Semua hal yang ada didunia ini kotor.

Rak sepatu. Gagang telepon. Knop pintu. Gantungan kereta. Bahkan, udara yang dihirup orang lain.

Rasanya sulit untuk kuhirup.

Tetapi, hanya karena sulit untuk kuhirup, bukan berarti aku akan mati.

Jika aku tidak ingin menyentuh sesuatu, maka aku tidak akan melakukannya.

Dalam hal ini, aku bertahan hidup, aku tidak akan bisa dihentikan oleh apapun.

.

.

10 count

AkashixKuroko

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

10 Count (original ver.) © Takarai Rihito

Drama. Psychological. Romance

Warning:

Yaoi. Mature. Remake dari komik dengan judul serupa. OOC. Dan lainnya.

.

.

"Nijimura-san, tentang jadwal anda hari ini, pukul 1:00 nanti anda memiliki pertemuan makan siang dengan Nona Alexandria, lalu pukul 3:00 anda kembali ke kantor untuk menghadiri meeting. Lalu, e-mail yang baru diterima hari ini—"

"Oh, tunggu sebentar," sang Direktur—Nijimura Shuuzou—yang diajak berbicara angkat suara; mengisyaratkan sosok disampingnya yang masih betah berkicau mengenai padatnya jadwal yang harus ia lalui. Manik onyx miliknya menatap sejenak ponsel pintarnya yang berdering sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

Sepasang azure milik sang pemuda memandang datar atasannya yang mulai keluar mobil; entahlah, mungkin itu telepon pribadi?

"Nijimura-san, tolong perhatikan kendaraan yang lalu lalang diluar sana," ucapnya mengingatkan sang atasan; mengingat saat ini mobil yang mereka tumpangi tengah berhenti dipinggir jalan.

Pemuda bersurai teal yang tersisir rapi tersebut menghela nafas melihat tingkah atasannya yang nampaknya tak mengindahkan ucapannya. Ia pun memutuskan untuk tak ambil pusing. Dibukanya kembali buku jurnalnya miliknya. Mengecek jadwal sang atasan.

Disela kegiatannya, ia menyempatkan diri untuk melirik sejenak kearah kaca spion yang berada didalam mobil. Manik bulat itu membulat penuh kejut kala netranya menangkap pantulan truk yang tengah melaju menuju sang atasan.

Tubuhnya sontak bergerak mendekat kearah pintu, sementara bibirnya melontarkan teriakan tercekat—sebelum badan truk menyenggol halus tubuh milik Nijimura.

.-.-.

"Hanya patah tulang kecil pada tempurung lutut."

Entah ia harus bersyukur atau tidak atas ucapan sang dokter barusan. Manik azurenya sesekali menatap khawatir Nijimura dan dokter yang masih memeriksa hasil rontgen kaki Nijimura.

Sang dokter menatapnya lekat, "Meskipun hanya patah tulang kecil dan tidak perlu dirawat di rumah sakit. Tapi, mengingat jika Nijimura-san tinggal sendiri, alangkah lebih baik jika Nijimura-san bersedia untuk dirawat disini."

Nijimura menghela nafas, manik onyxnya mengikuti setiap langkah sang dokter hingga akhirnya sosok berjas putih itu menghilang dibalik pintu. Menyisakan dirinya, sekretarisnya dan juga seorang pemuda asing yang masih betah berdiri dengan angkuhnya didekat pintu.

"Yah, mau bagaimana lagi. Seharusnya aku bersyukur hanya terjatuh," ucapnya memecah hening.

Pemuda bersurai teal yang mengenakan pakaian rapi pun ikut menghela nafas lega, "Mungkin patah tulang itu terjadi karena faktor umur, Nijimura-san."

Yang diajak bicara melengos kesal, "Kau seolah menghinaku Kuroko, begini-begini umurku belum menginjak kepala tiga."

Sang pemuda teal—Kuroko Tetsuya—menatap datar sang atasan, memilih untuk tidak menanggapi ucapan Nijimura yang terkadang mengandung unsur guyonan, "Apa yang Nijumura-san ingin saya lakukan untuk pekerjaan besok?"

Onyxnya melirik sosok pemuda yang masih betah berdiam diri, tak berniat untuk buka suara. Ia menghela nafas, kembali ditatapnya sosok Kuroko yang masih menanti ucapannya dengan ekspresi datar khas dirinya.

"Untuk sekarang, cukup lakukan seperti biasa saja. Jika ada yang menanyakan tentangku, katakan saja aku sedang melakukan perjalan bisnis ke luar negeri. Lalu untuk pameran di Kyoto minggu depan—"

Nijimura masih betah berkicau, sementara tangan mungil berbalut sarung tangan milik Kuroko setia menuliskan setiap kecap ucapan Nijimura kedalam buku jurnalnya—yang tanpa ia sadari perbuatannya terlihat jelas oleh sepasang ruby yang setia memenjara sosoknya.

Sosok itu masih terdiam disana, mengamati bagaimana jari-jari yang terlihat hangat itu menorehkan tinta diatas kertas. Hingga akhirnya ia menyadari sesuatu, dirinya telah membuang waktu terlalu lama.

Maka, ia pun beranjak mendekati sosok Nijimura yang terduduk dipinggir ranjang kamar rawat. Delimanya menatap datar sosok Nijimura.

"Boleh aku pergi sekarang? Aku ada pekerjaan,"ucapnya.

Nijimura mengumbar senyum tipis, "Ah, maafkan aku, Akashi-kun. Kau benar-benar menyelamatkan nyawaku. Terimakasih atas pertolonganmu."

Pemuda bersurai crimson yang bernama Akashi Seijuurou itu terdiam, mengingat rentetan kejadian yang membuatnya berakhir disini.

Kejadian dimana ia menyelamatkan sosok bernama Nijimura itu dari truk yang tengah melaju kala ia tidak sengaja melintasi daerah tersebut.

"Aku berhutang budi padamu, jadi biarkan aku berterimakasih untuk itu. Jadi, maukah kau memberikan kontak pribadimu?" tanya Nijimura dengan senyum bak malaikat miliknya.

Kuroko yang melihat tingkah atasannya yang nampaknya ingin tebar pesona—mengingat paras Akashi termasuk dalam kategori rupawan—hanya mampu menghela nafas. Tak berniat untuk ikut campur.

Akashi terdiam, Nijimura masih menunggu dengan senyum andalannya. Pemuda bersurai crimson itu melengos, "Maaf, aku tidak bisa. Semoga kakimu lekas sembuh."

Wajah shock jelas terpampang diparas Nijimura begitu melihat kelakuan pemuda rupawan tadi. Ia langsung mendelik kearah Kuroko yang masih tetap berdiri dengan ekspresi sedatar papan miliknya.

Onyx mendelik tajam, "Kuroko, cepat kau kejar dia! Jangan biarkan dia pergi!"

"Huh?"

Nijimura menggeram, menunjuk panik arah pintu keluar, "Cepat kejar orang tadi."

Helaan nafas terdengar dari Kuroko, dengan enggan ia melangkahkan kaki mengejar sosok Akashi yang sudah lebih dahulu hengkang dari kamar rawat tersebut. Batinnya menggerutu, kenapa Nijimura tidak membiarkan orang tersebut pergi saja?

Langkah kakinya ia bawa menuju lift, dimana netranya menangkap sosok seorang pemuda bersurai crimson tengah berdiri disana; menunggu pintu tersebut terbuka.

"Tunggu!" bibir ia paksa untuk terbuka menyuarakan teriakan. Nafasnya terengah-engah begitu kakinya menginjakkan kaki tepat beberapa langkah dari Akashi berdiri.

Begitu nafasnya stabil, ia melemparkan tatapan datar pada sosok Akashi, sementara tangannya merogoh saku jas, mencari secarik kertas tanda pengenal.

Ia sedikit membungkukkan badan dengan tangan yang menyodorkan kertas tersebut, "Aku sekretaris Nijimura Shuzou, Kuroko Tetsuya."

Akashi terdiam. Manik semerah delimanya masih mengobservasi sosok didepannya, menatapnya dari atas sampai bawah, namun terhenti ketika mendapati sepasang tangan yang tertutup sarung tangan. Sementara tangannya ia gerakkan dengan enggan, menyambut uluran kartu nama tersebut.

Maniknya menyusuri deretan kana disana, sementara sosok didepannya masih setia bersuara.

"Terimakasih untuk pertolongan anda hari, jika anda tidak keberatan, kami hendak membalas kebaikan an—"

"Kau ini... punya mysophobia?"

Pertanyaan Akashi membuat Kuroko bungkam. Manik sejernih langit musim seminya memandang delima didepannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

Akashi menghela nafas, ia mengalihkan pandangannya dari sosok pemuda teal.

"Sepertinya sudah cukup parah. Kau tidak berminat untuk memeriksannya ke dokter?" tanyanya lagi.

Delimanya melirik ketika tak mendapati jawaban dari Kuroko. Pemuda itu justru masih terdiam; tak bergerak sedikitpun dari tempat semula. Namun, manik matanya menatap tidak percaya kearah dirinya.

"Ngomong-ngomong, tentang balasan atas pertolonganku. Aku tak berminat untuk meminta apapun," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana kau tau jika phobiaku sudah separah itu padahal kita baru saja bertemu?"

Sepasang ruby dan azure bertemu dalam satu garis lurus. Keduanya saling melemparkan pandangan datar hingga akhirnya sang ruby mengalah. Manik ruby itu bergulir memandang tangan berbalut sarung tangan yang sedikit ternoda.

"Ada noda darah disarung tanganmu. Bukankah itu berasal dari tanganmu yang terluka karena terlalu sering mencuci tangan?" ucap Akashi. Rubynya masih setia menatap tangan itu hingga akhirnya kembali menatap paras Kuroko.

Dilihatnya paras manis itu masih menunjukkan ekspresi datar; namun terlihat sendu, "Ini bukan apa-apa."

"Kalau kau mau pergi berobat, phobiamu itu pasti bisa sembuh."

Tangan Kuroko terkepal, matanya menatap tajam sosok didepannya, "Itu bukan urusan orang asing sepertimu."

Akashi terperanjat, begitu pula dengan Kuroko yang menutup kedua mulutnya karena terkejut dengan nada dingin yang baru saja ia keluarkan. Matanya menatap ragu Akashi; dan mendapati pemuda itu masih belum bergerak dari tempatnya, namun wajah tampan itu menyiratkan keterkejutan.

Batinnya mengumpat sumpah serapah atas sikap sembrononya barusan. Bayangan Nijimura yang meledak didepannya akibat tidak becus mengurusi orang terbayang dibenaknya, membuat bulu kuduknya meremang.

Tak ambil pusing, Kuroko menunduk sopan, "Aku mohon maaf atas sikap lancangku barusan. Jika anda berkenan, tolong hubungi nomor yang ada dikartu tersebut."

Usai mengucapkannya, Kuroko segera balik badan meninggalkan Akashi. Lebih baik ia segera pergi sebelum emosinya meledak tanpa sebab dihadapan orang itu dan membuat dirinya mendapat ceramah gratis dari Nijimura.

Kuroko melihat jam dipergelangan tangannya.

Hah, hari ini sungguh hari yang melelahkan.

.-.-.

Matahari telah kembali keperaduan ketika Kuroko menginjakkan kakinya di apartemennya tercinta. Ia menghela nafas, meratapi mengapa hari ini terasa lebih melelahkan dibandingkan biasanya.

Mungkin karena ia bertemu dengan seorang pemuda yang langsung bisa mengetahui phobianya?

Nafas kembali dihela, tangannya pun bergerak melepas simpul dasi yang mengikat lehernya. Sementara rambut rapinya diacak sedemikian rupa, membuatnya menunjukkan bentu aslinya.

Ia melangkahkan kaki, membawanya menuju kamar mandi guna membersihkan tangannya yang rasanya sudah mulai terkontaminasi bakteri-bakteri kotor diluar sana. Meski tangannya terlindung sarung tangan, tak ada jaminan jika bakter-bakteri tersebut mampu masuk kedalam dan mengotori tangannya.

Ia menyalakan keran, dibiarkannya air dingin itu membasuh tangannya yang sebenarnya masih bersih. Tak hanya diguyur air, ia pun mengambil sabun antiseptic serta alkohol. Dibasuhkannya dua benda itu pada tangannya yang penuh luka.

Digosoknya kedua tangannya dengan agak kasar, berharap bakteri-bakteri yang menempel ditangannya akan segera enyah.

Ia mematikan keran air begitu merasa jika tangannya sudah cukup bersih. Azurenya menatap nanar tangannya.

'Ia pasti tidak akan menelpon,' batinnya lesu ketika tanpa sengaja memorinya memutar kejadian dimana ia membentak pemuda bersurai crimson tersebut.

Hah, kalau begini sebaiknya ia mulai menyiapkan mentalnya dari sekarang, sebelum si Nijimura itu mengomelinya panjang lebar sepanjang shinkasen karena tidak bisa memenuhi permintaannya.

Terkadang Kuroko bingung, dia ini sekretarisnya atau malah baby sitternya?

Pipi ditampar pelan, menyadarkannya akan pikiran mengenai tingkah abnormal atasannya. Memaksanya untuk kembali kealam nyata, namun dihempas kembali menuju dunia sana, dimana perkataan si pemuda seakan membekas secara permanen diotaknya.

'Mana mungkin aku bisa sembuh,' batinnya miris. Ia mengalihkan pandangannya dari tangan.

Ditatapnya pantulan wajahaya sendiri pada kaca. Seketika senyum miris terukir diparas manisnya.

Ini pertama kalinya ia membentak orang yang pertama kali ia temui, dan rasanya ia merasa bersalah.

Terlebih, ia merasa bersalah karena dirinya tak bisa berbuat apapun untuk menolong Nijimura. Rasa takutnya untuk menyentuh benda yang bukan miliknya membuatnya ragu untuk mengulurkan tangan guna menolong Nijimura.

Dan lihat sekarang, karena phobia terkutuknya, orang yang mau memberinya pekerjaan terbaring dirumah sakit.

Meskipun hanya mengalami patah tulang ringan.

Kuroko menghela nafas, bayangannya akan sosok ayahnya berputar dibenaknya. Dimana saat dirinya yang masih kecil bersikeras untuk mengenggam tangan besar milik ayahnya. Merasakan rasa hangat yang begitu ia sukai.

Ia kembali tersenum miris, jika seandainya ia sembuh...

Akankah ia bisa menghirup udara yang sama dengan orang lain dengan lebih mudah?

.-.-.

Azurenya menatap ragu bangunan didepannya. Rasanya, keteguhan yang ia bangun semalam lenyap bagai tertiup angin hingga habis tak bersisa. Bangunan dengan papan Midorima pyschomatics itu terlihat seperti istana kematian dimatanya.

Ludah ditelan dengan susah payah, tangan pun ia gerakkan demi melonggarkan ikatan dasi yang serasa mencekik lehernya.

Datang pada seorang psikiater adalah rintangan terbesar dalam hidupnya. Padahal ia sudah menyiapkan mentalnya semalam, tapi lihatlah sekarang, rasanya ia ingin balik badan dan segera pergi sejauh mungkin.

Nafas ditarik, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak gugup. Tangannya berniat menggapai daun pintu, sebelum akhirnya kembali ia simpan kembali ketika rasa ragu yang menggeroti semakin besar.

Ia pun menghela nafas, rasanya percuma saja ia datang hari ini. Keyakinan tak ada dalam genggaman.

"Sepertinya lain kali saja aku akan kembali kesini," gumamnya lesu. Ia pun memutuskan untuk balik badan. Pergi secepat mungkin sebelum ada orang yang lain yang memergokinya berkunjung ke seorang psikiater seperti ini.

Baru saja kakinya melangkah, ia dikejutkan dengan keberadaan seseorang. Azurenya membulat sempurna mendapati sesosok pemuda bersurai crimson dengan balutan busana kasual tengah berdiri tepat dihadapannya. Manik ruby sang pemuda pun masih setia mengunci pandang kedalam azurenya.

'Bukankah dia yang kemarin?' batin Kuroko sedikit terkejut.

Kuroko hendak beranjak, namun ia merasa terpaku pada gravitasi. Kedua kakinya enggan untuk menuruti perintah otaknya yang telah berseru untuk segera beranjak. Azurenya justru tak mau berpaling dari sosok yang kini telah berjalan menuju bangunan tersebut.

"Kau sudah memutuskan menjalani terapi untuk mysophobiamu?" tanya sosok tersebut sambil menatap sosok Kuroko melalui sudut matanya.

Kuroko mengalihkan pandangannya—kemana saja, asal tak bertemu pandang dengan sepasang ruby yang serasa menelanjanginya.

"Kau juga ingin berobat kemari?" tanyanya, mencoba mencari pertanyaan yang terdengar cukup nyambung.

Sosok tersebut—Akashi Seijuurou—balik badan, menatap Kuroko yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

Pemuda itu menghela nafas, "Tidak. Aku salah satu psikiater yang bekerja disini."

SINGG

Kuroko terdiam, sementara Akashi pun ikut terdiam; bingung dengan reaksi Kuroko yang terlihat seperti orang tersambar petir disiang bolong.

"Kau—"

"Sudah kuduga, sebaiknya aku segera pulang kerumah," ucapnya seraya memutar badan, berniat segera pergi dari bangunan terkutuk yang mungkin juga berisi orang terkutuk; Akashi Seijuurou contohnya.

"Tunggu!"

Tubuh Kuroko sontak berhenti, manik azurenya membulat sempurna, keringat dingin mulai bercucuran menuruni pelipisnya.

Akashi menatap lembut sosok tersebut—ia berusaaha untuk mengurangi hawa tidak bersahabatnya begitu mengetahui pemuda didepannya ini mungkin akan menjadi calon pasiennya. Ditatapnya dalam sosok Kuroko yang tengah mengatur nafasnya yang terengah-engah—seperti orang yang dipaksa berlari mengitari lapangan sepak bola 10 kali.

Ia menarik nafas, "Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu."

Tubuh dihadapannya mulai bereaksi, terbukti dari kaki yang mulai melangkah beberapa langkah menjauhi sosok Akashi yang sudah menurunkan tangannya yang tadi ia gunakan untuk menghalangi sosok Kuroko pergi.

"Aku tau, mendatangi seorang psikiater itu membutuhkan keberanian yang besar. Ketimbang kau memaksakan dirimu, berkenan jika kita mengobrol sebentar?"

Kuroko terdiam, menimang ajakan Akashi barusan. Setelah memikirkan beberapa pertimbangan, Kuoko pun menganggukkan kepalanya ragu, menyanggupi tawaran Akashi.

Dan disinilah mereka berakhir, disebuah kedai yang letaknya tidak terlalu jauh dari gedung klinik yang Kuroko kunjungi tadi.

Hening masih melingkupi mereka, pelayan yang datang membawakan pesanan pun dihiraukan. Keduanya masih sibuk saling melempar pandang satu sama lain. Meneliti sosok satu sama lain dalam diam, menuliskan kesan pertama dan menyimpannya dengan baik dalam memori otak.

"Tak masalah kalau kita berakhir disini bukan?" ucap Akashi memecah hening.

Kuroko melemparkan tatapan sedatar papan pada sosok didepannya, "Tak masalah, ketika aku pergi bersama teman-temanku, aku biasanya tidak makan."

Akashi mengangguk paham. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sementara rubynya masih saja betah menatap sosok yang kini justru menundukkan kepalanya.

Sementara itu, Kuroko merasa risih. Merasa dipandangi oleh orang asing tentu saja membuatnya tidak nyaman. Situasi semacam ini membuatnya tak tau harus berbuat apa, dirinya merasa tengah berdiri didepan seorang predator ganas yang selalu siap untuk menancapkan taringnya—padahal sosok didepannya ini adalah orang yang akan menjadi psikiaternya kedepan.

"Kurokop Tetsuya-san, mungkin ini sedikit aneh, tapi aku akan menanyakan beberapa hal padamu."

Kuroko mengangguk, menyetujui ucapan Akashi, "Ah, tapi sebelum itu, ada yang ingin ku tanyakan. Apa Akashi-san tidak bekerja hari ini?"

Akashi mengangkat alisnya samar; bingung barangkali, "Aku libur hari ini. Aku datang ke klinik hanya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal," jelasnya sambil menyesap minuman yang ia pesan.

"Baiklah, sekarang giliranku," gelas bersua dengan meja, tatapan setajam ruby kembali dilayangkan, membuat sosok didepannya semakin merasa kerdil.

"Kau tidak perlu menjawabnya jika memang tidak ingin kau jawab," ucapnya mengawali. Kuroko mengangguk paham.

Akashi mulai masuk dalam mode serius, ia menopang kepalanya menggunakan dua tangan yang terlipat, "Apa kau sudah pernah menjalani terapi sebelumnya? Apa kau sudah pernah berusaha untuk sembuh?"

Gelengan ia dapatkan sebagai jawaban, senyum mirus terikir diparas manis milik Kuroko, "Aku selalu berpikir, 'aku baik-baik saja seperti ini'. Jadi, kupikir tak akan masalah."

"Begitu rupanya. Selanjutnya, apakah ada tindakan tertentu yang anda enggan lakukan?" tanya Akashi lagi.

Kuroko memasang wajah sedih, namun beberapa detik kemudian terganti lagi oleh ekspresi datarnya yang khas.

"Tentu saja banyak. Contohnya, ketika aku pergi keluar, hampir semua hal itu kotor dan terkontaminasi kuman. Ada beberapa hal yang kutahan karena pekerjaanku, tapi Tuan Direktur—ah—maksudku, Nijimura-san paham akan kondisik, jadi aku sangat berterimakasih padanya karena sudah memberiku pekerjaan. Lalu, soal pengobatan untuk diri sendiri, aku pernah mencarinya, tapi aku tak bisa memilih ataupun mengambil buku yang akan kubawa ke rumah karena aku takut ada seseorang lain yang sudah menyentuhnya."

Akashi menganggukkan kepala mengerti, "Lalu, sejak kapan kau menyadari mysophobiamu?"

"Aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti," jawabnya datar.

"Kurasa aku tak bisa memaksamu untuk mengingatnya. Kalau begitu, Kuroko, apa kau membawa buku catatan bersamamu?"

Kuroko mengangguk, ia pun mengeluarkan buku catatannya dan meletakkannya diatas meja—setelah ia menggelar sapu tangan putih bersih untuk menghindarkan buku catatannya bersentuhan langsung dengan meja yang bisa saja mengandung jutaan bakteri yang siap menjamahnya.

Akashi nampak tak ambil pusing dengan sikap aneh Kuroko, ia justru menunjuk buku catatan tersebut, sementara rubynya menatap Kuroko lekat, "Tulislah angka satu sampai sepuluh. Kemudian tulislah hal yang enggan kau tulis kedalamnya. Jika hal tersebut masih mungkin kau lakukan, maka tuliskan itu di nomor satu, jadi nomor sepuluh adalah hal yang menurutmu tidak bisa kau lakukan."

Kuroko mengangguk paham, otaknya mulai memutar mencari jawaban.

"Contohnya, 'menyentuh pintu kedai ini dengan tangan kosong'. Bagaimana menurutmu?" lanjutnya.

Paras manis itu tertunduk, menimang-nimang perkataan Akashi, "Jika aku membasuhnya dengan alkohol dulu mungkin tak masalah, tapi tetap saja..."

Akashi menghela nafas, ia tau jika akan seperti ini jadinya, "Sepertinya itu memang perlu waktu, sebagai gantinya, yang bisa kau lakukan sekarang adalah melengkapi nomor 1 sampai 10."

Kuroko mengangguk, ia pun mengambil pulpennya dan mulai terfokus dengan apa yang berada didepannya. Ia jelas memutar otaknya, tak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan yang mungkin bisa membahayakannya kedepan.

Sementara itu, Akashi memilih untuk mengamati Kuroko sembari menyesap meniumannya.

Tak berasa 15 menit telah berlalu. Waktu yang cukup untuk mengisi daftar tersebut dari Akashi.

"Kau sudah selesai?" tanya Akashi, Kuroko mengangguk.

"Bisa kau tunjukkan padaku?" tanya Akashi lagi. Kuroko jelas terlihat ragu dan enggan, buktinya ia masih mengenggam erat buku catatan tersebut. Namun, pada akhrinya ia tetap menunjukkannya pada Akashi.

Ruby Akashi bergerak untuk membaca deretan kana yang tertulis rapi diatas kertas. Dalam hati ia memuji, betapa rapi dan bagus tulisan Kuroko. Mungkin karena hal inilah ia ditunjuk sebagai sekretaris?

Ia membacanya mulai dari nomor satu,

Menyentuh knop pintu.

Membiarkan orang lain menyentuh barangku.

Membeli buku dari toko buku.

Naik kereta api dengan berpegangan pada pegangan kereta.

Makan di restoran.

Bersalaman dengan orang lain dengan tangan kosong.

Membawa barang milik orang lain tanpa disterilkan terlebih dahulu.

Minum setelah orang lain.

Membiarkan seseorang bertamu kekamarku.

kosong–

"Kau mengosongi nomor 10," ucap Akashi ketika matanya mendapati nomor sepulus masih kosong dan bersih.

Kuroko menunduk, enggan untuk menjawab.

Akashi kembali melemparkan tatapan tajamnya, "Aku akan membiarkanmu mengosongi nomor sepuluh. Mulai sekarang, kita akan melakukan semua hal yang tertulis itu secara bertahap, dimulai dari satu dan seterusnya."

Kuroko terperanjat. Ia menatap Akashi dengan tatapan yang menyiratkan 'kau tidak bercanda bukan?'

Akashi yang menyadari arti tatapan Kuroko mengumbar senyum tipis, ia menatap jenaka sosok didepannya, "Apa kau tidak pernah mendengar tentang terapi pemaparan? Itu adalah nama dari pengobatanku. Jika kita sudah mencapai nomor 10, itu berarti kau sudah bisa dinyatakan sembuh."

Sepasang azure menatap lekat, tatapan datar namun tersirat sebuah tanda tanya besar dilayangkan pada sosok didepannya, "Kenapa Akashi-san bersedia melakukan hal sejauh ini hanya untuk seseorang yang baru kau kenal?"

Sebuah pertanyaan terlontar dari bibir cherry milik sang pemuda teal. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya mengganjalnya semenjak mereka melakukan ini semua.

Kelopak mata menutup, menyembunyikan eksistensi dari sepasang ruby, "Apa kau percaya jika aku sebenarnya tidak memiliki alasan?"

Azure itu menatapnya datar, "Mungkin. Kau benar-benar orang asing yang aneh."

Bukannya tersinggung, Akashi justru terkekeh, sekaan puas dengan jawaban yang terlontar dari bibir Kuroko.

Ditatapnya sosok Kuroko yang juga tengah menatapnya, ia menyunggingkan sebuah senyum tipis—senyum yang menurut Kuroko menyimpan 1000 makna.

"Itu bagus. Aku menyukai orang yang jujur. Kalau begitu, aku akan memberitahukanmu alasanku, jika kau sudah berhasil memenuhi nomor 10."

.

.

To Be Continued

Mysophobia: phobia akan hal-hal kotor.

(*lirik keatas* ini apa... maafkan sayaaa. Aaa saya tidak bisa tahan hasrat untuk meremake 10 count jadi akakuro version. Dan maaf ini kalau OOC. Kalau ada yang kurang cucok, silahkan komentar, mungkin akan saya edit lagi nanti ._.)

(Saa~ review minna-chin?^^)