Naruto © Masashi Kishimoto
Only for the first chapter, I imitate novel by AliaZalea
for the next chapter, this fanfiction is result my imagination.
Sasuke, You are an asshole. I don't know why I have ever thought that my world revolves around you, that I love you and that you felt the same way. It took you abandoning me when I needed you the most to realize that I meant NOTHING to you. So, thank you for opening my eyes to who you really are before I wasted any more of my life with someone like you.
Sakura PS: Don't worry,I've taken care of "our fuck-up" (as you called our baby), just like you asked me to.
BAB 1
Let me know that I've done wrong
When I've known this all along
I go around a time or two
Just to waste my time with you
Sekali lagi Uchiha Sasuke memfokuskan perhatiannya pada layar laptop di hadapannya, tapi dia mengalami masalah berkonsentrasi. Bintik-bintik keringat mulai bermunculan pada keningnya dan kaus yang dikenakannya sudah lembap dan lengket ke punggung. Tubuhnya yang lebih dari delapan tahun ini sudah terbiasa dengan suhu lebih dingin, mengalami masalah menyesuaikan diri dengan New York yang panasnya setengah mampus.
Lima menit kemudian Sasuke menyerah setelah sadar keringatnya sudah menetes ke keyboard laptop. Buru-buru dilapnya keyboard itu dengan bagian bawah kausnya sebelum menutup laptop dan mendorongnya ke tengah meja. Diusapnya kedua matanya sambil mendesah panjang. Dia baru berada di New York selama seminggu, yang berarti bahwa masih ada tiga minggu lagi sebelum harus kembali ke Inggris. Itu berarti tiga minggu penuh dengan kepanasan, keringat yang sampai menetes ke mana-mana, dan mandi tiga kali sehari supaya nggak mabok dengan bau keringat sendiri.
"Why, oh, why I here?" gumam Sasuke sambil menggunakan lengan kaus yang dikenakannya untuk menyeka keringat yang mengalir ke pelipis.
Tentu karena aku seorang idiot, omel Sasuke dalam hati. Seorang idiot yang masih stuck sama cewek yang sudah tidak ia temui selama delapan tahun. Cewek yang sudah dihamilinya. Dan bukannya bertanggung jawab dengan menikahinya, dia malah meminta cewek itu menggugurkan kandungannya, cuma karena dia tidak siap menjadi seorang ayah. Yeah, bukan saja dia seorang idiot, tapi juga seorang "chicken" yang lari dari tanggung jawab. Sasuke bahkan sampai melarikan diri ke Inggris untuk menghindari cewek itu.
Semuanya bermula saat ia melanjutkan pendidikan tinggi di Amerika Serikat, kedua orangtuanya saat itu pun masih menetap di Jepang. Jauh dari orangtua, membuat hidup Sasuke di negara liberalis itu semakin bebas. Ia dengan mudah mendapatkan gadis-gadis cantik untuk ia bawa ke apartemennya, bermalam di diskotik dengan obat-obatan serta minum-minuman keras. Hidup anak lelaki satu-satunya keluarga Uchiha itu semakin tak terkendali. Namun, pertemuannya dengan seorang gadis bernama Haruno Sakura membawa kembali dirinya yang lama. Ia berhenti dari kehidupan malam nan kelamnya, berhenti bergaul dengan teman-teman yang hanya memanfaatkan dirinya. Tapi, tetap saja ia tidak bisa tidak memuaskan hasrat biologisnya. Dan Sakura, gadis baik dan lugu itu akhirnya menjadi korban. Dia masih ingat betul kejadian sore itu, ketika Sakura datang ke apartemennya di alun-alun kota Washington DC untuk memberitahukan kehamilannya, yang kini dia sadari merupakan salah satu kejadian terpenting dalam hidupnya.
oOo
"You can't be pregnant," ucap Sasuke tidak percaya.
"Ap-pa? Memangnya apa yang kamu pikirkan saat having sex tanpa kondom, hah?!"
Sasuke tidak menghiraukan nada sinis Sakura, dan bertanya, "Berapa usianya?"
"Lima minggu."
Sasuke melakukan perhitungan di dalam kepalanya untuk mengingat tanggal yang tepat kapan benih bayi itu ditanamkan dalam rahim Sakura. Ketika dia mendapatkannya, dia langsung berkata dengan nada menuduh, "Tapi kamu bilang malam itu tidak apa-apa. Kalau tubuh kamu lagi tidak fertile."
"Jelas-jelas hitunganku salah, karena sekarang aku hamil. Lagi pula, hitungan itu kan tidak bisa dijadikan jaminan seratus persen."
"Hah?! Kamu seharusnya bilang padaku!"
Sakura menyedekapkan tangannya, tidak sabar. "Kamu kan lebih berpengalaman daripada aku tentang hal-hal seperti ini, jadi seharusnya kamu yang lebih tau."
Sasuke mengangkat kedua tangannya dan menjalin jemarinya di belakang kepala. "Tuhan, aku tidak percaya kamu membiarkan hal ini terjadi," geram Sasuke sambil mondar-mandir di depan Sakura.
"Membiarkan… Wait a second, are you blaming this on me?!" Suara Sakura langsung melengking begitu dia memahami tuduhan itu. "Apa kamu pikir perempuan bisa hamil sendiri?!"
Untuk beberapa menit Sasuke tidak menjawab pertanyaan Sakura, hanya mondar-mandir bingung. Segala macam skenario hidup berkelebatan di kepalanya. Dalam Sembilan bulan, dia akan masuk kantor sambil mendorong kereta bayi. Tatapan menghakimi yang diberikan rekan-rekan kerja kepadanya karena sudah punya anak pada usia muda padahal baru mulai kerja membuatnya panas-dingin. Dia baru berumur 22 tahun. Masih seorang mahasiswa di universitas dengan masa depan terbentang cerah di hadapannya. Masih ada banyak hal yang ingin dia lakukan dan hanya bisa dilakukan seseorang saat mereka belum punya anak.
Lebih dari itu semua, dia tidak bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya Papa dan Mama begitu mereka tahu bahwa anak laki-laki meraka satu-satunya, harapan penerus nama keluarga yang sudah dikirim jauh-jauh ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan terbaik, bukannya pulang dengan ijazah dan membanggakan orangtua, justru dengan seorang pacar yang sedang mengandung. DAMN IT! This can't be happening to me.
oOo
Ini sama sekali tidak ada dalam rencananya. Sasuke seharusnya lulus kuliah dengan cum laude, bekerja sebagai konsultan manajemen di salah satu kantor paling bonafide di Amerika atau Inggris dan baru setelah kariernya mapan, dia akan memikirkan pernikahan. Dia bisa melihat masa depannya satu per satu terlepas dari genggaman dan itu membuatnya panik.
Hanya ada satu solusi untuk ini semua. Bayi dan mencapai cita-cita tidak bisa hadir dalam hidupnya pada saat bersamaan. Dan karena dia tidak mungkin mengesampingkan masa depannya, maka satu-satunya jalan adalah untuk men-delete si "little fucker" yang memutuskan bahwa dia ingin hadir sekarang, bukannya sepuluh tahun lagi, dan menghancurkan kehidupannya. Dia hanya harus meyakinkan Sakura agar menyetujui rencananya ini.
Sasuke berhenti mondar-mandir dan menatap Sakura. "Sakura, kamu harus gugurkan kandungan kamu," ucapnya.
Sakura tidak langsung membalas, hanya menatapnya dengan mata terbelalak saking kagetnya. Sasuke berlutut dihadapannya dan merangkum wajahnya dengan kedua tangan.
"Aku tidak akan bisa kerja dan mengurus bayi pada saat bersamaan. Dan kamu tahu sendiri kalau bayi itu perlu biaya. Biaya yang kita sama sekali tidak punya," bujuk Sasuke.
Sakura menggigit bibirnya dan berkata pelan, "Kita bisa… bilang ke mami dan papiku."
"Dan diomeli habis-habisan sama mereka?" potong Sasuke ketus. "Come on, Sakura, kamu tidak mungkin senaif itu, kan? Mereka akan menggoreng kamu hidup-hidup kalau mereka tahu kamu hamil di luar nikah. Keluargamu bahkan tidak mengetahui tentang diriku."
Dia kembali berdiri, memaksa Sakura mendongak agar mata mereka bertemu. Sakura kelihatan siap menangis dan Sasuke, yang seumur hidupnya tidak pernah ingin menyakiti cewek, mengguncang bahu Sakura agar dia fokus pada dilema yang sedang mereka hadapi daripada tenggelam dalam emosi yang tidak akan membantu sama sekali.
Sasuke mencoba mengatur pernapasan dan emosinya sebelum berkata-kata lagi. "Ini jalan terbaik untuk kita berdua. Kita terlalu muda untuk punya anak. Aku tidak siap jadi ayah, Sakura. Dan aku yakin kalau kamu punya waktu untuk berpikir, kamu akan sadar kalau kamu juga belum siap jadi ibu. Kamu harus pikirkan cita-cita kamu yang tidak akan jadi prioritas lagi dengan adanya anak ini."
"Tapi aku cinta sama anak ini, Sasuke. Ini anak kita. Hasil hubungan kita," rengek Sakura.
Dan kesabaran Sasuke yang memang sudah tipis, habis sama sekali mendengar rengekan ini. Tanpa bisa mengontrol diri lagi, dia mulai meneriaki Sakura. "Bagaimana bisa kamu mencintai anak ini, Haruno Sakura?! Kalian bahkan belum bertemu. Astaga, Sakura, buka matamu! Ini…" Sasuke menunjuk perut Sakura yang masih rata, "cuma kecelakaan. Our fuck-up yang seharusnya tidak pernah Terjadi!"
"I can't believe you just called our baby that!" teriak Sakura.
"But it is a fuck-up. You and the baby are fuck-ups yang sekarang sedang berusaha menghancurkan hidupku!" Sasuke balas berteriak tidak kalah kerasnya.
Sasuke tahu ucapannya sudah kelewat kasar ketika Sakura langsung bangun dari sofa dan dengan tergesa-gesa meraih ranselnya sebelum menuju pintu keluar.
"Saku…" Sasuke berusaha menarik lengan Sakura.
"Don't touch me!" teriak Sakura sambil mengibaskan sentuhan Sasuke dan membuka pintu apartemen. Udara dingin langsung menerpa, tapi Sasuke sepertinya tidak menyadarinya, karena dia tidak menggigil sama sekali.
"Baby, I'm sorry… I didn't mean it." Sasuke sekali lagi meraih lengan Sakura, yang kini menyentakkannya dengan kasar.
"Yes, you did."
"Sakura, please…."
Sakura langsung berbalik lalu mendesis sambil menunjuk wajah Sasuke dengan jari telunjuknya.
"Kamu pikir we're fuck-ups? You know what? Fuck you, Sasuke. FUCK… YOU!"
Sasuke hanya bisa menatap Sakura dengan mulut menganga. Inilah pertama kalinya dia mendengar Sakura menyumpah. Sakura adalah jenis cewek pemalu dan selalu bertutur kata lembut. Satu kata yang tepat untuk menggambarkannya ketika dia pertama kali bertemu dengannya adalah "innocent". Itulah kualitas yang membuatnya tertarik dengan Sakura, tapi lihatlah dia sekarang, menyumpah kiri-kanan.
Tuhan, Sasuke seharusnya tidak pernah menyentuhnya. Dia tahu dari awal bahwa dia, cowok yang dikenal sebagai "man-whore" kampus karena sudah tidur dengan hampir setengah populasi murid perempuan, tidak berhak mendekati Sakura, tapi itu tidak menghentikannya dari menginginkan gadis itu. Dan lihatlah apa yang terjadi sekarang.
Belum sempat Sasuke menyela, Sakura sudah meneriakkan, "We are done, Sasuke. Aku tidak mau lihat wajah kamu lagi."
oOo
Dan itulah kata-kata terakhir kali dia berbicara sambil bertatap muka dengan Sakura. Berkali-kali dia berpikir bahwa kalau saja dia mengatasi masalah itu dengan lebih baik, maka Sakura mungkin masih berada di sisinya sekarang. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya menyalahkan Sakura atas apa yang terjadi? Dan dia sudah memanggil Sakura dan bayi mereka "fuck-ups". Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu kepada orang yang dia cintai dengan sepenuh hatinya? Dengan segala perasaan yang mendekam dalam hatinya selama delapan tahun terakhir, maka di sinilah ia. Mengambil cuti selama satu bulan penuh untuk mencari Sakura di Amerika ini. Semoga ia masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan wanita yang benar-benar telah memiliki hatinya dengan utuh itu.
Satu pergerakan pada sudut matanya menarik perhatiannya. "Oom Sasuke!" teriak Sei, keponakannya yang berumur empat tahun itu.
Sei berlari kencang ke arah Sasuke di atas dua kaki kecil, gendut, dan pendek. Tanpa undangan dia langsung loncat ke pangkuan Sasuke, seakan-akan tubuhnya trampoline. Ketika kaki Sei dengan tidak sengaja menginjak testikelnya, Sasuke langsung berteriak kesakitan. Detik selanjutnya dia melihat Mama dan Naori, kakaknya, setengah berlari menujunya.
"Sasuke?" tanya Mama khawatir, sedangkan Naori menatapnya dengan sedikit bingung.
Melihat oomnya meringis, Sei bertanya, "Oom Sasuke kenapa?" dengan nada prihatin.
Sasuke mengangkat tubuh Sei dan mendudukkannya di kursi sebelah dan dia langsung menangkup testikelnya dengan dua tangan sambil membungkukkan tubuhnya. Dia mendengar Naori bertanya apa yang telah terjadi, tapi dia hanya bisa mengangkat jari telunjuknya meminta satu menit.
"He stepped… on… my balls," jelas Sasuke akhirnya dengan sedikit terputus-putus.
Mama dan Naori langsung meledak tertawa dan Sei celingukan bingung. "Kenapa malah tertawa? Aku tidak bercanda, ini sakit sekali!" gerutu Sasuke yang setelah lima menit testikelnya masih nyut-nyutan.
Bukannya mengasihani, tawa Mama dan Naori justru semakin keras.
"Ada apa ini ribut-ribut di siang bolong?" Sebuah suara berat terdengar.
Melihat kakeknya, Sei langsung berlari menuju beliau sambil berteriak, "Kakeekkk," dengan sangat antusias. Ketika dia sudah cukup dekat, Sei melompat dengan kepercayaan bahwa kakeknya itu akan menangkapnya, dan beliau memang melakukannya, lalu memutar-mutar cucu satu-satunya itu hingga kedua kaki Sei melayang seperti ontang-anting.
"Pa, hati-hati, inget umur, nanti punggungnya sakit lagi lho kalau ngangkat yang berat-berat," Mama mencoba mengingatkan suaminya.
"Miko, aku ini belum setua itu," balas Papa, tapi dia berhenti memutar-mutar Sei dan memutuskan untuk memeluk sambil memandikan berpuluh-puluh ciuman pada wajah cucunya.
Melihat Papa begitu relaks dengan keluaganya, tidak akan ada yang percaya bahwa beliau adalah pengacara Amerika Serikat yang cukup disegani, bahkan ditakuti oleh banyak orang.
"Hihihi… geli. Kakek belum cukur," ucap Sei sambil cekikikan dan mencoba menghindari ciuman Papa.
Puas telah menyiksa cucunya, Papa menurunkannya. Melihat Sei berjalan ke arahnya, Sasuke segera berdiri. Testikelnya tidak akan bisa tahan kalau harus disiksa dua kali dalam satu hari ini. Melihat oomnya tidak lagi duduk, oleh karena itu tidak bisa dijadikan trampoline lagi, Sei menuju neneknya.
"Nenek, tebak, apa yang aku lakukan kemarin?" ucap Sei sambil menarik tangan kanan neneknya dan perlahan-lahan berjalan masuk ke dalam rumah.
Mama kelihatan berpikir sejenak lalu berkata, "Pipis di celana?"
"Tidaak," teriak Sei sambil tergelak. "Aku sudah tidak pernah pipis di celana lagi."
"Oh ya? Wah, pintar ya cucu nenek."
Papa mengikuti istri dan cucunya itu setelah menerima ciuman dari Naori, yang kemudian mendekati Sasuke untuk mencium pipinya. Sasuke pun melakukan hal yang sama kepadanya.
"God, you're so sweaty, Sasuke," ucap Naori sambil mengerutkan hidungnya.
"Hmm, aku tahu. Aku perlu ganti baju dulu sebelum makan siang," jawab Sasuke.
"Sepertinya lebih baik mandi deh. Aku bisa pingsan mencium bau keringat kamu itu."
"Apakah aku benar-benar buruk saat ini?" tanya Sasuke dengan wajah penuh horor dan dia menaikkan lengannya untuk mencium ketiaknya.
"Yes. Dan bisa tidak sih kamu tidak cium-cium ketiak kamu di depanku? Bisa pingsan aku," balas Naori hanya untuk menggoda adiknya itu yang kini langsung permisi ke dalam rumah, dan menghilang menuju kamar tidurnya di lantai atas. Sebetulnya aroma tubuh Sasuke baik-baik saja, seperti Polo Sport, cologne yang telah dia gunakan semenjak SMA, Naori hanya suka mengganggu Sasuke setiap kali ada kesempatan.
Setengah jam kemudian Sasuke muncul dengan kaus baru dan wajah fresh. Harus Naori akui bahwa Sasuke adalah adiknya dan dia merasa berkewajiban memujinya. Tidak sama sekali. Selama ini dia sudah mendapat konfirmasi dari banyak orang tentang betapa gantengnya adiknya ini. Semenjak SMP dan garis-garis wajahnya lebih menonjol, Sasuke harus belajar menghadapi perhatian cewek yang berhamburan. Kepribadian ramah dan gampang diajak bicara juga menambahkan suatu aura yang membuat semua orang lain ingin dekat dengannya.
Semua itu berubah ketika dia SMA dan nama Papa sebagai pengacara menjulang. Menurut Mama, Sasuke jadi lebih pendiam dan sangat berhati-hati dalam bergaul karena takut orang hanya akan mau bergaul dengannya karena dia anaknya Uchiha Fugaku. Sifat ketidakpercayaan Sasuke terhadap orang sedikit lebih relaks dan happy di sana. Untuk pertama kalinya Naori menemukan keramahan Sasuke waktu SMP kembali lagi.
Jadi masih juga belum menikah? Seingat Naori, dia bahkan tidak pernah mengenalkan seorang pacar pun kepada keluarganya. Merasa agak sedikit khawatir, dia akhirnya menanyakan hal ini kepadanya beberapa tahun yang lalu waktu dia mengunjungi Sasuke di Inggris.
oOo
"So tell me, anything interesting going on in your life?" tanya Naori sambil mengaduk-aduk campuran lettuce, paprika, dan beberapa buah olive dengan dua spatula kayu.
"Tidak ada yang menarik, just normal. As usual," balas Sasuke sambil membalik dada ayam tanpa kulit diatas panggangan. Naori melirik adiknya yang berusaha sebisa mungkin tidak menatapnya. Semenjak tiba lebih dari dua minggu yang lalu, Naori mendapati perubahan pada diri Sasuke. Dia jauh lebih serius, bahkan terlalu serius. Jadwal harian Sasuke penuh dengan kerja, kerja, dan kerja. Bahkan pada akhir minggu Naori menemukannya duduk di sofa ruang tamu dengan TV yang volumenya di-mute dan tatapannya menempel pada laptop dipangkuannya.
"Omong-omong, aku sudah di sini dua minggu, tapi kenapa belum dikenalin sama pacar kamu sih?" pancing Naori sambil memercikkan merica ke salad.
Sasuke mendengus. "Don't have one."
"Oh, come on, how is that possible? Kamu kan tampan, punya kerjaan yang mapan, lagi. Apa lagi yang kurang coba? Kecuali jika kamu gay."
Naori yakin Sasuke tidak mungkin seorang gay, karena dia menemukan majalah playboy di kamar tidur laki-laki itu ketika dia masuk ke sana beberapa hari yang lalu untuk membersihkannya, tapi bisa saja kan dia salah. Banyak laki-laki gay yang tidak terlihat seperti gay sama sekali.
Dengan sangat hati-hati, Naori berbisik, "Are you gay? Karena kalau ternyata kamu memang gay, kamu tahu kan kamu selalu bisa bilang ke aku? Aku tidak punya masalah sama sekali dengan orientasi seksual kamu, whatever that is. Kamu bisa suka perempuan atau laki-laki, atau dua-duanya, aku nggak peduli, aku akan tetap support kamu."
"Aku tidak gay!" teriak Sasuke dengan penuh ketersinggungan.
"Jadi kenapa kamu masih juga belum punya istri?"
"Karena aku belum ketemu yang cocok, oke?"
"But, you are meeting women right?"
"What's with all the questions?" Sasuke balik bertanya sambil membuka lemari es dan menuangkan air putih ke dalam dua gelas sebelum menawarkan satu kepada Naori.
"Aku perhatikan kegiatan kamu sehari-hari cuma kerja terus, tidak ada yang lain." Naori meminum seteguk air putihnya.
"Itu karena aku lagi ada proyek besar yang harus aku selesaikan. Kalau aku berhasil, aku akan naik jabatan di kantor."
"Tapi, apa perlu kamu sampe terobsesi begitu? Dan biasanya cuma ada dua alasan kenapa orang terobsesi sama pekerjaan mereka. Pertama, karena mereka mencoba membuktikan sesuatu, dan yang kedua, karena mereka mencoba melarikan diri dari sesuatu."
Sejenak Sasuke kelihatan memikirkan kata-kata Naori, kemudian berkata, "Aku masuk ke dalam kategori yang mana?"
"Yang kedua," jawab Naori pasti.
Sasuke mendengus. "Trust me, aku tidak sedang melarikan diri dari apa pun."
"I think you are. I mean, just look at you…"
"What's wrong with me?"
"Everything. Kapan terakhir kali kamu in a committed relationship dengan seseorang perempuan?"
Tanpa pikir panjang Sasuke menjawab, "Sekitar dua tahun yang lalu."
"Really?" Naori betul-betul terkejut mendengarnya.
Sasuke mengangguk lalu menenggak habis air putihnya.
"What happened?" lanjut Naori.
"Dia bilang dia sudah bosan menunggu sampai aku ngelamar dia. Beberapa bulan yang lalu aku diundang ke pesta pernikahannya dengan seorang pengusaha dari Alabama."
"That's fast," gumam Naori.
"No, not really. Kalau memang sudah ketemu yang cocok, kenapa harus menunggu lagi?"
"Sudah berapa lama kamu pacaran sama dia?"
"Beberapa bulan." Sasuke mengangkat dada ayam yang sudah matang dari bakaran dan meletakkannya ke atas dua piring makan.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita tentang dia ke aku?" Naori mengangkat baskom besar berisi salad mereka dan berjalan menuju meja makan.
"Karena aku tidak ada rencana untuk menikah dengan dia," jawab Sasuke sambil mengangkat dua piring yang penuh dengan makan malam mereka dan mengikuti Naori.
"Apa kamu pernah ketemu perempuan yang kamu mau kenalkan ke keluarga kamu?" Naori duduk di kursi makan dan menghadap Sasuke yang kelihatan sedang berkonsentrasi. Naori pikir dia akan berkata "Ya", tapi yang keluar justru, "Tidak."
Naori mengerutkan dahinya mengingat pembicaraan itu. Dia selalu ingin tahu siapa yang terlintas di kepala Sasuke pada saat itu, sebelum dia memutuskan mengatakan "Tidak". Pikirannya buyar pada detik itu karena Sasuke sudah berdiri di hadapannya, membuatnya sadar bahwa rambut Sasuke agak basah. Tanpa bisa mengontrol diri dia sudah cekikikan. Sasuke langsung mengerutkan dahi dan ketika sadar bahwa Naori sudah mengerjainya dengan berbohong mengenai bau badannya, dia mendesis, "I will make you pay for this."
"Oh, come on, Sasuke, don't be mad. Aku cuma bercanda, aku tidak menyangka kamu bakalan keramas segala," ucap Naori sambil berjalan cepat mengejar Sasuke yang sudah berjalan melewatinya.
To Be Continue