137darkpinku Present

KYUMIN FANFICTION

Fifty Shades of Darker

Chapter 45

Cast: Cho Kyuhyun , Lee Sungmin , and other cast

Rate : M

Warning : Genderswitch , Typo(s) , kosa kata yang berantakan

(Ada beberapa MARGA yang diganti demi kepentingan cerita)

DLDR

Please enjoy ^^

Disclaimer : Remake Novel karya EL James 'Fifty Shades of Darker'.

P.M : All is Sungmin's POV

Ok. Let's check this out !


.

.

.

JOYER

.

.

.


Kyuhyun bersimpuh didekat kakiku, memegangku dengan tatapan matanya yang kukuh, adalah sebuah pengalaman paling mengerikan dan menenangkan yang pernah ku lihat, lebih dari pada Chengmin dan pistolnya. Rasa pusing yang samar karena alkohol yang ku alami menguap dengan cepat dan kini tergantikan oleh rasa nyeri di kepala yang serasa menusuk dan rasa ngeri akan ajal saat darah menyusut dari wajahku. Aku mengambil nafas cepat dengan rasa kaget.

"Kyuhyun, ku mohon, jangan lakukan ini."

Dia tetap memandangku dengan pasif, tidak bergerak dan tidak mengatakan apapun. Air mata menusuk mataku.

"Mengapa kau melakukan ini? Bicaralah padaku," bisikku.

Dia berkedip sekali.

"Apa yang ingin kau dengar untuk ku ucapkan?" katanya perlahan, dengan lembut, dan untuk beberapa saat aku lega ia berbicara, tapi tidak seperti ini.

Air mata mulai turun ke pipiku, dan tiba-tiba semuanya terasa berlebihan untuk melihat dia berada dalam posisi yang sama dengan makhluk menyedihkan yaitu Chengmin.

Pikiran tentang aku yang mendominasi siapapun sungguh menjijikkan. Pikiran tentang mendominasi Kyuhyun memuakkan.

Tidak mengalihkan pandanganku darinya, aku bersimpuh di hadapannya. Lantai kayu terasa keras di tulang keringku, dan aku menghapus air mataku dengan kasar menggunakan punggung tanganku. Seperti ini, kami sejajar. Kami berada dalam satu level. Ini satu-satunya jalan bagaimana aku akan menyelamatkannya. Matanya melebar saat aku menatapnya, tapi dibalik itu, ekspersi dan mentalnya tak berubah.

"Kyuhyun, kau tidak perlu melakukan ini," aku memohon. "Aku tidak akan lari. Aku telah mengatakannya padamu dan mengatakan lagi dan lagi, aku tidak ingin lari. Semua yang telah terjadi...semuanya membanjiriku. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk berpikir...waktu untuk diriku sendiri. Mengapa kau selalu berasumsi yang terburuk?" Hatiku kesal lagi karena aku tahu, ini karena ia sangat sangsi, sangat segan terhadap dirinya.

Sekali lagi ketakutan mencengkram hatiku dan aku mulai berceloteh. "Aku akan mengusulkan untuk kembali ke apartemenku sore ini. Kau tidak pernah memberiku waktu...waktu untuk berpikir," aku terisak, dan bayangan beku lewat di wajahnya. "Hanya waktu untuk berpikir. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain, dan semua hal yang datang bersamamu...aku butuh...aku butuh waktu untuk berpikir. Dan sekarang Chengmin adalah...siapapun dia... dia sudah tidak berada di jalan dan bukanlah ancaman...aku pikir...aku pikir..." Suaraku memelan dan aku menatapnya.

Dia memandangku dengan sungguh-sungguh dan aku pikir dia mendengarkan.

"Melihatmu dengan Chengmin..." kututup mataku saat kenangan buruk dari interaksinya dengan mantan sub-nya menggerogotiku lagi. "Itu sangatlah mengejutkan. Aku hanya tahu sekilas tentang kehidupan yang telah kau jalani...dan..." aku menatap pada jari-jariku yang menggulung, air mata masih menetes di pipiku.

"Ini semua tentang diriku yang tidak cukup baik untukmu. Itu seharusnya kau ketahui dalam hidupmu, dan aku takut kau akan bosan denganku, dan kemudian kau pergi...dan aku akan berakhir seperti Chengmin...bayangan. Karena aku mencintaimu Kyuhyun, dan jika kau meninggalkanku, itu akan terasa seperti dunia yang tanpa cahaya. Aku akan berada dalam kegelapan. Aku tidak ingin berlari. Aku hanya sangat takut kau akan meninggalkanku..."

Aku sadar saat aku mengatakan kata-kata itu padanya-berharap ia mendengarkan-apa yang menjadi masalahku sebenarnya. Aku hanya tidak mengerti mengapa ia menyukaiku. Aku tak pernah mengerti mengapa ia menyukaiku.

"Aku tidak mengerti mengapa kau merasa aku menarik," gumamku. "Kau... kau adalah dirimu...dan aku..." aku mengangkat bahuku dan menatapnya. "Dan aku tidak bisa melakukan seperti apa yang kau lakukan. Aku tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Bagaimana kau bisa bahagia bersamaku? Bagaimana mungkin aku menahanmu?" Suaraku berupa bisikan saat aku mengungkapkan ketakutan tergelapku. "Aku tidak pernah mengerti bagaimana caramu melihatku. Dan melihatmu dengannya, itu membawa semua kembali."

Aku menghirup dan menyapu hidungku dengan punggung tanganku, menatap pada ekspresinya yang tenang. Oh, dia sungguh menyakiti hati. Bicara denganku, sialan!

"Apakah kau akan berlutut disini sepanjang malam? Karena aku akan melakukannya juga," kuteriakkan padanya.

Kurasa ekspresinya melembut - mungkin dia terlihat sedikit menggelikan. Tapi sangat sulit mengatakan itu. Aku tak bisa menggapai dan menyentuhnya, tapi ini akan menjadi sebuah penyalahgunaan yang amat jelas yang ia posisikan padaku. aku tak menginginkan itu, tapi aku tak tahu apa yang ia inginkan, atau ia coba untuk katakan padaku. Aku hanya tidak mengerti.

"Kyuhyun, kumohon, kumohon... bicaralah padaku," aku memohon padanya, ku kepalkan tangan di pangkuanku. Aku tak nyaman berada di lututku, tapi aku melanjutkan untuk bersimpuh, menatap kedalam matanya yang serius, indah, dan aku menunggu. Menunggu. Menunggu.

"Kumohon," aku memohon sekali lagi. Tatapan matanya yang intens semakin menggelap dan tiba-tiba ia berkedip.

"Aku sangat takut," bisiknya.

Oh, Terima kasih Tuhan!

Dia berbicara!

Rasa syukur membanjiriku. Suaranya lembut dan rendah.

"Saat aku melihat Jonghyun di luar, aku tahu seseorang telah membiarkanmu masuk ke dalam apartemenmu. Aku dan Yesung segera melompat keluar dari mobil. Kami tahu dan melihatnya disana bersamamu dan bersenjata. Aku berpikir aku telah mati beribu kali, Sungmin. Seseorang menyakitimu...semua ketakutan terburukku jadi kenyataan. Aku sangat marah, dengannya, denganmu, dengan Yesung dan dengan diriku sendiri."

Ia menggelengkan kepalanya menunjukkan penderitaannya. "Aku tidak tahu betapa tidak stabil dirinya. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku tidak tahu bagaimana ia akan bereaksi." Dia berhenti dan membeku. "Dan kemudian dia memberiku sebuah petunjuk. Ia terlihat sangat sedih. Dan aku tahu apa yang harus kulakukan." Dia berhenti sejenak, menatap kearahku, mencoba untuk mengukur reaksiku.

"Lanjutkan," bisikku.

Ia tergugup. "Melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku tahu bahwa aku mungkin dapat melakukan sesuatu pada gangguan mental yang Ia alami..." Ia menutup matanya sekali lagi. "Ia dulu selalu amat nakal dan bersemangat."

Ia terlihat ngeri dan mengambil napas dengan kasar, hampir seperti sebuah isakkan. Mendengarnya menjadi sebuah siksaan bagiku, tapi aku tetap bersimpuh, penuh perhatian, menyimpan informasi ini.

"Dia mungkin saja menyakitimu. Dan itu semua adalah salahku." Matanya berkedip, penuh dengan rasa ketakutan yang tak dapat ku mengerti, dan sekali lagi ia terdiam.

"Tapi dia tidak melakukannya," bisikku. "Dan kau bukanlah seseorang yang harus bertanggung jawab bila dia menyakitiku, Kyuhyun." Aku berkedip padanya, mendorongnya untuk melanjutkan.

Kemudian itu semua menjadi jelas bahwa semua yang ia lakukan adalah untuk membuatku tetap aman, dan mungkin Chengmin juga, karena ia juga peduli padanya. Tapi seberapa besar ia peduli padanya? Pertanyaan itu menggantung di kepalaku, tidak dapat kuterima. Ia bilang ia mencintaiku, tapi kemudian ia begitu kasar, melemparku keluar apartemenku sendiri.

"Aku hanya ingin kau pergi," gumamnya, dengan kemampuan anehnya dalam membaca pikiranku. "Aku ingin kau menjauh dari bahaya, dan...kau. Tidak. Mau. Pergi." Ia mendesis dari sela-sela giginya yang terkatup dan menggelengkan kepalanya. Kemarahannya nampak jelas. Ia menatapku dengan sungguh-sungguh. "Lee Sungmin, kau adalah wanita paling keras kepala yang pernah ku kenal." Ia menutup matanya dan menggeleng sekali lagi dalam rasa tak percaya.

Oh, dia telah kembali. Aku menghembuskan napas panjang, menghela dalam rasa syukur. Ia membuka kembali matanya, dan ekspresinya sedih-tulus.

"Kau tidak akan pergi?" tanyanya.

"Tidak!"

Ia menutup matanya kembali dan seluruh tubuhnya mengendur. Saat ia membuka matanya, aku dapat melihat rasa sakit dan kesedihan yang mendalam.

"Ku pikir-" Ia berhenti. "Inilah aku, Sungmin. Seluruh bagian diriku... dan aku milikmu sepenuhnya. Apa yang harus kulakukan agar kau menyadari itu? Untuk membuatmu melihat bahwa aku menginginkanmu di segala cara yang aku bisa untuk memilikimu. Bahwa aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Kyuhyun, dan melihatmu seperti ini..." aku tercekik dan air mataku mulai lagi. "Aku pikir aku telah mematahkanmu."

"Mematahkan? Diriku? Oh tidak, Sungmin. Justru sebaliknya." Dia menggapai dan mengambil tanganku. "Kaulah penyelamatku," bisiknya, dan ia mengecup buku jariku sebelum menyatukan tanganku dengan tangannya.

Dengan matanya yang lebar dan penuh ketakutan, ia dengan perlahan menarik tanganku dan menempatkannya di atas dadanya tepat diatas jantungnya, di area terlarang. Napasnya semakin cepat. Jantungnya berdetak liar, meninggalkan jejak berkedut di jari-jariku. Ia tak mengalihkan pandangannya dariku, rahangnya mengeras, giginya rapat.

Aku terkejut. Oh Fifty-ku! Ia membiarkanku menyentuhnya. Dan sepertinya semua udara di paru-paruku menguap, hilang. Darah berdentum di telingaku saat ritme jantungku meningkat untuk menyamakan ritmenya. Ia melepaskan tanganku, meninggalkannya tetap di atas jantungnya. Ku lemaskan jari-jariku perlahan, merasakan hangat kulitnya dibalik kain tipis bajunya. Ia menahan napasnya. Aku tak dapat menahannya. Ku angkat tanganku.

"Tidak," katanya dengan cepat dan menaruh lagi tangannya diatas tanganku. "Jangan."

Didukung dua kata itu, aku bergerak mendekat hingga dengkul kami saling bersentuhan dan mengangkat tanganku yang lain jadi ia tahu apa yang aku ingin lakukan. Matanya semakin membesar tapi ia tak menghentikanku. Perlahan aku mulai membuka bajunya, menampakkan dadanya. Ia menelan ludah dan bibirnya membuka saat napasnya meningkat, dan aku dapat merasakan kepanikannya, tapi ia tak menjauh.

Apakah ia masih dalam mode Sub-nya?

Aku tak tahu. Apakah aku harus melakukan ini? Aku tidak ingin menyakitinya, secara fisik maupun mental. Melihatnya seperti ini, menawarkan dirinya sendiri padaku, merupakan sebuah panggilan agar terbangun. Aku menggapai, dan tanganku hampir berada diatas dadanya, dan aku menatapnya...meminta persetujuan.

Dengan perlahan ia memiringkan kepalanya ke satu sisi, menguatkan dirinya dalam antisipasi dari sentuhanku, dan ketegangan terpancar dari dirinya, tapi kali ini bukanlah karena kemarahan-ini ketakutan. Aku ragu. Apakah benar aku dapat melakukan ini padanya?

"Ya." Ia bernapas-sekali lagi dengan keahlian anehnya untuk menjawab pertanyaanku yang tidak terlontar.

Perlahan aku membelainya hingga menyentuh tulang dadanya. Dia menutup matanya, dan wajahnya terlihat kusut seakan-akan ia sedang mengalami sakit yang tidak dapat ditolerir. Tak dapat menyaksikannya, kuangkat jari-jariku dengan cepat tapi secepat itu pula ia menangkap tanganku dan menaruh dengan lembut, datar pada dadanya yang telanjang.

"Tidak," katanya, suaranya tegang. "Aku membutuhkannya." Matanya menutup dengan amat rapat.

Ini pasti menyakitkan. Aku sangat tersiksa melihatnya. Perlahan jari-jariku mengelus bagian dada hingga ke dekat jantungnya, merasa heran akan rasa lembut di tubuhnya, merasa takut bahwa langkah ini terlalu jauh.

Dia membuka matanya, dan kedua mata itu dipenuhi api, berpijar ke arahku. Tatapannya sangat panas, buas, lebih kuat dan napasnya cepat. Itu mengaduk darahku. Aku menggeliat dibawah tatapannya. Dia tak menghentikanku, jadi aku menurunkan ujung jariku melewati dadanya lagi dan mulutnya mengendur. Dia terengah, dan aku tak tahu apakah itu karena takut atau karena sesuatu yang lain.

Aku selalu ingin menciumnya di sana sejak lama, ku condongkan dengkulku dan menatapnya untuk beberapa saat, membuat maksudku menjadi jelas. Kemudian aku menunduk dan dengan perlahan mengecup lembut tepat di atas jantungnya, merasakan kehangatannya, harum manis kulitnya dibawah bibirku. Erangan tertahannya membuatku bergerak kembali duduk diatas kakiku, takut akan apa yang akan kulihat di wajahnya. Matanya memejam dengan rapat tapi ia tak bergerak.

"Lagi," bisiknya, dan aku maju kearah dadanya sekali lagi, kali ini untuk mengecup salah satu bekas lukanya.

Ia terkejut, dan aku mencium yang lainnya dan lainnya lagi. Ia mengerang dengan keras dan tiba-tiba lengannya berada di sekitarku, dan tangannya di rambutku, menarik kepalaku dengan keras jadi bibirku bertemu mulutnya. Dan kami berciuman, jari-jariku berada di rambutnya.

"Oh, Sungmin," bisiknya, dan ia memutar dan menaruhku ke lantai jadi aku berada dibawahnya.

Kubawa tanganku naik ke atas untuk menyentuh wajah tampannya, dan di momen itu, aku merasakan air matanya. Ia menangis...tidak. Tidak!

"Kyuhyun, kumohon, jangan menangis. Aku serius saat aku mengatakan bahwa aku tidak akan meninggalkanmu. Sungguh. Jika aku membuatmu berpikir sebaliknya, maafkan aku... kumohon, kumohon maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu."

Ia membayangiku, menatap kebawah kearah wajahku, dan ekspresinya seperti sangat kesakitan. "Apakah ini?" Matanya melebar.

"Apa rahasia yang membuatmu berpikir aku akan lari? Yang membuatmu sangat percaya bahwa aku akan pergi?" aku memohon, suaraku gemetar. "Katakan padaku, Kyuhyun, kumohon..."

Ia duduk, ia silangkan kakinya dan aku mengikutinya, kakiku ku luruskan. Samar-samar aku berpikir apakah kami bisa bangkit dari lantai ini? Tapi aku tak ingin menginterupsi apa yang sedang ia pikirkan. Akhirnya ia akan menceritakan rahasianya padaku. Ia menatapku, dan ia terlihat sangat muram. Oh sial - ini buruk.

"Ming..." Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata, ekspresinya kesakitan... Oh? Kemana arah pembicaraan sialan ini? Ia menghela napas dalam-dalam dan menelan.

"Aku sesorang yang kejam, Sungmin. Aku suka mencambuk gadis kecil berambut hitam seperti dirimu karena kalian semua terlihat seperti pelacur itu, ibu biologisku. Aku yakin kau dapat menebak mengapa." Ia mengatakannya dengan cepat seperti ia telah memikirkan kalimat ini berhari-hari dan putus asa untuk mengatakannya.

Duniaku berhenti. Oh tidak. Ini bukanlah apa yang ku harapkan. Ini buruk. Amat buruk. Aku mentapnya, mencoba mengerti implikasi apa yang baru saja ia katakan. Itu menjelaskan mengapa kami semua nampak sama. Pikiranku dalam sekejap berpikir bahwa Chengmin memang benar - "Master orang yang gelap." Aku mengingat kembali percakapanku dengannya tentang kecenderungannya saat kami berada di Red Room of Pain.

"Dulu kau bilang kau bukanlah seseorang yang sadis," bisikku, putus asa untuk mengerti... membuat beberapa pengecualian untuknya.

"Tidak, dulu aku bilang aku adalah seorang Dominan. Jika aku bohong padamu, itu adalah kebohongan karena kelalaian. Maafkan aku." Ia melihat kearah jari-jarinya. Aku rasa ia malu. Malu karena telah berbohong padaku? Atau malu tentang siapa dia sebenarnya?

"Saat kau menanyakan pertanyaan itu padaku, aku telah memimpikan sebuah hubungan yang sangat berbeda diantara kita," bisiknya.

Aku bisa melihat dari pandangannya bahwa ia takut. Kemudian itu mengejutkanku layaknya pukulan bola penghancur. Jika ia adalah seorang yang sadis, ia benar-benar membutuhkan seluruh permainan deraan dan pukulan sialan itu. Oh sial. Ku tumpukan kepalaku di tangan.

"Jadi itu benar," bisikku, melayangkan pandangan kearahnya. "Aku tidak dapat memberikan apa yang kau butuhkan."

Ini dia-ini benar-benar berarti bahwa kami tidak cocok. Dunia mulai runtuh dibawah kakiku, berjatuhan disekitarku saat rasa panik mencekik tenggorokanku. Ini dia. Kami tidak bisa melanjutkan ini.

Ia membeku. "Tidak, tidak, tidak. Ming. Kau bisa. Kau telah memberiku apa yang aku butuhkan." Ia mengepalkan tinjunya. "Ku mohon percayalah padaku," gumamnya, kata-katanya merupakan sebuah permintaan yang berapi-api.

"Aku tidak tahu apa yang harus ku percaya, Kyuhyun. Ini sungguh-sungguh kacau," bisikku, tenggorokanku kering dan sakit saat bibirku tertutup, aku sesengukan dengan air mata mengalir. Matanya melebar dan berkaca-kaca saat ia melihat kearahku lagi.

"Ming, percayalah padaku. Setelah aku menghukummu dan kau pergi meninggalkanku, pandanganku terhadap dunia telah berubah. Aku tidak bercanda saat kukatakan aku akan menjauhi untuk selamanya perasaan seperti itu lagi." Ia menatapku dengan permohonan yang menyakitkan. "Saat kau bilang kau mencintaiku, itu adalah sebuah penerangan. Tidak ada yang pernah mengatakan hal itu padaku sebelumnya, dan itu seperti aku menutup sesuatu untuk selamanya-atau mungkin kau yang telah menutupnya, aku tak tahu. Dokter Jung dan aku masih berdiskusi mendalam tentang itu."

Oh. Api harapan berkobar dihatiku. Mungkin kami akan baik-baik saja. Aku ingin Kami baik-baik saja. Iya kan?

"Apa maksud dari semua itu?" bisikku.

"Itu berarti aku tidak membutuhkannya. Tidak sekarang."

Apa? "Bagaimana kau tahu? Bagaimana kau bisa sangat yakin akan hal itu?"

"Aku hanya tahu. Memikirkan menyakitimu...dalam berbagai cara apapun...itu menjijikkan bagiku."

"Aku tidak mengerti. Bagaimana tentang semua peraturan dan tamparan dan semua seks abnormal itu?"

Ia menyapukan tangannya ke rambutnya dan hampir tersenyum tapi ia malah mendesah sedih. "Aku membicarakan tentang hal-hal sial yang termasuk batas keras, Sungmin. Kau harus melihat apa yang dapat aku lakukan dengan rotan atau seekor kucing."

Mulutku ternganga, bergeming. "Ku rasa lebih baik tidak."

"Aku tahu. Jika kau ingin melakukan itu, baiklah...tapi kau tidak dan aku bisa mengerti. Aku tidak bisa melakukan semua hal itu denganmu jika kau tidak menginginkannya. Aku telah mengatakannya padamu dulu, kau pemegang semua kekuatan dan kekuasaan. Dan kini, sejak kau kembali, aku tidak merasakan semua kompulsi itu, sama sekali tidak."

Aku memandangnya untuk sesaat mencoba untuk mengerti semua ini.

"Saat kita bertemu, itukah yang kau inginkan?"

"Ya, tanpa keraguan."

"Bagaimana semua tekanan itu hilang begitu saja, Kyuhyun? Seperti halnya diriku ini sejenis obat yang mujarab, dan kau-yang menginginkan kata yang lebih baik-sembuh? Aku tak mengerti."

Ia mendesah sekali lagi. "Aku tidak akan mengatakan sembuh... kau tidak percaya padaku?"

"Aku hanya merasa, luar biasa. Yang mana sangat berbeda."

"Jika kau tidak pernah meninggalkanku, aku mungkin tidak akan merasakan hal seperti ini. Kau meninggalkanku adalah hal terbaik yang pernah kau lakukan... untuk kita. Itu membuatku menyadari betapa aku menginginkanmu, hanya dirimu, dan aku menyakininya saat aku katakan bahwa aku akan menerimamu disetiap hal yang aku bisa kudapatkan darimu."

Aku menatapnya. Dapatkah aku mempercayai ini? Kepalaku sakit hanya karena mencoba untuk memikirkan ini semua, dan didalam aku merasa...kebas.

"Kau masih disini. Aku pikir kau akan berjalan keluar pintu sekarang," bisiknya.

"Kenapa? Karena aku mungkin berpikir kau adalah seorang psiko untuk mendera dan meniduri wanita yang terlihat seperti ibumu? Apakah itu berpengaruh untukmu?" Aku mendesis padanya. Ia memucat karena mendengar kata-kata kasarku.

"Aku tidak akan mengatakannya seperti itu, tapi ya," katanya, matanya melebar dan terluka. Ekspresinya tenang dan aku menyesali semburanku padanya.

Aku membeku, merasa bersalah. Dan dengan enggan aku teringat sebuah photo di kamar tidur masa kecilnya, dan pada momen itu aku sadar mengapa wanita itu terlihat familiar. Wanita itu terlihat sepertinya. Wanita itu pastilah Ibu biologisnya.

Aku lelah karena semua ini.

"Kyuhyun, aku lelah. Bisakah Kita mendiskusikan ini besok? Aku ingin pergi tidur."

Ia berkedip terkejut kearahku. "Kau tidak pergi dariku?"

"Apa kau ingin aku pergi?"

"Tidak! Aku pikir kau akan pergi setelah kau mengetahui semua ini."

Setiap waktu ia menyebutkan bahwa aku akan pergi setelah aku mengetahui rahasia terkelamnya melintas di benakku...dan kini aku tahu. Sial.

Master sangat gelap.

Haruskah aku pergi?

Aku menatapnya, pria gila yang kucintai ini, ya aku mencintainya. Bisakah aku meninggalkannya? Aku telah meninggalkannya sebelum ini, dan itu benar-benar menghancurkanku...dan dirinya.

"Jangan tinggalkan aku," bisiknya.

"Oh, demi apapun, tidak! Aku tidak akan pergi!" teriakku.

"Benarkah?" Matanya melebar.

"Apa yang dapat kulakukan untuk membuatmu mengerti bahwa aku tidak akan lari? Apa yang dapat kukatakan?"

Ia menatapku, memancarkan ketakutan dan kesedihan yang mendalam lagi. Ia diam. "Ada satu hal yang dapat kau lakukan."

"Apa?" bentakku.

"Menikahlah denganku," bisiknya.

Apa? Apakah yang baru saja ia-

.

.

.

Untuk kedua kalinya dalam kurun waktu kurang dari setengah jam duniaku berhenti.

Aku tidak dapat percaya akan apa yang baru saja ia katakan. Pernikahan? Ia melamarku untuk menikah? Apakah ia bercanda? Aku tak dapat menahannya-tawa kecil, gugup, tak dapat dipercaya menguar dari dalam tubuhku. Ku gigit bibirku agar dapat menghentikannya menjadi tawa skala penuh nan histeris dan menyedihkan. Aku terlentang di lantai dan menyerah pada tawaku, tertawa seperti aku tak pernah tertawa sebelumnya, lolongan nyaring yang menyembuhkan dari tawa. Dan untuk beberapa saat aku ada pada diriku sendiri, melihat kearah situasi menggelikan ini, seorang gadis yang geli disamping seorang anak laki-laki yang berantakan nan tampan.

Aku sapukan tanganku ke mataku, saat tawaku berubah menjadi air mata yang panas. Tidak, tidak... ini terlalu berlebihan. Saat tawa histeria surut, Kyuhyun mengangkat tanganku dengan perlahan dari wajahku. Aku berbalik dan menatap kearahnya. Ia mencondongkan tubuhnya kearahku. Mulutnya membentuk senyum masam, tapi matanya menyala, mungkin terluka. Oh tidak. Dengan perlahan ia menghapus air mataku dengan punggung tangannya.

"Apakah menurutmu lamaranku lucu, Nona Lee?"

Oh, Fifty !

"Tuan Cho... Kyuhyun. Pemilihanmu akan waktu sangat sangat tidak bisa dipercaya..." aku menatap kearahnya saat kata-kata gagal mengungkapkannya.

Ia tersenyum kearahku, tapi sinar di matanya menunjukkan padaku bahwa ia terluka. Ia menangis. "Kau memotongku dengan cepat, Ming. Mau kah Kau menikah denganku?"

Aku duduk dan bersandar padanya, meletakkan tanganku di dengkulnya. Ku tatap kedalam wajahnya yang tampan.

"Kyuhyun, aku telah bertemu mantanmu yang psyco dengan pistol, diusir keluar dari apartemenku, mendapatkanmu memancarkan termonuklir Fifty kearahku-"

Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi kuangkat tanganku. Ia dengan segera menutup mulutnya.

"Kau telah membuka beberapa, cukup terus terang, informasi yang mengejutkan tentang dirimu, dan kini kau memintaku untuk menikah denganmu."

Ia menggerakkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lainnya seperti ia sedang mencerna fakta itu. Ia geli. Terima kasih Tuhan.

"Ya, aku rasa itu cukup adil dan akurat sebagai ringkasan dari situasi ini," katanya bosan.

Ku gelengkan kepalaku padanya. "Dengar, Kyuhyun, aku mengenalmu baru 3 menit lalu, dan masih banyak yang perlu ku ketahui tentangmu. Aku terlalu banyak minum, aku lapar, aku lelah, dan aku ingin pergi tidur. Aku perlu untuk mempertimbangkan lamaranmu sama seperti aku mempertimbangkan kontrak yang kau berikan padaku. Dan"-aku rapatkan bibirku bersamaan untuk menunjukkan ketidaksukaanku tapi juga untuk mencerahkan suasana diantara kami-"itu bukanlah lamaran yang paling romantis."

Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi dan bibirnya membentuk senyuman. "Poin yang bagus, seperti biasa, Nona Lee," Ia mendesah, suaranya dipenuhi syukur. "Jadi, itu berarti bukan sebuah kata tidak?"

Aku mengambil napas panjang. "Bukan, Tuan Cho, itu bukan lah sebuah kata tidak, tapi itu juga bukanlah sebuah jawaban ya. Kau melakukan ini karena kau takut, dan kau tidak percaya padaku."

"Bukan, aku melakukan ini karena akhirnya aku menemukan seseorang yang aku inginkan untuk menghabiskan hidup bersama." Oh .

Jantungku berhenti sesaat dan didalam aku meleleh. Bagaimana bisa di tengah-tengah situasi paling kacau ia bisa mengatakan suatu hal yang paling romantis?

Mulutku terbuka dalam kejut. "Aku tak pernah berpikir itu akan terjadi padaku," lanjutnya, ekspresinya memancarkan ketulusan yang murni. Aku membuka mulutku, mencari kata yang tepat. "Bisakah aku memikirkan ini... please? Dan memikirkan tentang semua hal yang telah terjadi hari ini? Apa yang baru saja Kau katakan padaku? Kau meminta kesabaran dan kepercayaan. Well, kembali padamu, Cho. Aku membutuhkan itu sekarang."

Matanya mencariku dan setelah sebuah detakan, ia maju dan menyematkan rambutku ke belakang telingaku. "Aku bisa bertahan hidup dengan itu." Ia menciumku cepat di bibir. "Tidak terlalu romantis, ya?" Ia mengangkat alisnya, dan aku memberinya gelengan kepala. "Hati dan bunga?" tanyanya perlahan. Aku mengangguk dan ia memberiku senyum sekilas.

"Kau lapar?"

"Ya."

"Kau belum makan." Matanya membeku dan rahangnya mengeras.

"Ya, aku belum makan." Aku duduk kembali dan melihatnya pasif. "Ditendang keluar dari apartemenku setelah melihat pacarku berinteraksi dengan mantan submisifnya bisa dianggap menghancurkan selera makanku." Aku melotot kearahnya dan menaruh tangan di pinggangku.

Kyuhyun menggelengkan kepalanya dan bangkit dengan anggun dengan kakinya. Oh, akhirnya kami bisa berdiri dari lantai. Ia mengulurkan tangannya kearahku.

"Biar aku memberikanmu sesuatu untuk dimakan," katanya.

"Tidak bisakah aku pergi tidur saja?" gumamku saat kuletakkan tanganku di tangannya.

Kyuhyun memegangku. Badanku terasa kaku. Ia menatap kearahku, ekspresinya lembut. "Tidak, kau butuh makan. Ayo."

Bossy Kyuhyun telah kembali, dan itu melegakan. Ia membawaku ke dapur dan mendudukkanku di kursi bar saat ia berjalan menuju lemari es. Aku melihat jamku. Astaga, hampir setengah dua belas dan aku harus berangkat kerja besok pagi.

"Kyuhyun, aku ingin tidur." Ia mengabaikanku saat Ia mencari-cari sesuatu di lemari es.

"Keju?" tanyanya.

"Tidak saat jam ini. Kyuhyun, aku akan pergi tidur. Kau bisa menggeledah kulkasmu semalaman kalau kau mau. Aku lelah, dan aku telah mengalami hari yang jauh dari menyenangkan. Satu hari yang ingin kulupakan." Aku turun dari kursi dan ia merengut ke arahku, tapi kali ini aku tidak peduli. Aku ingin pergi tidur-aku kelelahan.

"Makaroni dan keju?" Ia mengangkat mangkuk putih tertutup foil. Ia terlihat berharap dan manis.

"Kau suka makaroni dan keju?" tanyaku.

Ia mengangguk antusias, dan hatiku meleleh. Tiba-tiba saja ia terlihat sangat muda. Siapa yang bisa menebak? Kyuhyun menyukai makanan anak-anak.

"Kau mau sedikit?" tanyanya, terdengar berharap.

Aku tak bisa menolaknya dan aku lapar. Aku mengangguk dan memberinya senyuman lemah. Jawabannya membentuk sebuah senyuman yang memesona. Ia membuka foilnya dan memasukkan mangkuknya ke dalam microwave.

Aku duduk kembali di kursi dan melihat Tuan Cho Kyuhyun yang tampan-pria yang ingin menikahiku-bergerak anggun dengan senang di sekitar dapurnya.

"Jadi kau tahu cara menggunakan microwave?" Aku mengejeknya perlahan.

"Jika berada dalam kemasan, aku biasanya bisa melakukan sesuatu. Makanan yang sesungguhnyalah yang aku permasalahkan."

Aku tak percaya ini adalah pria yang sama dengan pria yang tadi berlutut dihadapanku setengah jam yang lalu. Dia dengan dirinya yang selalu berubah-ubah. Ia menyiapkan piring, peralatan makan, dan taplak di meja sarapan.

"Ini sudah larut," gumamku.

"Jangan pergi kerja besok."

"Aku harus kerja besok. Bossku pergi ke Busan."

Kyuhyun membeku. "Kau ingin pergi kesana akhir minggu ini?"

"Aku memantau perkiraan cuaca, dan sepertinya akan hujan," kataku, sambil menggelengkan kepala.

"Oh, jadi apa yang ingin kau lakukan?" Microwave berbunyi mengumumkan bahwa makanan kami telah panas.

"Aku hanya ingin melewati satu hari dengan tenang. Semua kegembiraan ini... melelahkan." Aku mengangkat satu alisku padanya, yang ia abaikan.

Kyuhyun menaruh piring diantara Kami dan duduk disampingku. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu, teralihkan. Aku sajikan makaroni ke piring kami. Aromanya sedap, dan mulutku berair menantikannya. Aku kelaparan.

"Maaf tentang Chengmin," gumamnya.

"Mengapa kau meminta maaf?" Mmm, makaroni ini sesedap aromanya. Perutku bergejolak penuh syukur.

"Itu pasti mengejutkanmu, menemukannya di apartemenmu. Padahal Yesung telah mencarinya sendiri. Ia merasa kesal."

"Aku tidak menyalahkan Yesung."

"Aku juga tidak. Ia mencarimu tadi."

"Benarkah? Kenapa?"

"Aku tidak tahu kau dimana. Kau meninggalkan dompetmu, handphonemu. Aku bahkan tidak dapat melacakmu. Kemana Kau pergi?" tanyanya. Suaranya lembut, tapi tersirat arus tidak menyenangkan dalam kata-katanya.

"Jonghyun Oppa dan aku hanya pergi ke bar diseberang jalan. Jadi aku dapat melihat apa saja yang terjadi."

"Ohh baiklah."

Suasana diantara kami berubah perlahan. Tidak lagi menyenangkan. Okay, well... dua orang bisa memainkan permainan ini . Mari kita bawa ini kembali padamu, Fifty. Mencoba untuk terdengar acuh, ingin mengurangi keingintahuanku yang menyala tapi takut akan jawaban, aku bertanya, "Jadi apa yang kau lakukan dengan Chengmin di apartemen?" Aku menatapnya, dan ia membeku dengan sesendok penuh makaroni melayang di udara. Oh tidak. Ini tidak baik.

"Apa kau benar-benar ingin tahu?" Perutku mengencang dan selera makanku hilang.

"Ya," bisikku.

Mulut Kyuhyun membentuk garis lurus, dan ia ragu. "Kami berbicara, dan aku memandikannya." Suaranya serak, dan ia melanjutkan dengan cepat saat aku tidak meresponnya. "Dan aku memakaikannya baju dengan beberapa pakaianmu. Aku harap kau tidak keberatan. Karena bajunya sangat kotor."

Astaga. Dia memandikannya? Hal yang tidak pantas dilakukan. Aku gamang, menatap kearah makaroniku yang belum ku makan. Pandangan itu membuatku muak. Bagian dari otakku yang tenang dan intelektual tahu bahwa apa yang ia lakukan semata-mata karena gadis itu kotor, tapi sulit. Bagian dari diriku yang rapuh dan mudah cemburu tak dapat menanggungnya.

Tiba-tiba saja aku ingin menangis-bukan tangisan lembut layaknya putri yang air mata turun perlahan dari pipiku, tapi tangisan melolong ke arah bulan. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menahan keinginan itu, tapi tenggorokanku kering dan tidak nyaman dari air mataku yang tidak menetes dan senggukanku.

"Hanya itu yang dapat kulakukan, Ming," katanya lembut.

"Kau masih memiliki perasaan padanya?"

"Tidak!" katanya, tercengang, dan ia menutup matanya, ekspresinya terlihat sedih.

Aku berbalik arah, menatap ke arah makananku yang memuakkan. Aku tak sanggup melihat kearahnya.

"Melihatnya seperti itu-sangat berbeda, sangat rapuh. Aku peduli padanya, seperti layaknya sesama manusia." Ia menggeleng seperti ingin menghapus memori yang tidak menyenangkan. Astaga, apakah ia mengharapkan simpatiku? "Ming, lihat aku."

Aku tak bisa. Aku tahu jika aku melihatnya, aku akan menangis. Ini hanya terlalu banyak untuk diserap.

"Ming."

"Apa?"

"Jangan. Itu tidak berarti apapun. Itu seperti menjaga seorang anak, anak yang rapuh dan terluka," gumamnya.

Apa yang ia ketahui tentang menjaga seorang anak? Ini adalah seorang wanita yang pernah ia miliki, dengan prilaku seksual yang menyimpang. Oh, ini menyakitkan. Aku mengambil napas tenang, dan dalam. Atau mungkin ia merujuk pada dirinya sendiri. Dialah si anak rapuh. Itu lebih masuk akal...atau mungkin malah tak masuk akal sama sekali. Oh, ini sungguh kacau, dan tiba-tiba aku lelah luar biasa. Aku butuh tidur.

"Ming?"

Aku berdiri, membawa piringku menuju bak cuci piring, dan membuang isinya ke tempat sampah.

"Ming, kumohon."

Aku berputar dan menatapnya. "Berhentilah, Kyuhyun! Berhentilah dengan 'Ming, kumohon'!" Aku berteriak padanya, dan air mataku mulai turun di wajahku. "Aku telah mengalami seluruh hal sialan ini. Aku akan pergi tidur. Aku lelah dan emosional. Sekarang biarkan aku tidur." Aku berlari ke kamar tidur, membawa memori dari Kyuhyun yang matanya melebar, pandangan terkejut. Senang mengetahui bahwa aku dapat mengejutkannya juga.

Aku melepas pakaianku dua kali lebih cepat, dan setelah merampok lacinya, mengambil salah satu T-shirtnya dan berjalan ke kamar mandi. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Aku terjatuh kelantai dan menyerah pada emosi berlebihan yang tak lagi dapat kutahan, mengeluarkan semua isakkan yang menghancurkan dada, akhirnya membiarkan air mataku berjatuhan tanpa dapat ditahan.


.

.

.

To Be Continued

.

.

.