Kedua tanganku memeluk bantal semakin erat begitu hentakan dari belakang tubuhku semakin bertambah cepat. Aku bisa merasa seluruh wajahku sampai kedua telingaku memerah karena panas yang membakar dari tautan tubuh kami di bawah sana. Suara gemericik kental dan kulit yang beradu terdengar mengisi keheningan kamarku.

Ini sudah yang ketiga kalinya dalam sehari.

"Naruto..."

Refleks, kuangkat sebagian wajahku yang menempel di bantal, dan menoleh ke belakang begitu mendengar namaku dipanggil.

Tiba-tiba bibirnya sudah menyambar bibirku. Kedua mataku terpejam begitu lidahnya menyelinap masuk dari kedua belah bibirku yang setengah terbuka. Lidah itu berkeliaran di dalam rongga mulutku, mengabsen satu per satu deretan gigi rapiku, sebelum mengajak lidahku menari-nari.

"Urmngh—" Aku mengerang tertahan begitu milikku kembali dikocok oleh tangan besar itu.

Ciuman di antara kami terlepas, dan ada segaris benang saliva tipis yang menghubungkan kedua bibir kami. Nafasku semakin terengah-engah; karena ciuman itu, dan hentakan tanpa jeda di dalam tubuhku.

"Kau sangat manis, Naruto..." bisiknya dengan suara lembut, sebelum memutar tubuhku—tanpa melepas tautan kami di bawah sana—hingga sekarang kami kembali berhadapan.

Jari-jarinya meraba setiap lekuk wajahku. Bibir dan lidahnya kembali menyusuri kulitku yang sudah dibasahi oleh keringat. Aku menjerit tertahan begitu dia menggigit puting dada sebelah kiriku dengan setengah gemas. Lalu bibirnya kembali melumat bibirku. Bisa kuhirup nafasnya yang menderu di depan wajahku.

Aku baru membuka kedua mataku begitu semburannya di dalam tubuhku berhenti, dan dia mengangkat tubuhnya dariku. Kupandangi dia yang duduk di pinggir tempat tidurku dengan mata setengah terpejam dan nafas yang sudah kembali teratur.

Dia menoleh seolah bisa merasakan tatapanku, dan tersenyum kecil. Setelah memakai celana dan kemeja putihnya—yang sengaja tidak dikancing—dia kembali membelai wajahku, sebelum bangkit berdiri.

"Oyasumi, Naruto," ujarnya, sembari berbalik menuju pintu kamarku.

Begitu pintu itu tertutup dari luar, aku baru balas berbisik, "Oyasumi, Otousan..."

.
.


Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Masashi Kishimoto. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya.

.

Alternate Universe

M-rated

3k+ words

Romance/Family

Oneshot

.

~a SasuNaru story~

.

Peringatan: Fanfiksi ini bertema Boys Love dan Yaoi; yang menampilkan cerita tentang hubungan antara ayah dan anak, yang sebagian cerita akan mengumbarkan adegan seks implisit antara pria dengan pria. Incest. Rape. Possible OOC. Naruto's POV. Jangan bilang saya tidak memperingatkan kalian. Tidak menerima apresiasi negatif atas semua hal yang sudah saya peringatkan.

.

Terinspirasi dari novel MBA (Married By Accident) karya Ve Handojo, dan doujinshi Kowaremono karya Kusari Caterpillar.

.

Jeanne's present...

.

#

.

Our Secret


.
.

Pukul enam pagi tepat. Seperti biasa, aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku dan otousan-ku, Uchiha Sasuke.

Tanpa menoleh dari konter dapur, aku mendengar langkah kaki berjalan masuk ke dalam dapur. Terus berjalan dan baru berhenti tepat di belakang punggungku.

"Ohayou, Naruto," sapa otousan, sembari melingkarkan kedua lengannya di pinggangku dari belakang.

Aku menoleh ke samping. Baru saja bibirku terbuka untuk membalas sapaannya, bibir otousan sudah menempel di bibirku. Tangan kanannya yang bebas merayap ke bawah, dan meremas-remas bagian privatku.

Sesaat otousan melepas ciumannya, dan mengangkat tubuhku ke atas meja makan. Otousan berdiri di antara kedua kakiku yang setengah tergantung—karena sebagian tubuhku terbaring di meja makan—dan kembali merendahkan tubuhnya untuk melumat bibirku. Kali ini kedua tangannya menyusup ke dalam kaos yang kupakai, dan memainkan kedua puting dadaku hingga menegang.

"O-Otousan..." Aku berkata dengan nafas yang sudah menderu begitu lidahnya bermain-main di leherku, "Aku bisa terlambat ke sekolah..."

Otousan berdecak pelan. Tadinya kukira perkataanku sudah merusak hasrat seksualnya, tetapi yang terjadi setelah itu membuatku bergidik tanpa sadar.

Kedua tangan otousan menarik turun celana kain panjang beserta underwear yang kupakai hingga terlepas dari kedua kakiku. Kemudian kulihat otousan menurunkan sedikit celananya, dan mengeluarkan miliknya yang sudah ereksi.

Aku menelan ludah begitu kedua tangan otousan membentangkan kedua kakiku, sebelum menyatukan bagian bawah kedua tubuh kami. Rintihan pelan keluar dari bibirku begitu milik otousan semakin menerobos masuk. Kedua tanganku berusaha mencari-cari sesuatu sebagai pelampiasan.

Otousan menoleh ke arahku begitu mendengar eranganku. Aku balas menatapnya dengan sorot mata yang mengatakan 'Otousan sakit, kumohon berhenti sebentar', namun yang kudapat malah sesuatu yang tak kuduga.

Kedua tangan otousan memegang kedua sisi pinggangku, sebelum otousan menggerakkan miliknya di dalam tubuhku keluar masuk. Tubuhku menegang dengan kedua mata terbelalak.

Aku tak bisa menahan air mata yang meleleh jatuh dari kedua pelupuk mataku. Meski ini bukanlah yang pertama kalinya aku melakukan seks dengan otousan-ku sendiri, tapi rasa sakit saat awal penetrasi seperti ini rasanya membuatku hampir gila.

"Otousan sudah selalu bilang padamu kan untuk membuat tubuhmu rileks," bisik otousan di dekat telingaku.

Aku tak menyahut, dan hanya menutup mulutku dengan punggung tanganku. Tubuhku hanya bisa pasrah diperlakukan seperti ini. Aku tidak ada keberanian untuk mengatakan 'Berhenti' ketika otousan mengajakku melakukan seks. Sejak malam itu, saat otousan yang baru pulang dari kantor tiba-tiba masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu. Menarikku yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah di meja belajar ke arah tempat tidurku, dan otousan—memerkosaku.

Aku mendesah dengan kedua mata terbelalak lebar begitu ujung kepala milik otousan menyentuh titik sensitifku bertubi-tubi.

Otousan menyeringai senang di depan wajahku begitu akhirnya mendengar desahanku yang ditunggunya.

"Terus mendesah, Naruto!" seru otousan. "Buat Otousan-mu ini senang mendengar suara seksimu itu!"

Aku ingin mengunci mulutku rapat-rapat, namun mulutku seolah punya pikiran sendiri akibat hentakan milik otousan yang membawa getaran nikmat di sekujur tubuhku. Nafasku semakin terengah-engah. Dadaku membusung tanpa sadar begitu kurasakan klimaksku semakin dekat.

Kedua mata kami saling berpandangan dengan nafas yang sama-sama memburu berat. Bibir otousan akhirnya tersenyum, sebelum dia menghapus peluh keringat di wajahku dengan telapak tangannya. Otousan baru mencabut keluar miliknya begitu sudah berhenti menyembur.

Tubuhku masih bergetar pelan dan terasa lemas saat kulihat otousan berjalan menuju lemari es, dan mengambil sebotol air, sebelum dia menenggaknya. Aku menarik nafas panjang, sebelum bangkit berdiri. Setelah memakai kembali celanaku, dan berniat kembali meneruskan membuat sarapan, tiba-tiba kudengar otousan berkata, "Hari ini kita makan malam di luar. Otousan akan menjemputmu di tempat les setelah kamu selesai."

"Ha'i." Aku mengangguk patuh.

.

.

"Naruto, apa pilihan universitasmu setelah kita lulus nanti?"

Aku menoleh dari buku yang sedang kubaca begitu teman sekelasku, Kiba tiba-tiba bertanya. Pemuda itu menatapku dengan dua alis terangkat, menunggu jawabanku.

"Aku... belum memikirkannya," jawabku sambil membuang pandangan ke luar jendela di sampingku.

"Eyy, kenapa kau belum memikirkannya? Kita sudah di kelas tiga, lho! Tinggal tiga bulan lagi akan menghadapi ujian nasional," kata Kiba, sembari meraih ponselnya di samping bukunya yang berdering singkat. "Aku kembali ke kelas lebih dulu, ya. Soalnya Shino mau meminjam kamus Bahasa Inggris-ku." Kiba bangkit berdiri dari kursi, dan membereskan buku-bukunya di atas meja.

Begitu Kiba sudah menghilang dari pandanganku, kedua mataku mengedar dalam perpustakaan sekolah. Terlihat lengang karena memang murid-murid yang lain masih berada di dalam kelas. Guru yang mengajar di kelas kami ada urusan, makanya tidak mengajar, dan wali kelas kami menyuruh kami satu kelas pergi membaca atau mengerjakan tugas di perpustakaan.

Kukeluarkan ponselku dari saku depan celana untuk membunuh rasa bosanku dengan memainkan sebuah game. Ada sebuah pesan yang langsung membuat kedua keningku mengerut. Karena membuat ponselku dalam mode silent, aku memang baru tahu kalau ada notifikasi tersebut.

Begitu kubuka, ternyata otousan mengirimkan sesuatu. Kedua mataku sontak membulat begitu melihat fotoku yang sedang terlelap di pelukan otousan saat kami habis melakukan seks tiga hari yang lalu. Tanpa sadar tubuhku bergetar, entah kenapa hanya dengan melihat fotoku bersama otousan dengan posisi intim itu membuat tubuhku mulai terangsang.

Aku menggelengkan kepalaku begitu gambaran-gambaran saat otousan mencium bibirku, berbisik dengan suara terendahnya di telingaku, memanggil namaku dengan lembut. Aku menggigit bibir bawahku begitu merasakan milikku mulai bereaksi hanya dengan mengingat semua hal terlarang itu. Semua hal yang seharusnya tidak kulakukan bersama otousan-ku sendiri.

Buru-buru aku bangkit berdiri dari kursi, dan berjalan cepat menuju pintu. Langkahku menjadi setengah berlari di koridor sekolah untuk menuju toilet. Dan sesampainya di toilet, aku segera menuju salah satu bilik. Dengan nafas terengah, aku bersandar di pintu begitu kututup dari dalam.

Aku sudah tidak tahan lagi!

Sambil menggigit bibir bawahku, kuturunkan restleting celanaku, dan mengeluarkan milikku yang sudah menegang. Tangan kananku mulai meremas-remas milikku, berusaha menenangkannya kembali.

Aku malu jika memikirkan selalu melakukan hal ini diam-diam di toilet sekolah. Perubahan ini akibat sentuhan otousan di tubuhku setiap hari. Melakukan seks dengan otousan mulai membuatku ketergantungan. Dan sepertinya... otousan sudah tahu hal ini.

.

.

Restoran yang kumasuki sore itu begitu pulang dari sekolah tampak ramai dengan pengunjung. Kedua mataku mengedar di dalam restoran itu, dan begitu menemukan orang yang mengajakku bertemu di restoran ini, aku melangkah ke arah meja yang ada di bagian terdalam restoran, yang terletak di bagian sudut.

"Okaasan!" Panggilanku membuat wanita berumur 35 tahun itu menoleh dari layar ponselnya dan tersenyum. Aku duduk di depannya.

"Tumben kamu baru pulang sekolah sore begini?" tanya okaasan dengan suaranya yang lembut.

"Biasanya aku pulang jam dua siang, tapi karena ada pelajaran tambahan untuk menghadapi ujian nasional nanti, makanya pulang sore," jelasku.

Okaasan manggut-manggut, sebelum dia memanggil pelayan yang berjalan tak jauh dari meja kami. "Kamu makan dulu, ya, Sayang."

Aku kembali mengangguk sambil membuka buku menu yang diulurkan pelayan wanita itu. Setelah melihat-lihat tak sampai semenit, aku akhirnya memesan ramen dan ice lemon tea.

"Okaasan tidak makan?" tanyaku setelah pelayan wanita itu berlalu pergi.

Okaasan menggeleng. "Okaasan hanya minum saja." Senyuman lembut di bibirnya tak kunjung pudar, "Hubunganmu dengan otousan baik-baik, kan?"

Aku nyaris tergeragap. "H-Ha'i..." Okaasan tidak pernah tahu kalau hubunganku dengan otousan sudah memasuki fase berbahaya; kami sudah sering berciuman, berpelukan, dan melakukan seks.

Kupandangi wajah okaasan dengan perasaan campur aduk. Jika saja okaasan dan otousan tidak bercerai setahun yang lalu, pasti hubunganku dengan otousan tidak akan seperti itu.

Uzumaki Naruko, okaasan-ku dua tahun lebih tua dari otousan. Mereka menikah karena keinginan kedua orangtua mereka. Okaasan saat itu masih berumur delapan belas tahun saat dinikahkan dengan otousan yang baru berumur enam belas tahun. Hubungan otousan dan okaasan baik-baik saja sampai umurku lima belas tahun. Keduanya akhirnya memutuskan bercerai karena okaasan ternyata diam-diam berselingkuh. Dan aku ikut dengan otousan karena keputusan hakim di pengadilan.

"Naruto? Sayang?" Okaasan menggerakkan tangannya di depan wajahku, menyadarkanku dari lamunan. Wajah okaasan terlihat khawatir. "Kamu sakit? Wajahmu terlihat pucat."

Aku menggeleng, "Tidak apa-apa, Okaasan." Wajahku jadi pucat begini karena takut jika suatu saat okaasan tahu hubunganku dengan otousan.

Pesananku akhirnya datang diantar seorang pelayan pria. Sambil menyantap makananku, aku kembali mengobrol ringan dengan okaasan, hingga tak terasa sudah sejam lebih kami berada di sana.

"Okaasan belum membicarakan ini pada otousan-mu," kata okaasan begitu kami berdua sudah berjalan beriringan keluar dari restoran. Aku menoleh dengan dua alis terangkat. "Okaasan ingin kamu ikut bersama Okaasan, dan tinggal bersama Okaasan dan otousan tirimu. Kamu mau, Sayang?"

Sesaat tubuhku menegang. Itu artinya aku harus berpisah dari otousan? Lalu bagaimana kalau misalnya otousan juga setuju dengan keinginan okaasan itu?

"Aku..." Kugigit bibir bawahku sambil menatap ke arah lain. Aku tidak tahu harus menjawab seperti apa.

Tiba-tiba sebuah mobil BMW hitam berhenti tepat di depanku dan okaasan saat kami sedang menunggu taksi di pinggir jalan. Kedua mataku membulat, itu mobil otousan!

Otousan keluar dari dalam mobil. Jas kerja yang dipakainya saat mengantarku ke sekolah tadi pagi sudah dilepaskannya, dan otousan hanya memakai kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua mata tajamnya menatap okaasan sambil berjalan mendekati kami.

"Aku sudah memperingatkanmu, kan? Jangan pernah temui Naruto!" desis otousan begitu dia berhenti satu meter di depan kami.

"Naruto juga anakku, Sasuke!" Okaasan membalas dengan suara meninggi, "Aku juga berhak menemuinya!"

Otousan menggeram. Dia maju mendekat ke arah okaasan dengan satu tangan terangkat di udara. Aku membelalak, dan langsung mencegah sebelum otousan menampar okaasan.

"Otousan sudah! Sudah!" Aku mendorong tubuh otousan sedikit keras.

"Jangan pernah temui lagi Naruto-ku! Kau bisa membuat anak yang lain dengan suamimu yang sekarang!" Kemudian setelah mengatakan hal yang menyakitkan itu, otousan menarikku ke arah mobilnya.

Aku menoleh ke belakang dan melihat kedua mata okaasan sudah berkaca-kaca. Ingin sekali aku melepaskan cengkraman otousan di pergelangan tanganku, dan berlari ke arah okaasan untuk memeluknya. Namun kalau kulakukan hal itu, otousan pasti akan semakin murka.

"Naruto, Otousan minta padamu untuk jangan menemui okaasan-mu itu kalau dia meneleponmu lagi," kata otousan begitu mobil yang dikemudikannya sudah melaju di jalanan.

Aku mengangguk, "Ha'i, Otousan."

Barulah kulihat otousan menoleh ke arahku dengan bibir tersenyum. Tangannya membelai wajahku dengan lembut, hingga membuatku memejamkan mata tanpa sadar.

Kedua keningku kontan mengerut begitu akhirnya mobil yang dikemudikan otousan berhenti di sebuah villa. Baru saja bibirku terbuka untuk bertanya kenapa kami tidak pulang ke rumah, otousan tiba-tiba menyambar bibirku. Otousan memiringkan wajahnya sambil menahan belakang kepalaku dengan satu tangannya.

"Malam ini kita akan menginap di sini," kata otousan begitu dia melepaskan ciumannya.

"Tapi bagaimana dengan lesku—"

"Kamu tidak lelah belajar terus, Naruto?" potong otousan dengan kedua alis terangkat, "Libur sehari dari tempat les itu tidak akan membuatmu tertinggal pelajaran, kan?" Otousan membuka pintu di sampingnya sambil melanjutkan, "Ayo turun. Otousan sudah tak sabar melakukan seks denganmu di dalam villa itu."

Aku menelan ludah. Ternyata itu tujuan otousan mengajakku menginap di villa itu. Harusnya aku sudah bisa menduga...

.

.

Sore itu, begitu pulang dari sekolah, aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke tempat les. Setelah membereskan barang-barang yang akan kubawa ke tempat les ke dalam tas, aku berjalan ke luar dari dalam kamar.

Sebuah taksi yang melintas di depan rumahku langsung kucegat. Setelah mengatakan alamat tempat lesku, sang supir taksi mengangguk, dan menjalankan kembali mobilnya.

Ponsel di dalam tasku berdering. Aku sudah tahu siapa yang meneleponku hanya dengan mendengar ringtone khusus yang kubuat. Dari otousan.

/"Naruto, kamu di mana?"/ tanya otousan to the point saat kuangkat.

"Aku di dalam taksi, Otousan. Di perjalanan menuju tempat lesku."

/"Oh, kebetulan! Hari ini kau bolos les saja. Otousan menunggumu sekarang di Tokyo Disneyland."/

Kedua mataku membulat, "Bukannya tadi pagi Otousan berangkat ke Taiwan? Kenapa—"

/"Otousan sudah pulang dengan pesawat jam empat sore tadi,"/ jelas otousan sambil terkekeh. /"Otousan tunggu kamu di sini. Oke?"/ Dan sebelum menunggu jawabanku, otousan sudah mematikan panggilan secara sepihak.

Aku menarik nafas panjang. "Paman, tolong antarkan saya ke Tokyo Disneyland sekarang. Saya tidak jadi ke alamat yang tadi saya sebutkan."

"Oh, baiklah." Supir taksi itu mengangguk mengerti.

Sepanjang perjalanan, aku terus memikirkan kenapa otousan tiba-tiba mengajak bertemu di Tokyo Disneyland? Kenapa tidak menemuiku di rumah saat aku pulang les nanti malam saja?

Taksi yang kunaiki akhirnya berhenti di depan pintu utama Tokyo Disneyland. Setelah membayar sejumlah argo, aku melangkah turun. Salah satu taman hiburan di Jepang itu ramai dengan pengunjung saat aku melangkah masuk. Sambil terus berjalan, aku mengedarkan kedua mataku untuk mencari-cari otousan. Lebih baik kutelepon saja.

/"Kamu sudah sampai, ya?"/ tanya otousan di seberang telepon.

Aku mengangguk. Seolah otousan bisa melihatku, "Ha'i. Otousan di mana?"

/"Otousan ada di bagian fantasyland,"/ kata otousan. /"Jangan matikan panggilan telepon, terus saja berjalan kemari."/

Aku berjalan menuju tempat yang dikatakan otousan. Banyak sekali orang di sana. "Otousan di mana? Masih memakai jas hitam seperti tadi pagi, kan?"

/"Tidak... Otousan memakai baju santai. Baju biru tua dan kacamata hitam."/

Tepat saat otousan selesai berkata, kedua mataku tertuju pada pria yang memakai baju biru tua dan kacamata hitam. Dengan ponsel yang masih menempel di telinganya, dia balik menatapku.

/"Naruto...?"/

Aku masih bengong. Tidak mungkin. Itu... itu otousan?! Sekilas aku tidak mengenalinya karena style-nya yang seperti anak muda.

Jantungku tiba-tiba berdebar begitu otousan menghampiriku dengan bibir tersenyum. Otousan melepaskan kacamata hitamnya begitu berhenti di depanku.

"Sudah makan?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu kita cari tempat makan, sebelum mengelilingi taman hiburan ini." Kemudian otousan menggandeng tanganku tanpa malu diperhatikan oleh orang-orang.

"Kenapa Otousan tiba-tiba mengajakku bertemu di taman hiburan ini?" tanyaku akhirnya begitu kami berdua sudah duduk berhadapan di meja sebuah tempat makan yang satu area di Tokyo Disneyland.

Otousan tersenyum lembut sambil mencondongkan tubuhnya. Membelai pipiku dengan lembut. "Tadi saat Otousan sedang menunggu pesawat pulang ke Jepang di bandara Taiwan, Otousan mendapat telepon dari wali kelasmu. Katanya kamu mendapat peringkat pertama dalam percobaan ujian nasional di sekolah, kan? Makanya Otousan meneleponmu untuk ke sini agar bisa merayakannya."

Aku ber-oh.

"Ada barang yang kamu inginkan?" tanya otousan. "Otousan akan membelikannya untukmu karena kamu sudah mendapat peringkat pertama dalam ujian itu."

Aku menggeleng-geleng. "Tidak. Aku sedang tidak butuh barang apapun saat ini, Otousan."

"Kalau begitu..." otousan menggerakkan ujung jarinya, memberi isyarat agar aku mendekatkan wajahku. "Begitu kita pulang nanti, Otousan akan memberimu hadiah cinta di atas ranjang, Naruto."

Aku menggigit bibir bagian dalamku. Sepertinya... hadiah otousan yang satu itu tidak bisa kutolak.

.

.

"Ayolah, Naruto. Kita karaoke hanya sejam saja kok!"

Rock Lee, salah satu teman di tempat lesku masih terus mengajakku ke tempat karaoke begitu malam itu les kami selesai. Aku masih sibuk memasukkan propertiku di atas meja ke dalam tas.

"Ikut, ya? Onegai?" Suara Lee terdengar memelas, begitu juga dengan raut wajahnya. Aku menarik nafas panjang.

"Aku harus cepat pulang." Aku masih berusaha menolak ajakan Lee.

"Kau selalu menolak jika kuajak," gerutu Lee. "Hanya sekali saja kau tidak mau mengikuti ajakanku?"

Aku terdiam. "Baiklah. Tapi hanya sejam, ya?"

"Yes!" Lee meninju udara dengan kedua tangannya. "Ayo!"

Tempat karaoke yang aku datangi bersama Lee tak jauh dari tempat les kami. Tanpa mengurus ruangannya di meja resepsionis, Lee langsung mengajakku ke ruangan yang ada di lantai dua. Ternyata di dalam ruangan yang minim pencahayaan itu, sudah ada dua teman laki-laki Lee.

Aku duduk dengan tidak nyaman di sudut sofa begitu kulihat Lee sudah duduk di samping seorang lelaki yang tadi mengenalkan dirinya sebagai Shikamaru.

"Kau tidak minum?" tawar lelaki yang duduk di sampingku. Namanya Sai.

Aku menggeleng, "Tidak... aku tidak biasa minum," tolakku. Karena kulihat semua botol minuman yang ada di atas meja itu beralkohol.

"Coba saja segelas," Sai mengulurkan segelas ke arahku. "Ayo coba."

Aku menoleh ke arah Lee untuk meminta bantuan. Namun Lee sedang asyik bernyanyi.

"Ti-Tidak usah. Aku tidak bisa." Akhirnya kuberanikan diriku untuk menolak tawaran minum Sai.

Kedua mata Sai tak menoleh dariku begitu dia meletakkan gelas itu di atas meja. "Kalau dilihat dari dekat, kau ternyata sangat manis," katanya, sembari merapatkan dirinya padaku. Aku tidak bisa bergerak ke mana-mana karena sudah tersudut.

Tiba-tiba Sai menarik wajahku, dan menyambar bibirku. Kedua mataku membelalak. Kenapa Sai menciumku?!

Kedua tanganku berusaha mendorong dadanya. Namun Sai mencengkram kedua pergelangan tanganku, dan menahannya di belakang punggungku. Kedua mataku terpejam erat. Tidak! Aku tidak menginginkan ciuman ini!

"BERENGSEK!"

Kedua mataku sontak terbuka begitu mendengar suara menggelegar otousan. Bibir Sai akhirnya terlepas begitu otousan menarik pundaknya.

"BERANI SEKALI KAU MENCIUM PUTRAKU!"

BUAK!

Dan satu pukulan otousan melayang di pipi kiri Sai. Sai jatuh tersungkur di lantai sambil meringis memegang bekas pukulan otousan di pipinya.

Aku langsung melompat di depan otousan, sebelum dia kembali menghajar Sai. "Otousan, sudah. Jangan pukul dia." Segera kutarik otousan ke luar dari ruangan karaoke itu, setelah sebelumnya memberi sorot mata 'Akan kujelaskan besok di tempat les' pada Lee.

"Shit!" desis otousan sambil memukul stir mobil begitu mobil yang dikemudikannya sudah melaju di jalanan.

Aku tidak bersuara sampai akhirnya mobil otousan berhenti di garasi rumah.

"Kata wali kelasmu, kamu memilih salah satu universitas di Amerika saat lulus nanti. Benarkah itu?" tanya otousan saat kami sudah berada di dalam rumah.

Aku menggigit sedikit bibir bawahku sambil mengangguk, "Ha'i."

"Kenapa?" Otousan melangkah mendekatiku, "Kenapa kamu memilih universitas di Amerika? Kenapa tidak memilih universitas di Jepang ini, Naruto?"

Aku menatap ke arah lain. Tidak bisa bilang kalau aku ingin mengakhiri hubungan intim antara otousan dan aku.

"Aku ingin hidup mandiri dengan berkuliah di sana, Otousan," jawabku akhirnya, setengah bohong.

Kedua tangan otousan tiba-tiba mencengkram pundakku. "Naruto, kamu tidak sayang Otousan?" tanyanya. "Otousan membutuhkanmu Naruto. Otousan sangat membutuhkanmu!"

Pertahananku mulai goyah begitu melihat kedua mata otousan yang menatapku dengan sedih. Kenapa aku tidak pernah berani menentang otousan?

Melihat keterdiamanku, otousan menarikku ke arah kamar. Lagi-lagi, semuanya berakhir di atas ranjang. Dan aku tidak berani menolak keinginan otousan. Jika seperti ini... jika aku terus berada di rumah ini, aku akan terus berada di bawah sikap posesif otousan. Hubungan kami juga tidak bisa kembali normal, seperti ayah dan anak pada umumnya.

"Ahh!" Desahanku terlepas dari bibirku begitu otousan sudah bergerak di dalam tubuhku. Kedua tanganku berpegangan pada kedua lengan otousan yang menopang di samping kepalaku.

Kepalaku menggeleng tak terkendali begitu gesekan di bawah sana semakin membakar tubuhku. Semakin membuatku tidak bisa keluar dari dinding tak kasatmata yang diciptakan otousan. Aku sudah terjerat oleh otousan-ku sendiri. Aku... sudah jatuh cinta pada otousan-ku sendiri.

"O-Otousan... Ahh—aku... mencintaimu..." kataku akhirnya. Tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku.

"Otousan juga mencintaimu, Naruto. Jadi, kamu akan terus di samping Otousan setelah lulus nanti, kan?"

Aku mengangguk, "Ha'i, Otousan. Aku akan selalu di samping Otousan. Aku akan berkuliah di Jepang..."

"Good boy." otousan berbisik di depan telingaku, "Kamu selamanya hanya milik Otousan. Selamanya."

Ya. Otousan juga selamanya milikku. Hanya milikku...

.

.

.


Selesai


Jeanne's notes:

Terima kasih bagi kalian yg sudah meninggalkan apresiasi (baik itu review, fave, dan follow) di fic Step Brother itu:

hanazawa kay; BoraX 007; Alen Witch; andikayoga784; Uzumaki Prince Dobe-Nii; efi. astuti. 1; Guest; Ryuusuke583; miszshanty05; saphire always for onyx; HUANGYUE; aryaahee; Akane-Rihime; Kim Seo Ji; putrifibrianti1; SNlop; gici love sasunaru; Monster Danau Toba; Aiko Hikari Fujoshi; deClementine; Aiko Michishige; zukie1157; ukkychan; reiasia95; kazekageashainuzukaasharoyani; Kucing Gendut.

Berikut pertanyaan-pertanyaan di dari beberapa review yg saya rangkum dan akan menjawabnya jadi satu:

Apa FugaKushi bakal ngelancarin hubungan SasuNaru? Apa Naruto bakal cinta sama Sasuke sejak ada kejadian 'itu'? Hubungan SasuNaru tidak akan pernah dilancarin oleh kedua ortu mereka, bisa dilihat dari reaksi Kushina yg syok berat di-ending fic Step Brother itu. Tentu saja Naruto sudah jatuh cinta pada Sasuke setelah kejadian 'itu', siapa sih yg nggak akan terbuai dengan sentuhan (mesum) Sasuke. Hihihi~~ :p

Pengen add fb author, tapi takut nggak dikonfirm. Jangan takut, saya nggak bakal gigit kok. PM saja saya di fb dengan mencantumkan penname/username yg kalian gunakan saat meninggalkan apresiasi di fic2 saya. Pasti akan saya konfirm. ^^


Sebenarnya fic ini akan saya publish di hari Senin (2 hari yg lalu), tapi provider nggak bersahabat, makanya baru di-publish hari ini.

Jadi, di fic saya kali ini SasuNaru-nya dibuat jadi ayah-anak. Sasuke-nya posesif, begitupula dengan Naruto yg juga posesif (tapi dia sendiri belum sadar). Btw, umur Sasuke di fic ini 33th (yg keliatan masih kayak anak muda dong), dan Naruto berumur 17th.

Oke. Sampai jumpa di karya saya yg lain. ^^