Yooo Lama ini lama banget… saya baru muncul m(_ _)m ada yang masih inget Fanfict ini? Maaf … maaf … saya lagi jatuh cinta ama novelnya Rick Riordan juga novel-novel lain XD jadi ngak bisa berhenti baca hehe …

Yosh … Langsung aja ke cerita, terimakasih untuk semua yang sudah membaca Fanfic ini.

Title : MINE

Author : Akiame Kyuuran

Pairing : Sasunaru

Chapter : 4B

Rate : M

Genre : Romance

Fandom : Naruto

Naruto © Masahi Kishimoto

Warning!

SASUKE SUPER OOC

CHAPTER INI PANJANG

DLDR!

Yaoi, BL, MxM, OOC, Sasuke POV, GaJe, typo(s), Author amatir, bahasa acak-acakan, tidak sesuai EYD dan kekurangan-kekurangan lainnya

~Fanfic ini Hanya untuk kesenangan semata~

~Enjoy~

.

.

.

Sasuke's POV

Sepanjang pagi hingga siang aku hanya berbaring diatas futon. Terdengar seperti seorang pemalas? Bukan begitu! Aku cuma memulihkan diri. Salahkan apa yang terjadi semalam, sebuah insiden kecil menyebalkan, tidak mematikan memang tapi cukup menyakitkan hingga aku harus terbangun dengan tubuh seperti habis diinjak sekawanan gajah. Berlebihan? Tapi itulah kenyataan. Semalam, insiden kecil –sialan– itu membuat lari jatah biaya hidup untuk bulan depan. Uang hasil hadiah balapan liar kemarin sudah mulai menipis, tidak! Aku tidak boros tapi sekolah juga butuh biaya kan?

Apa ada yang berpikir aku orang miskin? Tinggal di apartement bobrok, membiayai hidup sendiri dengan ikut balapan liar dan bekerja di bar … bukan! Salah besar jika menganggap aku miskin. Nyatanya aku ini Uchiha Sasuke. Pernah mendengar nama Uchiha? Keluarga kaya raya yang kekurangan ekspresi. Namun saat ini aku terlepas dari semua kekayaan itu. Tinggal sendiri sekaligus membiayai segala keperluanku sendiri. Aku punya suatu tujuan hingga aku berada dalam kondisi ini.

Ayahku marah –seperti yang kuduga– ketika aku keluar dari rumah. Dia berhenti memberiku uang lagi bahkan pembayaran sekolahpun aku sendiri yang membayarnya. Bisa saja aku minta bantuan Itachi –kakakku– tapi aku terlalu gengsi untuk melakukannya. Seorang Sasuke meminta bantuan pada Itachi? Hah, tidak akan pernah ada masa seperti itu!

Aku duduk di atas futon, malas bergerak tapi karena seharian aku terus beristirahat kurasa tubuhku sudah membaik bahkan tidak terasa sakit lagi. Aku melirik sikuku yang kini dibalut oleh plaster. Hanya lecet, tidak ada luka parah –aku cukup bersyukur untuk ini– ajaib rasanya tidak ada satupun tulangku yang patah setelah aku terlempar dari motor karena jalanan licin dan kesalahan bodoh yang kulakukan –yang membuat calon uangku melayang– tadi malam.

Aku melirik ponsel yang tergeletak di sebelah. Ponsel itu diam. Dia tidak menghubungiku. Dan aku tidak mengiriminya pesan. Lagipula aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Maksudku setelah insiden dia –Naruto– melihatku di atap sedang ya… kau-tahu-apa lalu aku mendapati pagiku sangat fantastis –terbangun dengan dia di sampingku– kemudian kami menghabiskan waktu di bukit. Aneh rasanya ketika dia tidak menanyakan kejadian di atap itu, entah mengapa ini mengusikku seakan hal itu tidak penting baginya. Dia tidak menanyakan apapun, membuatku keheranan sekaligus kecewa….?

Kuambil ponsel, mengeceknya. Tapi tidak ada pesan masuk. Ya, Naruto tidak pernah menghubungiku, selalu aku yang menghubunginya terlebih dulu. Ini meresahkan, selalu saja setiap hal yang menyangkut Naruto selalu membuatku menjadi bukan diriku yang biasa. Seperti aku yang lain, susah menjelaskannya tapi ketika di dekatnya aku merasa lebih hidup. Pertama kalinya aku benar-benar menginginkan sesuatu dan berjuang untuk mendapatkan hal tersebut setelah sekian lama segala hal disodorkan padaku. Aku selalu melakukan apapun atas dasar kata harus, bukan ingin. Segalanya diatur oleh ayahku, tidak ada ruang gerak, tidak ada kehendak pribadi semua ditentukan olehnya, sang pemimpin Uchiha yang luar biasa sukses.

Aku ingin mengirim pesan pada Naruto tapi tak tahu apa yang harus kutulis. Seperti yang kukatakan, jika berhubungan dengannya aku akan jadi orang lain yang lebih … katakanlah lebih ekspresif atau juga lebih konyol. Tidak menemukan kata-kata, akhirnya aku menyerah untuk mencoba mengirim pesan pada Naruto.

Haruskah kutanyakan hal semacam 'kau sudah makan?' Huh, tentu saja dia sudah makan, tanpa bertanyapun aku bisa menduga, Naruto itu doyan makan jadi mana mungkin dia belum makan sampai jam segini. Atau mungkin aku harus bertanya 'sedang apa kau?' Ya, pertanyaan standar seperti yang dilakukan sepasang kekasih? Uh, aku tak yakin … lagipula kami ini entah bisa disebut sepasang kekasih atau tidak, sebab faktanya sering –terlalu sering malah– Naruto menolak semua ajakan kencanku. Aku bahkan tak yakin dia selalu memikirkanku seperti aku memikirkannya.

Mendesah frustasi akhirnya kubanting ponsel itu ke atas futon dan bangkit, beranjak mencari makan sebab perutku mulai keroncongan dan belum kuisi sejak pagi. Barangkali sekali-kali Naruto-lah yang harus menanyakan pertanyaan seperti tadi –apa aku sudah makan?– Lalu ketika kukatakan belum dia akan datang ke tempatku sambil membawakan makanan buatannya. Manis bukan? Tapi aku berani bertaruh dia tak akan melakukannya kecuali kuminta –baca : paksa.

Kulkas kecil satu-satunya di sini tidak banyak isinya. Dan yang paling parah tidak ada tomat. Aku berdecak, merasa terlalu malas pergi ke toko terdekat. Kulirik jam dinding –yang lagi-lagi– satu-satunya di tempat ini sudah menunjukkan pukul jam tiga kurang. Sebentar lagi jam pulang sekolah.

Hm, sudahkah kubilang aku bolos hari ini? Aku cukup percaya diri kalau aku tidak akan ketinggalan pelajaran apapun. Aku cukup pintar dan sebenarnya sekolah tidak terlalu penting menurutku, kalau tidak ada Naruto di sana mungkin aku tidak akan berangkat ke tempat itu lagi –untuk membuat ayahku semakin marah. Kedengarannya bagus, menjadi Uchiha pertama yang tidak lulus SMA. Sebuah rekor baru kan?

Kembali ke masalah ketiadaan tomat, aku yang terlalu malas pergi ke toko bukan berarti tidak bisa mendapat tomat bukan? Aku berjalan, menuju tempat terakhir kali aku menggeletakkan ponsel. Kucari nama penggerutu bergigi tajam yang –aku yakin– akan sukarela mengantarkan tomat kemari, Suigetsu.

Kukirimi ia pesan untuk membelikanku tomat saat pulang nanti. Rumahnya tidak jauh dari sini, jadi dia pasti akan mau. Dan benar, tak lama kemudian ponselku bergetar, pesan masuk berisi beberapa kalimat ocehan bla bla bla…. serta –yang penting– konfirmasi persetujuan darinya. Apa kubilang dia memang penggerutu bergigi tajam yang baik hati. Tomat akan segera datang tanpa aku perlu repot-repot keluar. Itulah gunanya kau punya teman, untuk dimanfaatkan. Sesama teman memang harus saling memanfaatkan kan?

Baru kuletakkan ponselku, benda elektronik tersebut bergetar lagi. Kupikir Suigetsu tapi yang tertera adalah nama Itachi, tepatnya dia meneleponku. Kuangkat pangilannya tanpa basa-basi meski enggan. "Apa?" tanyaku bahkan sebelum dia sempat berujar hallo. Aku nyaris bisa membayangkan Itachi merengut kesal di seberang sana.

"Tidak bisakah kau berama tamah sedikit, adikku sayang?"

Aku memutar bola mata. "Aku tidak yakin kau akan suka ramah tamahku."

"Ya, keramahanmu memang membahayakan," setuju Itachi yang membuatku mau tak mau jadi mendengus geli saat teringat suatu insiden. "Terakhir kali kau beramah tamah padaku aku harus berakhir di rumah sakit."

"Itu kecelakaan," sangkalku teringat bahwa saat itu suasana hatiku sedang baik dan aku beramah tamah pada Itachi dengan menjadi supir baginya lalu berakhir dengan kami menabrak pohon. Aku baik-baik saja tapi tidak dengan Itachi.

"Aku tidak yakin kau tidak sengaja." Kurasa Itachi mendengus di sebrang sana. "Kau membuatku harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Membatalkan banyak meeting dan membuat ayah kesal. Aku yakin kau sangat menikmatinya. Bahkan aku curiga itu salah satu rencanamu."

Aku tidak bisa mencegah diriku untuk tidak tertawa. "Aku tidak sengaja. Tapi lukamu memang sebuah bonus." Aku berjalan menuju meja makan dan duduk diatasnya. "Anggap saja kecelakaanmu itu bagian dari keberuntunganku."

"Dasar adik sinting," oloknya.

"Kurasa kau menelponku bukan hanya untuk membahas masalah kecelakaan setahun lalu itukan?"

"Memang tidak."

"Lalu?"

"Ayah akan ke tempatmu," katanya santai seolah tanpa dosa.

"Apa? Bagimana bisa?" seingatku ayah belum tahu tempat tinggalku sekarang.

"Aku memberi tahunya," aku Itachi dengan nada tenang yang biasa.

"Brengsek kau Itachi."

"Aku juga sayang padamu, Sasuke."

Aku mengerang kesal.

"Cepat atau lambat dia akan segera tahu keberadaanmu–"

"–dan terimakasih kau sudah mempercepat prosesnya," aku mengatupkan rahang. Sekuat mungkin mencoba mencegah berbagai umpatan yang ingin menyembur keluar.

"Terimakasih kembali," ujarnya menyebalkan. Andai dia berada di hadapanku, akan kulemparkan apapun yang bisa kuraih ke muka menyebalkannya. Inilah kenapa aku sangat malas dengannya, dia mengesalkan! Selalu saja memutuskan segala sesuatu seenaknya. Aku baru ingat selain Naruto, Itachi adalah salah satu orang yang membuatku lebih ekspresif.

Aku memejamkan mata. Mencoba membuat diriku lebih tenang. "Kenapa kau lakukan itu?" tanyaku dengan ketenangan yang tak kuduga.

"Seperti yang kau katakan –mempercepat prosesnya. Aku cuma mencoba membantumu. Mempercepat rencanamu. Kau tak akan bergerak kalau tak dipaksa." Itachi menghela nafas –aku yakin itu. "Ibu merindukanmu. Aku tahu apa yang kau inginkan Sasuke. Dan kurasa yang kau lakukan sudah cukup. Kau sudah membuat banyak keonaran, cukup untuk persediaan sampai bertahun-tahun ke depan."

"Jangan ceramah, pak tua."

Di sebrang sana kudengar Itachi menggerutu pelan tentang aku yang belum tua dan sebaginya. Dia menghela nafas lagi –aku tak tahu dari mana aku tahu kalau dia sedang menghela nafas. "Ibu khawatir sekali," nada bicaranya yang melembut membuatku mendengus.

"Itu yang kuinginkan."

"Aku juga ingin kau cepat kembali, aku tahu kau merindukanku."

"Dalam mimpimu, pak tua!"

"Aku masih dua puluh lima tahun, Sasuke."

"Hn."

Itachi berdecak kesal. Bisa kubayangkan ekspresinya saat ini. "Lagipula itu balasan dariku karena kau menjadikanku kambinghitam dalam rencanamu."

Sudut-sudut bibirku tertarik ke atas membentuk lengkungan geli. "Aku tidak menjadikanmu kambing hitam, my big brother. Aku menjadikanmu alasan."

"Sama saja."

"Whatever," kataku acuh tak acuh seraya mengangkat bahu meski aku tahu ia tidak melihat gerakanku barusan.

"Yeah, my little brother."

"Hn."

"Sasuke?"

"Hn?"

"Kurasa cuma itu. Sampai jumpa. Ayah akan datang, sepertinya nanti malam."

"Hn." Dan setelah itu sambungan telepon terputus. Kembali kuletakkan ponselku sembarangan. Menuju kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan makanan serta bumbu-bumbu dari rak.

Aku tidak punya gambaran apa yang akan kumasak, meski begitu aku mulai mengupas kentang dan memotong-motongnya menjadi dadu. Mungkin kari? Mungkin omelette kentang? Mungkin sup? Selesai berurusan dengan kentang, aku beralih pada wortel lalu beberapa sayuran lain. Mungkin tumis juga bagus. Saat aku mulai memotong-motong bawang, aku mendengar ketukan di pintu.

Suigetsu, cuma itu orang yang terpikirkan, tomat sudah datang. Setelah mencuci tangan aku bergegas menyongsong si merah segar itu.

Tanpa banyak bicara kubuka pintu apato yang masih kukunci. Tapi itu bukan Suigetsu. Yang di depan pintu adalah … "dobe?" aku terkejut tapi empat detik kemudian aku dapat mengendalikan diri lagi.

Berbagai spekulasi serta pertanyaan berputaran di kepalaku, aku menerka-nerka apa yang dilakukannya di sini. Sebuah kegirangan bagkit dari dalam diriku. Bahkan hanya dengan melihatnya saja aku merasa … hangat? Huh, serius! Efek Naruto sungguh luar biasa bagi seorang Sasuke.

Naruto terlihat gelisah. Dia masih mengenakkan seragam sekolah lengkap. Jadi dia langsung datang kemari tanpa pulang lebih dulu? Aku mengamatinya, seperti biasa, Naruto terlihat menggoda dalam balutan seragam sekolah.

"Hai," ucapnya. Entah dia sadar atau tidak tapi kakinya bergerak gelisah. Apa ini berarti kehadiranku mempengaruhinya? Tapi pasti dia tidak merasakan pengaruh yang sama seperti kurasakan dari kehadirannya. Kehadiranku hanya membuat dia tidak nyaman?

Aku baru sadar bahwa aku tidak melepas pandanganku darinya. "Kenapa kau ada di sini?" tanyaku bingung sekaligus terkejut oleh kedatangannya yang tiba-tiba.

"Ini …" Naruto mengangkat kantong plastik berlogo minimarket di dekat sekolah. Dia mengangkatnya begitu tinggi hingga menutupi wajahnya.

Aku mengangkat alis. Dia membawakanku sesuatu, dia mengkhawatirkanku yang tidak masuk sekolah hari ini? Begitukah? Aku harap iya.

"Tadi aku bertemu Suigetsu. Ini titipanmu," kata Naruto yang langsung membuat harapanku sirna. Dia sedikit menurunkan kantong belanjaan itu, dan meliriku lewat bulu matanya yang lentik.

"Oh," gumamku singkat. Memasang wajah dingin terlatihku untuk menyembunyikan kekecewaan. Aku meraih kantong belanjaan yang ia sodorkan. "Mau masuk?" aku menawarkan, tidak semudah itu aku melepaskan kesempatan ini saat dia mendatangi sarangku. Mungkin kami bisa lebih dekat, kuharap.

Aku sudah membuat beberapa daftar alasan, bujukan –kalau perlu– paksaan supaya Naruto bersedia masuk. Sedetik lalu kupikir tidak akan ada yang lebih mengejutkan daripada Naruto yang tiba-tiba ada di depan pintu, tapi rupanya aku salah. Naruto mengangguk, tidak kusangka dia menyetujui tawaranku dengan mudahnya.

"Maaf, aku tidak bilang kalau aku akan kemari."

Aku hanya bergumam "hn," tidak jelas. Terlalu tekejut untuk memberi reaksi lebih. Aku bergeser ke samping, memberi Naruto celah untuk bisa masuk ke dalam.

Aku membiarkan Naruto melangkah masuk lebih dulu, menutup pintu dan setelahnya aku mendahului Naruto yang kelihatan bingung dan canggung. Tanpa perlu kuminta, Naruto mengikuti diriku. Dan mendudukan diri di kursi makan. Aku membiarkannya duduk nyaman –atau itulah yang kupikirkan–, sedang aku membawa kantong belanjaan berisi tomat untuk memasukkannya ke dalam kulkas. Pikiranku tidak fokus, beberapa kali tomat tergelincir jatuh dari tanganku. Apa yang harus kami bicarakan? Aku bukan orang yang menyenangkan untuk diajak ngobrol.

Kulirik Naruto sekilas. Dia memandangku tanpa beralih sedikitpun. Bisa kurasakan tatapannya pada punggungku selama aku memasukkan tomat-tomat yang sekarang tidak terlalu menggiurkan bila disandingakan dengan Naruto. Sudut-sudut bibirku tertaik ke atas saat menyadari bahwa ia masih saja memandangiku.

"Senang dengan apa yang kau lihat, dobe?" godaku seraya berdiri setelah rampung dengan urusan tomat-tomat.

Aku mencegah diriku sendiri untuk tidak tersenyum terlalu lebar karena Naruto memerah. Dia menundukan kepalanya, seakan ingin menyembunyikan diri. "U-huh," Naruto bergumam tidak jelas. Mungkinkah ini berarti kehadiranku sangat berpengaruh padanya?

Aku suka momen ini. Suka sekali melihat rona merah bersarang di pipinya yang kecoklatan. Dia tampak luar biasa. "Jadi apa yang dikatakan Suigetsu sampai kau kesini?" aku mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepalaku. Kurasa besok aku harus berterimakasih pada si gigi tajam –yang ternyata– baik hati tersebut, ya … kalau aku ingat.

Naruto menggigit bibir kemerahannya. Aku tahu dia tidak bermaksud menggodaku, namun tetap saja gerakan sederhana itu begitu mengundang. "Umm, dia bilang kau habis kecelakaan. Tapi kau kelihatan baik-baik saja," kata Naruto, mata birunya menelusuri diriku.

Aku tahu, dia tidak bermaksud melakukannya! Dia sama sekali tak bermaksud mengundangku untuk menerkamnya tapi apapun yang dia lakukan, gerakan sesederhana ataupun senormal apapun yang dilakukannya, di mataku selalu terlihat sensual. Mulutku terasa kering. Aku menginginkannya, sial!

Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan mendengus, berpura-pura kesal. Kulempar tuduhan padanya, "kau harap aku terluka parah?"

Matanya membulat. "Eh? Apa?" Naruto mengangkat wajahnya dengan refleks. Dia panik? "Bukan! Bukan begitu! Kenapa kau berpikir seperti itu?" Naruto menyangkal.

Aku mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum. Sudah adakah yang bilang padanya kalau kepanikkannya itu menggemaskan? Tunggu dia panik? Karena aku? Oh, sepertinya ini hari yang baik. Hari yang sangat baik.

"Lalu, kau mengkhawatirkanku?" kuharap Naruto tidak menyadari nada penuh harap dalam suaraku. Aku menunggunya menjawab, tapi dia tak kunjung buka mulut. Sebegitu sulitkah menjawab pertanyaan semacam tadi? "Kau mencemaskanku, dobe?" aku mendesaknya dengan pertanyaan yang sama.

Naruto menggigit bibirnya –lagi, tampaknya dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. "Ya," katanya pelan. Dia menunduk memandang tepian meja. Seolah memandangi tepian meja terkesan lebih menarik daripada memandangiku. "Aku mencemaskanmu." Suaranya begitu kecil nan lirih hingga nyaris tak terdengar.

Aku tersenyum –tentu saja. Lalu sebelum aku sadar sebuah tawa lepas begitu saja. Naruto mendongak dengan kecepatan yang bisa membuat kepalanya keseleo, ia menatapku. Mimik keterkejutan menari-nari di wajahnya sebelum ekspresinya berubah menjadi masam.

"Kenapa kau tertawa?" ketus sekali nada tanyanya.

Aku tidak mengerti kenapa Naruto tiba-tiba kesal. Memangnya aku tidak boleh tertawa? Dia tidak suka mendengar tawaku? Well, tapi keketusannya tidak akan merusak kesenanganku. Naruto baru saja mengatakan dia mengjkhawatirkanku, itu yang penting. Aku senang untuk suatu alasan yang tidak jelas. Aku tersenyum –berharap senyumku mampu mempesonanya. Dan tampaknya itu berhasil. "Terimakasih sudah mencemaskanku," ujarku menggunakan nada tertulus yang ku punya.

Untuk beberapa saat kami terdiam. Naruto tersipu sembari memandangku dengan mata birunya yang menarikku dalam pusaran pendambaan. Aku tidak bisa mengartikan arti tatapan matanya. Naruto tidak mudah dibaca, tidak seperti orang lain yang emosinya tergambar jelas di dalam mata. Naruto berbeda, matanya memang memancarkan emosi, tapi sulit ditebak apa itu tepatnya. Mata birunya begitu dalam. Kulihat sudut bibir Naruto berkedut, seolah dia menahan sesuatu. Mungkin dia ingin tertawa atas perkataanku. Aku pasti terlihat konyol saat ini, dan Naruto terlalu sopan untuk menertawai kekonyolanku. Tapi apa peduliku? Sudahkah kubilang bahwa aku tidak peduli? Aku tidak bisa tidak menjadi konyol bila di dekatnya.

Dengan berat hati aku memutuskan kontak mata dengan Naruto. Meraih gelas dan menuangkan air mineral ke dalamnya. Aku tidak punya sesuatu yang bagus untuk kusuguhkan –mengingat keuangan yang sedang sekarat. "Ini, cuma ada air putih." Kuletakkan gelas yang telah kuisi dengan air ke hadapan Naruto, kuharap –lagi– Naruto tidak berpikir aku ini orang yang pelit. Aku duduk di kursi terdekat yang masih memungkinkan ku untuk mengamati dirinya lekat-lekat.

"Tidak masalah," kata Naruto seraya meraih gelas dan meneguk isinya. Adam's apple-nya bergerak-gerak ketika ia menelan dan itu terlihat sexy. "Terimakasih," ucap Naruto menghentikan pikiranku yang mulai merangkai serentetan pujian.

Kami diam lagi. Aku tidak tahu pembicaraan macam apa yang harus kukataan. Lelucon? Aku tidak pandai melucu. Kepalaku mencari topik untuk dibicarakan, tapi aku tidak menemukannya. Dan aku jadi sadar bahwa aku tidak terlalu mengenalnya. Diam-diam aku menghela nafas. Kulirik Naruto yang seperti cacing kepanasan. Dia bergerak gelisah di tempat duduknya. Barangkali Naruto merasa tidak nyaman di dekatku, ini bukan yang pertama kali.

"Um … jadi … kecelakaan yang kau alami itu … seperti apa?" Naruto bertanya, terkesan ragu-ragu untuk bertanya. Tapi aku bersyukur dia memecah keheningan di antara kami.

"Bukan kecelakaan besar," jawabku sambil lalu. Aku menopang dagu, menatap langsung ke mata birunya yang hangat dan dalam. Aku suka matanya. "Cuma meninggalkan beberapa goresan kecil di tubuh," tambahku menginsyafi jawabku sebelumnya yang terlalu pendek.

"Oh, begitu ya …" lirih Naruto. Dia terlihat bertambah tidak nyaman. Salah apa aku?

Aku tersenyum kecut. "Hn. Cuma lecet di siku, lutut, dan punggung. Kepalaku tidak apa-apa karena memakai helm," jelasku tanpa di minta, mencoba mengabaikan fakta ketidak nyamanan Naruto. Aku menarik tanganku, baru sadar bahwa aku melarikan jemariku di sekitar siku yang kutempeli plester.

"Memangnya kau naik apa?"

"Motor. Ban motorku selip."

Untuk alasan yang lagi-lagi tidak jelas aku merasa senang. Kuanggap Naruto berusaha membuka pembicaraan di antara kami. Aku suka dia bertanya, meski sebenarnya aku benci mengungkit-ungkit kekalahanku.

Naruto memberi anggukan paham. Dia terdiam beberapa detik sebelum kembali bertanya, "lukamu tidak parahkan? Kenapa tidak masuk hari ini?" selalu ada keraguan dalam suaranya seolah aku akan menggigitnya jika dia salah bertanya. Well, itu mungkin saja, tapi tidak sekarang, belum saatnya.

Menghembuskan nafas, aku menghalau pikiran-pikiran yang menjerus pada seks dan berkonsentrasi hanya pada pertanyaannya tapi Naruto tidak membantu, dia malah menggigit bibirnya lagi. Tidak tahukah dia bahwa aku juga ingin sekali menggigit bibir itu.

"… aku hanya malas," ujarku setelah sadar telah membuat jeda yang cukup lama. "Kau merindukanku eh? Dobe?" godaku seraya menyunggingkan senyum miring.

Matanya membulat, respon yang lucu saat dia terkejut. "A-apa?" beberapa saat kemudian Naruto mengerutkan dahi. Seperti ada kebingungan yang berlangsung dari dalam dirinya. Dia sungguh menggemaskan. Saat kedua alisnya bersatu, mata birunya dipenuhi berbagai emosi, bibirnya yang agak mengerucut dan … rasionalitasku hilang.

Tubuhku otomatis berdiri. Yang tersuguh di depanku terlalu menggoda., terlalu tidak dapat diabaikan, terlalu mengundang. Suara kursi yang tergeser saat aku berdiri menimbulkan bunyi srekk yang lumayan nyaring.

Aku tidak bermaksud menakut-nakutinya. Selama ini tidak pernah aku bermaksud begitu. Tapi kontrol atas diriku jadi labil semenjak aku bertemu dengan si kuning ini. Aku duduk diatas meja, mencondongkan tubuh dekat kearahnya. Memenuhi undangan yang tentunya tidak ia sengaja. "Kau merindukanku kan?" tanyaku menatap lekat matanya, mencoba menarik seluruh fokusnya agar hanya terarah padaku.

Kuraih dagu Naruto, mengangkatnya, bersorak dalam hati karena ia tidak membrontak. Kudekatkan wajahku pada makhluk bersurai pirang ini. Hidungku menyentuh hidungnya. Dia terkesiap, atau kami sama-sama terkesiap ketika hebus nafas membelai pipi. Dari jarak sedekat ini bisa kucium aroma tubuhnya yang menggilakan indraku.

"Sasuke …," dia menyebut namaku. Terdengar begitu berbeda, begitu indah saat bibirnyalah yang mengucapkan.

Aku meraup Naruto. Merasakan kehangatan bibirnya dengan bibirku. Dia lembut, kenyal dan hangat. Aku tidak memainkan lidah ataupun menuntut balasan darinya. Hanya mengecup, mengecup dan mengecupnya berulang-ulang. Aku sangat menikmati setiap kali bibirku menubruk bibirnya dan menghasilkan getaran pada tiap inci tubuhku. Ini tidak pernah terjadi jika kulakukan pada orang lain.

Satu kecupan lagi yang lebih dalam sebelum kuakhiri ini dengan amat sangat terpaksa. Aku harus berhenti sekarang sebelum rasionalitasku mencair sepenuhnya. Kehangatan Naruto terlalu luar biasa.

"Makan malamlah di sini! Aku tidak menerima penolakan," kataku ketika melihat Naruto ragu-ragu. Seperti biasa dia akan menolak dan kali ini tak akan kubiarkan. Setelah kuberi dia tatapan tajam akhirnya dia mengagguk dengan enggan. "Good boy," pujiku suka akan kepasrahan Naruto.

Aku beranjak menuju dapur, meneruskan pekerjaan yang tertunda oleh kedatangan Naruto.

"Perlu bantuan?" suara Naruto begitu pelan saat dia menawarkan diri. Aku ingin tahu, bisakah ia berhenti merasa takut untuk mengutarakan pikirannya padaku?

"Tidak perlu," aku menolak. Memasak bersama memang menyenangkan. Tapi aku ingin sesekali membuat Naruto terkesan. Mungkin aku bisa merebut hatinya lewat perutanya. Bukan begitu? "Sebelum kau datang sebenarnya aku sedang memasak," tambahku yang entah untuk apa kuberi tahu ia informasi ini.

Di belakangku Naruto sepetinya bergumam, "oh …" lirih.

.

.

.

"Kenapa diam? Makanlah, dobe!" aku mengamati Naruto sedari tadi hanya menatap curiga pada piring-piring penuh makanan yang kusodorkan padanya. Dikiranya aku menaruh racun atau obat perangsang apa? "Ini tidak beracun," jaminku.

Naruto perlahan meraih sumpit. "Ba-baik. Selamat makan," kata Naruto terbata-bata. Lucunya!

"Selamat makan."

Aku tidak mampu menjabarkan perasaanku kali ini. Terasa begitu hangat dan hidup. Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa hanya melihat seseorang memakan masakan buatanku dengan lahap mampu membuatku merasa begitu bahagia. Mungkin karena seseorang itu adalah Naruto.

Bolehkah aku berharap lagi? Bagaimanapun aku tidak bisa merasa tidak percaya diri. Aku merasa optimis karena menyadari Naruto sesekali mencuri pandang padaku.

Ketenangan ini membuatku nyaman, tapi aku tak yakin hal ini berlaku sama bagi seseorang berisik seperti Naruto. Aku mengunyah makanan dalam diam sedang otakku mencari-cari pembicaraan. Tetapi, pada dasarnya aku memang bukan orang yang banyak bicara maka aku tidak pandai mencari suatu hal yang patut diperbincangkan. Ya, terimakasih untuk keluarga Uchiha atas didikannya yang membentuk generasi-generasi pendiam irit kata.

Mengalihkan pandanganku dari mangkuk nasi, kulihat senyum kecut di bibir Naruto sedang matanya tidak fokus, pikirannya tidak di sini. "Kenapa? Kau tidak suka makanannya?" tanyaku heran. Sedetik lalu kulihat dia makan dengan lahap.

Naruto menggeleng pelan. "Tidak, ini enak. Sungguh …." seolah ingin meyakinkan ia kembali memasukkan makanan ke mulutnya.

"Kau melamun," tuduhku seraya meletakkan sumpit. Rasa laparku tergantikan oleh rasa ingin tahu atas hal yang memenuhi pikiran Naruto. Kutatap mata birunya, mencari jawaban di sana. Tapi, seperti biasa matanya terlalu dalam, menyimpan sejuta makna. Uh … bagus sekarang aku jadi puitis, eh?

"Maaf."

Cih, dia malah minta maaf. Memangnya dia pikir dia berbuat salah apa? Jangan-jangan dia memikirkan orang lain saat bersamaku. Oh, great! Sekarang aku malah cemburu. "Katakan! Apa yang kau lamunkan?" tanyaku sehalus mungkin, berusaha menyembunyikan nada kecemburuan.

"A–"

Tokk…

Tokk…

Tok… Tok… Tokk…

Perkataan Naruto terpotong oleh gedoran tidak sabaran di pintu. Kuduga yang datang adalah Uchiha Fugaku, ayahku. Tidak sadarkah ia kalau apartement ini sangat bobrok dan rapuh? Seharusnya dia bisa bertingkah sedikit lebih lembut pada pintu apartement sewaanku yang jelas tidak sekuat pintu kediamannya.

Aku menghela nafas. Benar, bagus sekali. Suasana baikku dengan Naruto hancur sudah. Padahal kupikir kami baru akan mulai sesi pembicaraan dari hati ke hati.

Aku segara bangkit, setenang dan secepat yang kubisa segera beranjak membukakan pintu sekaligus menyelamatkan pintu apato yang rapuh. Kasihan dia jika harus dipukuli terus-terusan oleh ayahku.

Begitu pintu terbuka mata kami bertemu. Hitam bertemu hitam. Kututup pintu di belakang. Sedikitpun tidak berniat mempersilahkan ayahku masuk. Bisa gawat jika dia melihat Naruto sekarang, segalanya akan berantakan. Sebelum aku mendapat kesepakatan dari ayahku –juga ibuku, maka tidak satupun dari mereka yang boleh melihat Naruto sekarang. Biarlah Naruto meneruskan makannya dan kutangani pria keras kepala satu ini. Yeah, Naruto, aku sedang berusaha untuk kelangsungan hubungan kita. Terimakasih untuk Naruto yang membuatku jadi segila ini.

"Ayah," sapaku dengan ketenangan luar biasa.

Untuk beberapa saat yang terasa lama. Kami hanya saling memandang. Mempertemukan iris gelap kami, saling membaca emosi masing-masing. Uchiha Fugaku memang terkenal dengan ekspresi datarnya, namun jika kau menatap ke dalam matanya maka kau akan menemukan perasaan terdalamnya. Di mata hitamnya kini menggambarkan secercah kerinduan, kekecewaan namun lebih banyak kekesalan padaku. Untuk meraih suatu tujuan pengorbanan memang di perlukan, dan sedikit kekecewaan yang tumbuh dalam hati ayahku bukanlah apa-apa. Mungkin memang benar, aku ini bukan anak yang baik. Namun, kekecewaan yang hadir dalam diri ayah akibat ulahku setidaknya itu akan membuat ayahku mengerti, memahami apa yang seharusnya bisa kulakukan dan dia akan menyadari betapa pentingnya diriku. Kerinduannya akan membuat dia sadar bahwa aku adalah salah satu aset penting Uchiha yang tidak seharusnya ia lepaskan begitu saja.

Aku bersandar di sebelah pintu, dengan sabar menunggu ayahku memulai percakapan terlebih dahulu.

Uchiha Fugaku berdehem penuh wibawa. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?" pertanyaan yang tepat sekali untuk memulai suatu pembicaraan, bahkan sedikitpun ia tidak berbasa-basi, inilah yang namanya to the point. Seperti menjadi tanda ke-Uchiha-an, bahwa mereka –keturunan Uchiha– yang berkualitas itu singkat, padat dan jelas.

Aku mengangkat bahu, acuh tak acuh. Memangnya apa yang kulakukan di tempat ini? Akan terdengar konyol jika kujawab dengan jujur : memperjuangkan cinta. Ya, silahkan tertawa.

"Bisakah kau tidak membuat kepalaku pusing? Bahkan kakakmu saja tidak pernah membuatku sepusing ini."

"Ayah mulai lagi," ujarku dengan ketenangan tak terduga. Fugaku Uchiha memincingkan matanya, seakan memberi tatapan bermakna apa-maksud-mu-anak-bandel-ku. Aku menghela nafas secara dramatis. "Ayah selalu membandingkanku dengan Itachi," kuangkat tema favoritku akhir-akhir ini. Tema ini selalu tidak lepas dari perbincangan ayah-anak di antara kami.

"Dia contoh yang baik. Tidak bisakah kau menjadikannya teldanmu, dia kakakmu," nadanya datar namun tak mampu menyembunyikan campuran emosi di dalamnya.

"Apa ayah bermaksud menciptakan Itachi kedua? Aku adalah aku, bukan fotokopian siapapun." Aku mampu mengendalikan ketenangan dalam suaraku. Mencoba tidak menyeringai konyol saat membawa-bawa nama Itachi. Mungkin saat ini kakakku sedang bersin-bersin karena kami perbincangkan.

"Aku tidak bermaksud seperti itu," sangkalnya. Dia melipat tangan dan menatapku penuh tuntutan.

"Tapi ayah melakukannya."

"Apa masalahmu dengan Itachi?"

Tidak ada. "Aku muak dibanding-bandingkan dengan dia. Tidak bisakah ayah melihatku sebagai aku dan berhenti memaksaku menjadi Itachi yang kedua?" tak kusangka aku dapat seterkontrol ini, menghadapi ayahku jauh lebih mudah daripada menghadapi Naruto.

"Berhentilah mengoceh tentang Itachi. Kau juga punya kewajibanmu sebagai penerus Uchiha yang kedua."

"Aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan Itachi." Bohong! Sebenarnya aku tidak ada masalah dengan hal itu. Nyatanya aku tidak merasa terganggu atau iri sedikitpun pada kakakku. Hubungan kami baik-baik saja, meski terkadang kami saling adu mulut dan saling mengerjai, tapi bukankah itu yang namanya saudara? Bertengkar lalu besoknya berbaikan seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sudah cukup Sasuke! Pulanglah dan lakukan tugasmu selayaknya penerus Uchiha."

Aku benci jika ayahku mulai menggunakan nada memerintah seperti itu. Aku tidak membenci pekerjaan sebagai penerus Uchiha tapi aku tidak suka di perintah-perintah begitu, seakan-akan aku ini tidak punya keinginan sendiri. Semakin diperintah dan semakin diingatkan hanya membuatku semakin enggan untuk melakukan suatu hal.

"Kau sudah menemukan tempat tinggalku kan? Sekarang kau bisa pulang," ujarku mulai kesal jika ia memerintah-memerintah. Aku menatap tajam ayahku yang balas menatap tajam padaku.

"Rupanya tinggal sendiri semakin membuatmu urakan," tuturnya yang tidak sepenuhnya salah.

"Hn," aku bergumam singkat, secara tersirat setuju atas ucapannya meski aku masih sangat kesal dengan tekanan-tekanan yang dia berikan.

"Kau bahkan tidak mempersilahkanku masuk. Dimana rasa hormatmu pada orang tua?"

Serius? Dia mempertanyakan rasa hormat? Yang bahkan bila diingat-ingat dia selalu menyuruhku ini itu tanpa memperetanyakan kemauanku. "Tanyakan dulu dimana rasa pengertianmu pada anakmu," ucapku mulai kehilangan kontrol. Kekesalan itu membludak. Sebenarnya tidak sepenuhnya apa yang kulakukan demi Naruto, jujur sebenarnya ini sepenuhnya demi diriku sendiri. Aku ingin menegaskan pada ayahku, bahwa aku ini penting dan dia akan menyadari betapa pentingnya diriku jika aku tidak di sisinya, tidak membantunya mengurus perusahaan yang beranak pinak. Aku ingin dia tahu arti diriku baik sebagi anak maupun sebagai patner kerja. Aku ingin membuktikan padanya, bahwa aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Dan aku ingin dia tidak mempersulit keinginanku yang cukup mencenangkan nantinya. Keinginan yang menyangkut Naruto.

Kegeraman, kekesalan, amarah bercampur aduk dalam mata hitam ayahku. Aku yakin sekuat tenaga dia mencoba tidak berteriak dengan sangat tidak Uchiha –senang membayangkannya. "Anak tidak tahu sopan santun! Aku kemari ingin menyuruhmu pulang, ayo pulang dan tinggalkan tempat bobrok ini. Apa yang sebenarnya kau kejar, Sasuke?"

"Kebebasan dari penjaramu," kataku santai. Kekesalanku barusan lenyap. Entah kenapa melihat ayahku marah-marah menjadi kesenangan tersendiri. Ya, dengan begini setidaknya dia jauh lebih hidup, maksudku lebih ekspresif.

Wajah pucat pemimpin Uchiha memerah menahan kegeraman. Apa kubilang dia jauh lebih ekspresifkan?! "K-KAU!" Ayahku memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri. "Kau ini … benar-benar! Kemasi barangmu dan pulanglah," dia menghela nafas dan menggunakan nada membujuk terbaiknya. "Mikoto. Ibumu mencemaskanmu."

Ya, memang seharusnya begitu. Begitulah yang ingin kukatakan. Tapi tidak boleh kuperlihatkan dengan jelas keinginanku untuk dikhawatirkan. "Suruh saja ibu berkunjung kemari. Aku tidak ingin pulang."

Ayahku memelototiku. Tampaknya dia sudah ada di ambang batas kesabarannya. Benar saja sedetik kemudian dia berteriak dengan geram, "kubilang pulang! KEMASI BARANG-BARANGMU!" ia menggunakan nada memerintahnya yang paling kubenci. Bukan seperti itu caranya membujukku kembali. Seharusnya dia mengatakan 'kembalilah, Sasuke. Aku akan menuruti tuntutanmu jika kau pulang,' atau sesuatu yang semacam itu.

Kukunci rahangku rapat-rapat. Berusaha tidak terlalu dikendalikan emosi ketidak sukaanku. Tapi aku gagal. "Pulang untuk menjadi bonekamu begitu?" tanyaku jujur. Tapi untuk tujuanku buru-buru kutambahi, "lalu sekeras apapun aku berusaha kau tetap akan membanding-bandingkan aku dengan anak pertamamu yang tanpa celah itu kan?" tanyaku dengan kekesalan palsu –kali ini– maaf Itachi seperti katamu, aku menjadikanmu kambinghitam –ralat! Aku lebih suka menyebutnya alasan.

Mata ayahku berkilat penuh amarah. Dalam detik yang berlalu cepat tangannya terangkat, diayunkan sekuat tenaga menuju pipiku.

PLAKKK

Aww … Dia menamparku sekuat tenaga hingga kepalaku miring ke samping. Cih, hebat juga tamparannya, tidak kusangaka tenaganya begitu kuat untuk orang yang kesehariannya hanya memegang berkas-berkas.

"Anak pembangkang sepertimu mungkin memang lebih baik tidak ada di keluarga Uchiha," ayah berkata dengan dingin. Meski begitu di matanya aku tahu ada penyesalan karena telah menamparku. Aku tidak berkata apapun. Aku tahu, aku memang pembangkang. Aku hanya ingin membuatnya sadar bahwa aku itu penting! Dan aku ingin ayahku menuruti satu permintaanku yang nanti bisa membuatnya –semoga saja tidak– terkena serangan jantung. "Kau anak tidak berguna," tambahnya sebelum berbalik menjauh. Sekilas kutangkap tangannya yang gemetaran. Mungkin dia shock karena sudah menamparku. Ah, aku percaya diri sekali.

Dia mungkin menyesal, dan penyesalan adalah bumbu terakhir yang kubutuhkan. Lusa atau beberapa hari ke depan aku yakin dia akan datang padaku membawa kesepakatan. Dia akan menyadari kepentinganku, dan menuruti apa mauku. Maaf saja, maafkan anakmu yang sedang jatuh cinta ini ayah. Kuharap ayahku ingat apa yang kukatakan malam itu; bahwa aku akan menurut jika ia menuruti keinginanku. Barangkali dikiranya aku ingin meminta agar diizinkan tidak mengurusi perusahaan-perusahaan Uchiha lagi padahal yang kuinginkan jauh lebih mencenangkan daripada itu.

Aku rasa ayah kemari karena dia mulai kekurangan satu tenaga terampil yang mengurusi perusahaannya. Walaupun aku masih bersekolah tapi sering kali aku ikut campur tangan dalam urusan perusahan. Dan soal dibanding-bandingkan dengan Itachi itu memang benar, tapi hal seperti itu sejujurnya sama sekali tak mengusikku, aku hanya mengangkatnya kepermukaan untuk memperkuat alasan pemberontakkan ini.

Aku mengelus bekas tamparan ayahku. Lumayan sakit. Pasti terlihat konyol dan Naruto akan bertanya-tanya –kedengarannya menyenangkan, mendapat simpatinya.

Berbalik, kubuka pintu …

"Akh …" Seseorang memekik dan jatuh kebelakang. Terduduk di lantai. Aku mengeryit heran apa yang dilakukan Naruto? Menguping?

"Na-Naruto …" lucunya, dia tersipu malu karena tertangkap basah sudah menguping. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku mengabaikan fakta dia menguping. Melihat wajah memerahnya menyapu semua kesan tidak mengenakkan dari perbincangan ayah-anak. Aku bahkan tidak bisa merasa marah pada Naruto yang menunduk dan terlihat sangat menggemaskan.

Naruto mengangkat wajahnya perlahan. "Maafkan aku, aku tida–" kata-katanya terhenti.

'Kau tidak apa dobe? Apa yang kau lakukan?" tanyaku seraya mengambil posisi untuk mensejajarkan diri dengannya. Aku tidak mau dia takut pada calon mertuanya. Aku ingin meyakinkannya hal semacam tadi jarang terjadi tapi aku tidak ingin berbohong pada Naruto. Naruto masih diam, dia menatapku dalam ketenangan yang tidak biasa.

Greepp

"Dobe?" Penuh kejutan! Hari ini penuh kejutan! Naruto memelukku? Naruto …. Memelukku? Dia dahulu yang memelukku? Otakku kehilangan kemampuan kerjanya, memproses adegan ini dengan sangat lamban.

Kehangatan dari tubuh Naruto mengalir. Tangannya merengkuh tubuhku. Aku masih terlalu terkejut untuk memberi respon apapun. Dimana si pintar Uchiha Sasuke? Di sisi dobe satu ini otakku menumpul. Kenapa dia memelukku? Merasa simpati? Atau takut pada calon mertuanya? Mulutku terasa kering saat tubuh Naruto begini dekat dan aromanya memenuhi indra penciumanku. Kesadaranku kembali, keterkejutanku berganti menjadi pendambaan, aromanya menggerakkan gairahku dengan mudahnya. Aku membalas pelukkannya, meraih kehangatan tubuh Naruto sebanyak mungkin.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Entah hanya khayalanku atau memang kenyataan, suara Naruto penuh perhatian.

Kuletakkan kepalaku di perpotongan lehernya, menyamankan diriku sambil menghirup aromanya. "Aku baik-baik saja," ucapku berusaha sedatar mungkin. Semoga suaraku tidak parau dan menunjukkan gairah yang mulai bangkit kepermukaan. Aku tidak ingin menghancurkan momen ini dengan menerkamnya.

"Sungguh?" tanya Naruto masih belum melepaskan pelukannya atau aku yang tidak melepas pelukan? Ini terlalu nyaman.

Aku memberinya anggukan. "Yang seperti tadi sudah biasa," kataku mencoba memberi tahu dia bahwa hal semacam tadi bukan apa-apa bagiku. Aku sudah terbiasa, aku bahkan sedikit banyak mendapat hiburan dari ayahku yang menjadi lebih berekspresi. Naruto tidak perlu takut, akan kupastikan ayahku akan menerimanya nanti. Oke, sekarang aku bicara seakan Naruto sudah setuju saja. Well, tapi Naruto memang harus setuju. Akan kulakukan apapun agar Naruto setuju.

Kuangkat kepalaku, tapi belum kulepas rengkuhanku pada tubuh hangatnya. Aku ingin melihat ekpresinya saat ini. Naruto mengeryitkan dahi, alisnya nyaris menyatu dengan wajah bingung atau mungkin kekhawatiran? Aku tidak terlalu pandai membaca ekspresi Naruto.

Naruto beringsut menjauh, melepas pelukannya dan membuatku diam-diam mendesah kecewa. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipiku yang pasti tertera bekas tamparan. "Apa ini sakit?" tanyanya. Kepeduliannya membuatku ingin menari saat ini juga, tapi nyatanya aku hanya mematung terlalu takjub atas momen ini.

Kuresapi setiap belaian tangan hangat yang menyentuh pipiku. Menghapus rasa sakit di sana, mengirimkan getaran yang turun ke jantungku da n… selangkanganku! Brengsek! Ini cuma sentuhan ringan di pipi. Aku tidak boleh lepas kendali saat ini. Kenapa aku begitu mudah terangsang hanya oleh sentuhan kecil seperti ini? Aku pikir aku mulai tidak normal –lupakan fakta aku mencintai lelaki itu abnormal– karena selalu berpikir apapun tindakan Naruto itu sensual dan menggoda! Tapi, aku tidak merasakan ini dengan yang lainnya. Tidak dengan perempuan manapun, apalagi dengan lelaki manapun. Naruto adalah pengecualian dalam aturan-aturan hidupku.

Aku mengalihkan konsentrasiku. Mengabaikan letupan-letupan gairah yang membeludak. Aku tertawa tapi terdengar begitu aneh, menyerupai kekehan serak. "Ini tidak sakit," kataku separuh jujur. Kuraih tangan Naruto yang masih saja menyentuh di pipiku seolah berencana membuatku gila akan pendambaan, keingin menyerbunya sekarang juga. Kukecup tangannya, singkat sambil memejamkan mata untuk menenangkan gairah yang terbakar oleh sentuhan lembut nan penuh perhatian darinya. Ini hari yang indah, meski ada beberapa ketidak nyamanan.

"Hei, dobe … terimakasih," ujarku tulus teringat bahwa ini tidak akan menjadi hari yang baik tanpanya. Naruto memberiku banyak kejutan dalam beberapa jam belakangan. Perhatiannya, sesuatu yang sangat kuinginkan.

Naruto memandangku dengan mimik bingung. "Untuk apa?"

"Untuk hari ini dan untuk semuanya. Aku sangat senang."

Mataku membulat ketika dalam hitungan detik yang bagaikan kilat Naruto menyambar bibirku. Menekankan bibir lembutnya kepermukaan bibirku. Mimpi apa aku semalam? Setelah mulai memelukku sekarang Naruto menciumku?! Mata Naruto terpejam erat sedang bibirnya mencubit bibirku. Hangat. Selalu seperti itu. Dan jantungkupun mengambil perannya dengan baik, berdetak tidak karuan.

Aku ikut memejamkan mata, menggerakkan bibir, membalas ciumannya dengan lumatan-lumatan di bibir kenyalnya. Memiringkan kepala, mencari posisi yang lebih nyaman untuk ciuman ini. Aku mencoba berpegang teguh pada rasionalitasku yang mulai berhamburan. Kontrol diriku melemah ketika gairah menjebol pertahananku dan ingin segera membanting Naruto ke futon, melucuti semua pakaiannya, menyusuri tubuh telanjangnya dengan lidahku, merasakan kehangatannya tanpa terhalang sehelai benangpun, memasuki dirinya … Shit! 'Aku' yang di bawah sana berdenyut.

Masa bodohlah! Ini terlalu memabukkan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencumbunya. Kapan lagi kesempatan seperti ini akan datang? Dia mengundangku, memulai penyerangan terlebih dahulu. Kenyataan ini memberi sensasi kehangatan pada tiap inci tubuhku, seakaan perutku dipenuhi ribuan kupu-kupu dengan sayap mengepak-ngepak dan tiba-tiba muncul begitu saja entah dari mana asalnya.

Aku memainkan lidah di atas bibir Naruto yang terasa lembut, kenyal dan basah. Semakin bersemangat saat ia menyambutku dengan mengalungkan tangan di sekitar leherku. Aku memperdalam ciuman ini. Penerimaannya bagaikan mimpi. Naruto menyambut setiap ciumanku, dia bahkan balas menciumku.

Nafas kami mulai memburu bersamaan dengan ciuman yang semakin dalam, panas dan basah. Oksigen semakin menipis, dentuman pada jantungku serta kelembutan bibirnya mengirim sensasi luar biasa yang tidak mampu kujabarkan. Aku menarik tubuh Naruto, memperkecil jarak kami hingga tubuh kami saling bersentuhan satu sama lain. Sayang sekali ada kain yang membungkus tubuh ini sehingga menghalangi kulitku dengan kulitnya bersentuhan.

Aku sangat ingin menyingkirkan kain-kain ini lalu merasakan kulitnya menyentuh kulitku! Masih sambil melumat bibirnya aku mengangkat Naruto, membawanya menuju tempat yang jauh lebih layak daripada lantai kotor. Aku ingin menelusuri setiap inci tubuhnya, menemukan titik-titik rahasianya. Membuatnya mengerang dan mendesah gila-gilaan.

Aku mendudukkannya di pangkuanku, menekan tengkuknya dan menempelkan bibir kami. Lebih dalam, jauh lebih dalam. Tanpa kebosanan bibir kami terus-terusan bertubrukan. Bersentuhan, mempelajari tekstur satu sama lain.

Naruto mulai mendorong-dorong bahuku. "Engh … mmph …."

Kebutuhan oksigen mengharuskanku dengan enggan mengakhiri ciuman ini. Aku melepas bibirnya dengan berat hati. "Hahh … hmm …." aku menenangkan paru-paruku yang menarik oksigen sebanyak mungkin.

"Haah… hosh… hosh… hosh…" Kulihat Naruto juga kepayahan, nafasnya memburu, ia menghirup udara bahkan lebih rakus daripada diriku.

Kupikir beberapa detik sudah cukup. Bibir Naruto yang membengkak tidak patut diabaikan begitu saja. Bibir itu seakan meneriakkan mendekatlah! Mendekatlah! Minta diraup, dihisap tanpa ampun. Kutarik lengan Naruto dan kembali meraup bibirnya yang masih basah. Hangat –tentu saja. Kusapukan lidahku di permukaan bibirnya, meminta izin masuk. Segera ketika mendapat celah aku langsung melesakkan lidah ke dalam sana, mengeksploitasi rongga bagian dalam mulutnya. Mengecap rasanya, menghitung deretan giginya, menyentuh langit-langit mulutnya yang membuat dia mengerang kegelian. Lidahku menyentuh lidahnya. Lidah kami menari, dalam tarian basah berlumur saliva.

Kemudian jalinan benang dari saliva terbentuk ketika kulepas pangutan bibir kami. Aku beralih dari bibir ke leher jenjangnya.

"Ah…" suara Naruto yang indah lolos saat lidahku menginfasi kulit lehernya. Aku sangat-sangat berniat meninggalkan bukti kepemilikan di sini, di lehernya. Jadi tanpa segan kujilat, kugigit, dan kuhisap keras kulit leher Naruto. "Uhm… ah… Sasuke…" Betapa indah suaranya saat memanggil namaku.

Naruto mendongakkan kepala, seolah memberi akses lebih untukku menjelajahi lehernya. Aku semakin turun, menciumi lehernya lalu dadanya. Dan sengaja mencium putingnya dari balik seragam sekolah. tanganku ikut andil, bergabung memainkan puting Naruto yang satunya, mencubitinya, mengeseknya hingga mengeras sempurna. Naruto di bawahku menggeliat, mungkin karena geli, tidak nyaman atau nikmat … atau malah ketiga-tiganya?

"Ukh… Sassuke…"

Pemandangan ini sangat eksotis. Naruto yang memejamkan mata dan menggigit bibir bengkaknya yang sungguh-luar-biasa-sexy. Tanganku membelai dadanya sedang mulutku masih saja mengulum putingnya yang tersembunyi di balik seragam sekolah. Ada kesenangan tersendiri melihat seragam sekolahnya basah, menunjukkan daerah dengan puting mengeras yang baru saja kuhisap.

"Enh…" Naruto memejamkan mata dalam ekpresi tidak terbaca. "Nnh~ Sasuke…" ia mendesah keras.

Shit! Sebelum kewarasanku memudar lagi … aku mengumpat. Merutuki diriku yang kelewatan menyentuhnya. Aku berdiri secepat yang kubisa menjauhi canduku sebelum aku kembali hilang kewarasan.

Sial! Sial! Sial! Apa yang kulakukan? Memaksanya? Memperkosanya? Menyentuhnya? Berbagai ingatan tentang penolakannya membanjiri kepalaku. Aku pasti membuat Naruto semakin tidak menyukaiku padahal hari ini kami sudah lebih dekat. Berkali-kali aku merutuki diriku, sekali lagi, untuk yang kesekian kali aku kembali kelepasan diri. Siapa yang harus kusalahkan? Diriku yang gampang terangsang atau dia yang terlalu mengairahkan? Sialan!

Lihat akibat ulahku! Naruto menatapku lurus dengan mata birunya. Tentu saja dia tidak suka kan? Lihat! Aku membuatnya kesal lagi. Brengsek kau Uchiha Sasuke! Apa itu? apa arti mimik yang ia perlihatkan? Dia marah? Tidak suka? Takut? Benci? Ckk! Apa yang barusan kulakukan?! Sekali lagi aku melanggar batas, padahal jelas aku tahu selama ini ia selalu memberontak ketika kusentuh. Tapi aku tidak bisa menahan diri, selalu begitu jika menyangkut dirinya. Apalagi tadi dialah yang memulai sentuhan.

"Sasuke? A-ada apa?" tanyanya menarik kesadaranku dari acara marah-marah pada diri sendiri.

Aku mengalihkan pandangan. Melihat apapun asal tidak pada Naruto. Aku tidak ingin melihat ketidak sukaan serta penolakkan yang mungkin saja saat ini tercetak jelas di wajah menawannya. "Sebaiknya kuantar kau pulang. Besok kita masih harus ke sekolah," kataku dengan nada kasar nan parau yang tak mampu kusembunyikan.

Bagaimanapun aku kesal, uring-uringan karena gairah yang tak tersalurkan dan amarah pada diri sendiri yang terus mengulang kesalahan, menyentuhnya tanpa izin. Ini bukan yang pertama, ini hanya adegan yang sudah kuulang puluhan kali tanpa mampu kuinsyafi. Aku tak bisa belajar dari kesalahan, yang kulakukan hanya membuatnya semakin tidak menyukaiku. Pasti begitu.

"Sialan!" makiku lirih.

"Kenapa?" tanya Naruto pelan.

Aku berbalik menyadari kegetiran dalam suaranya. "Apanya yang kenapa?" aku tidak bermaksud marah-marah padanya. Aku tidak kesal padanya, aku hanya benci pada diriku yang kehilangan kontrol dan menyentuhnya padahal ia tidak suka. Apa bedanya aku dengan pemerkosa? Sialnya, ini sudah kulakukan berkali-kali. Paksaan, aku coba menghindari melakukan hal semacam itu pada Naruto tapi sulit ketika pikiran jernihku menghilang, berhamburan. "Akan kuantar kau pulang."

Aku mengatupkan rahang, mengepalkan tangan mencoba menghalau pendambaan yang sesegera mungkin ingin merasakan tubuh Naruto yang dua … salah! Tiga atau empat kali lipat lebih menggoda daripada biasanya. Dengan bibir membengkak, nipple tercetak di seragamnya yang basah, bisa kulihat tempat dimana tadi aku menghis –Hentikan! Seruku pada diri sendiri, mempertahankan kewarasan. Efek Naruto terlalu hebat.

"Lagi? Dicampakkan saat seperti ini?" perkataan lirih Naruto menarik perhatianku. Ia menunduk, perlahan mulai mendongakkan kepala dan menatap lurus ke mataku.

Aku terlekejut melihat ekpressi terluka ada di wajahnya. Aku melukainya? Benarkan, seperti yang kuduga aku membuatnya tidak suka. Tapi, tadi dia berkata apa? Oh, bagus, otakku benar-benar membeku. Tangan Naruto terkepal, sebuah percikan kemarahan bermain di mata birunya. Aku terpaku, hanya mampu menatapnya seperti orang bisu yang tolol.

Lanjut Naruto, tahu bahwa aku terlalu lembat merespon. "Apa aku begitu memuakkan bagimu? Apa maumu, huh?! Apa ini karena aku tidak berpengalaman? Apa karena aku tidak sehebat orang-orang yang pernah kau tiduri?" Naruto menyemburkan sederet pertanyaan yang membuatku mengeluarkan 'hah?' pelan. Otakku yang membeku kehilangan kecepatannya dalam memberi sebuah reaksi. Baru ketika akan kubuka mulut, Naruto kembali bersuara, "Sebenarnya apa salahku padamu? Apa maumu? Kau tahu? Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, kenapa kau menyiksaku seperti ini? Apa aku pernah berbuat salah padamu sampai kau memperlakukanku begini?!" ia setengah berteriak.

Naruto bertanya dengan cepat, terlalu banyak pertanyaan hingga otak bekuku hanya menangkap sebagian. Apa mauku? Aku mau dirimu! Aku menyiksanya? Aku benar-benar telah mendorong Naruto ke titik puncak emosi. Dia marah. Tentu saja karena ini entah untuk yang keberapa puluh kali aku menyentuhnya tanpa izin. Tidak salah jika dia marah padaku. Tapi aku tidak bisa –tidak akan pernah sanggup– menerima kebenciannya. Aku tidak siap untuk itu. "Aku …," tidak tahu apa yang harus kukatakan.

"DIAM SASUKE!" Naruto memotong ucapan lambanku. Dia berteriak mengumbar kekesalannya padaku. "Diam kau dasar teme!" jika saat ini Naruto memegang sesuatu aku yakin ia akan meleparkannya padaku.

Terkejut, aku tidak menyangka Naruto yang biasanya takut-takut padaku bisa menyemburkan amarah sampai begini. Aku tahu aku salah, menyentuhnya tanpa izin berkali-kali. Jika kukatakan aku kelepasan kendali, akankah ia percaya? Karena memang itulah kenyataannya. Terkadang kenyataan memang lebih aneh daripada sebuah fiksi.

"Kau tahu betapa menyebalkannya perasaan ini?" tanya Naruto, kali ini suaranya sudah melirih. Aku merasakan desakan tidak enak, semacam kemarahan pada diri sendiri dan penyesalan karena telah membuatnya kesal. Lanjutnya, "apa hanya aku yang mulai merasakan perasaan ini? Kenapa aku harus merasakannya? Kenapa perasaan ini tertuju padamu? Padahal aku tahu kalau kau cuma mempermainkanku! Memangnya apa yang kau inginkan dariku? Apakah mempermainkanku sangat menyenangkan bagimu atau kau sedang menghukumku atas sesuatu? Aku benar-benar tidak mengerti dengan segala perlakuanmu padaku, kau membuatku bingung! Aku tidak mengerti kenapa kau selalu mencumbuku lalu meninggalkanku saat aku mulai terpanggil?!"

Aku diam, berusaha menyimak setiap perkataan dengan baik. Jika aku tidak salah menyimpulkan, kesedihan, kebingungan, kekesalan, kekecewaan, dan amarah berbutar bersamaan di setiap tatapan, mimik, gesture serta intonasi perkataannya.

Aku mendekati Naruto. Bersikap tenang adalah pilihan yang terbaik dan menampakkan ekspresi datar terlatih. "Hei, do– Naruto" aku tidak jadi memanggilnya dobe, aku tidak ingin membuatnya bertambah tidak suka. Mungkin saat ini perasaanya sama tercampur aduknya seperti perasaanku. "Tenanglah, Naruto…" aku meraih Naruto, merangkuh tubuhnya yang memberontak ingin terlepas. Setiap kali ia memberi perlawanan aku semakin mengencangkan pelukan.

"Tenang katamu?" Naruto mengeluarkan tawa sinisnya –yang baru kali ini kudengar– "Kau itu teme! Manusia paling menyebalkan, paling brengsek yang membuat hatiku jadi kacau begini…"

Ya, cercah dan makilah aku jika itu membuatmu lega. Aku memeluknya erat, berusaha menyampaikan permintaan maaf tanpa suara. Naruto mendorongku, beergerak liar ingin terlepas.

"Kenapa? Kenapa aku…" ia medorongku tapi semakin kueratkan kurungan tanganku pada tubuhnya. "KENAPA AKU HARUS MENYUKAI TEME SEPERTIMU!" teriaknya ke–

Hah? Apa? Telingaku tidak salah tangkapkan? Yang diteriakannya cukup keras, mungkin saking keras dan dekat sekali dengan telingaku hingga otakku salah menangkap kata-katanya, mengubahnya menjadi suatu kata-kata yang sangat ingin kudengar.

"Apa? Apa katamu, Naruto? Uu-ulangi perkataanmu!" perintahku, mulai menyangsikan pendengaranku. Jantungku berdegup dalam kegugupan dan aku tidak berani berharap.

Naruto tertawa aneh. Menertawakanku? "Aku menyukaimu…" ungkapnya menyerupai desisan. "sangat sangat suka padamu yang menyebalkan ini…" ia mendorongku.

Tapi aku bergeming. Kata-katanya menggema, berputar berulang-ulang dalam kepalaku. Aku terlalu terkejut, hingga tak tahu ekspresi apa yang kupasang saat ini. Jika ini sebuah dunia animasi, aku mungkin sudah melayang ke langit-langit bobrok apartement ini.

"Kau tahu Sasuke?" suara Naruto menarik fokusku kembali. Aku diam, hanya matakulah yang mengikuti pergerakkannya. "Di sini…" Naruto memegang dada bagian kirinya, seakan menunjukkan letak jantungnya. Aku berusaha menguasai diriku, meski bersikap santai dan tidak memasang wajah konyol terasa sulit ketika aku sebahagia ini. Mata biru Naruto menatapku dengan serius, dan ribuan kupu-kupu berhamburan dalam perutku bersama jantungku yang mengepak-ngepak seperti sayap burung diatas langit luas –great! Aku mulai puitis. Aku fokus pada bibir Naruto yang mengatakan, "di sini sangat menyesakkan mendengarmu mengajak orang lain bercinta. Lalu, melihatmu berciuman dengan gadis lain… juga sangat menyakitkan melihatmu bercinta dengan Karin saat itu. Selama ini aku selalu bertanya – tanya kenapa kau 'tidur' dengan mereka tapi tidak denganku?"

Jadi…artinya Naruto cemburu? Berarti diam-diam dia mempermasalahkannya? Aku tidak pernah merasa sebahagia ini meski lebih sopan bila seharusnya ada sedikit penyesalan karena aku menyentuh orang lain selain dirinya. Naruto menginginkanku, itu yang penting. Dan dia juga ingin... ingin melakukan seks denganku? Memikirkannya mulutku mengering.

"Kau selalu meninggalkanku ditengah – tengah. Kau tahu itu menyakitkan, teme! Rasanya sangat sesak jika melihatmu me–"

Biarkan aku mencerna ini. "–STOP Naruto!" aku tiba-tiba bersuara, aku sendiri bahkan tidak menyadarinya. Hanya saja tidakkah ia tahu daya pikirku yang sedang melamban? Beri sedikit waktu bagiku memproses semua ini. Dia terus bicara tanpa henti, tidakkah ia kehabisan nafas atau bagaimana?

"APA?" Naruto balas membentakku. Matanya berkilat oleh kekesalan. "Bahkan sekarang bicarapun aku tidak boleh?" Naruto berkata dengan gigi menyatu, wajahnya mendongak menantang seakan siap adu jotos denganku. Ah… lucunya. "Kenapa kau begitu keja–hmph… hmmppphh….!"

Tanpa sungkan aku mengunci bibirnya. Menahan semburan kata-kata yang tidak hentinya mengalir dari kedua belah bibir lembut yang bisa jadi begitu cerewet kalau ia mau. Naruto mendorongku, tapi tidak kuacuhkan penolakkannya kali ini. Aku meraih tengkuk Naruto, dan mencium bibirnya lebih dalam daripada yang pernah kulakukan. Naruto sadar bahwa aku tak akan melepaskannya jadi ia diam, menghentikan usahanya untuk menyingkirkanku.

Tahu bahwa dia tidak akan menyemburkan sederet kata-kata panjang tanpa jeda yang berarti, aku mengakhiri ciuman dan menatap ke dalam matanya. "Diamlah sebentar!" perintahku pada Naruto yang menggertakkan giginya –kesal. Tapi aku ingin memastikan sesuatu, memastikan bahwa yang kudengar barusan tidaklah salah. "Biarkan aku meluruskan ini… dan kau jawab dengan jujur!" pintaku. Aku menangkap kilatan menantang dari mata biru Naruto. Tapi aku tak mengacuhkannya, mungkin di momen yang lain ekspresinya ini akan terlihat lucu tapi saat ini tidak karena jantungku berdetak cepat saat aku bertanya, "kau menyukaiku?"

Naruto memalingkan wajah. "Maaf, tapi iya."

Kenapa minta maaf? Dipikirnya kenyataan dia menyukaiku itu suatu kesalahan? "Lihat aku!" aku merasa kesal ketika Naruto tidak mau menunjukkan ekspresinya saat ini. Aku meraih dagu Naruto saat ia tak kunjung menatapku. Aku memandang lurus ke matanya dan mulai mengajukan pertanyaan lagi, "sejak kapan kau menyukaiku?" aku mengabaikan debaran jantungku yang kenapa bisa jadi sebegini cepatnya?

Ketakutan yang tidak kumengerti melintasi wajah Naruto. Apa yang ditakuti oleh Naruto? Kenyataan bahwa ia menyukaiku? Naruto terdiam cukup lama dan pada akhirnya ia hanya menjawab pertayaanku dengan jawaban yang sama sekali tak memuaskan. "Aku tidak tahu," begitulah katanya.

Ya sudah, tidak penting sejak kapan yang terpenting adalah Naruto menyukaiku sekarang. Naruto akan memalingkan wajah lagi tapi aku jauh lebih cepat, meraih bibirnya untuk yang kesekian kali di hari ini. Kali ini tidak ada keraguan, aku terlalu senang untuk merasa ragu-ragu.

"Sas– mmmph… hen-enntikhann!"

Aku tersenyum –menyeringai lebih tepatnya ketika teringat segala protesannya yang tanpa jeda beberapa menit lalu. "Kenapa? Bukankah kau suka padaku dan ingin bercinta denganku?" aku berusaha untuk tidak menyeringai terlalu lebar.

Bukannya tersipu malu Naruto malah berwajah masam. "Kau membuatku terdengar murahan," ujarnya yang membuatku mengerjap. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu!

Kenapa dia menyimpulkan seperti itu? "Dasar dobe," olokku, "bukan begitu maksudku! Yeah, meski aku sebenarnya ingin kau bersikap seperti itu padaku," akuku dan terkekeh pelan saat membayangkan Naruto yang 'nakal' sedang merayuku. Tidak bisa kutahan, sudut bibirku kembali tertarik.

Dahi Naruto berkerut dan alisnya terangkat. Ia memandangiku dengan tatapan seakan ia tengah mencari kesimpulan mengenai diriku. "Kau tahu? Aku tidak pernah mengerti jalan pikiranmu," ungkapnya.

Dan aku tidak pernah bisa mengartikan tatapan matamu dengan tepat, ujarku dalam hati.

Tanpa banyak kata kudorong tubuh Naruto ke atas futon. Ia memekik pelan tapi tidak menyingkirkanku dari atas tubuhnya. Aku semakin merendahkan diri, memiringkan kepala mencoba menggoda dengan menghembuskan nafas di sekitar leher kirinya. "Naruto," bisikku tepat di depan lubang telinganya. Bisa kurasakan tubuh di bawahku menegang. Dan ini membuatku bersemangat. "Aku ingin bercinta denganmu malam ini, aku tidak akan menahan diri lagi," tuturku. Ya, buat apa menahan diri? Jika ternyata Naruto juga menginginkannya? Tapi kenapa selama ini dia harus menolakku? Atau penolakkannya selama ini hanya pura-pura? Seperti aku yang selalu pura-pura kesal pada Itachi.

Aku mengulum daun telinganya dan menghasilkan suara "Ah…" yang manis. "Jangan main-main teme…" Naruto berkata dengan gigi yang terkatup rapat hingga apa yang dikatakannya serupa desisan. Aku tak menghiraukannya, dan malah mengecup pipinya, menciumi apapun bagian wajahnya yang mampu kuraih. "Jadi sekarang kau menginginkaku, huh?" Naruto mendengus dan menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri menghindari hujan ciuman dariku.

Aku berhenti memberi Naruto ciuman dan berganti memerangkap tubuh Naruto di antara kedua sikuku. "Aku selalu menginginkanmu, setiap saat."

Dari jarak sedekat ini aku semakin sadar bahwa ia memang benar-benar mempesona. Jantungku berdetak cepat saat aroma tubuh Naruto memenuhi indra penciumanku dan menyebar dari hidung hingga ke selangkangan.

Dengusan Naruto membuatku tersadar dari keterpesonaan. Mata kami bertemu, ia menatapku nyalang. "Apa kau selalu seperti ini?" katanya pelan dan sarat dengan sesuatu yang menyerupai … kekecewaan?

"Apa?" aku balik bertanya.

Naruto menyunggingkan senyum ganjil. "Merayu orang yang akan kau tiduri?" dia mengangkat bahunya –mencoba bersikap santai.

Sedetik kemudian aku terdiam. Mengerjapkan mata menyadari pertanyaan yang baru saja ia ajukan. "Aku tidak pernah merayu siapapun," kataku penuh ketidak setujuan atas pertanyaan atau lebih tepatnya tuduhan tersebut. Dan kenyataannya memang seperti itu. "Yang kurayu itu cuma dirimu," akuku yang malah menuai dengusan Naruto lagi. "Kau tidak percaya? Mereka langsung datang padaku tanpa perlu kurayu." Kali ini Naruto menyipitkan matanya, aku tidak tahu apa maksudnya itu jadi aku memutar bola mataku dan berkata, "Please! Jangan merusak suasana Naruto, bisa kita mulai sekarang?"

"A-apa?" Naruto tiba-tiba memerah dan menjadi gugup seperti dia baru saja sadar dengan posisi kami. Naruto meletakkan tangannya di dadaku, tidak mendorongku tapi hanya mencegahku untuk semakin menempel padanya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanyanya yang membuatku ingin tertawa. Aku yakin dia sudah tahu apa yang ingin kulakukan, diakan bukan anak kecil.

"Ckkk … Menidurimu," jawabku cepat. "Memangnya apa lagi? Bukankah kau menginginkanku," mengatakan kalimat ini saja aku sudah bahagia.

Wajah Naruto makin memerah, ekspresinya mengeras. "K-kau! KAU!" dia memekik, menggertakkan giginya dan menatap tajam padaku. Jadi sekarang dia marah? Apa yang salah dari perkataan jujurku?

"Apa lagi dobe?" aku bingung dan agak kesal dengan amarahnya. Memangnya apa salahku? Tak sampai semenit lalu ia masih tersipu, memerah dengan sangat menggemaskan dan sekarang dia terlihat marah.

Naruto mendorongku, ingin menyingkirkanku dari atas tubuhnya. Tapi dorongannya tidak terlalu berarti karena tampaknya ia tidak menggunakan seluruh tenaganya. Mata Naruto berkilat penuh emosi. Dia mendesis, "Menyingkirlah Uchiha Sasuke, Sudah cukup… berhenti mempermainkanku!"

"Siapa yang mempermainkanmu?" tanyaku bingung. Sama sekali tidak bisa mengerti apa yang ada di pikirannya dan tidak paham kenapa ia merasa dipermainkan sekarang.

"Kalau ini namanya bukan mempermainkan lalu apa?" Naruto tidak ragu-ragu untuk menatap tepat pada mataku. Suaranya meninggi, setengah berteriak. "Kau jangan membuatku bingung! Kau k–kau… aku…" Naruto kelihatan binggung untuk mencari kata-kata yang tepat, "kau mengatakan hal seperti tadi dengan begitu santainya, membuat perasaanku seolah tidak ada artinya sama sekali."

Santai? Siapa yang santai di sini? Aku gugup sekali, tidakkah ia tahu jantungku yang sedang berdenyut-denyut? Siapa yang harusnya berteriak di sini? Dia atau aku? Kenapa dia begitu dobe sampai tak menyadari kegugupanku dan mengatakan aku santai? Darimananya aku santai? Aku sedang tegang, bukan hanya hatiku tapi juga benda di tengah selangkanganku. Mengatakan sesuatu dengan santai dan membuat perasaannya tidak berarti? Kelakuanku yang mana yang membuatnya berpikiran begitu?

Meghela nafas, aku menenangkan diri. "Naruto… apa maksudmu?" tanyaku mencari kejelasan.

Naruto seperti akan mengatakan sesuatu, tapi apapun itu yang akan ia katakan ia telan kembali dan malah menghela nafas. "Aku tidak tahu apa arti diriku bagimu," suara Naruto membuatku tercengang. Terdengar begitu lelah dan dipenuhi emosi-emosi kesedihan. "Sikapmu selalu membuatku bingung. Kau mendekatiku, kau mengklaim bahwa aku ini milikmu, untuk apa kau lakukan semua itu? Kupikir kau tertarik padaku, atau saat itu kupikir kau bosan dengan perempuan lalu mencoba bermain dengan laki-laki dan kebetulan yang kau pilih itu aku. Tapi semuanya tambah membingungkan saat aku melihatmu berciuman dengan perempuan berambut merah muda di taman juga melihatmu di atap bersama perempuan berambut merah." Aku diam, mendengarkan bagaimana Naruto berkata panjang lebar dan mencerna setiap perkataannya. Tapi sebelum aku sempurna mencerna omongannya, ia melanjutkan, "kenapa kau masih terus mendekatiku sedang kau sudah punya dua perempuan? Apa itu kurang bagimu, huh? Aku muak kau permainkan Sasuke! Muak! Kau tidak mengerti rasa sesak yang kurasakan saat melihatmu bersama mereke!" Naruto mengeluarkan uneg-unegnya seperti semua itu sudah ia simpan sejak lama dan ia keluarkan hari ini bersamaan.

"Kau marah?" cuma kalimat itu yang keluar dari mulutku. Selama ini Naruto selalu bungkam, sedikitpun tidak pernah menyingung soal perempuan-perempuan yang menemaniku saat aku membutuhkan pelepasan karena terlalu menahan diri pada dirinya. Bahkan saat terang-terangan Naruto menangkap basah aku dan Karin, ia diam saja, membuatku bertanya-tanya dan kecewa, merasa seolah apa yang kulakukan sama sekali tidak berpengaruh untuknya. "Kupikir kau tak mempermasalahkan soal kejadian di atap itu."

Naruto memelototiku. "TIDAK MEMPERMASALAHKAN KATAMU?"

Aku berjengit mendengar teriakan kencangnya yang membuat telingaku berdenging. "Kau tidak membahasnya sama sekali kemarin. Padahal selama perjalanan ke bukit aku terus memikirkan penjelasan macam apa yang akan kuberikan padamu. Kau tidak menyinggungnya sedikitpun, jadi kupikir kau tidak marah," kataku mengingat bagaimana bingungnya diriku mencari kata-kata saat itu. tapi pada akhirnya tidak satupun pertanyaan yang Naruto lontarkan, seakan menunjukkan ketidak acuhannya perihal aku yang menghabiskan waktu dengan orang lain. Seharusnya aku merasa bersalah, tapi rasa kekecewaan akan kecuekkannya lebih dominan daripada rasa bersalahku.

Selama beberapa saat Naruto hanya diam menatapku. "Huh," Naruto mendengus –entah apa maksudnya. Mata birunya begitu kuat, menarikku untuk terus menatapnya lekat-lekat. "Kenapa kau pikir aku tidak akan marah?"

Karena kau tidak menunjukkan kepedulianmu, akan kukatakan kalimat itu, tapi aku tidak yakin mampu menyembunyikan nada sedih dalam suaraku bila mengatakannya. Jadi kuganti kalimatku dengan kalimat yang terdengar lebih percaya diri, "karena kau mencintai … ku?" niatku ingin mengatakannya dengan penuh keyakinan tapi yang barusan malah terdengar menyerupai pertanyaan.

Mata Naruto berkilat, ia mengeluarkan geraman pelan. "Ya, sialan! Aku mencintaimu," ucap Naruto dengan nada kasar, sepertinya kenyataan bahwa dia jatuh cinta padaku begitu menyebalkan. Walau begitu, pengakuannya tetap membuatku senang. "Tapi kau tidak pernah menginginkanku," tambah Naruto. Aku mengerutkan kening. Penuh ketidak setujuan. Namun, belum sempat aku menyangkal Naruto kembali bersuara, "berhentilah menyakitiku, Sasuke," lirihnya terdengar sangat lelah. "Kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku maka menyingkirlah dari hidupku… atau biarkanlah aku yang menyingkir."

Itukah yang ada di pikirannya? Jadi, selama ini perasaanku tidak sampai padanya. "Hei, Naruto …." panggilku memakai nada terlembut yang kumiliki. Aku akan meluruskan semuanya hari ini. Menggumbar perasaanku dengan gamblang supaya perasaanku tersampaikan. Aku ingin menunjukkan bahwa aku sangat tergila-gila padanya, "bagaimana jika kukatakan kalau aku memiliki perasaan yang sama denganmu?"

Naruto memandangku. Hanya memandangku seakan ia baru saja mendengar bahasa asing yang tak pernah dia dengar sebelumnya. Apakah sebegitu aneh jika aku memiliki rasa cinta padanya?

"Hahaha…" tiba-tiba Naruto tertawa. Aku mengeryit bingung. "Haha… ha… ha… hahh…" tawanya menghilang menjadi dengusan terputus-putus. "Kau bercanda? Mau menipuku? Permainan apa lagi?"

"Kenapa kau tidak percaya?" tanyaku tidak suka pada cara Naruto bertanya. Dia meremehkan perasaanku?

Benar, Naruto memang meremehkanku. Terbukti oleh senyum meremehkan yang muncul memenuhi wajahnya. Apa sangat mustahil jika aku menyukinya? Anehkah bila aku menginginkannya sampai seperti ini.

"Bagaimana bisa aku mempercayai kata-katamu barusan, sedang yang kau lakukan selama ini selalu mempermainkanku."

Mempermainkannya? Aku tidak pernah merasa pernah melakukan hal seperti itu. Kenapa jauh sekali kesan yang dia tangkap? Ah, benar! Dia memang seratus persen dobe.

"Aku tidak mempermainkanmu!" kataku.

Naruto kembali berusaha menyingkirkanku dari atas tubuhnya. "Naruto…" aku meraih pipinya tapi ia memalingkan wajah tidak mau kusentuh.

"Kau bohong," ujarnya masih tanpa melihat kearahku.

"Haah…" aku menghela nafas perlahan. Perasaanku selama ini tidak tersampaikan padanya. "Kau salah," sangkalku pelan. Aku menyentuh pipi Naruto dan mengatakan suatu kenyataan yang harusnya sudah ia tahu, "aku menginginkanmu … selalu menginginkanmu." Perlahan aku mendorong pipinya, membuatnya menatapku. Aku mengamati tiap ekspressi, guratan, mimik kernyitan, apapun yang terlintas di wajahnya.

Naruto menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia melontarkan tawa sinisnya seraya berkata, "kau sedang melucu ya Sasuke? Selalu menginginkanku kau bilang? Haha… apa yang kau katakan itu jauh sekali dari kenyataan. Selalu meninggalkanku saat aku mulai terangsang kau sebut itu menginginkan? Bercinta dengan orang lain setelah mengatakan kau muak padaku apa juga termasuk kategori menginginkan?"

Bukan seperti itu! Aku tidak bermaksud memberi kesan seperti itu pada Narutp. Hanya saja kerasionalitasanku memang harus dipertanyakan bila menyangkut dirinya. Dipikirnya aku juga tidak terangsang begitu? Aku pun merasakan hal yang sama dan lari pada orang lain …

Perlahan rasa bersalah yang memang seharusnya aku rasakan mulai hadir. Bukan salah Naruto jika ia tidak menangkap perasaanku, hanya karena aku yang terlalu tidak bisa menahan diri, melampiaskannya pada orang lain karena tidak ingin memaksanya. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa perbuatan yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Kupikir Naruto tidak pernah peduli sebab ia terus mengunci mulutnya dan tidak memprotes segala tindakanku. Kenyataan yang kupercayai selama ini yaitu Naruto yang terus berada di sampingku karena paksaan, ancaman serta tindakan semena-menaku padanya bukan karena itu memang kemauannya, bukan karena ia menyukaiku … dia menyukaiku? Naruto menyukai aku?

Baik, rasa bersalah kini memenuhi setiap ruang dalam dada ini. Menyesali apa yang sudah kuperbuat dan merutuki kebodohanku juga tidak akan merubah apa yang telah terjadi. Seorang Sasuke dengan pemikiran dangkalnya, mencari pelampiasan karena tak mampu menyentuh Naruto. Sungguh terdengar menjijikan. Naruto bergeming di bawahku, matanya nyalang memandangku dengan sorot menantang –mengejek.

"Kenapa diam? Tidak bisa menjawab?"

"Tidak. Aku hanya berpikir kalau kau ternyata sangat cerwet," jawabku asal dan menuai delikan tajam darinya. Lucu ketika melihat ia memasang tampang seperti ini, seperti seekor kucing yang mencoba menggusir pengganggunya.

"Lalu kenapa kalau aku cerewet! Kau tidak suka? Kalau begitu menyingkir dari atasku sekarang juga!" ucap Naruto setengah berteriak, wajahnya memerah karena marah. Dan otakku menyimpulkan ekspresinya ini begitu menggemaskan.

"Aku suka. Aku suka padamu," akuku otomatis, aku bahkan tak sadar kata-kata itu telah kuucapkan begitu saja.

Mata Naruto menyipit. "Bohong!" teriaknya.

"Itu salahmu, Naruto! Kau yang membuatku bermain-main dengan kedua perempuan itu," aku mengabaikan rasa bersalahku dan malah menyalahkannya. Padahal tidak perlu menyelam ke dalam dasar hatiku aku tahu bahwa akulah yang salah, yang melampiaskan kebutuhanku pada orang lain. Hari ini aku jadi tahu betapa aku ini bukanlah seorang yang jujur. Banyak antara lisan dan perasaanku bertentangan, apa yang kukatakan sering kali berbeda dengan kenyataan yang kurasakan.

Mata Naruto membulat, ia terngangga, bergeming beberapa detik sebelum berteriak dengan suara cemprengnya, "APA?! Salahku?" tubuhku maju beberapa senti semakin mendekat ke arah Naruto ketika dia menarik bagian depan baju yang kukenakan. Naruto mendesis, sedang aku hanya menatapnya tanpa ekspresi yang berarti. Naruto lagi-lagi berteriak, "Kenapa bisa menjadi salahku?" tanyanya tak habis pikir.

Katakanlah aku brengsek –dan aku sama sekali tak akan menyangkal– karena melihat kemarahan Naruto malah membuatku ingin menggodanya. "Karena kau penyebabnya," kataku dengan nada datar terlatih. Kutarik tangannya yang meremas atasanku, menyentaknya pelan hingga terlepas.

Bagai ikan yang terdampar di daratan, Naruto membuka tutup mulut seolah tengah mencari kata makian terbaik untukku, namun ternyata yang keluar hanya kata, "apa?" yang singkat.

Aku menahan diri untuk tidak menyeringai lebar saat rasa ingin menggoda yang disertai kenyataan ini begitu membuncah. "Kau!" ucapku penuh penekanan dan tatapan tajam pada Naruto. "Pesonamu itu terlalu sulit diabaikan. Aku bahkan heran dengan diriku sendiri yang bisa-bisanya terpikat oleh makhluk kuning bodoh sepertimu. Saat di dekatmu, kau … bagaimana mengatakannya? Hn, kau terlalu menggoda! Aku selalu lepas kendali jika berada di dekatmu. Aku tidak tahan untuk tidak menyentuhmu," jujurku memujinya habis-habisan. Jarang sekali seorang Sasuke –aku– memuji sesorang, berbangalah kau, Naruto. Tapi …

Hening.

Bukannya merasa tersanjung, tersipu, senang atau bagaimana setelah memerima pujian habis-habisan dariku Naruto malah menyatukan alisnya, terlihat bingung.

Oke, Naruto bingung. Kupasang mimik serius terbaikku. Baiklah, aku akan menjelaskan panjang lebar padanya, "aku merasa gila! Aku harus mencari pelampiasan, jika tidak begitu bisa-bisa aku memperkosamu dobe! Silahkan kau tertawakan aku, tapi ini kenyataan." Aku berhenti sejenak, memastikan ia mendengarkanku dan menunggu cemoohan, makian, tawa atau apalah darinya tapi Naruto tertap membisu jadi kuteruskan saja seraya membelai pipinya –berterimakasih secara tak langsung karena ia bersedia menjadi pendengar yang baik dan tidak menertawakan perasaanku. Aku menghela nafas, teringat kenyataan ini, "kau selalu membuatku tergoda tanpa usaha apapun. Itu sangat tidak adil! Aku tidak tahu kenapa aku selalu kehilangan kendali dan ketika sadar aku sudah melakukan ini itu padamu. Kupikir hanya aku yang sangat menginginkanmu karena kau selalu menolak, memberontak dan berkata tidak. Jadi aku tidak ingin memaksamu … kupikir kau tidak menyukaiku, membenciku. Aku selalu ingin melakukannya bersamamu dengan catatan kau juga benar-benar menginginkannya. Memang aku selalu kelepasan hingga mencium dan meraba-rabamu tanpa izin, tapi untuk kegiatan yang lebih jauh … aku tidak ingin ada unsur keterpaksaan di sana. Tapi terkadang aku … yeah … kau tahu …" ungkapku. Aku berhenti bicara menarik nafas. Aku merasa seperti habis mendogeng. Dengan begini Naruto pasti paham, perasaanku akan tersampaikan padanya.

Namun, lagi-lagi aku salah! Naruto memiringkan kepalanya, bergeming, ia mengedipkan matanya seperti mencerna apa yang barusan kukatakan –bukan! Lebih tepatnya Naruto tengah menatapku seakan aku baru saja selesai melakukan sebuah atraksi makan beling atau sebangsanya.

"Hei, kenapa menatapku seperti itu?" heranku.

"Ah-uh … kau … tadi itu kau bicara banyak sekali. Baru kali ini kudengar kau bicara panjang lebar begitu." Naruto nyengir tanpa dosa dan aku menepuk dahiku sendiri, habis pikir.

Dari sekian banyak yang telah kukatakan padanya, itu yang dia tangkap? Itu responnya? Benar! Aku memang sama sekali tak bisa menebak reaksinya. Reaksi Naruto sungguh tidak terduga. Tanpa bisa kutahan, antara sebal dan geli kutarik hidung mancungnya, membuat ia mengaduh.

"AWW … Lepas!"

"Bukan itu yang penting, dobe! Itu bukan inti dari yang kukatakan!" Kesalku bercampur kegemasan. Aku melepaskan hidungnya dan Naruto mengeluarkan suara ugh pelan sebelum mengerucutkan bibir. Menggemaskan!

"Aku menyukaimu Naruto," akuku lagi. Melihat betapa menggemaskannya dia, kata-kata itu terlontar begitu saja.

Bibir Naruto berkedut aneh, seakan ia tengah menahan senyumnya. Ah dia memang menahan senyumnya. Lihat, sekarang dia benar-benar tersenyum. Aku tanpa sadar juga tersenyum melihatnya tersenyum bersamaan dengan pacuan jantungku yang meningkat.

"Sekarang kau percaya?" aku memastikan, berpikir jika kini diantara kami sudah ada kejelasan, dan Naruto telah ercaya aku benar-benar serius atas perkataanku. Bukan salah Naruto memang bila dia sulit mempercayai pengakuanku, toh itu semua juga karena sikap dangkal nan bodohku selama ini. "Haah … apa yang bisa membuatmu percaya?" tanyaku usai melihat Naruto menggelengkan kepalanya.

Naruto menunjukkan gelengan kembali. Ia berkata, "ini terlalu tiba-tiba. Aku takut kau mempermainkanku."

Aku mencegah diriku sendiri untuk tak mengerang frustasi. "Sudah kubilang, aku tidak mempermainkanmu." Bagaimana aku harus meyakinkannya? Dalam detik yang sama dengan munculnya pertanyaan barusan aku mendapat ide. Kuraih tangan Naruto, senang ketika ia tidak melawan dan mengkuti kemana aku menuntun tangannya. Kuletakkan tangan Naruto di bagian kiri dadaku, dimana jantungku tersembunyi, berdetak begitu hebat merespon kedekatan ini. "Rasakanlah Naruto," perintahku meminta ia menyadari debaran tak lazim dari jantungku.

Naruto memandangku dengan sorot terkejut. "Sasuke kau…"

"Sekarang kau percaya? Ini karena kau. Selalu begini."

"Tapi kau sering mengatakan aku ini memuakkan."

Benar-benar Dobe! Dia menganggap serius kebohongan itu sedang dia terus saja mengabaikan kenyataan yang sebenarnya. "Ketika aku mengatakan kau memuakkan bukan berarti kau benar-benar memuakkan. Sedikit banyak, terkadang aku berharap supaya kau memohon padaku agar aku tidak pergi meninggalkanmu dalam keadaan seperti itu … tapi kau … uh … well, kau terangsang karena aku?" aku mencoba menahan agar tidak nyengir konyol sebagaimana biasanya Naruto nyengir.

"Te-tentu saja ..."

"Tapi kau selalu mengatakan tidak … kau–"

"–sama sepertimu," Naruto cepat memotong ucapanku. Rona merah samar menghiasi pipinya. Aku menangkat sebelah alis, tidak terlalu paham. Apanya yang sama sepertiku? Naruto melanjutkan ketika ia tampaknya menyadari kebingunganku, "s-sama sepertimu… saat aku bilang tidak bukan berarti benar-benar tidak umm …."

"Naruto …," panggilku. Terkesiap mendengar pengakuannya barusan. Tangan Naruto di dadaku terasa begitu hangat.

Naruto memandangku penuh keraguan, terlihat ingin mengatakan sesuatu namun tidak jadi. Naruto malah memejamkan matanya, menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan. Keraguannya hilang saat dia membuka matanya yang sempat terpejam. "Kau ingin aku memohonkan?" tanyanya membuatku kembali mengangkat alis. Aku diam, membiarkan ia melanjutkan. Naruto menarik tangannya yang ada di dadaku, membuatku kehilangan kehangatannya. Ia melarikan jemarinya di sekitar area pipi yang tadi di tampar ayahku. Perasaanku menggebu, melihat sikap lembutnya. "Bercintalah denganku!" kata Naruto.

Bercintalah denganku

Bercintalah denganku

Bercintalah denganku

Aku mematung. Terlalu terbius oleh kalimat yang baru ia lontarkan hingga tidak mampu memberi suatu respon yang patut. Kalimat Bercintalah denganku yang baru saja Naruto katakan membuat jantungku … kepalaku … otakku … entah kalimat apa yang mampu mendekripsikan keadaanku saat ini.

Perlahan, aku mulai mengusai diri tapi masih belum mampu mengatakan apapun, jadi aku hanya tersenyum tipis padanya. Senyum tipis yang coba kubuat setulus dan selembut mungkin.

Naruto menggigit bibirnya. "Kau harus bertanggung jawab dengan ereksiku," ujarnya seperti tanpa sadar dan tiga detik kemudian ketika ia baru sadar atas apa yang tadi dia katakan, pipinya memerah semerah tomat kesukaanku. "Ah …," desah Naruto seraya menutupi mulutnya dengan kedua tangan, gesture yang ia buat menunjukkan bahwa ia sendiri kaget atas perkataannya. Dia malu. Lucunya. Ternyata bukan aku saja yang kaget karena kata-katanya tetapi dirinya juga.

Terkejut –tentu saja. Hari ini memang hari penuh kejutan. Aku tersenyum atau menyeringai –yang mana saja terserah– sebelum terkekeh geli melihat tingkah Naruto. "Kau memang sangat menarik, dobe…" pujiku seraya mengecup bibirnya.

"Umm, Sasuke …."

"Ya?" aku menaruh perhatian penuh pada Naruto.

"Aku tidak tahu cara melakukannya … aku tidak sama sepertimu, aku belum pernah …."

Meski Naruto menggantung omongannya tapi aku sudah mengerti apa yang ia maksudkan. "Aku juga belum perna–"

"BOHONG!" Naruto memotong ucapanku dengan teriakan nyaringnya.

Aku sedikit terlonjak ke belakang, terkejut oleh teriakan tiba-tibanya. Dengan sebal kusentil dahinya, "aku belum selesai bicara. Maksudku aku juga belum pernah melakukannya dengan laki-laki."

"Eh? Oh … benarkah?" responnya sangsi. Selalu begitu sampai aku penasaran adakah satu hal yang tidak Naruto sangsikan mengenai diriku?

Aku mengangguk, mengiyakan. "Karena aku tidak pernah tertarik dengan laki-laki." Ya. Aku normal sampai aku bertemu Naruto.

"La-lalu … kenapa kau padaku … kenapa kau bilang suka padaku? Kau bohong?!" entah Naruto kini bingung atau panik.

Aku memberinya senyum tipis. "Kau itu istimewa," pujiku lagi yang didasarkan atas kenyataan. "Aku tidak tertarik dengan lelaki manapun kecuali dirimu, Naruto." Katakanlah aku naruseksual, tambahku dalam hati.

"Ah …," Naruto tersipu, tampaknya ia mulai sadar kalau aku sedang memuji dirinya.

"Wajahmu memerah. Kau malu?" tanyaku, menggodanya.

Wajah Naruto tersipu, rona merah pada pipinya. Aku tidak tahu kapan Naruto akan berhenti membuatku terpesona. Dan berpikir ketampanannya, segala ekspresi yang dimilikinya itu menggemaskan … dan manis.

"Uh-hum…"

"Apa kau takut?" aku mencoba menjadi gentleman. Bersikap tenang padahal aku sendiri gugup. "Jangan takut. Aku janji akan melakukannya dengan lembut. Aku pernah membaca artikel tentang ini, mungkin akan sakit awalnya… tapi kita ikuti insting saja," kataku sok berpengalaman. Tidak ingin terlihat amatir.

Naruto menggeleng. "Bagaimana jika aku mengecewakan? Bagaimana jika ternyata aku tidak seistimewa yang kau katakan?"

Terlalu banyak kekhawatiran! Naruto sepertinya tipe orang yang gampang cemas untuk hal-hal tidak penting. Namun, aku senang ketika ia ternyata memikirkanku. Aku terkekeh dan berkata, "itu tidak mungkin. Ikuti saja instingmu. Kita belajar bersama-sama."

Naruto mengangguk, lagi-lagi ia menggigit bibir merahnya seakan menggundangku. Tanpa ragu, kuaraih benda hangat nan kenyal itu. Rasanya selalu sama, dan bibirku yang bersentuhan dengan bibirnya mengirimkan suatu sensasi yang tak mampu kutaruh dalam kata-kata. Lembut, satu kata yang terbesit dalam benakku saat kuhisap bibirnya. Aku sangat ingin membuat bibirnya membengkak karena ulahku.

Aku memagang kepala Naruto, memiringkannya, menggiringnya ke posisi yang lebih nyaman untuk ciuman ini. Kutelusuri bibirnya dengan lidahku, membasahinya dan melesak masuk ke dalam. Naruto mengerang di sela-sela ciuman kami. Lidahku menekan lidahnya, seperti tidak cukup memberiku kejutan, Naruto membalas sapaan lidahku.

Sebuah detakkan cepat familiar, yang selalu kurasakan saat bersamanya membuat kegugupan menyerangku tiba-tiba. Apalagi ketika Naruto mengalungkan lengannya pada leherku. Detak jantungku memukul-mukul dada dan aku seperti merasa tidak menjadi Sasuke yang biasanya.

Aku menarik diri untuk melihat wajah Naruto. Tersenyum tipis saat melihat keenganan yang terpahat dalam ekspresinya saat aku mengakhir pangutan kami. Dadanya naik turun, meraup udara. Naruto terlihat indah seperti biasa. Fokusku beralih pada lehernya. Perlahan kuangkat kepalanya, membuat leher Naruto terekpos sehingga aku bisa menghujani lehernya dengan ciuman. Mengecap rasa lehernya dengan lidahku dan menekan-nekan pembuluh darah pada lehernya.

"Uh … Sasuke," suara Naruto parau. Kurasakan tangannya meremas surai hitamku.

"Ya, sentuh aku, Naruto," pintah atau perintahku menikmati elusan tangan pada kepalaku.

Tangannya turun, membelai pungungku membuat bulu-bulu area leherku meremang dan hangat tangannya mencabut kesadaranku. Pada akhirnya aku menemukan dia terduduk di atas pangkuanku dengan aku yang menghisap rakus bibirnya. Sebuah kegembiraan, letupan yang kusebut kebahagiaan ketika mendapati Naruto membalas ciumanku sama antusiasnya dengan diriku.

Tanganku sedikit gemetar untuk suatu alasan yang tidak ingin kuakui –gugup– ketika aku membuka kancing seragamnya. Melepasnya dan melemparnya sembarangan, aku berhenti mencium Naruto, menarik diriku hingga aku dapat jelas melihat dadanya yang bidang. Mataku menelusuri dirinya dan apa yang kulakukan seperti memberi efek tertentu bagi Naruto. Jemariku membelai dadanya, mendorongnya perlahan untuk kembali telentang di futon. Menghunjani rahang, pipi dan apapun bagian tubuhnya yang bisa kuraih dengan kecupan. Aku mencium dadanya dan menyapukan lidahku pada salah satu putingnya membuat Naruto mengeluarkan pekikan tertahan –yang kusuka.

Saat kurasakan sentuhan tangannya pada punggungku, aku serasa disengat sesuatu yang sangat hangat dan tanpa sadar mengerang pelan. Aku mencoba mengendalikan diriku agar tidak menerkam dirinya dan membuat semua ini berlangsung cepat, jadi aku berkonsentrasi pada tonjolan di dadanya, memainkannya, menghasilkan suara indahnya.

"Sshh… ah… Sasuke…"

Desah Naruto membuatku gila. "Hn," gumamku. Aku merasakan sesuatu yang mengeras menekan pahaku. "Angkat pinggulmu," perintahku dengan suara parau yang tidak mampu kusamarkan.

Aku membantunya melepas celana dan begitu sepenuhnya dia telanjang, aku terdiam. Tidak menyangka momen ini akan datang juga. Ini jauh lebih indah, berkali-kali lipat lebih indah daripada apa yang mampu kubayangkan.

"A-apa?" tanya Naruto menyeretku dari acara menikmati tubuh telajangnya. "Apa ada yang aneh dengan tubuhku?"

Tidak, tentu saja tidak, kataku dan aku baru sadar bahwa aku berkata dalam hati. Lagi-lagi aku bertingkah bodoh. Aku tersenyum atau mungkin menyeringai –terserah mau disebut apa. "Aku hanya menikmati melihat tubuh telanjangmu," kataku jujur dan membuat Naruto memerah.

"AH … Sasuke," desahnya sungguh sexy ketika aku menyentuh pusat gairahnya, ereksinya. "Umhmm … shhh …," gumamnya tak jelas saat aku mulai menaik turunkan tanganku dan memijat benda kerasnya yang hangat.

"Kau suka kusentuh seperti ini, Naruto? Katakan kalau kau ingin kusentuh!"

"Uh …." Naruto seperti keenakkan sendiri.

Aku menyeringai, berniat menggodanya. "Katakan, dobe-ku!" titahku seraya sengaja meremas kuat ereksinya.

Dan Naruto memikik akibat dari ulahku. "Akhh… Y-ya… akku suka… ahhn…"

Aku tersenyum mendengar pengakuannya. Kucium dia tanpa mengalihkan konsentrasiku memanjakan ereksinya.

"Uhkk… Sasuke…" Naruto memejamkan matanya.

Kurasakan benda yang berada dalam genggamanku berkedut, semakin besar. Naruto membuat ekpresi menahan gairah yang sangat menggoda. "Lepaskan saja," suruhku berbisik diatas bibirnya, membiarkan bibir kami bersentuhan secara mengambang. Aku beralih, menjilat daun telinganya dan Naruto menggeliat geli saat aku menghisap pelan cupingnya.

"Hahh…" Naruto membuat jerit teredam ketika dia mencapai puncak. Punggungnya melengkung dan ekspresinya luar biasa ketika muatannya menyembur ke tanganku. Terasa hangat, panas. "Hahh… hahhh…" nafasnya tidak teratur, aku memperhatikannya, berharap mampu merekam ekspresinya dalam ingatanku ketika dia untuk pertama kalinya orgasme karena aku. Mata Naruto terpejam, tapi bibirnya menyungingkan sebuah cengiran lebar, "hehe…"

"Kenapa?" tanyaku dibuat bingung oleh cengiran yang ia tampakkan

"Ti-tidak…" jawabnya dan lagi-lagi ia membuatku kaget dengan tindakannya yang memeluk leherku. Lanjutnya dengan suara kecil, "hanya saja ini pertama kalinya kau tidak meninggalkanku dan membuatku 'keluar'… hehe…"

Naruto tertawa! Demi apa Naruto baru saja tertawa di depanku… karena aku! Tahu begini sudah dari dulu aku menjamahinya dan tak perlu menahan diri terhadap dia. Mulutku terasa kering saat tanganku meraba pantatnya dan menyelip menyentuh lubangnya. Naruto menarik nafas kaget.

"Ya, karena aku sudah membuatmu keluar sekarang tugasmu membuatku keluar," kataku dengan suara serak menahan libido.

Aku memutari lubangnya dan memasukkan satu jariku yang terlumuri cairannya ke dalam sana yang membuahkan erangan tidak nyaman Naruto. "Sasuke… akkhh… enn…"

Aku melirik reaksinya, Dahi Naruto berkerut serta mata yang terpejam menahan sakit itu membuatku tertepa kegugupan. Lebih dari kondisi apapun yang pernah kualami dalam kehidupanku, saat inilah baru kurasakan apa gugup itu yang sebenarnya.

"Rileks dobe … jangan menolak jariku." Sebagian dari diriku ingin berhenti tapi juga tidak, persaanku bertentangan dan niat baikku untuk berhenti di sini luntur sudah saat lubang Naruto menjepit erat jariku. Kutahan pundaknya yang terangkat keatas. Aku tidak suka melihatnya kesakitan tapi dia akan lebih sakit lagi jika aku tak menyiapkannya lebih dulu –ya, begitulah kata artikel yang kubaca. "Aku tidak punya pelumas, lotion atau apalah itu… tapi kupikir spermamu bisa berguna."

Aku berusaha mengendalikan diriku, bersabar dan berupaya menyingkirkan kegugupanku. Berbagai pikiran negatif mulai muncul. Ah, bagaimana seandainya jika aku tak mampu membuatnya puas? Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Bagaimana jika aku tidak mampu membuat Naruto merasa nikmat dan hanya merasakan kesakitan? Aku tidak pernah melakukannya dengan laki-laki dan aku tahu lubang laki-laki jelas beda dengan lubang perempuan yang punya pelumas alami. Aku tidak sedang mengeluh! Faktanya aku dua kali lipat –tidak! Berkali-kali lipat maksudku, jauh lebih excited dengan lubang milik Naruto.

Oke. Fokus Sasuke! Kuperhatikan Naruto yang masih nampak tidak nyaman, "Sakit?" tanyaku meski jelas aku tahu jawabannya. "Kau mau kita berhenti di sini? Tidak apa jika kau tidak bisa…" Aku merasa benar-benar payah sekarang. Meski dengan berat hati jika sekarang Naruto ingin berhenti kupikir aku bisa menunggu dan berhenti melampiaskannya ke orang lain ketika tahu dengan jelas perasaannya.

"Lakukan saja," Naruto memberi izin serta gelengan kepala. Dia berkeringat dan terlihat mempesona. Undangannya sungguh membuatku… Sial! Benda menggantung di selangkanganku semakin keras. Aku menelan ludah. Sekilas kutangkap kilatan di mata biru miliknya, seperti menampakkan suatu keteguhan dan tekad yang tak kutahu apa, barangkali Naruto menguatkan dirinya untukku? Uh, aku terlalu percaya diri? Entahlah, membayangkan itu saja aku sangat senang.

Aku tidak tahu Naruto salah makan atau bagaimana, yang jelas aku senang-senang saja dengan tingkahnya hari ini. Lihat, sekarang Naruto sudah berani mengalungkan tangannya di leherku, menarik diriku kemudian menciumku. Tanpa ragu kubalas ciumannya. Jantungku mengepak-ngepak seperti sayap hummingbird terbang.

Sembari berciuman, kumasukkan satu lagi jariku, menyusul satu jemari yang sudah ada di dalam sana lebih dulu. Naruto mengeluarkan suara yang tertahan oleh ciuman kami. Aku mulai menggerakkan jariku, mempelebar, menyiapkan lubangnya seraya menghisap bibir bawahnya yang lembut, basah nan kenyal.

Lagi-lagi Naruto mengerang tidak nyaman. Aku mengakhiri sesi ciuman kami dan menatap Naruto. Kegugupan yang melandaku semakin manjadi. "Rileks… rileks… rileks…" ucapku berulang kali yang sepertinya lebih kutujukan untuk diriku sendiri. Jemariku bergerak mempelebar. "Kurasa cukup. Kita masuk ke tahap selanjutnya," kataku tidak sepenuhnya yakin. Kukeluarkan jariku lalu menghela nafas, mengeluarkannya, menariknya. Memejamkan mataku beberapa detik dan kutenangkan diriku. Mengingat bahwa sebentar lagi aku akan menjadi satu dengannya membuat jantungku yang semakin memukul hingga terasa sesak tapi menyenangkan. Aku siap, kukatakan itu pada diriku sendiri, bukan keyakinan tapi lebih menyerupai penyemangat untuk mengurangi kegugupanku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Kau bisa Sasuke. "Kita lakukan pelan-pelan…"

"Kau gugup?" pertanyaan tiba-tiba Naruto membuatku terdiam. Tidak tahu ekspresi macam apa yang kupasang saat ini hingga membuatnya bertanya begitu. Mungkin sekarang aku terlihat konyol. "Kau gugup juga?" Naruto bertanya lagi saat aku hanya diam saja.

"Jangan tertawa!" perintahku. Aku merasa wajahku memanas. Apa aku demam? Tidak pernah aku seperti ini, tapi aku merasa malu! Sangat malu.

"Aku tidak tertawa," tutur Naruto. Dia tidak tertawa tapi senyum bermain di bibirnya.

Shit! Aku ingin mengubur diriku sekarang. Dia pasti ingin tertawa! Dia pasti ingin menertawakanku yang begitu konyol. "Ini berbeda… maksudku ini… aku pertama kali melakukannya denganmu," aku membela diri.

Sudah cukup! Aku merasa kikuk jika di tatap mata birunya yang berbinar-binar –eh?

Aku membuka kakinya, mengambil posisi di antara kedua pahanya yang terbuka lebar, berniat meneruskan kegiatan tadi daripada terus tenggelam dalam kemaluanku –maksudku rasa maluku.

"Sasuke…" seru Naruto menyeruakan namaku dan… Oh demi apapun yang kuanggap suci, apa yang ada di hadapanku sekarang ini adalah pemandangan paling indah yang pernah kusaksikan. Naruto di bawahku –kenyataan yang indah– menggigit bibirnya yang membengkak karena ulahku serta pipinya yang merona itu… aku kosa kata apa yang patut menggambarkannya saat ini. Ini jelas lebih dari sekedar luar biasa. "Sasuke…" panggil Naruto lagi. Matanya menjelajahi tubuhku dan merengut. Dia memandang pakaianku.

Aku menyeringai, berniat menggodanya. Melepakan Naruto sejenak, aku melucuti celana, melepasnya dan merasa kelegaan saat kejantananku tidak lagi terkekang. Aku mengerling pada Naruto. "Senang dengan apa yang kau lihat?" godaku dengan seringai terkembang sempurna ketika menyadari tatapannya pada ereksiku. Naruto mendungus mengalihkan pandangan, tapi sepertinya dia tidak bisa menolak pesona ereksiku sebab tak sampai sedetik ia menatapnya kembali. "Aku tidak pernah ereksi hanya karena mencium atau menyentuh seseorang… dan kau Naruto. Selamat sudah berhasil melakukannya," ungkapku.

.

.

.

.

"Shhh…"

Entah desisan milik siapa itu, mungkin kami sama-sama mendesis saat milikku menggesek mulut lubang sempitnya.

"Akhh…" Naruto menggeliat tidak nyaman saat ereksiku mencoba memasuki lubang ketatnya.

"Kau bisa menggigit bahuku jika sakit," saranku saat melihat ketidaknyamanannya.

Oh, apakah aku menyakitinya? Aku tahu laki-laki tidak punya pelumas alami selayaknya perempuan. Aku gugup –sungguh! Belum pernah sekalipun aku mencoba memasuki laki-laki. Mimik Naruto berubah-ubah membuatku berpikir apa seburuk itu rasa penisku bagi lubangnya? Dalam sedetik kemudian, aku mendapat ide, sebuah buah pemikiran di tengah-tengah kepanikan yang tiba-tiba menyerangku.

"Jika aku pelan-pelan itu hanya akan memperpanjang rasa sakitnya jadi aku–"

"AKHHH! TEME KAU GILA!" jeritnya membuatku merasa bersalah.

Naruto meringis kesakitan saat aku mendorong paksa ereksiku masuk. Sakit sekali, pasti! Mata biru yang selalu kukagumi itu menatapku tajam. Aku merasa menjadi orang brengsek di sini, walau merasa bersalah tapi rasa senang lebih mendominasi diriku, tanpa bisa kutahan aku melengkungkan bibir –menyeringai. "Sudah kubilang pelan-pelan hanya akan memperpanjang rasa sakitnya," kataku.

Tidak mampu kujelaskan sensasi yang memijat ereksiku di dalam sana. Aku nyaris gila, ingin menggerakkan diri, menghunjam lubangnya dengan liar. Andaikan Naruto tak memasang ekspresi kesakitan, sudah tentu aku akan melakukan apa yang terbesit dalam pikiranku saat ini.

"Setidaknya kau bilang-bilang dulu!" protes Naruto. Peluh menetes di dahinya, ia terlihat begitu sexy –menggoda.

"Shhh…." Mendesis tertahan, saat dia –entah sengaja, entah tidak– mengetatkan lubangnya, memeluk erat bagian diriku yang ada di dalam tubuhnya. Ah, saat ini aku ingin menangis karena terlalu bahagia juga karena terlalu menahan diri. Akhirnya, hari ini tiba juga.

"A-ada yang salah?" Naruto bertanya dengan wajah yang tiba-tiba memucat, campuran antara kepanikkan dan kegugupan.

Aku berusaha tersenyum lembut padanya –menenangkan. Aku tidak ingin ia minta berhenti di sini. "Kenapa kau terlihat cemas? Apa begitu sakit?"

Naruto memberi gelenggan.

"Naruto…." Bisikku, menahan diri sekuat tenaga. Sampai kapan aku harus diam begini? Rasa hangat lubangnya membuatku ah … sulit dijabarkan, ini terlalu luar biasa. Bahkan lebih baik daripada lubang perempuan manapun. Naruto memang yang terbaik.

"Kau kenapa?" tanya Naruto, kelihatannya ia menyadari bahwa aku menahan diri. Kuharap ia menyadarinya supaya aku bisa bergerak secepatnya.

"B-boleh aku bergerak… sekarang?" bukannya menjawab, aku malah balik bertanya meminta izin. Aku mengutuki suaraku yang tiba-tiba terbata-bata. Mana si percaya diri Uchiha Sasuke?

"Hahh … i-iya … ahhh…" setuju Naruto.

"Hnn…"

"Sasukehh…" Dengar! Desahannya sangat sexy bukan? Namaku terdengar 100 kali lebih baik saat ia yang menyebutnya di saat-saat seperti ini.

Aku bergerak, memulai dengan perlahan kemudian menaikkan tempo kecepatan keluar masuk ke dalam lubang ketat nan hangatnya. Desahan menggema di ruang sempit ini saat aku menemukan titik kenikmatannya.

"AHH…" ia mendesah keras, meningkatkan libido dan menambah semangatku untuk membuatnya mencapai puncak kenikmatan tertinggi.

"Aku suka suaramu tapi dinding di sini tipis, jadi pelankan suaramu, Naruto… atau kau ingin tetangga sebelah kamar tahu kegiatan yang sedang kita lakukan," kataku tanpa memelankan tempo keluar-masuk.

Uhh tapi anh … Ahh~" ia menjawabku dengan desahannya, malahan lebih keras dan lebih sexy daripada yang tadi. "Hmmp…" tidak tahan, kucium bibirnya yang membengkak karena ulahku. "Ahmmmphh…." Desahannya tertahan.

Berniat membuat gairahnya semakin meningkat seperti gairahku, aku menyentuh ereksinya. Aku tidak menutup mataku saat menciumnya, sebab ingin kunikmati tiap ekspresi yang melintas di wajah tampannya. Mata Naruto yang tadinya tertutup kini terbuka! Sial! Sial! Kenapa ada makhluk semempesona ini? Pipiku terasa panas saat ia menatapku dengan mata birunya yang sayu.

"Hnnm… ah…" suara desahan Naruto kembali terdengar saat kulepas bibirnya. Aku beralih, turun ke leharnya dan memberikan tanda kepemilikan di sana. "Sassukkeh…" erang Naruto.

"Kau… dobe… nnh… me… mang ingin menyiarkan kegiatan shhhshh ki…tah…" sialan! Aku terdengar payah. Berniat menggodanya tapi suaruku kacau.

"Ahh … aku… masa bo-dohh sshh… ahn~ Biar sa-ja… ahnn.. kalau adahh yang engh… dengar… ah… Sasuke…"

Huh, ternyata bukan hanya suaraku yang kacau di sini. Ah, lubang Naruto semakin menggenggamku dengan erat.

.

.

.

.

"Sassukke… ahhku… ingin keluar hahh…" bertepatan dengan apa yang barusan ia ucapkan, cairannya menyembur keluar. Aku senang ia mencapai klimaks, dan gemetar di bawah tubuhku. Namun, aku belum mencapai puncak kegiatan ini.

"Sshh… sebentar lagi…" tanpa persetujuan darinya aku tetap menhantam lubangnya, dan setelah beberapa kali acara keluar-masuk akupun meraihnya, "Naruto… ahh…" aku menggeram, menahan desakkan ingin mendesah keras-keras saat klimaks akhirnya datang menghampiri.

Aku ambruk, menindihi tubuhnya dan mengecup bagian bahu Naruto. "Kau hebat," pujiku. Erangan lolos dari bibir Naruto saat kutarik kejantananku keluar. Aku menyelimuti tubuh polos kami dan berbaring tepat di sebelahnya. "Tidurlah," kataku menyarankan. Kuduga ia pasti merasa lelah.

Beberapa menit berlalu, tapi Naruto sepertinya belum jatuh tertidur. Ia terlihat gelisah, sadar tidak sadar ia bergerak-gerak kecil sedari tadi.

"Kau tidak tidur?" tanyaku seraya berganti posisi yang tadinya telentang mejadi miring ke arahnya. Naruto menatapku dengan mata biru yang cerah itu. "Atau kau ingin melakukannya lagi?" godaku yang dibalas dengan dengusannya. "Lalu kenapa tidak tidur?" aku meraih Naruto ke dalam pelukanku, ia terasa hangat. Senang rasanya saat ia tidak memberontak saat kupeluk.

Sedekat ini dengan Naruto, dan apa yang telah kami lakukan beberapa menit ke belakang … tidakkah itu seperti sebuah keajaiban? Mengingat ia yang senantiasa menolak dan selalu menjauhi diriku.

"Sasuke… apa artinya aku bagimu?" tanya Naruto tiba-tiba. Dia menatap lurus ke mataku.

"Segalanya," jawabku cepat. Apa yang kukatakan ini adalah sebuah kejujuran.

Naruto tersenyum, barangkali ia senang mendengar jawabanku. Perasaanku sudah tersampaikan padanya kan?

"Sasuke…"

"Hn?" sahutku.

Untuk berberapa saat, kami hanya saling memandang, menatap lurus tepat ke mata masing-masing. Mata birunya memenjarakanku dalam pesona yang tak mampu kutampik. Ah, Naruto … apa yang sudah kau lakukan padaku hingga aku seperti ini?

Namun, senyumannya tiba-tiba memudar. "Ini semua terlalu tiba-tiba, sulit dipercaya…"

"Kau masih belum percaya bahkan setelah kita bercinta, dan kau sudah mendengar debaran jantungku kan?" tanyaku seraya membelai pipinya yang lembut.

"Kau tidak bohong?" ragu Naruto. Tangannya diletakkan di atas tanganku yang ada di pipinya. Tangannya hangat, nyaman.

"Kenapa kau pikir aku berbohong?"

"Ini terlalu aneh … terlalu mendadak," ungkapnya.

"Apa yang terlalu aneh dan mendadak?"

"Perasaanmu padaku … tiba-tiba saja kau bilang suka padaku."

"Aku menyukaimu sejak dulu," akuku tetapi Naruto malah memperlihatkan gelengan tidak percaya. "Kau masih belum percaya juga? Apa yang membuatmu tak percaya?"

Naruto nampak ragu ketika mengatakan, "sikapmu. Sikapmu padaku selama ini… kau memperlakukanku seenakmu, seperti mainan dan hari ini kau tiba-tiba berlaku lembut lalu bilang suka padaku."

Aku mengerutkan kening, terkejut atas perkataannya. "Kenapa bisa kau pikir begitu? Astaga, Naruto! Aku tak pernah menganggapmu mainanku." Sekalipun tidak pernah! Tambahku dalam hati.

"Tapi sikapmu padaku menunjukan kalau kau menganggap aku ini mainanmu, kau memperlakukan aku seenakmu dan kau selalu memperlakukanku dengan buruk."

"Benarkah aku memperlakukanmu dengan buruk?" Well, aku merasa tidak pernah melakukan hal buruk padanya. Memangnya apa yang sudah kulakukan? Seingatku selama ini aku hanya berusaha menyampaikan perasaanku padanya.

"Ya. Kau melakukan itu," Naruto terdengar sangat bernafsu untuk mengatakan kata-kata itu.

"Apa? Aku tidak bermaksud begitu," elakku sungguh-sungguh.

"Kau megklaim aku ini milikmu, memaksakan kehendakmu padaku, menciumku seenaknya, menyentuhku, mencumbuku lalu meninggalkanku saat aku mulai terangsang."

"Kau selalu bilang tidak, jadi aku tidak mungkin memaksamu." Aku tidak sedang beralasan, sungguh!

Naruto tersenyum kecut. Aku menanti kata-katanya dengan was-was. "Dan kau melakukannya dengan orang lain," Naruto berujar tenang, namun tidak aku mampu mennagkap ketidaksukaan dalam nada suaranya. "Menyakitkan sekali melihatmu berciuman… melihatmu melakukan… itu dengan orang lain."

Aku menghela nafas, dan memelukknya erat. "Maaf," bisikku dari hati terdalam, benar-benar menyesal. Aku merasa sangat bodoh, melampiaskan pada orang lain hanya karena tidak bisa menyentuhnya. Benar-benar menjijikan kurasa. Tapi, saat itu, andai dia tahu, maksudku melakukannya adalah agar aku tidak sampai melakukan pemerkosaan pada dirinya.

Naruto berdecak. "Ini tidak adil Sasuke! Kenapa aku selalu bisa memaafkan segala kelakuanmu?"

"Karena kau mencintaiku," ujarku berharap.

"Tidak adil!" seru Naruto.

"Adil saja, karena aku juga mencintaimu," ucapku dan sengaja kubumbuhi dengan senyuman tipis agar ia benar-benar jatuh cinta pada diriku. Semakin jatuh cinta padaku. Maafkan aku soal ciuman dan melakukan seks dengan orang lain," sesalku. "Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi asal kau mengizinkan aku melakukannya padamu kapanpun aku mau."

"HEII!" teriaknya disertai pelototan cuma-cuma. Ah, dia mulai berani padaku, tapi aku suka.

"Bercanda… bercanda… " kataku disertai kekehan. Reaksi Naruto membuatku semakin ingin menggodanya, "aku tidak akan melakukannya lagi, aku akan datang padamu jika aku ingin. Aku melakukannya denganmu tidak peduli kau menolak atau tidak."

"Hei! Kenapa seperti itu?!"

Mengerling serta menyeringai padanya, aku berujar mengingatkannya, "kau lupa? Kau sendirikan yang bilang jika kau berkata tidak bukan berarti benar-benar tidak."

"Kau!" Naruto seperti kehabisan kata-kata dan hanya memelototiku dengan permata safir miliknya.

Aku tergelak. Ha-ah, ternyata wajah cemberutnya juga imut sekali. Tetapi, aku yakin ia akan marah-marah jika kukatakan bahwa dia itu imut. "Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku ketika teringat hal yang membuatku penasaran.

"Ya. Silahkan."

"Bagaimana kau bisa tahu tentang aku dan Sakura berciuman di taman?"

Naruto menatapku, tampaknya ia bertanya-tanya maksud dari pertanyaanku. Barangkali karena ia tidak mampu membaca ekspresiku atau tidak menemukan maksud pertanyaanku dia menyerah dan menjawab, "rumahku di dekat sana."

"Eh?" hanya itu respon yang kuberikan. Terkejut, tentu saja!

"Ya. Setelah taman belok kiri dan di sana ada rumah bercat biru. Itu rumahku," ungkapnya membuat mataku membulat dengan tidak elit.

"Oh…" gumamku saat sudah mampu menguasai diri. Hn, lain kali aku akan datang ke rumahnya. Ide yang bagus bukan?

"Bagaimana dengan mereka?" Aku mengangkat alis, tidak mengerti maksud pertanyaanya. Mengerti isyaratku, Naruto menambahkan, "kedua gadis teman mainmu."

Kelihatannya Naruto masih kesal soal itu, terlihat jelas dari penekanan dalam nada suaranya. Jadi, kujawab cepa-cepat, "mereka bukan siapa-siapa."

Alis Naruto bertaut, ekspresi tidak setuju mengambang di wajahnya. "Kau juga mempermainkan mereka? Kau tidak pernah memikirkan perasaan orang lain."

Lihat … dengar … ia bahkan mempedulikan orang lain yang tidak di kenalnya, yang tidak ada hubungan dengan dirinya. Naruto sedang memarahiku –kurasa. Aku mengelus pipinya, menarikan jemariku di permukaan halus nan kenyal itu. "Kau memikirkan perasaan orang lain… makanya aku bisa jatuh cinta padamu," akuku.

"Sasuke– "

Kupotong apapun yang hendak ia katakan, "–dengarkan aku, mereka sudah tahu sejak awal kalau aku cuma main-main dengan mereka. Mereka tahu itu, jadi jangan dipikirkan!" kuungkap fakta yang harus ia tahu. perempuan-perempuan yang sempat menemaniku tahu benar bahwa aku hanya akan bermain sekali –baiklah, sekali dua kali dengan mereka. Dan, aku merasa bodoh soal itu, apa yang kulakukan, perbuatanku itu membuat pemuda di sampingku terluka … aku menyesalinya, sangat.

"Tapi Sasuke –"

"–sudahlah Naruto," kembali kupotong protesan yang akan ia lontarkan. "Aku janji tidak akan bermain-main dengan mereka… dengan siapapun. Kau sudah jadi milikku dan aku tidak butuh siapapun lagi kecuali dirimu."

Naruto akhirnya mengangguk setuju. Dia kelihatan ragu-ragu, seperti ingin menanyakan sesuatu tapi tidak yakin untuk bertanya, jadi kubiarkan ia larut dalam pikirannya beberapa detik sampai iapun memutuskan untuk bertanya, "Sasuke… yang tadi itu siapa? Ayahmu?"

"….." Aku tidak menyangka pertanyaannya. Sedikit terkejut.

"Tidak apa-apa kalau kau tidak ingin cerita," ujarnya, dan aku baru sadar kalau aku diam saja sedari tadi. Aku menangkap raut kekecewaan melintasi wajan Naruto.

"Tidak, aku akan cerita kalau kau ingin aku cerita."

"Benarkah?"

"Hn."

"Tadi itu ayahmu?" nada penasannya terdengar jelas.

"Ya."

"Kenapa kau tinggal sendiri di tempat semacam ini?"

"Huh?"

"Saat menemukanmu di bar tempo hari kupikir ketika mengantarmu aku akan menemukan apartement mewah tapi… yeah… rupanya tidak begitu."

"Sorry kalau apartement yang kusewa jelek," kataku datar. Aku tidak bermaksud kasar, juga tidak tersinggung. "Kau kecewa tak menemukan apartement mewah?" tanyaku, menyungingkan senyum kecut kearahnya.

"Bu-bukan," Naruto panik. Menyenangkan rasanya melihat kepanikan dirinya. Lanjutnya, "sama sekali tidak! Aku cuma tidak menyangka. Jadi kenapa kau tinggal di sini?" Naruto menubah topic pembicaran dengan cepat, merasa tidak enak hati, eh? "Kabur dari rumah?" tebaknya tepat sasaran.

"Begitulah. Hubungaku dengan ayahku tidak baik."

"Tapi kenapa?"

"Banyak alasan. Aku bosan dengan ceramah-ceramahnya, aku muak dibanding-bandingkan dan aku punya tujuan tertentu." –tujuan untuk membuatmu diterima oleh mereka dengan mudah, tujuan untuk memuluskan kelanjutan hubungan kita di kedepannya nanti, lanjutku dalam hati. "Sudah tiga bulan aku hidup sendiri, menyembunyikan diri," ungkapku tanpa diminta.

"Oh… lalu kau menghidupi dirimu sendiri?"

"Hn. Aku bekerja di bar itu dan ikut balapan liar."

"Balap? Kau ikut balapan liar?Astaga Sasuke… jangan bilang kalau lukamu itu karena kecelakaan saat balapan?"

Aku cukup yakin mendengar nada khawatir dalam suaranya. Aku memberinya anggukan sebagai ganti kalimat pembenaran, dan Naruto menggeleng tidak percaya.

"Itu berbahaya dan kau bisa berusan dengan polisi," ujar Naruto penuh ketidak setujuan.

"Kau cerewet," komentarku, kata-kata itu keluar begitu saja saat aku teringat bahwa hari ini lebih banyak berbicara padaku, sesuatu yang kuinginkan sejak dulu. "Tapi aku suka," aku menambahkan, membuahkan sebuah semu merah di pipinya.

Beberapa detik Naruto diam, sepertinya sedang mengatasi pipinya yang memanas –dan aku senang itu disebabkan oleh perkataanku. "Kau ini benar-benar… bekerja di bar? Ikut balapan? Tidakkah kau pernah berpikir kalau kau itu masih dibawah umur?" masih sama, sebuah kekhawatiran masih bersemayam dalam nada bicaranya, membuat hatiku menghangat.

"Siapa peduli," kataku singkat dan memeluk Naruto lebih erat, merasakan hangat tubuhnya dan aroma khasnya. Terkadang untuk bertahan hidup kita perlu melakukan apapun kan? Tapi mungkin ini tidak sesuai harapannya, pekerjaan yang kugeluti mungkin tidak sesuai dengan harapannya. "Apa aku mebuatmu kecewa?" tanyaku pelan, tak ubahnya sebuah bisikan. Kuharap Naruto tidak menyadari secercah ketakutan di sana.

Naruto bergerak, menyamankan posisi dalam pelukanku. Senang rasanya melihat ia bisa bersikap santai denganku –omong-omong sudah berapa kali kukatakan kalau aku merasa senang? Posisi kami sekarang saling berhadapan.

"Tidak. Yang kutahu aku… a-aku masih menyukaimu," ujarnya malu-malu –kuanggap itu sebagai sebuah pengakuan. "Hanya saja kesanmu ini agak berbeda dari yang ada di pikiranku selama ini."

"Memangnya apa yang kau pikirkan?" tanyaku penasaran.

Kuperhatikan Naruto menggigit bibir bawahnya, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu, tapi akhirnya iapun mengatakannya juga, "kau itu sosok yang egois, manja, seenaknya, kasar dan playboy," Naruto mengatakannya penuh nafsu membuatku sedikit mengangkat alis.

"Hei," seruku tidak terima seraya mengangkat kepala supaya bisa melihat Naruto dengan lebih jelas. Jadi begitukah penilaiannya mengenai diriku? "Buruk sekali aku di matamu."

"Mau bagaimana lagi?" Naruto mengangkat bahunya, kelihatan sekali ia sama sekali tidak merasa tidak enak padaku –hn, tapi aku suka dengan kejujurannya. Lanjutnya, "kau selalu semena-mena padaku."

"Kalau aku tidak egois terhadapmu apa kau akan bersamaku?" tanyaku sambil kembali ke posisi semula, berbaring di sebelahnya sambil memeluknya –tidakkah posisi ini terdengar intim, eh? "Aku ingin kau selalu ada di sisiku dengan cara apapun. Aku takut jika aku tidak memaksamu maka kau akan menolakku dan tidak pernah memandangku," ungkapku, ini memang egois tapi kupikir ia perlu tahu seperti apa perasaanku padanya. Aku senang –lagi– sebab perasaanku kini sudah tersampaikan pada Naruto. Tambahku dengan nada penuh kegembiraan yang tak mampu disembuyikan, "jadi kau sekarang kau tahu kan kalau bayanganmu tentangku itu tidak semuanya benar."

"Entahlah," ucapnya cepat.

Aku mendengus. "Jawaban macam apa itu," protesku.

"Yeah … ada yang salah dan ada yang benar. Kau tidak manja, kau egois … itu benar …," katanya yang lagi-lagi membuatku ingin mendengus mendengarnya. "Kau playboy itu juga benar…."

"Heii!" seruku memprotes, memotong apapun kelanjutan perkataan Naruto, "sudah kubilang itu ada alasannya," ujarku agak lebih keras daripada yang kumaksudkan. "Itu karena dirimu yang terlalu menggoda. Aku tidak terlibat percintaan dengan mereka. itu cuma seks dan mereka tahu itu." aku tidak sedang beralasan, itu memang benar adanya.

"Ya … ya … ya … terserah kau," kata Naruto acuh tak acuh.

"Dobe!" panggilku.

"Teme!" Naruto balas memanggilku dengan panggilan yang hanya dia yang berani memanggilku seperti itu. Kurang ajar memang tapi sudahlah! Toh aku juga memanggilnya dobe.

"Dobe!" panggilku lagi.

"Teme!" Naruto kembali membalas.

"Dobe!"

"Teme!"

Kami berpanggil-panggilan seperti orang bodoh. suatu saat aku mungkin akan menertawai kenangan ini sebagai kenangan yang konyol, tapi tak kusangkal bahwa aku merasa senang. Bahagia.

Perasaanku tersampaikan. Naruto membalas perasaanku. Sembari memejamkan mata, aku berpikir jika kusampaikan perasaanku dengan cara yang tepat akankah kami dekat lebih cepat pula? Entahlah, lagipula kurasa itu tidak perlu dipikirkan lagi, yang terpenting kini ia ada di sisiku, dalam pelukanku dan dalam cintaku –ah, aku apa aku agak berlebihan?

~The End~

.

.

.

.

Omake

(Normal PoV)

Pada akhirnya hubungan Sasuke dan Naruto berjalan baik, mereka menjadi terbuka satu sama lain dan semakin dekat, walaupun tiap hari selalu diselingi dengan beberapa adu mulut mereka, namun adu mulut itulah yang malah membuat hubungan mereka terasa ramai dan berwarna.

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian di apato bobrok Sasuke. Saat ini, di jam istrirahat di sekolah mereka, Naruto bersama Sasuke sedang berada di atap sekolah. memandang langit hari ini yang kelihatan gelap seperti akan turun hujan. Banyak awan-awan kelabu yang menggantung di langit menghalangi sinar matahari menerobos sampai ke bumi.

Sasuke sedang bersandar di bahu Naruto, mendapatkan kenyamanan dari pemuda bersurai pirang yang telah merebut hatinya. Sasuke memejamkan mata, menyembunyikan sepasang onyx miliknya, ia diam, membiarkan semilir angin yang menerpa helai-helai rambut gelapnya.

Tidak terjadi suatu percakapan di antara Sasuke dan Naruto. Keduanya membungkam mulut mereka, bahkan makhluk pirang bermata safir biru yang biasanya tidak bisa diam itupun kali ini tidak bersuara, ia ikut terlarut, menghayati keheningan. Sebuah jenis keheningan yang menentramkan, damai dan nyaman.

Drrt … drrtt … drrrttt….

Sebuah getaran ponsel merusak suasana tentram mereka. itu getaran ponsel milik Sasuke, dengan agak tidak rela meninggalkan sandarannya –pundak Naruto. Sasukepun ogah-ogahan merogoh saku celana, mengambil ponsel hitam miliknya. Sebuah senyum, seperti seringai kemenangan terkembang di bibir sang Uchiha muda setelah ia membaca apapun yang tertera di layar ponsel tersebut.

Naruto yang penasaran mencoba melongok ke layar ponsel Sasuke tapi sang empunya ponsel segera mematikan layar lalu mmasukkan kembali alat elektronik itu ke dalam saku celana. Sempat terbesit jangan-jangan sikap Sasuke yang suka main-main dengan perempuan kembali kumat? Naruto menggeleng, menepis pikiran tersebut. Dia berusaha mempercayai Sasuke yang telah berjanji tidak akan 'main' lagi baik dengan perempuan maupun lelaki manapun kecuali dirinya seorang.

Kecurigaan yang mendiami hati Naruto segera sirna secepat kemunculannya ketika Sasuke tersenyum dengan amat menawan ke arahnya. "Naruto," panggil Sasuke dengan suara semanis madu hingga Naruto dibuat gugup olehnya.

Oh, ada apa ini? Ada apa dengan senyum serta suara manis itu? Sedikitpun Naruto tiadak memiliki gambaran.

Sasuke merangkul bahu Naruto dengan mesra saat berkata, "sepulang sekolah berkunjung ke rumah orang tuaku. Oke?"

Itu bukan permintaan, itu perintah! Meski sedikit bingung Naruto mengangguk setuju. "U-untuk apa?" tanyanya tiba-tiba merasa gugup entah karena sikap Sasuke atau karena ajakannya.

Sasuke memutar bola matanya, seakan Naruto seharusnya sudah tahu maksud ia mengajaknya berkunjung ke rumah. "Tentu saja untuk memperkenalkanmu pada orang tuaku," ujar Sasuke santai seolah ia sedang membicarakan cuaca hari ini dan bukan membicrakan sesuatu yang membuat pemuda dalam rangkulannya mengerjap-ngerjapkan mata.

Kedip

Kedip

Kedip

Naruto berkedip-kedip mencerna omongan Sasuke. Kemudian ketika telah tercerna … "APAAAA?" Naruto berteriak tanpa sungkan.

"Hn," Sasuke bergumam singkat seraya menguncang pelan bahu Naruto tanpa mempedulikan pemuda itu sedang terkejut atas perkataannya dan tengah dilanda kegugupan tiba-tiba.

Sasuke cuma tersenyum memingat pesan singkat dari sang kakak yang kurang lebih intinya berbunyi begini : Yo! Sasuke! Kau bisa membawa orang yang membuatmu gila itu pulang. Ayah sudah menyerah, ia butuh bantuanmu mengurus perusahaan.

Senyum Sasuke melebar. Oh, kemenangan memang mampu membuat siapapun tersenyum lebar bahkan si Uchiha bungsu yang minus ekspresi satu ini.

Ponsel Sasuke kembali bergetar tanda adanya pesan masuk. Sasuke yang tadi membalas pesan kakaknya dengan kalimat : Apa yang kauinginkan sebagai imbalan bantuanmu? Sudah dibalas.

Ya, benar. Itachi ikut andil dalam rencananya ini. Itachi secara diam-diam mengacau dibeberapa perusahaan cabang milik ayahnya. Membuat ayahnya kewalahan dan membutuhkan tenaga Sasuke untuk membantu. Well, tentu saja Itachi juga pura-pura kewalahan dalam mengatasinya.

Melepas rangkulannya, Sasuke kembali meraih ponsel. Tanpa buang waktu ia membaca pesan balasan dari Itachi. Begini bunyinya : Mudah saja. Kau tahu Uzumaki Kyuubi? Dia salah satu gurumu di sana. Atur pertemuan kami. Secepatnya.

Andai ia bukan Sasuke, tentulah Sasuke sudah menjatuhkan ponselnya dan mengangga. Serius! Sasuke sama sekali tidak tahu! Jangan bilang kakaknya … Itachi juga suka laki-laki! Mata Sasuke membulat, ia sama sekali tidak pernah menduga. Bukankah selama ini Itachi sering sekali membawa perempuan keluar masuk rumah?

Dan yang paling membuat Sasuke menelan ludahnya adalah kakaknya suka pada Uzumaki Kyuubi? Gurunya yang super bengis nan galak itu? Mana sisi baiknya coba? Selera Itachi benar-benar aneh, batin Sasuke berkomentar.

Sasuke memutar otak. Guru yang satu itu pasti sangat sulit didekati. Tapi dia sepupu Naruto kan? Hm, nampaknya Sasuke membutuhkan bantuan kekasihnya untuk yang satu ini. Sasuke melirik penuh arti pada Naruto yang sibuk dengan pikirannya. Sepertinya ajakan Sasuke berpengaruh dahsyat bagi Naruto, lihat saja sedari tadi ia hanya berkedip-kedip dan diam.

.

.

.

End Omake.

.

.

.

A/n : KYAAAA MAAF MAAF MAAF! Ini aneh pake banget malah! Tahu, tahu … saya sadar diri selain ooc banget Sasukenya juga agak gimana gitu. Ini udah berjamur di laptop dan dilanjut hari ini. Sorry banyak kesalahan di sana sini m(_ _)m tolong jangan bunuh saya! Saya lupa sebagaian idenya hiks … hiks … hiks …

Uda gitu aja … terimakasih sudah membaca … terimakasih untuk dukungannya. Dan mohon RnR-nya.