Disclaimer: Kuroko no Basket milik Fujimaki Tadatoshi. Sex Pistol milik Tarako Kotobuki. Kami tidak mendapatkan keuntungan materi/komersil apapun dari membuat fanfiksi ini.

Setting: Alternate Reality. Percampuran setting dari Kuroko no Basket, Sex Pistol, dan Alpha/Beta/Omega Dynamics Supernatural.

Warning: MALE X MALE, lime, lemon, smut, A/B/O Dynamics, Mating Cyles, mild-language, bully, in heat, in rut, OOC, OC, mention of kinky things and BDSM, angsty, established relationship, slight pairing, DLDR, violence, actions, GRAPHIC LEMON.

Prompts: First Time and Sadistic X Masokis


Special present for 44/12 Week and AkaFuri Day

.

.

.

.

.

GROWL

.

Collaboration by:

Hi Aidi & Light of Leviathan


Tubuh telanjang tanggung menggigil karena gairah yang mendebur sekujur badan, temperatur yang terjun bebas ke titik beku, dan penghangat ruangan yang tidak diaktivasi.

Setiap bilah pergelangan tangan disayat kerasnya kekangan material dasi dan ikat pinggang bergesper besi. Bila saja ia masih punya secarik energi, maka ia akan melepaskan diri.

Tapi dengan sensitifitas badan yang dididihkan dalam gelegak panas nafsu dan desir darah yang berpusat ke suatu daerah—terlampau panas dan tegang, kepedihan ditinggal sendiri dan hanya sunyi kakofoni yang menginjak-injak kalbu, friksi antara panas tubuh dan dingin sirkumstansi karena sedih mengingat semua yang telah terjadi lebih tidak nyata bahkan ketimbang secarik mimpi, barulah ia sadar ia harus melepaskan segalanya lebih dulu.

Sang omega butuh pelepasan.

"Nnnh."

Furihata dalam kondisi in-heat yang tidak ia mengerti tak kuasa menarik lepas tangannya, untuk mengangkat badan dan menggigiti ikatannya saja ia tidak mampu.

Ia meringkuk ke samping, menggerakkan kedua kakinya dan saling menggesek dengan direksi berlawanan untuk mengurangi tensi di balik fabrik boxer-nya. Dadanya yang dibalur dingin udara bergesekan dengan bed-cover, areolanya tertekan dan erektif menyakitkan.

Furihata mengingat belaian Akashi tadi. Bagaimana tangannya memelintir titik tersensitif di dadanya. Perih. Tangan yang meremas organ vital yang meronta menuntut perhatian saat di mobil tadi, mengantarkannya ke klimaks pertama. Ciuman Akashi tadi. Gelimang seberkilau kucuran darah yang seksi dan bibir pendosa itu yang menjilati jari-jemarinya.

"Ah. A-ah."

Membayangkan tadi Akashi menggigit tengkuknya, menghisapinya, menjilatinya, menindih bokongnya seakan apa yang Akashi blokir di sana, dalam dirinya, juga mengeras hendak merobek dinding fabrik yang membungkusnya. Ingin melesak menembus celah terdalam Furihata, naik-turun yang hanya memiliki hasil naik-naik seperti grafik pendaki gunung mencapai puncak tertinggi hingga mengintip kolong langit dan menggapai nirwana.

"Akashi—ahn." Gelinjangan gila tubuhnya tak terkendali. Airmatanya meleleh karena ia kehilangan kendali dirinya sendiri. Ia berkubang dalam demam yang kendati dikompres kecupan suhu udara tak lantas membuat dirinya membaik.

Jika saja tangannya tak dirantai dengan ikatan menyakitkan, dan lubang hitam di hatinya tak menyedot membentuk pusara keputusasaan, niscaya jari-jemarinya sudah Furihata tusukkan pada lubang hitam lain yang tak henti meluruh lahar lubrikatif seraya menggerayangi tubuhnya sendiri dengan belaian kenikmatan.

Sebagaimana semua itu adalah yang Akashi pernah lakukan padanya untuk pertama kali.

Di pucuk matanya, dengan semua gerakan tubuhnya yang histeris ingin dijamah, Furihata sadar eksistensi sejati dirinya berekspetasi akan presensi Akashi.

"Ngh." Furihata meraup bantal yang mengalasi kepalanya. Tersengal-sengal lemah mencabiknya di antara gigi, ia hampir gila. Tak sadar wujud omeganya bertransformasi. Penderitaan ini terlalu mengerikan, dan lebih mengerikan lagi ia tak mengerti apa yang terjadi—ia hanya ingin Akashi.

"Ukh."

Omega yang tak mendengar apapun selain suara rusuh akibat perbuatannya untuk mencapai kenikmatan surgawi sebatas duniawi itu, merintih sedih. Basah. Bagian dalamnya sudah basah dan berkedut-kedut seakan hendak menjepit apapun yang harusnya merobeknya, membelahnya, menusuknya hingga ia menjerit memohon.

"NGAAH." Furihata mengerang pedih tak bisa klimaks, jeritan desperatif serupa yang tadi, parau membutuhkan menggaung di toilet, dan ia hanya mampu memikirkan alfanya itu untuk menyetubuhi dirinya. "A-AAH—AKASHIII!"

Perasaan lara ini membunuhnya perlahan-lahan, mematikan. Kenapa puncak kenikmatan itu tidak lagi sudi berempati membiarkannya melepaskan semuanya?

Furihata menangis. Ia sadar ingin Akashi. Sangat menginginkannya dan irasionalitas ini membuatnya gila. Tapi ia tidak ingin dicumbu Akashi yang tadi.

Akashi yang meninggalkannya sendiri.

"Ah."

Suara inhalasi tercekat mengerjap mata Furihata yang sekuyu kepak sayap kupu-kupu. Fokus pandangannya yang blur menggelinding ke sumber suara.

Akashi tengah memegang kancing baju, mematung kaku di depan pintu. Entah sejak kapan strong-alfa tersebut ada di situ.

Furihata mengiggit bibir, menelungkupkan wajahnya di antara kedua lengan yang memegal dan terdekam ke bantal. Menahan sistem respirasinya berfungsi normal sesaat, lantas menghelanya perlahan.

Ia malu setengah mati, sakit hati berasumsi Akashi telah pergi.

Akashi menemukan sesosok omega yang homonnya tengah bergelegak dahsyat itu dengan sosok rubah yang tertera dalam mitologi dan dipuja peradaban Jepang.

Namun siluetnya bermetamorfosis.

Bulunya memudar dari kecoklatan ke warna keemasan yang gemilang saat tadi tubuh Furihata menggelinjang nikmat, bergradasi ke warna kelabu dan putih bersih sewarna salju yang kini merinai paras jelita bumi.

Bukan perubahan sosoknya yang membuat Akashi terkejut, melainkan Furihata mengisakkan namanya dengan cara yang selalu Akashi visualisasikan ketika diterpa terjebak periode in-rut.

Delusi tidak layak dikomparasi dengan kenyataan.

Suara parau membutuhkannya, geliatan tubuh Furihata yang bermandikan liquor gairahnya dengan wangi membuat dunia hilang akal tergila-gila, simfoni erangan terekstasi berlelerkan gairah, gesekan desperatif tubuhnya pada tempat tidur.

Matanya yang sebening embun salju di etalase.

Bening berkaca-kaca memulas mata semungil biji leci yang memijar terlalu banyak, dan yang absolut adalah rintihannya: membutuhkan alfanya.

"Akashi … nnh."

Lirih melumuri keheningan.

Akashi bergetar menghembuskan napas panjang.

"Tidak pernah terbayangkan olehku, melihatmu berjuang untuk memuaskan dirimu sendiri, dan memanggilku dengan desahan—bukan, jeritan yang … ah."

Gema langkah menyerbu seluruh penjuru ruangan dan menalu-nalu ruang pendengaran.

Akashi mendudukkan diri di sisi ranjang, lalu memagari kedua sisi tubuh omeganya dalam posesi kedua lengannya. Menatap dari atas ke bawah, pada kekasihnya yang tergolek dengan kalor bertemperatur tinggi seperti orang terjangkit demam hiper dari virus endemik.

Ia tersedak manakala ibu jari Akashi sedemikian lembut menyeka airmatanya. Furihata mengangkat wajah yang basah bukan hanya karena seduh peluh. Dirasakannya jari Akashi merambat untuk membelai dagunya.

Jarak di antara mereka kian terpangkas.

Furihata memalingkan pandangan menemukan kerjapan pijar keemasan di rongga mata kiri Akashi. Refleks menggigit bibir, paras yang memanas tidak hanya karena hentakan nafsunya.

Akashi yang ini mendengus geli. Bibirnya menghempas napas sensual seraya mengecup telinganya yang membuat Furihata menggeliat kepanasan. Tangan yang satu lagi merambat ke celana kekasihnya. Basah persis orang-orang yang disimbah hujan tanpa naungan. Keras dalam sentuhan Akashi yang kini non-inosen.

"Mmhh."

Gemas karena Furihata meredam desahannya, Akashi menyambar milik kekasihnya. Menggenggamnya, meremasnya dari luar boxer, menaik-turunkannya dengan tempo kecepatan yang meningkat—dan gelisah tubuh super sensitif itu juga menggelinjang liar reaktif terhadap apapun yang Akashi lakukan pada Furihata.

"Hmmpfht." Bau darah. Sebulir yang mengemban butiran mozaik hemogoblin meleleh dari sudut bibir. Furihata mendesah ketika Akashi menjilat sensual darah di bibirnya. Satu kakinya bergetar terangkat, hendak menendang Akashi, tapi celah mengangkang yang terbuka malah memudahkan Akashi untuk menyelipkan satu kakinya di antara kedua tungkai bertremor. "Nnnh."

Tangan yang tadi membelai dagu beranjak meniti tubuh berbalut bulu-bulu putih lebih halus dari gumpalan kapuk. Akashi mendesah pelan mendapati fakta baru, wujud transformasi omeganya yang ini begitu lembut untuk dibelai dan reponsif terhadap sentuhannya—mendesah tiada henti.

"Kau punya dua wujud transformasi?"

"Nnngh. A-ap-apahhn?"

"Kau tahu apa yang tengah terjadi padamu dan apa yang kaubutuhkan saat ini?"

"Ugh."

"Kouki?"

"A-ah!"

Sebelah alis terangkat selarik, kerutan menggurat dahi berjumput uraian magenta. Akashi akhirnya

paham bahwa Furihata tidak mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya. In-heat abnormal kendati personanya begitu normal total.

Tinggi probabilitasnya Furihata sendiri bahkan tidak tahu bahwa dirinya punya transformasi werepeople lain yang seputih kristal es saat berada dalam fase first-blooming didera super in-heat.

Terbentang jurang diferensiasi dari semua werepeople submisif (terhitung jari) yang pernah takluk dalam cumbuan Akashi Seijuurou dengan mate-nya sendiri.

"Masih ingin menyuruhku pergi?" geram Akashi rendah yang teradiksi membelai tubuh omeganya. "Apa kau akan masih dengan bodoh menyuruhku untuk pergi meninggalkanmu sendiri? Setelah tadi aku melihatmu bermasturbasi membayangku, dan menyadari kebutuhanmu akan aku?"

Segala sentuhan berhenti.

Suara seperti rajukan halus, tidak rela, emosional berbaur dengan rengekan manja dan kewalahan dengan nafsunya sendiri.

"Pe-pergi—"

"Kata-kataku absolut. Aku sudah bilang padamu," Akashi meradang amarah melalui gelimang kejam sorot matanya, "aku tidak akan meninggalkanmu."

"Ja—jah-hat. Akh!"

Akashi mencuri kecupan panas di pangkal leher Furihata. "Aku tidak pernah bilang aku baik."

Furihata berinhalasi keras. Rakus paru-parunya merampas oksigen bernapaskan harum strong-alfa yang menyebabkan kepalanya dijajah vertigo. Matanya berkaca memendar sedih, dan lelah menyorot marah.

"Ka-kau memang tidak meninggalkanku."

Furihata yang ditindih super in-heat-nya, membiarkan tubuhnya reaktif terhadap segala impuls dari dunia. Akashi memang berhenti menyentuhnya, tapi kakinya masih di antara kedua kaki Furihata. Maka itu Furihata menghimpit tungkai kekasihnya, menaikkannya, menggesekkan miliknya ke kaki Akashi sembari berjuang melisankan amukan yang dipendamnya seminggu terakhir.

Akashi menggemertak gigi keras. Tajam menghunjam kekasihnya yang frustratif, inosen menyeduksinya.

"Tapi ka-kau membuatku pergi, me-meninggalkanmu. Aahhhn." Furihata berteriak frustratif sekeras himpitannya pada Akashi, "PERGI."

Hening berdenting.

Akashi terhenyak sesak dengan intensitas friksi tubuh dan kobaran emosi keduanya.

"K-kau menolakku … ha-aaah—" Tarikan napas dalam-dalam, "—kau yang ma-mau—huufn … a-aku pergi. Aku peduli … padamu … ah-aku hanya ingin kau tahu aku benci melihat kau menderita dan be-benci diriku se-sendiri ka-karena … hhngh! T-tak bisa melakukan apa-apa. Aku ingin meringankan bebanmu—"

Gesekan intens di antara sepasang tungkai untuk mencumbukan organ vital mereka tak mengurangi fokus keduanya dalam konversasi pilu bernapaskan basah dan desah-kesah.

"—dan aku ada di sa-sana … hnggh … se-setelah semua yang terjadi, tapi … kau … ukh—menyuruhku pergi—hngh."

Dia tetap submisif. Tubuh omega yang bergerak naik turun itu berintensi menekan badan solid alfanya untuk menyemai friksi-friksi yang begitu nikmat kendati menyakitkan. Tangis leburan antara sakit hati, dan kebutuhan pelampiasan first-blooming itu bergema menyedihkan.

"Mungkinnh ka-karena aku tidak menarik untukmu … atau karena badanku—ukh … jelek penuh luka. " Furihata akhirnya berhenti bergerak. Tersenyum pilu. Selaput bening menyelami pelupuk matanya yang menatap Akashi tepat di mata magenta—yang laun akhirnya—monokrom seutuhnya. "A-atau karena a-aku biasa saja—hmfh."

Furihata terbeliak kaget ketika Akashi lembut mencium bibirnya. Aura alfanya berubah. Sensasi kehangatan familiar yang membuatnya menggigil, jantung berdebar-debar seakan jalinan kusut terburai, menghangatkan, seperti ketika Akashi mengecupnya ketika dulu mereka pertama kali bertemu.

Membuka mata dan merinding dengan ciuman lembut tadi, hemoblogin nyaris permanen menggelayuti pipi Furihata saat seraut wajah menatapnya, menawan hatinya dengan senyuman memesona yang kontra dengan getir bercokol di sorot matanya.

Tangannya terangkat, halus menggeser serakan anakan rambut coklat. Membelai rambutnya dan Furihata tercekat tatkala kening mereka berpautan.

Mata magenta brillian lurus bertautan dengan mata berpupil coklat mungil.

"Sssh." Bibir mereka menyisakan jarak seinci. Bisikan halus bernada romansa ketulusan, sekaligus terpulas penyesalan. "Maafkan aku, Kouki."

Akashi memeluk Furihata erat-erat.

"Aku memang egois. Saat itu aku memang sedang in-rut, tapi aku tidak ingin membatalkan janji bertemu denganmu." Akashi mengecup pucuk hidung Furihata. Murung merundung roman wajahnya. "Aku ingin bersamamu dan berpikir aku bisa menahan in-rut-ku, tapi ternyata tidak."Hari itu, aku menginginkanmu. Sangat."

Suaranya janggal, tersiksa. "Sangat."

Furihata tercenung. Sekelebat ingatan kira-kira seminggu lalu, pembulinya pernah menghinanya bahwa siapapun mate yang mendapatkan dirinya pasti merasa tersiksa karena kebutuhan seksualnya tak tersalurkan. Ia kira itu hanya hinaan belaka.

Lirih sedih Akashi mengafirmasi semua itu.

Furihata menggigit bibir dengan perasaan bersalah yang menggelontor di hatinya.

"Aku tidak menggoda gadis penjaga kasir di toko sepatu tempo hari lalu. Itu benar-benar hanya efek in-rut-ku saja." Akashi mencium bibir kekasihnya lagi perlahan. "Aku tidak berbohong saat kubilang kau membuatku gila."

Jeda, dia berinhalasi lelah. "Gila menahan diri."

"A-aku tahu kau selalu menahan dirimu sendiri dari aku. Aku selalu tahu saat alfa sedang in-rut atau omega sedang in-heat." Furihata tercekat. Tangannya perlahan terangkat, meremat fabrik kemeja putih kekasihnya. Ekspresinya menyendu. "Tapi kenapa kau malah menolakku?" bisiknya pilu.

"Hari itu aku menginginkanmu, dan baru hari ini aku paham bahwa itu bukan semata pengaruh in-rut-ku saja." Akashi menggeleng sekilas. Ia menekan keningnya lebih lekat pada dahi Furihata. "Aku hampir menyakitimu karena aku sangat menginginkanmu."

"Kenapa tidak kau lakukan saja?" Furihata melenguh, muram. "Penolakanmu… sangat menyakitkan untukku."

"Aku tidak mungkin menyentuhmu."

"Ke-kenapa? Karena hukum?"

"Karena konstitusi sistem hierarki komunitas sosial kita. Tapi bukan karena itu, karena kau—"

"—omega immature. Ca- … cacat." Tawa miris menyahut. Furihata memutuskan tautan pandang mereka, perasaan bersalah menyiksanya. "Maafkan a-aku."

"Kouki, kau paham bahwa werepeople yang belum bloom tidak boleh mating karena organ reproduksi dan tubuh mereka belum siap dengan aktifitas seksual berintensitas tinggi." Suara Akashi lambat-laun sedingin bilah stalakmit es, meruncingkan ketidaksukaan. "Hilangkan pemikiran itu, aku benci kau berpikiran sama sekali tidak cacat."

"Ta-tapi, aku ini omega immature—"

"Sudah bukan."

"Ha- … hah? Akashi, kau tidak perlu menghibur—"

Akashi tertawa perlahan yang membuat hati Furihata meleleh mendengarnya, tawa yang tidak disadarinya memulaskan rona pada pipi kekasihnya. "Tidakkah kau sadar bahwa kau sedang mengalami first-bloom?" Tubuhnya menindih sang kekasih lebih keras dan lututnya menggoda bagian paling privasi di sana.

"Mustah—hnngh!"

"Aku mendengar hari itu kau berkata, apa artimu bagiku."

Akashi bangun, setengah duduk di atas kekasihnya, cekatan melepaskan ikat pinggang dan dasi yang mengikat tangan kekasihnya—tindakan yang tadi dilakukannya agar kekasihnya tidak berlari pergi darinya.

Begitu lepas, ia genggam kedua tangan Furihata, mengecup masing-masing pergelangan tangan yang memerah dengan membubuhkan ciuman-ciuman halus.

Bibirnya yang melengkungkan senyum menelisik ruas-ruas jari kapalan khas seorang pebasket. Mengembara di sana sesaat, lalu bermuara di punggung tangan Furihata, menciumnya lembut dengan berbisik hingga membuat kekasihnya menggigil seolah setiap bulu halus di sana mematri bisikan Akashi bagai sumpah mati.

"Kau soulmate-ku, Kouki."

Furihata telak absolut ditaklukkan oleh Akashi. Ia mengangkat lengan untuk memblokir wajahnya yang entah menampilkan roman macam apa dengan rona menyaingi magenta di rambut kekasihnya. Tapi tak mengeringkan tangis berbeda yang menganaksungai mencapai dagu. Perasaan hangat menyusup hatinya, merembasi tubuhnya.

Akashi terhenyak, bukan karena kekasihnya kembali bertransformasi ke wujud manusia. Sedu-sedan dan guguran airmatanya. Ia tidak pernah ingin ada yang melukai Furihata—fisik maupun batin, tapi justru intensinya itu adalah pedang bermata dua baginya—menebas dirinya sendiri.

"Maaf aku menyakitimu. Hari itu, dan tadi." Suara Akashi memelan, bersungguh-sungguh. Ia menahan bobot tubuh dengan tumpuan lengannya. "Aku sudah mengerti menyakitkannya disuruh pergi ketika sebenarnya amat membutuhkan mate sendiri."

Sunyi. Hanya ada seguk yang tersaruk di udara.

Akashi berekshalasi dalam. Bertanya berat, "Kouki, kau benar-benar mau aku pergi?"

Gelengan lamat-lamat.

Furihata terbata-bata berkata, "Maafkan aku juga … ka-karena membalasmu. Kau menolakku, dan kupikir aku tidak semenarik itu … ma-makanya kau menyuruhku pergi. "

Ekspresi Akashi terkejut. Tidak disangkanya Furihata berpikir seperti itu. Disingkirkannya lengan yang memblokadenya dari melihat wajah kekasihnya.

"Jadi kau membalasku dari tadi dengan menyuruhku pergi. Kau benar ingin begitu?"

"A-aku … tidak benar-benar ingin kau pe-pergi."

"Kenapa kau persisten sekali menyuruhku pergi? Kau sendiri yang tersiksa, Kouki."

"Ka-kau … te-terlihat—"

"Mengerikan?"

"Uhm."

Senyap.

"Bukankah aku sudah bilang kau membuatku gila?" Akashi menatapnya lekat.

Furihata merinding, terangsang dengan tatapan seksi yang Akashi lingkupkan padanya. "Ungh … kau … kau tidak lost-control se-seperti yang la-lain—"

"Kau mau aku jadi seperti budak-budak rendahan itu, hm? Mereka yang menodai dirimu seperti ini?"

"Ti-tidak! Sama sekali tidak!"

"Karena itulah minggu lalu aku menyuruhmu pergi dariku. Aku tidak ingin menyakitimu." Akashi membelai helai-helai coklat yang menyerbak wangi penentram hati. "Maaf, tadi aku sempat lost-control juga."

"…aku tahu."

"Semua tergila-gila padamu dan itu memberikan tekanan beban yang memengaruhiku. Terlebih, aku terlalu menginginkanmu dan kau malah membalasku. Itu yang membuatku marah, tidak habis pikir sebenarnya apa yang kau inginkan."

"Aku tidak ingin kau blackout seperti tadi, Akashi."

"Aku juga tidak ingin memilikimu jika bukan aku yang asli."

"Sebenarnya, selama ini, kalau itu kau … err, maksudku, aku hanya … a-aku hanya ingin … kau—uhm!"

Akashi impuls menyergap bibir Furihata.

Kata-kata itu yang disuarakan lamat-lamat karena malu, dengan wajah yang memerah dan tubuh dalam tindihannya diam-diam menggeliat bergairah, berdampak mengerikan pada nurani strong alfa.

Insting natural disokongi intuisi gerak kilat menalar ungkapan "Aku hanya ingin kau." lebih daripada kinerja otak brilliannya.

"A-Akashi—hmmpfh!"

Furihata mengalungkan kedua lengannya untuk memeluk leher kekasihnya erat-erat. Ia mendesah nikmat ketika Akashi menjilat bibir atasnya dan keras menghisap garis bibir bawahnya.

Akashi menarik pemuda yang diciumnya menggila untuk duduk, napas berat mereka bertemu ketika Furihata mendudukinya, dikalungkannya kedua kaki Furihata ke pinggangnya dan sepasang lengan di lehernya. Sang alfa mengerang perlahan, nyaris gila merasakan bantalan padat Furihata menekan selangkangannya.

Reverse piggy-ride dengan bibir mereka saling meraup satu sama lain. Saliva berlelehan dari sudut bibir seiring celana yang Akashi kenakan turut dibasahi manifestasi gairah Furihata.

Entah bagaimana caranya Akashi berdiri, memeluk Furihata posesif, menjaga langkahnya untuk tidak tersaruk atau menabrak pintu. Menendang pintu lain membuka sehingga volume gemericik air kian mengeras di ruang pendengaran mereka bersamaan dengan tangannya meraba pipi pantat Furihata, meremas gemas di sana membuat Furihata memekik penuh gairah di sela ciuman maut mereka dengan serangan agresif beruntun Akashi.

Ruangan itu berkabut.

Mungkin tepatnya kewarasan dan respirasi Furihata yang carut-marut tatkala Akashi melepaskan ciuman panas mereka dan menurunkannya.

Ia melenguh ketika Akashi mendorongnya ke bawah shower, menyalakannya untuk mengucurkan air hangat. Tak sempat memerhatikan ada bath-up luas dan besar yang telah terisi setengah dengan air bergelembung mungil.

Rinai air hangat shower yang menghujani keduanya, menyebabkan kemeja putih yang Akashi kenakan transparan sekaligus amat merangsang omega yang tengah dibelenggu fase super in-heat, punggungnya disangga Akashi untuk tidak berbenturan dengan dinding marmer yang dingin.

Furihata merintih ketika Akashi menciumi lehernya dengan kecupan bertransformas jadi hisapan manipulatif, tangan itu menarik turun kemeja abu-abu yang dipakaikan Akashi padanya hingga tergantung di siku, sembari bibir sang pemilik kemeja itu buas menciumi dari tulang selangka sampai sepanjang garis bahu.

Tangan satu lagi menarik turun celana seragam Furihata sekaligus boxer-nya, lekas merambat ke bagian yang membuat Akashi menghela tawa puas, berbahagia bisa menangkupnya dalam belaian tanpa terhalang fabrik apapun.

"Awh."

"Sakit?" tanya Akashi dengan suara merendah—hampir bariton karena tak lagi merendam gairah, afektif. "Maaf tadi aku menyakitimu untuk menyadarkanmu."

"Nnh." Furihata menggeleng. Menggigit bibir untuk tidak mengemukakan bahwa tamparan menyakitkan di pantatnya tadi, cukup merangsangnya hingga darah berdesir ke ubun-ubun.

Ia tidak bisa mendeskripsikan perasaan menyenangkan, terangsang disentuh oleh Akashi. Pandangan sayunya terbuka-terkatup, berasap, tangannya terangkat mendarat di dada Akashi, membelai menuju kancing teratas kemeja putihnya yang transparan dan memetakan liuk relief pahatan tubuh menggoda jiwa submisifnya.

"Bu- … buka?" bisikan Furihata tersisip hesitansi.

"Lakukanlah." Akashi menyeringai, mencium gemas pipi kekasihnya. Dibiarkannya Furihata melakukan apa yang diinginkan—atau dari pendar di mata solid kolong langit kecintaan itu mendefinisi tentang kebutuhan, karena ia juga merasakan hal yang sama.

Akashi bergerak mengambil sebotol sabun cair dengan busa harum lavender. Pemandangan kekasihnya di bawah terpaan shower panas dengan kemeja miliknya tergantung di lengan, celana teronggok di dekat kaki, wajah memerah namun determinatif tatkala tangan-tangan bergetar melepaskan kancing baju yang dikenakannya satu per satu, Akashi meraup leher tan itu, mengulum denyutan gaduh nadi yang turut tengah mendesahkan namanya.

"Ku-kupikir ka-kau tadi … pe-pergi … meninggalkanku—AGH."

"Aku sudah bilang aku tidak akan meninggalkanmu." Akashi tertawa rendah. "Hmm … aku tidak keberatan lagi, jika aku bisa memergokimu lagi membayangkanku melakukan ini dan itu padamu."

"Ke-hhh-kenapa kau pergi tadi?"

Akashi menciumi lekukan tulang selangka dan mendesah puas. Kulit kekasihnya tidak rapuh seperti kulit kaum hawa, otot-ototnya kencang tapi masih lunak dan lembut dalam cumbuannya. Memar-memarnya tak lagi terlihat separah minggu lalu. Eksotisme kulit tan muda hasil jilatan matahari tiap hari bermain basket yang jauh lebih bersih daripada kanvas lazuardi diarak buntalan awan.

"Kau berbau seperti Kagami, semua orang sialan yang tadi menyerangmu di Seirin, dan wanita pirang Kobra bajingan. Jadi aku ingin memandikanmu dulu baru menggarapmu."

"Oh-ouch."

Furihata merintih, menyusup malu ke ceruk leher Akashi ketika merasakan sentuhan tangan Akashi pada ereksinya tanpa ada penghalang apapun. Tangan basah oleh air shower menggenggam utuh miliknya. Baru pertama kali bagian dirinya yang paling pribadi disentuh mesra dan dimainkan yang membuat gerak-gerik tubuhnya meliar.

"Tapi begini jauh lebih menyenangkan, ternyata." Akashi tertawa perlahan melepaskan milik Furihata, hanya menggodanya saja, menyeringai senang mendengar Furihata melenguh tak puas. "Kita mandi bersama," lirihnya seduktif.

Ia mengusapkan sabun yang telah berbusa di kedua tangannya, merentangkan lengannya untuk memeluk Furihata—menggapai punggung kekasihnya dan mengusap dari tengkuk.

Perasaan familiar, lagu kemenangan terlantun merdu di telinga Akashi dalam bentuk erangan membutuhkan Furihata ketika tangannya membalurkan sabun memijat belikat, garis tulang punggung, lekuk pinggangnya, liuk pinggulnya, dan pantat yang membusung itu.

Furihata tak sengaja memutuskan kancing kemeja putih Akashi karena menarik terlalu kencang ketika tersentak merasakan tangan eksploratif kekasihnya menelusup ke celah bokongnya, membersihkan dinding-dinding kerapatan di dalamnya dengan seksama. Jari-jemarinya menggali, mengebor ke dalam, meregangkan dinding-dinding yang menjepit jari-jari terampilnya satu per satu, tidak tergesa melakukan semua itu.

Kesabaran atas kontrol diri mengerikan khas Akashi yang hampir membunuh kesabaran Furihata.

"Ukh."

Tangan lain yang tidak mengeksplorasi bagian belakang tubuh Furihata, menjalar ke depan. Meratakan sabun menuruti lekukan tubuh kekasihnya yang dimuai suhu tinggi—bukan hanya dari shower tapi juga pengaruh super in-heat.

Akashi membalurkan busa dan menggosok setiap kulitnya posesif, sentuhannya memvokalisasi dengan menekankan bahwa perjengkal lahan mulus Furihata adalah miliknya.

Furihata melempar kepala ke belakang tatkala tangan Akashi yang sedari tadi menghindari bagian tegang di dadanya itu akhirnya menyinggungnya. Ibu jari menyengolnya, mengusapnya, kuku yang menajam menggali lekukan putingnya yang perih, perih dan gatal, dan nikmat tatkala dipelintir dengan apitan jari-jarinya. "A-ah!"

Punggungnya melengkung, dada membusur maju. Kepala sang omega terlengak ke belakang ditadah lengan Akashi yang beranjak dari bokong Furihata untuk menopangnya, dan shower menghujani bagian tubuh yang baru saja Akashi sabuni.

Akashi tidak keberatan menyabuni berkali-kali, kini maju untuk menjilat puting kiri Furihata yang sebelumnya digumpali busa, dilunturkan oleh kucuran air hangat shower. Mengulumnya, sebelah alis terangkat tatkala ia tak mencecap basa dari busa yang dibalurkan sebelumnya. Manis.

Rasa macam apa ini?

"Nnnh—"

Respons Furihata luar biasa ketika Akashi menghisapnya, lalu menggunakan gigi untuk menggerus celahnya, lidah kembali terjulur meresapi esens manis yang adiktif. Akashi tidak tahu, namun ia tercandu menggiling puting kekasihnya dengan lidah berpadu gigi untuk menuai rasa manis yang tak habis-habis.

"—a-aaah!" Furihata merengkuh Akashi erat-erat, tak berkehendak Akashi melepaskan pelukannya dan menghentikan apapun aksi mengganjar kenikmatan menderanya.

Tungkai pemuda bersurai kecoklatan itu gemetar, dan Akashi menuruti instingnya untuk mengganjal kekasihnya agar tak bergelimpang jatuh ke lantai dengan kakinya sendiri.

Furihata menduduki kaki kokoh kekasihnya, merasakan tekanan menyenangkan di pangkal kelaminnya, menghimpit gumpalan kembar yang memagari organ vitalnya dan tak tertahan bunyi napas tersangkut di tenggorokannya. Terlebih ketika tangan-tangannya berhasil membuka kemeja Akashi, matanya menyayup takjub, tak sadar menjilat bibir melihat penampakan tubuh alfanya.

Akashi jelas melihat gelimang impresif berkilat di mata solid kolong langit yang melebar, meluas terpesona, berintensi mengklaim dirinya untuk mendominasi sang omega, dan ia kalap melumat bibir yang tadi dijilat oleh Furihata—tindakan naïf yang seduktif.

Furihata menggeleng cepat, memutuskan ciuman mereka meloloskan sebait kesah, tak menghiraukan tatapan menuntut atensi absolut dari Akashi.

Tendon yang menggelayuti tulang itu menonjol di balik kulit lengan. Sepasang lengan yang memeluknya, menggendongnya, yang terluka karena melindunginya. Furihata terbeliak melihat lengan kemeja kanan Akashi tak suci putih bersih, berpulas likuid berspektrum mawar, berbau amis memuakkan. Matanya berkaca-kaca karena ia baru mengetahuinya sekarang.

"Aku baik-baik saja, Kouki." Bisikan halus. Akashi menciumi kulit lunak di belakang telinga Furihata.

Alfanya itu pasti tak paham perasaan bersalah, berdosa, menggelontor menggenangi Furihata serupa genangan air bersetubuh dengan sabun di atas keramik yang mereka injak.

Ia yang disambar oleh gairah pubertas yang terlampau terlambat, berkubang hingga dasar jurang demi dapat diganjar setimpal dengan kenikmatan yang membuatnya melayang. Bagaimana bisa ia memikirkan semua itu sementara alfanya terluka dan setengah mati berjuang untuknya?

Inhalasi tertunda tiga detik ketika Furihata meraih lengan Akashi yang terluka, lamat-lamat membubuhkan ciuman sayang, lirih membisikkan kesembuhan. Furihata merintih pedih. Darah itu teresap reseptor pencecapnya, terasa seperti besi berkarat.

Jelas kewarasannya terjun bebas ke titik terendah irasionalitas; kekasihnya terluka namun libidonya tersulut maksimum tatkala menjilat noda yang mengering kini dihujani rerintik shower.

Kelibatan kenangan melonjak-lonjak di benak. Mungkin ini yang Akashi rasakan seminggu lalu. Membuang muka darinya. Bukan karena Akashi sedemikian jijik padanya, melainkan nafsu yang bergelegak anomali memosi kendali diri untuk mengklaim mate-nya tanpa terkontrol.

Furihata tergugah. Tangan impulsif bergerak inspektif, sentuhan lugu mengagumi pahatan tubuh alfanya. Padahal tinggi mereka tidak beda jauh. Tapi mereka sungguh berbeda.

Tubuhnya serupa dataran rendah tak berlika-liku seksi, pula minim dari otot perut yang membangunkan gairahnya—karena itulah melihat cetak absolutisme kaum adam itu di perut Akashi membuat harga diri lelakinya terkoyak , mengontra perasaan bangga dan bahagianya bisa mengetahui rupa alfanya seutuhnya.

Alfanya maskulin tiada dua dengan mata semerah darah yang berkilau seksi dibasuh air hangat, berpendar menggoda—menginvitasi terjerumus pada dosa. Kulitnya tak bercacat cela—seperti ruam-ruam ungu jelek di tubuhnya. Suaranya panas invitatif, repetitif membuat Furihata menggeliat aktif mendengarnya.

Furihata tercekat, pandangannya jatuh pada bulir-bulir yang berlari menuruni lekuk jenjang lehernya. Adam apel yang bergerak samar menyulitkan regukan salivanya, tempat yang Furihata ingat saat di lobi tadi wanginya menyesatkan, ia menghirup dalam wangi alfanya seraya melenguh pelan. Bibirnya bergerak mengecup punggung lengan kokoh berotot liat yang selalu menopangnya.

"Hngh." Furihata menggigit bibir manakala areolanya yang tadi pedih nikmat dikulum Akashi kini bergesekan dengan dada bidang yang mendekamnya dalam terkepul bersama kabut uap hangat air shower ketika Akashi yang telah melepaskan helai terakhir pembungkusnya, menubrukkan dirinya ke dinding dan bagian intim mereka berbenturan keras.

"Ahhhn!"

Pakaian yang menyerap banyak air teronggok, gemanya bersaing dengan bunyi dua tubuh yang melekat tak mau lepas, dan erangan kebutuhan bergaung yang perlu dituntaskan.

Akashi menghentikan ciuman, bibirnya terbuka meraup titik tersensitif leher Kouki, lidahnya melatakan saliva pada lapisan kulit Furihata yang menjerang bulir kristal garam nan manis lebih dari biang gula. Menghisapi secarik tipis serat-serat yang taringnya mendapati disonansi gemuruh arteri di baliknya.

Biner merah kembar itu memincing tatkala merasakan kalor beruah-ruah Furihata memengaruhi dirinya, menggerombol di dasar perut saat kekasihnya itu terguncang menjepit erat kakinya. Tubuh yang melekat erat padanya jelas membalas dorongannya, menggesekkan organ mereka tanpa tahu malu kendati sang omega meredam kenikmatannya itu dengan menggigiti punggung lengannya.

"Akashi… "

Akashi menghentikan aksinya, menyeringai tipis ketika gerungan rajukan tertuju padanya. Sesuai asumsi, Furihata melengakkan kepala. Akashi terkesima dengan wajah kekasihnya yang memerah, pipi yang tergembungg samar, hidung yang mengerut kembang kempis, bibirnya yang tertekuk sedireksi dengan pakaian mereka yang berserakan di kaki.

"Fokus padaku dan jangan tahan suaramu, Kouki."

Dia menggemaskan. Mengagumkan. Akashi mencium pucuk hidung Furihata, melumat lagi bibirnya selagi badannya impuls bergerak menuntut kenikmatan absolut atas gesekan panas tubuh mereka.

Gigitan di bibirnya teretas saat tangan Akashi menggenggam milik keduanya di antara tubuh yang merekat oleh busa-busa sabun dan materialisasi gairah. Furihata menelisikkan jari-jemarinya pada helai-helai merah basah, ketika gerakan mereka kian cepat, grafik naik-turun ini berbanding lurus dengan tanjakan yang mereka tuju.

Sensasi familiar seperti tadi di mobil menjunjung Furihata ke puncak. Tinggi, hanya untuk dihempaskan ke bawah dalam apitan badan yang memuntahkan lahar bersuhu tinggi dari miliknya.

"Akashiii!"

Akashi bergetar mendengar isakan menapaki wilayah jangkauan vokal tinggi yang mengadiksi indera pendengarannya. Melodi yang mengumbar vulgar nada-nada kenikmatan dengan pelukan ketat takkan dilepaskan, selagi ia mengurangi tempo kecepatan dan intensitas tekanan untuk memberikan kesempatan bagi kekasihnya menikmati momentum ini.

"Ah. Hah. Haah." Furihata terkulai disangga bahu Akashi, bergumam lelah, sesekali mendesah karena tangan Akashi kembali aktif menggerayangi sekujur tubuhnya untuk membilas sisa pulasan sabun maupun tumpahan klimaksnya—di samping keinginan sang alfa memosesi tiap jengkal raganya yang tak tertutupi apapun.

"Lelah?"

Tenor bertanya halus, tidak Furihata jawab selain mengalungkan lengannya di leher Akashi lebih erat. Toh ternyata Akashi tidak mengharapkan jawaban. Punggungnya diusap untuk menurunkan remangan di bulu kuduknya, membuatnya tidak lagi tegang pasca klimaks terintens setelah di mobil tadi.

Akashi mematikan keran shower. Furihata mengangkat kepalanya, panik menelisik wajah Akashi yang berekspresi sekilas stoik. Derik aliran air yang mengayomi sabun dan materialisasi klimaks memasuki lubang pembuangan berbunyi semenyakitkan orang kehausan meneguk minuman.

Tawa geli rendah terembus usai kecupan sayang didaratkan pada kening sang omega. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Atau menyuruhmu pergi, Kouki."

Akashi mengerling omeganya yang mencengkeram erat-erat lengannya, lenguh tersauh tipis dari bibirnya tatkala merasakan kedua kaki jenjang itu memeluk erat kakinya—jelas ini intensi tidak ingin ditinggal pergi lagi. Ditariknya soulmate-nya untuk bergerak menjauhi shower.

Furihata mengerjapkan mata saat Akashi menariknya ke bath-up yang mungkin airnya diisi sedari tadi, mungkin ketika Akashi meninggalkannya tadi hingga ia depresi memuaskan diri sendiri.

Kekasihnya itu masuk ke dalam bath-up. Air meluber dari bibir bak yang berbusa karena semburan keran. Tangan itu menggapai tangannya, menariknya untuk bergabung bersamanya.

Air banjir dua hingga tiga kali lipat lebih dari sebelumnya. Furihata merasakan lengan Akashi posesif melingkari perutnya, menariknya mundur hingga punggungnya berciuman dengan dada bidang dengan otot-otot perut fantastis yang membuatnya iri sekaligus ingin menelusuri dengan jemari.

Akashi membiarkan punggungnya menyamankan diri pada sandaran bath-up, ditariknya Furihata untuk merilekskan diri bersamanya—bersandar padanya. Air membenamkan tubuh mereka sebatas dada, dirasakannya Furihata menggeliat karena jari-jarinya menyusuri perut sang omega dalam dayu air.

Sejenak tidak ada yang bersuara selain kecipak air yang terluap, gemericik muntahan air hangat dari keran, dan ciuman basah yang Akashi hunjamkan pada sepanjang pundak, leher, dan bahu Furihata.

Sementara yang dimanjakan tidak hanya dengan ciuman, juga belaian pendongkrak birahi tersentral di pangkal pahanya—nakal non-verbal menggoda Furihata, membuatnya menundukkan kepala. Beruntung ia membelakangi Akashi, semu menyemburat di wajahnya merasakan ganjalan keras nan kaku tepat di celah pantatnya. Ia merintih pelan, menggeliat menekan balik.

Akashi melengakkan kepala. Andaikan sorot matanya setajam bilah pedang, niscaya lampu remang homey-bronze yang menaungi mereka sudah terserpih jadi beling. Atau yang tepat adalah ia mengerang tak kentara tatkala omeganya menyelinapkan tangan untuk menjamah ereksi yang menegang pedih.

Akashi tidak berintensi menyembunyikan gairahnya, tapi disadari seperti ini tak ubahnya tertangkap basah ingin memonopoli sembunyi-sembunyi Furihata.

"Yang tadi itu … ti-tidak cukup untukmu?"

Pertanyaan hesitantif itu mendistraksi Akashi dari tangan Furihata yang menangkup kepala organnya. Permainankah? Akashi menggeser tangannya pada bagian terintim kekasihnya, bola di bawahnya yang berguncang dalam remasan pelannya.

"Tentu saja tidak."

"Khhnh. Kau suda-a-ah … membuatku … nnh, dua kali." Furihata merasakan stimulus Akashi berdampak pada miliknya yang telah melesu lagi-lagi bangkit. Badannya panas, demam anomali lagi menderanya merasakan permainan tangan mereka di aspek tervital penanda gender mereka, dan hangat air di bath-tup tak menetralisir semua itu. "Tapi kau … tidak sekalipun?"

Akashi menjilat cuping telinga Furihata, yang bersangkutan memalingkan wajah ke samping memberikan Akashi akses untuk melakukan apapun dengan sisi kanan kepalanya. Bisikan rendah Akashi menyebabkan geliatan tubuh Furihata menajam, terangsang dengan seksinya suara parau kekasihnya.

"Itu saja tidak cukup."

"Kalau begitu, kenapa kau diam saja?" Furihata meremas gemas milik kekasihnya. Malu karena tak mengerti entah darimana asalnya sejumput rasa berani bagi tangannya meraba-raba dalam prakiraan kesejatian Akashi yang ia inginkan memasukinya.

Inhalasi dalam. Cepat. Akashi balas menangkup punyanya yang kembali membengkak. Tak ada jawaban selain desahan tertahan.

Furihata mengatupkan bibir. Ekspresinya meredup kecewa, Furihata beranjak bangun.

"Kouki—"

"—karena aku … jangan bilang karena kau tidak ingin menyakitiku lagi."

"Kau tidak mengerti, Kouki."

Akashi menggapai lengan kekasihnya. Matanya adalah mercusuar hati yang jujur memancarkan keinginan untuk memiliki, tak ingin Furihata pergi. Mendaratkan kecupan halus di punggung tan yang terlihat atraktif karena air bergulir menjejakinya.

"Melakukannya pertama kali tidak semudah kedengarannya. Dan aku memang tidak mau menyakitimu lagi."

Furihata menyentak pelan sentuhan Akashi di lengannya, meraih pegangan besi yang berada di seberang bath-up tempat mereka bersandar sebelumnya. Membenamkan setengah wajahnya sesaat ke air seraya membalakangi Akashi yang tengah mengecupi punggungnya.

"Aku tidak pernah mendengar penjelasan tentang mating." Furihata berlutut dengan kedua kakinya. Tangannya menggapai bagian belakangnya yang merekah tatkala ia membungkuk sedikit. "Baik keluargaku, teman-teman, siapapun, apalagi kau … tidak pernah ada yang bercerita tentang prosesi heat padaku atau apa yang harus kulakukan saat first-bloom seperti sekarang."

Bila rongga mata dapat bergemertak, maka mungkin sepasang mata merah telah retak karena terbeliak lebih dari biasanya mendapati kawah sempit itu ditarik membuka dengan satu tangan. Akashi bisa melihat likuid lubrikatif benar-benar meleleh dari sana, seperti racun menyelundupkan virus, memenjara yang terjerat pesonanya untuk teradiksi dengan wangi surga duniawi dan menjelajahi antariksa kehangatannya.

Akashi terkejut bukan kepalang melihat Furihata mengintrusi dirinya sendiri dengan satu jari. Selagi menambahkan jari-jemari dengan mosi hati-hati memperluas sekat terdalam diri, Furihata merintih.

"Semua orang mungkin berpikir aku ini omega immature karena aku ini super late bloomer. Keluargaku mungkin berpikir aku masih anak-anak karena tidak juga mengalami heat. Teman-temanku menghormatiku karena mereka tahu mereka akan menyakitiku jika berbagi cerita tentang hal itu padaku. Sementara kau—"

Furihata mengerlingnya sekilas, lirikan berkerjapan dengan Akashi, sembilu dipalu pilu ia bergumam, "—harus menahan diri karena ketidaknormalanku."

Kabut uap hangat menyebabkan mereka hampir pengap. Penjuru ruangan itu lengang, sesaat senyap.

"Mungkin kau benar. Aku tidak mengerti. Ngh. Mungkin aneh mendengarnya dariku, sebenarnya … aku tidak semurni yang kaupikirkan."

Akashi menghirup napas dalam. Riuh-rusuh yang bergemuruh di dadanya menyakitkan. Suaranya terjerumus vibrasi bariton, "Jelaskan."

Hening disimbahi bunyi basah riak-riak air di bath-up dan jari yang dilapisi membran cair melubrikasi sekat tersempit.

"Sejak kita baru jalan setahun pun, aku … mhhm … me-mencoba membayangkan jika … jika kau menyentuhku. Aku ingin kau menumpahkan aura alfamu itu, mengikis habis kesubmisifanku ini. Aku ingin … ditandai … didominasi olehmu."

Bening lara meleleh dari matanya, mendenting permukaan air yang menggenangi bath-up.

Kesunyian itu memedihkan hati keduanya.

"A-aku berharap kau ingin memilikiku, seperti aku ingin benar-benar memilikimu. Aku selalu melakukan ini—nngh!—sendiri—

"—menyentuh dirimu sendiri?" rendah, mungkin sedalam jari yang menusuk pada tempat yang memblurkan pandangannya, suara Akashi bertanya.

"—uhm … aku membayangkan kau akan melakukannya padaku."

Pandangan mereka bertemu di antara redup lampu, tatapan sayu, suara menyayup, hasrat—bukan hanya nafsu—menggebu-gebu, dan tensi seksual yang meninggi di antara keduanya.

Akashi bergerak, perlahan, meraup kulit pipi bokong kekashinya yang mulus.

Furihata tersengal, melirih karena reseptornya yang menerima jilatan basah nan panas antara lekukan kedua pipi bokong meresonansikan tremor ke seluk-beluk tubuhnya. Lidah Akashi menginvasinya.

"Apalagi … yang kaubayangkan tentangku, Kouki?"

Lirihan seduktif itu mendesir sensual gairah Furihata yang memalingkan wajah, tidak tahan dengan mata magenta yang mengintainya dengan pijar seseksi tadi di mobil Akashi memburaikan defensi dirinya untuk dihantam klimaks pertama, detak jantungnya meracau koherensif karena Akashi.

"Ka-karena perempuan pirang tadi … aku membayangkan … ada berapa banyak orang yang kauhabiskan waktu in-rut-mu bersama mereka. A-ackh! Apa saja yang kaulakukan dengan mereka."

Geraman, di antara hamburan rintihan, Furihata menjawab di sela perlakuan Akashi yang hanya berdasarkan gema decap—Akashi tengah mencecapnya.

"Kau sudah melakukannya dengan mereka semua, 'kan?" Furihata melirih perih.

"Hanya saat in-rut, terhitung jari." Akashi terkompulsi melontar jawaban. Matanya menajam, tidak suka ketika tangan Furihata yang diselimuti selaput putih manis adiktif—kini Akashi mengerti seseantero Seirin menggila karena nektar kekasihnya—mendorongnya untuk mundur.

"Kau cemburu? Itu dulu, Kouki. Sejak bersamamu, aku tidak pernah dengan siapapun lagi—khh."

Akashi terbelalak lagi tak percaya tatkala Furihata menginisiasi sendiri untuk membuka pintu masuknya, menurunkan pantatnya untuk menghimpit Akashi dalam kedalamannya. Kelaki-lakiannya disambut oleh otot-otot rektum berkelonjotan merijeksi presensi organ berukuran masif yang menegang keras.

Furihata menangis, air bergejolak dikais tangannya. Satu tangan lagi mencengkeram dinding bath-up. Ia menurunkan tubuh perlahan-lahan. Dirinya terkoyak, kepalang tanggung karena telah membludakkan sungguh-sungguh seluruh kejujurannya tanpa filtrasi—terlebih pada Akashi, dengan visualisasi bahwa Akashi telah melakukan ini bersama yang lain … sementara dirinya—

"—aakh!"

—belum pernah. Entah mana yang lebih menyakitkan bagi Furihata. Pemikiran ini dan penetrasi Akashi, keduanya menorehkan luka pada jiwa-raganya.

"Kouki, tunggu dulu. Kau belum—khh."

Furihata yang tenggelam dalam banjuran heat-nya tidak lagi mengindahkan instruksi Akashi, ia menaikkan dirinya, menurunkannya. Organ reproduksi kekasihnya melesak lebih jauh, menggerus brutal tembok-tembok privasinya, sakitnya semenyakitkan saat ia mandi seminggu lalu sebelum kencan dengan Akashi.

"A-Akashi …" Furihata terengah-engah parah. Airmata menindih keringat di wajahnya, tersenyum sedih mengerling yang terkasih.

"Maaf, aku tidak seinosen itu."

Furihata memijakkan kaki pada lantai bath-up, menaikkan dirinya hingga Akashi tersisa setengah di dalamnya, lalu turun ke bawah. Menjerit sakit, air bergelombang selaras pergerakannya. Meluber tumpah. Ia terengah payah, persisten menaik-turunkan tubuh kendati tak juga mendapat kenikmatan yang terukir sesuai ekspetasinya.

Itulah pemicu Akashi menarik tangan Furihata yang semula menopang dadanya, menggenggamnya erat-erat. Tangannya mencengkeram tangan omeganya yang memegang pinggiran bath-up, sementara tangan yang satu lagi memegangi pinggul kekasihnya. Panggulnya menyambut gaya turun dari Furihata.

"AAAARGH!"

Jeritannya nyaring saat gaduh kecipak air didendangi kulit yang saling berdepak dalam riak, repetitif menyebabkan Akashi merinding. Lenguh sendu meluruh ke ruang pendengaran Furihata, membuat sang omega serasa penuh. "Percalah padaku dan ikuti aku, Kouki."

Furihata menghunjamkan kuku pada lengan kokoh yang merengkuh tubuhnya. Menggeleng karena tangan Akashi meremas keras pinggulnya, tanda ia harus berhenti bergerak. Furihata tidak ingin itu, ia ingin friksi sesuai imaji; harus terealisasi.

Remasan di bagian dalam pahanya, punggung furihata kembali membentur dada Akashi. Alfanya menggeram, tanda absolute sang omega harus menurut.

Furihata menenggak protesnya dengan gesture itu. Ia pasrah membiarkan Akashi berinisiatif mendominasi, memutar tubuhnya. Rotasi perlahan yang menyakitkan karena ia seperti lubang yang tengah dimasuki kunci, dan kunci diputar untuk membuka pintu.

Furihata merintih karena mereka kini berhadapan, merasa dirinya terekspos pada Akashi.

Strong-alfa tersebut memosisikan tangan si super late bloomer bertopang pada bahunya, sementara yang satu lagi digenggamnya erat-erat. Ia memaksakan diri mendaratkan kecupan ringan di leher yang menonjolkan pembuluh darah alih-alih mengoyak dengan taringnya, mengetahui kekasihnya kesakitan bukan main dan tubuhnya belum adaptatif diintrusi karena ini mating pertama kali.

Akashi diserang oleh vertigo familiar yang berkali lipat lebih mengerikan. Posesifisme yang membara di hatinya dan persistensi naïf Furihata berlebihan bagi dirinya.

Hal yang tidak Akashi inginkan adalah kalah dari persona buasnya yang mengamuk dan menyebabkannya nyaris kalap melahap kekasihnya tanpa ingat kenyataan ini pengalaman pertama kekasihnya.

Furihata yang berada di atas Akashi menggelinjang merasakan celah terdalam dirinya dipenetrasi perlahan-lahan. Tangan yang tidak menggenggam tangannya meraba perutnya, menekan-nekannya lembut, membuat kulit di sana meremang dan Furihata yang sensitif di bagian itu menggelinjang. Melenguh lebih keras tatkala merasakan perpanjangan yang kokoh berdenyut-denyut, membengkak membukanya.

Tangan Akashi berpindah ke pinggul kekasihnya, menopang Furihata yang menurunkan diri, menusuk ke dalam dengan tempo yang memeraskan peluh di sekujur tubuhnya. Akashi mendecih pelan, sadar dengan semua nafsu yang ditahannya sepanjang waktu, justru dim omen ini ia tidak akan bertahan lama.

Faktor utama mungkin karena Akashi lama tidak menghabiskan sesi in-rut dengan mating. Mungkin pengaruh hormonal abnormal kekasihnya, atau virginitas pertama kali yang membuatnya sesak napas—ia tidak pernah memenatrasi tempat serapat, seketat, dan sepanas milik kekasihnya.

Mungkin juga karena kekasihnya yang reaktif terhadap cumbuannya, ringis kesakitan berevolusi jadi desahan yang frekuentif, aksi naifnya yang lagi-lagi menyambut penetrasi Akashi dengan menaik-turunkan tubuhnya.

"Ah. Ah. Akashi—hnnh!" Furihata menggelinjang saat Akashi menikam bagian yang menyetrum sekujur tubuhnya dengan tensi seksual voltase tinggi.

"Kouki." Akashi menggeram tajam. Lebih keras menikam Furihata hingga kepalanya terlengak menampakkan leher jenjang yang berkilau karena air bath-up dan keringat, yang Akashi cium serakah sekaligus mesra.

Furihata tidak kuasa menatapnya, ia menumpukan dahi ke bahu Akashi dan tangannya berpindah mencengkeram sandaran bath-up. Kakinya tidak lagi menapak lantai bath-up, beralih mendekap pinggang Akashi sementara punggungnya bersandar pada paha kokoh kekasihnya.

Tidak satu pun dari keduanya memedulikan napas mereka yang eratik, marak dengan gejolak selayaknya air bath-up yang bergelombang terombang-ambing pelayaran sensual setubuh keduanya.

Ia merasakan bagaimana liangnya aktif memeluki milik Akashi yang bergerak intens menghunjamnya. Berdenyut memenuhi dirinya dan ia menjepitnya erat-erat, intrusi tajam penuh presisi yang tiada ampun menusuknya, yang Furihata ingin Akashi memecahkannya, dan tidak ingin kehilangan sensasi ternikmat yang pernah dirasakannya seumur hidup.

"Akashi, akh … hngh—aku—akh!"

Lengkingan suara Furihata berubah jadi isakan, tangisan nikmat menggusur rintihan sakitnya, terpantul-pantul menggaungi kamar mandi.

Akashi yang tidak lagi mampu menalar jernih saat mendudukkan diri. Melumat bibir Furihata yang merah muda menggoda untuk menenggak teriakannya, yang Akashi dapat artikan kedekatan mereka dan ketidakkuasaan Furihata sama sepertinya untuk bertahan lebih lama mengonter klimaks.

Furihata di pangkuan Akashi, melepaskan ciuman mereka karena ia terduduk, inti terdalamnya dihantam kekokohan yang menyodoknya dan impuls ia terisak merasa begitu penuh.

Interval sekian detik, aksi Akashi vakum karena sang alfa mabuk kepayang dengan kekasihnya, tergemap karena aset futuristiknya menyeruaki lembah sempit. Lantas memeluk Furihata posesif, menukar posisi atas-bawah mereka sehingga punggung Furihata membentur sandaran bath-up.

Akashi merilis feromon alfanya dan memandikan Furihata dengan wangi miliknya. Menaungi kekasihnya yang menginfluensi dirinya karena mengalami in-rut lagi, memanjat ke titik kulminasi. Bibir dimuai kecupannya, tubuh yang berkilau dipoles sembulan keringat dari pori-pori kulit dan linang air bening serta dihujani penerangan romantisme lampu kamar mandi.

"Sei—" Tergelincir. Fokus Furihata blur. Pandangan menggelap Akashi yang seksi, yang bergerak menggebrak dirinya, membuat Furihata kelimpungan. "—hnnggh!"

Volume tangis Furihata mengeras karena posisi mereka lebih intim dan Akashi yang dominatif memuaskan hasrat submisif di tengah debur super in-heat-nya.

Ia kehilangan rasionalitasnya, menggelinjang dan menjerit nikmat tatkala Akashi menikam episentrum kenikmatan yang mengunangkan pandangannya, geramannya sepanas atmosfer yang melingkupi keduanya.

"Kau milikku. Soulmate absolute. Kouki … khh."

"A-Akashi … aakhnn!"

Furihata menjerit absurd merasakan punggungnya kasar menabrak sandaran bath-up bertepatan dengan gigi-gerigi menghunjam lehernya, mengoyak kulit hingga mengucurkan darah berintensi meninggalkan tanda permanen, sederas luruhan dari lakrimal matanya, sedahsyat gejolak air yang mengikuti pergerakan Akashi membenamkan esensi dirinya yang mendididih dalam-dalam padanya, menenggelamkan keduanya dalam riak samuderah bath-up berkonten gairah keringat melebur bersama liquor orgasmik terintens dan terpanjang seumur hidup keduanya.

Ruangan kamar mandi itu histeris memantulkan euforia sisa-sisa aktifitas seksual keduanya. Tubuh yang saling menghentak, momen intimasi keduanya mereda diiringi kecipak air di bath-up yang telah meluber lebih dari setengah.

Akashi merengkuh kekasihnya erat-erat selagi mereka yang tadi sempat meriset memori betapa kebutuhan akan oksigen begitu krusial dalam hidup, kini berpacu meraup oksigen seolah tadi mereka berada di dimensi mereka sendiri dan tak membutuhkan apapun selain eksistensi satu sama lain.

Furihata yang masih bertremor keras melingkarkan lengannya untuk memeluk Akashi, membiarkan kekasihnya menciumi airmata dan basah apapun yang menyimbah wajahnya.

"Kau baik-baik saja, Kouki?"

"Ngh … dingin."

Air bath-up yang tersisa separuh memang tidak lagi terasa hangat. Akashi memutar air keran supaya menutup, sia-sia saja menambah volume air dalam bath-up, terdegradasi banyak, tumpah-ruah membasahi lantai. Dibukanya sumbat agar air mengalir ke saluran pembuangan.

"Ukh … lihat ini."

Furihata mengangkat genggaman tangan mereka yang seakan hampir tak terlepas selamanya. Keriput mengeruhi guratan muda di jari-jemari mereka. Ia menggigil karena suhu yang sebenarnya jauh di luar ruangan, mengurung dunia dengan temperature terperosok ke titik beku dan dayu kemayu salju, mulai merayapi tubuh telanjang keduanya.

Akashi mengecup punggung tangan Furihata dalam genggamannya. "Ayo kita keluar dari sini."

"Uhmm." Furihata memalingkan wajahnya, melirih canggung. "Kau … ke-keluar dulu … ukh … dariku."

Air asat dari bath-up menyisakan genangan di lantai keramik marmer mengawasi keduanya.

Furihata menampar pelan bahu Akashi karena alfanya itu menyeringai, geli, jelas menggodanya. Tapi ia tidak berkata apapun, keluar perlahan-lahan dan Furihata mendesah kecewa kehilangannya.

Akashi beranjak bangun lebih dulu. Meraih handuk yang tergantung di rak besi di atas sandaran bath-up, seringai terkurva selaras sorot geli di matanya melihat Furihata merosot ke dalam air karena salah tingkah mengerlingnya yang melingkarkan handuk di sekeliling pinggulnya.

Bukankah mereka baru saja mating?

Furihata yang melirik kekasihnya dengan wajah inosen, gugup membasahi bibirnya yang mendadak mengering—bulir-bulir air itu mencicipi lekuk tubuh maskulin alfanya. Diraihnya uluran tangan Akashi untuk bangun. Barulah ia mengerang kesakitan, nyaris terjengkang, namun Akashi sigap mendekapnya.

"Pertama kali, Kouki." Akashi mengusap-usap punggung telanjangnya, menahan deraan geli karena ia tahu arti atensi Furihata padanya tadi. "Jika saja kau tadi tidak gegabah melakukannya duluan, mungkin tidak akan sesakit ini."

"Ini salahku?" Furihata bersungut muram, pelan tapi agak kasar, menggigit kulit yang membungkus tulang selangka kekasihnya. "Maafkan ketidakinosenan dan keawamanku ini."

"Aku tidak keberatan." Vokal rendah Akashi yang menyeduksi Furihata selagi memakaikan mantel handuk padanya. "Kau selalu membuatku tidak habis pikir dan makin gila menginginkanmu."

Furihata bersyukur mereka tidak sedang bertatapan, kendati ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan gumulan kalor di wajahnya karena ia yakin Akashi pasti bisa merasakannya. Ia mengalungkan lengannya di leher Akashi.

Dipatuhinya tuntunan alfanya berjalan tertatih keluar dari kamar mandi—karena ia menolak tawaran untuk digendong bridal-style lagi. Teringat saat mereka masuk kamar ini tadi, Akashi membantingnya ke kasur dan ia tidak ingin diperlakukan begitu lagi.

Akashi mendudukkannya ke sofa krem berbantalan empuk yang merapat di kaki ranjang kemudian berlalu untuk mengambil handuk ke kamar mandi.

Furihata mendesah lega. Mengernyit sakit. Realisasi menggempurnya, Furihata melotot ngeri. Pantatnya seakan meraup lekukan sofa, menghisap masuk ke dalamnya. Alat vitalnya mulai mengeras lagi karena stimulus tidak sengaja itu. Ditariknya sepasang tungkainya untuk melipat, hendak mendegradasi kepulan eksitasi di organ intimnya, namun gesekannya malah membuatnya merintih lemah.

Akashi kembali dan tertegun menemukan Furihata duduk dengan posisi submisif, menggeliat bergetar hebat. Wajahnya tertunduk dalam, tampak enggan, maka Akashi lembut menyampirkan handuk untuk mengeringkan rambut coklat kekasihnya—berbanding terbalik dengan pandangannya yang mulai mengelap lagi.

"Sebegitu dinginnyakah? Kau kedinginan?" Akashi meraih remote Air Conditioner untuk menyalakan penghangat ruangan.

Anggukan fokus tak fokus. "Ngh … hmmh." Pandangan Furihata tertumbuk pada bagian depan badan Akashi. Terbentang diferensiasi rupa tubuh mereka tapi absolut takkan pernah pernah Furihata benci. Jari-jarinya yang semula meremas sofa dan pahanya sendiri, kini tertatih menelusuri bilur air yang bergulir binal sepanjang dada ke perut Akashi.

Sang alfa kembali mengeringkan rambut omeganya dengan benar. Tapi tangannya bergerak menarik turun mantel handuk, lamat-lamat dengan semangat anomali seakan menyingkap bungkus kado suatu hadiah terindah.

Akashi melenguh puas saat bibirnya menelisik pundak kekasihnya. Disadarinya hamparan kulit Furihata menghalus, melunak, memegarkan harum regal omega in-heat yang absolut membuatnya hilang kendali diri.

Bruk.

"Akashi!"

Furihata memekik kaget karena tadi ia sedang menikmati keeleganan Akashi membuka mantel handuknya sampai menggantung sebatas bahu. Sedetik kemudian ia kasar dibanting Akashi hingga punggungnya merata dengan sofa.

Ia tidak tahu bahwa Akashi menyadari ketidaknyamanan dan tensi sensual yang mekar kembali.

"Hnngh." Furihata mengerang dengan suara seraknya ketika Akashi menindihnya lagi, sensasi familiar menggilingnya.

"Kau merasa tidak percaya pada dirimu sendiri karena ada begitu banyak peristiwa yang terjadi hari ini. Kau meragukan kenapa kau yang minim stamina menghadapi semua itu, sudah begitu lelah, baru saja selesai mating denganku, tapi sudah bergairah lagi."

Furihata menyambar handuk untuk membuntal surai merah yang basah menitikkan air padanya, sekaligus melampiaskan sensitifitas dari rambatan panas yang membanjurnya lagi karena Akashi menebarkan ciuman di wajahnya, lantas berbisik panas di lehernya.

"Mengingat first-bloom-mu sudah abnormal, in-heat anomali dalam situasi dan kondisi ini berarti normal bagimu, Kouki." Akashi mengulum sekilas dagu kekasihnya. Nadanya antusias, eksplisit merasa senang. "Tidak usah mengkhawatirkanku lelah atau tidak, tidak perlu malu karena merasa ingin mating lagi denganku."

Furihata mendorong dada Akashi ketika bibirnya hampir dimonopoli lagi. Celah terbuka, peluang untuknya. Ia berguling, meloloskan diri dari sergapan kekasihnya sendiri, memanjat sofa dan merangkak di ranjang.

"Jangan lari dariku, Kouki."

"Bukannh." Sensasi ini lagi ketika fabrik lembut mantel handuk menggesek kelembaban kulitnya yang sensitif maksimal lagi. Furihata terjerembab lelah ke ranjang merasakan Akashi tangkas mengejarnya, kasar melepaskan mantel handuk dari tangkupan tubuhnya. "Di-dingin, dan aku tidak mau di-uhuk-diterkam olehmu di sofa."

Furihata membelalak letih, entah bagaimana caranya Akashi menarik selimut tebal menyelimuti keduanya selagi alfanya itu meraup pipi bokongnya dengan ciuman mulut terbuka. Rintihan terserap kapuk di balik seprai putih mendengar cecap basah Akashi pada anakan sungai precum-nya.

Furihata meremas bantalnya keras tatkala Akashi memeluknya dari belakang. Tangan lihai memainkan bola basket itu bermain pada bola lain di pangkal kelaminnya, lidah melata di pundaknya seraya tangan menjalar ke perutnya, mendorong pantatnya membusung mundur dan melesak lagi mempenetrasinya.

Kendati baru saja pertama kali, tidak seberapa lama ditinggalkan, Akashi dapat merasakan koridor berlapiskan lendir lubrikasi itu menyambut miliknya dengan menjepitnya hangat.

Tidak seperti yang pertama gerakan mereka penuh urgensi, kali ini Akashi memakai waktu, menikmati butir demi butir gulir pasir detik dengan maju-mundur tanpa adanya percepatan selain kecepatan teratur.

Furihata dengan dahi yang melesak ke bantal, melihat ke bawah. Dirasakannya perutnya menggelembung, penuh, dan bagian privasi miliknya tak diindahkan oleh Akashi yang hanya menggoda pangkal selangkangannya. Tangannya yang terbebas menggenggam kepunyaannya sendiri yang panas mengeras, Akashi menarik tangannya. Sadis mengunci lengannya ke belakang punggung.

Furihata kolaps lebih dulu membujur di kasur. Tinggal di penghujung dan Akashi melakukan tindak preventif mencegahnya menggapai orgasme. Ia mengeluh di antara lenguh yang meluruh dari bibirnya.

Akashi menggulingkan Furihata hingga terlentang di bawahnya. Dibuatnya sudut tumpul antara titik utama yang mencuri atensi Akashi, memosisikan diri di antaranya.

Akashi menyeringai tak ubahnya predator buas, natural tersemat pada personanya sebagai penahta kasta tertinggi. Mangsanya menggelepar dalam kungkungannya, terengah tak berdaya, mata berkaca-kaca dengan semburat seimpresif senja mengentali roman wajahnya.

Biner magenta monokrom berkilat-kilat, tangannya sensual menyusuri linier tungkai Furihata. Telanjang, tak bercela, seperti asumsinya waktu mereka berada di toko sepatu. Diangkatnya, dikuaknya. Bibir yang sensual mengucapkan, "Kouki." dan membubuhkan kecupan mesra di pangkal pahanya.

Furihata bergetar, desahannya memalukan. Giginya mencapit liuk plum bengkak belahan bibirnya. Lengannya yang dipindahkan posisi, dipasung ke atas kepala, dipakainya punggung lengannya untuk memblokir wajahnya—dirinya dari alfanya yang keterlaluan atraktif dan mendestruksi degup dinamis berantakan jantungnya.

"Nnnh."

Akashi bersukacita menyatukan lagi dirinya dengan Furihata yang percuma saja menahan rintihannya. Tubuhnya reaktif terhadap hentakan repetitif Akashi, dada yang digilir kini ditumpahi atensi bibir sang alfa, sementara omega ini menggigil ditaklukkannya.

" . Hhh. Su-sudah—"

Instan terinterupsi percintaan mereka.

Alih-alih mengeksplosi angkara murka, Akashi menyeringai iblis. Ia bergerak lagi menumbuk Furihata lamban, meremas gemas pipi bokong yang menelan miliknya, sembari menurunkan kepala karena bibirnya meraup areola Furihata yang memedih kencang.

"Hmmph." Furihata mengulum bibir plumnya. Memerah parah melihat Akashi mengulum putingnya, lidahnya terampil menelisik celah yang gatal, perih, dan bagai ada jarum sengat yang menjentik nikmat seluruh inci sel tubuhnya. Diapit dalam giginya keras bersamaan dengan sodokan tajam di kawah Chandra bagian bawah tubuhnya. "Hnnghh. Su-sudah, Akashi. Berhenti—aaaah!"

Sentilan, pelintiran gemas di putingnya yang satu lagi dan tusukan keras hingga Furihata terdorong ke atas melesak keras ke bantal. Airmata meleleh dari lakrimalnya, Furihata pening dengan bumbungan kenikmatan yang bergumul dan bergerak mengurvakan perutnya.

"Sudah?" Akashi memerhatikan kekasihnya dengan seksama. Puas menikmati kekasihnya dalam kuasanya, kemilau memerah keringat, napas panas menghempasnya, tubuh sensitif meremang dalam sentuhannya, wajah ekspresif dibuai kenikmatan, matanya yang berkaca-kaca.

Sang alfa berkonklusi ialah pemenang si entitas yang membuat begitu banyak orang tergila-gila. "Berhenti? Kouki, jangan menyangkal. Kau membutuhkan—"

Grab.

Akashi tersaruk menindih kekasihnya yang kuat menariknya jatuh. Bersitatap intens.

"Su-sudahlah." Furihata emosional, berbisik di sela suara basah tubrukan bagian terintim Akashi yang menjajal habis rekahan liangnya. "Sudahi menggodaku begini dan berhenti bergerak lamban. A-aku ti-tidak tah—annhh!" Otot-otot berlumur cairan lubrikatif yang melakukan gerak peristaltik pada kejantanan alfanya itu digerus kasar hingga Furihata mengerang keras.

Jeda mematikan.

Furihata merintih. "Akashi—Se-Seijuurou … tolong."

Akashi melahap bibir yang mendesahkan nama aslinya, merinding ia mendengarnya. Ia melepaskan usai lidah mereka bertautan dan saliva memaut keduanya.

"Aku mau mengaku padamu, Kouki."

"Akashiii …" vokal serak basah memelas menyebut namanya.

"Saat tadi kau mengaku kau tidak seinosen itu dan kenyataan bahwa kau mengimajikanku mating denganmu, kau tahu apa yang kurasakan?"

Furihata tercenung. Menggeleng lamat-lamat.

Akashi maju—tahu benar bokong ini mengapit hangat organ spesifik di region selatan badannya—menghempas napas panas, sensualisme jilatan pada telinga kekasihnya. Ditariknya tangan Furihata yang dipasung di atas kepala ke dada kirinya, tepat di pusat kehidupannya.

Gemuruh. Rusuh. Furihata menggigit bibir karena jemari Akashi meniti jari-jarinya untuk meneliti gaduh keras jantung yang vibrasinya tertransparansi di balik kulit.

Akashi yang tenang, dilingkup perfeksi, pandai mengontrol diri … jantungnya berdebar liar. Dan debar itu karenanya.

"Setiap aku in-rut, aku juga membayangkanmu."

Furihata hampir membelalak murka karena Akashi memanuver gerakan di pinggulnya, berputar, masuk namun tak menusuk sampai membuatnya merasa nikmat, tapi untuk protes pun ia tak kuasa.

"Aku membayangkan bagaimana jika kau mating denganku. Reaksimu, ekspresimu, segala tentangmu …"

Seketika Furihata terpana.

Akashi tertawa bahagia.

"Aku kira kau submisif sepenuhnya dan akan membiarkanku mendominasimu sesuka hatiku, keluar masuk dirimu, membuatmu memohon-mohon padaku dengan menyebut namaku.

"Kau mengejutkanku lagi, kukira tadi kau minta berhenti karena lelah, ternyata …" Akashi lebih tahan bergerak lamban menikmati gelinjangan gelisah Furihata yang begitu membutuhkannya, "… mengatakan hal tadi itu, jauh lebih seksi daripada imajiku, Kouki."

Furihata merinding mendengar tawa hangat Akashi. Tubuhnya dirayapi tremor yang tak kunjung mereda.

"Aku juga menyadari tadi kau saat hampir klimaks, kau ingin menyebut namaku." Akashi tertawa rendah lagi, mengecup kening terurai serakan surai coklat mate-nya. Lakukan saja, aku juga ingin mendengar kau memanggil nama asliku."

Akashi merasakan perubahan aura omeganya yang menggelinjang gila dan dinding-dinding yang menyempit menghisap dirinya. "Kouki?" Meneliti kekasihnya yang terengah-engah dan sundulan organ intim di perutnya, ereksi yang terlupakan itu butuh perhatian.

Furihata menyelinapkan tangan ke belakang kepala Akashi, memiringkan wajahnya, melumat bibir kekasihnya. Balas menekan tubuh solid alfa berura regal, mencari pelampiasan karena panas anomali menggelegak. Mendidih tatkala mendengar tawa alfanya.

Furihata menanamkan kuku ke lengan bergelayutan tendon liat di sana. Ia terseguk antara tangis dan tawa kecilnya. Mengingat dulu di masa-masa putus asanya, ia berharap Akashi akan selalu tersenyum, dengan senyum penuh pikatnya itu tertuju padanya saja.

Kini Akashi tidak hanya tersenyum, ia tertawa. Bahagia. Furihata tidak tahu influesif tawa kekasihnya itu berdampak sebegini masif pada tubuhnya.

Besar kemungkinannya karena mereka tengah bersenggama maka keduanya bisa memvisualisasi yang mereka rasakan, perasaan dan kata-kata yang tak terucapkan sampai pada satu sama lain.

Akashi balas mengagresi Furihata dengan ciuman panas merampas napas, mengabsen barisan rapi gigi putih, berkaitan lidah dengan mulut yang mempolusinya dengan wangi rempah legit memikat. Tangannya kini menaruh sihirnya, membakar tegangan panas di bawah, sementara bibirnya berpindah untuk menciumi titik tersensitif di dada Furihata.

"Hngh."

"Panggil aku."

"Se-Sei—ahn!" Furihata tidak mengerti kenapa ada likuid putih meleleh dari sudut bibir Akashi yang menjilatnya nikmat.

Akashi mengangkat kepala sesaat. Jangan-jangan benar perkataan teman sekelasnya. Rasa mating selezat ASI pertama ibu? Tunggu. Bukan di bawah, ini—

"Sei …" Furihata memeluknya lagi. Matanya berkaca-kaca. "Ja-jangan diam saja. I-ini … lakukan sesuatu, se-seperti tadi."

"Sakit?" Akashi memijat pelan dada Furihata. Begitu ia mengulum putingnya lagi, eksperimentasi memilinnya dengan jari di puting yang lain, benar-benar ada likuid semanis madu melesat keluar dari celahnya.

"Ti-tidak. Ahn. Hnngh! La-lagi!"

Reaksi ini.

Akashi berekshalasi sekali. Inhalasi dalam, ia kembali menghentak, menyayat kedalaman Furihata seakan friksi kenikmatan di sana akan terukir dalam dinding rectum yang terkoyak.

"Aufhm. Ah. Ah."

Furihata menjerit koherensif. Kepayang nikmat tatkala Akashi mengubah tempo intrusinya. Cepat. Berikut bibir yang menghisap lehernya, satu tangan memijit putingnya yang menitikkan likuid anomali, tangan yang menangkup organ intimnya, dan hunjaman keras episentrum kenikmatannya.

"Seijuurou … ahn. Errgh."

Furihata yang limbung nikmat dalam cumbuannya mungkin tidak menotis senyum Akashi benar-benar tertuju padanya, hati sang emperor meleleh mendengar namanya dijeritkan dengan nada memohon disentak keras, seakan mendeklarasikan kenyataan tidak ada lagi kosakata lebih berarti di dunia. Tak ada.

Tak ada selain namanya.

Maka itu ketika absurditas jeritan Furihata, suaranya yang serak basah akhirnya memelan karena kerongkongannya terforsir panas repetitif menjerit, terganti jadi tangisan nikmat mendamba kebebasan. Keutuhan hakiki.

Furihata benar-benar memeluknya erat. Akashi mengingat imaji dari kejujuran Furihata, mengikis habis aroma submisif sang omega dan mengklaimnya dengan dominasi alfanya. Hingga tak tersisa sekat yang memblokade relasi mereka karena penyatuan ini mengukuhkan ikatan keduanya.

"Seijuurou … Seijuurou!"

Furihata menjerit. Isakannya mendendangi seantero kamar dan menyesaki ruang pendengaran kekasihnya. Tangannya bertemu dengan tangan Akashi, seperti waktu di mobil, menaik-turunkan organ tersensitifnya sendiri.

"Hngh … Kouki."

Akashi menggeram merasakan Furihata memandikannya dengan wangi adiktif dari lelehan gairahnya. Ia mundur hingga tersisa puncaknya saja, menghunjam keras hingga melesak miliknya berdenyut hidup, hidup, agresif menghujani Furihata dengan golak lava orgasmiknya yang meleleh dari celah-celahnya hingga membasahi seprai.

Pasca klimaks sampai tensi seksual mereda, Akashi tetap bergerak menyodok Furihata. Benturan tubuh mereka, panggul menghentak goyangan pinggul, erangan seduktif, harmonisasi nyaring bersenandung sensual di ruangan. Licin, basah penuh gairah.

Furihata rubuh dengan tarik-hirup napas rusuh. Merintih-rintih letih tatkala Akashi memonopoli dirinya lagi dan lagi sementara energinya benar-benar terdegradasi habis, bercinta dengan kekasihnya yang membisikkan sesuatu. Tentang pertama kali mereka bertemu dan bagaimana bisa Akashi tahu namanya.

Furihata sungguh kelelahan, kolaps terlelap kendati itulah yang jadi poin utama menyeduksi Akashi—tertegun sejenak karena meski Furihata tertidur tapi badannya panas responsif terhadap rangsangannya. Tidak henti bercinta dengannya.

Akashi jelas tidak lelah. Ia yang justru terinjeksi energi baru. Bagaimanapun kopulasi spesies persilangan genetika langkanya tidak cukup dipuaskan dengan sekali-dua kali klimaks. Terlebih ia menyadari, super in-heat Furihata terus berlanjut walau sang super late bloomer kolaps. Luar biasa anomali. Ia tertawa pelan, geli.

Sudah tugas alfanya untuk menanggapi invitasi omeganya, memuaskannya, menjaganya dan mencintainya, 'kan?

Pelukan erat, tawa sayup melodis hangat membelai beresonansi dari telinga sampai lubuk hati—

"Aku mencintaimu, Kouki. Sangat."

—sudut-sudut bibir Furihata tanpa sadar menyungging senyum tipis, bergelung dalam pelukan protektif, cumbuan posesif, dan kecupan manis Akashi yang indah terimaji hingga ke mimpi.


A/N:

Mohon maaf lahir dan batin Hi-Light ucapkan—yang amat-sangat terlambat. Mohon maaf lahir dan batin lagi karena fic ini pun telat update, dan mohon lahir-batin karena fic ini … yeah! Akhirnya tamat!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mohon maaf lahir dan batin, nggak mungkin semudah itu mereka bersama. Terus habis do this and that berakhir begitu saja? No way. Nyahahaha. Belum, fic ini belum tamat. XDDD *silakan injek Light aja ya*

.

Terima kasih sudah membaca dan memberikan umpan balik. Mind to give us your feedbacks? ;D