar-benar tak mempertimbangkan jika Itachi Uchiha sekaku ini.

"Jaga Ino untukku, Nara-san."

Ingatkan Shikaku untuk tidak mencopot bola matanya karena kaget.

Barusan ia mendengar apa dari seorang pewaris utama grup ternama di Konoha?

"Sampai saatnya tiba, pastikan Ino baik-baik saja."

Karena memang pola pikir Nara yang matang serta ia yang cerdas, Shikaku sudah bisa mengambil kesimpulannya. Kedua kelopaknya turun—sepertinya hari-harinya akan semakin berat setelah ini.

"Maaf untuk pura-pura tak mengenali Anda kemarin." Dan bungkukkan dalam itu mungkin tak sempat terlihat oleh Shikaku. "Permisi."

Uchiha memang tak pernah memiliki pemikiran seseorang akan menolaknya. Mungkin karena itu pula Itachi Uchiha hanya mengatakan apa permohonannya tanpa perlu repot-repot memelas.

Shikaku mendesah keras.

Bahkan di usianya kini, ia merasa jika bebannya berkali lipat lebih merepotkan.

Inoichi yang memilih untuk menjadi ayah kejam yang menelantarkan puterinya begitu saja karena memilih untuk menanggung semua beban korupsi rekannya hingga memaksa ayah tunggal itu meninggalkan puterinya begitu saja di panti asuhan dengan sejumlah uang. Ataupun Ino yang selalu berbuat sesukanya.

Memang tak adil, bukan?

Jika adil, maka rekan seperjuangan Shikaku tak perlu masuk sel tahanan hanya untuk dosa yang tidak diperbuatnya. Apabila adil, tentunya Ino akan hidup dengan layak di tengah kehangatan dari ayahnya.

Yah, tapi tidak ada salahnya untuk mendapatkan keadilan bagi Ino sekali ini saja.

"Bagaimana jika dia melupakanmu, Itachi?"

Langkah kaki Itachi terhenti. Pemuda itu melirik Shikaku dari ekor matanya sebelum berujar, "Tidak akan."

"Kau tahu bagaimana Inoichi, bukan? Uchiha pasti menentangnya."

"Aku bisa mengurusnya, Nara-san." Itachi menolehkan kepala dari balik bahunya. "Anda hanya perlu menjaga Ino."

"Kau akan dijodohkan—bukankah itu pasti bagi para pewaris bangsawan ternama untuk mendapatkan yang berderajat sama?" Shikaku menyalakan korek api, membakar rokok yang entah sejak kapan bertengger di bibirnya, "Para Uchiha sepertimu pasti akan dikelilingi wanita. Ino bukanlah apa-apa bagi kalian."

Manik gelap Itachi bersembunyi di balik kelopaknya, "Itu tidak akan terjadi."

Shikaku menatap punggung Itachi—menuntut pemuda itu memberi penjelasan, "Kenapa kau begitu yakin?"

Dari balik punggung kokok yang nampak superior itu, Itachi Uchiha tersenyum. Berjalan meninggalkan Shikaku yang masih nampak mencerna dengan baik apa yang baru saja ia katakan. Seorang pewaris utama memang sungguh paham apa-apa saja yang harusnya terlontar dari mulutnya.

Untuk pertama kalinya, Shikaku Nara merasa jika ia kalah dengan seorang bocah. Bocah yang menjadi kartu emas Uchiha saat usianya baru menginjak tiga belas tahun.

.

.

.

.

.

"Karena aku hanya akan memandang ke satu arah dan diam di sana untuk waktu yang lama."

—Itachi Uchiha to Ino Yamanaka—

.

.

.

.

.

OWARI

.

.

.

.

.

KENAPA ITACHI NISTA BANGET SUMPAH T_T! TOLONG TENGGELEMIN SAYA KE COMBERAN VELIS! INO JUGA IH! _

Ah, saya tidak tahu harus mengatakan apa.

Pertama, banyak pembaca yang meminta dipanjangin. Dan hasilnya ini yang terpanjang XD. 6400 kata untuk fiksinya aja. Dan tolong maafkan saya yang jadi semacam maso terus ala-ala telenovela drama begituh. Aku mah apa-apalah sekali deh sebenernya. Ini chapter ini malah jad chapter paling ancur. Gregetnya ilang. Tokohnya nista semua pula.

Dan yah, semua yang dikutip di atas mengenai hidup itu memang benar adanya. Kita mungkin jarang sadar. Tapi alasan kenapa orang-orang berpisah memang karena tiga hal mendasar itu. Kematian—yang paling kejam. Kebosanan—yang paling menyakitkan. Serta keadaan—yang menyebabkan tak kunjung melupakan.

Yang log in menyusul besok ya. Yang non-login.

Guest : Hahaha, iya makasih sayang :* :* :* ({}) ini udah lanjut kok. Eh? Kek gini namanya romans ya? Hihihi maap ya kalo kurang memuaskan :3

sora chan : Iya emang tema yang diangkat klise banget XD. Tapi tetep dums ya alurnya nggak pasaran. Makasih banyak loh kamu udah tobat plus tobatan pertama di fiksi aku yang emang nistanya kebangetan :'), aku terharu masak ({}) :* :* :*

Kak e Cierto : Hahaha, makasih kak el /pelukin kak el/ Sepertinya kisah fiksi ini benar-benar jauh dari ekspetasi para pembaca sekalian kak T_T. Maapkan dakoh yang membuat OTP kita nista seperti ini. Tapi Eca beneran nggak bisa bikin ItaIno secimiyi punya kak el :'). Makasih kak udah mampir :* :* :* ({})

Guest : Aduh, maap dear T_T. Mengecewakan ini. Saya sebenernya juga nggak pengen bikin yang mengecewakan kek gini. Tapi kisah saya saja mengecewakan, masak fiksinya bahagia/oke ini maso/ Makasih banyak udah mau mampir dear :* :* :* ({})

JelLyFisH : A-aku nggak tau musti bales gimana kalo komenan semacam ini. Beneran deh sayang. Di satu sisi itu bahagia banget udah mau ditungguin. Di sisi lain itu trenyuh waktu ngetik hasilnya gini. Keputusan finalnya begini, hani :'). Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Maaf :') dan terima kasih kamu sudah menyempatkan diri mampir di lapak nista ini :* :* :* ({}).

Noname : Makasih tjintah :D. Kalo sequel aku nggak mau ngomong. Yang jelas maaf plus terima kasih kamu udah mau nyempetin mampir ke sini :'). Makasih banyak hani :* :* :* ({})

Sekali lagi, saya mengucapkan beribu terima kasih atas semuanya :* :* :*.

Untuk kritik, saran, komentar membangun, semuanya. Karena kalian fiksi chapter pertama saya (meski cuma tiga chapter) ini bisa selesai :* :* :* ({}).

Terima kasih, Minna-san.

Sungguh-sungguh terima kasih.

(bungkuk formal sedalam-dalamnya).