Why do stars fall down from the sky

every time you walk by?

Just like me, they long to be close to you.

[The Carpenters—Close to You]

Bel masuk sekolah belum berdering, tetapi seperti biasa, Luhan sudah sibuk dengan bukunya. Semalam, ia berhasil menamatkan buku tentang pemerintahan Jeoseon yang dibelinya tempo hari, dan sekarang ia sibuk membaca ulang buku tentang sejarah lainnya yang nanti akan dikembalikan ke perpustakaan. Karena tak mau membuang uang dengan menyalin buku, ia menyalinnya ke dalam otak. Otak manusia terdiri dari seratus miliar neuron, jadi harusnya bukan masalah untuk memindahkan segala data itu ke dalam otaknya.

Luhan masih dalam mode menyalin buku saat terdengar kasak-kusuk di sana-sini. Yakin itu pasangan Kris dan Minseok, kenapa Luhan bisa seyakin itu?. Karena kalau itu Sehun dan Tao, pasti kelas itu akan berisik dengan celetukan jahat Tao tentang hal-hal yang bersifat jelata di luar sana. Ya, Tao akan mengeluh dengan keadaan sekolah mereka yang menurut Tao banyak orang-orang jelatanya dan menyebarkan aura-aura jelata di sekitar dirinya yang mewah. Tao merasa terganggu tapi juga tak bisa pergi karena di sana ada Minseok dan Kris. Luhan tak mau repot-repot melihat. Anak-anak kelasnya itu mungkin senang melihat Minseok lagi karena ia sempat izin selama satu hari dan membuat Tao heboh hanya karena Minseok izin sehari.

Saat bisikan itu tak kunjung berhenti, Luhan mendongak. Itu memang Minseok dan Kris, jadi Luhan kembali membaca buku. Namun, detik berikutnya, Luhan kembali mengangkat kepala. Ia menatap Minseok yang sudah berdiri di hadapannya, lalu menganga, tak percaya. Sekarang, ia tahu apa yang membuat kelas ini sedikit lebih heboh dari biasanya.

Minseok tersenyum padanya. "Selamat pagi."

"Kenapa..." Luhan memilih tidak membalas sapaan itu. Matanya tertancap pada apa yang dikenakan Minseok. "Kenapa kamu pake itu?"

Semua orang sekarang menatap Luhan dan Minseok, bersemangat akan kemungkinan drama lain. Kris mengawasi mereka dari bangkunya, tahu bahwa sesuatu akan terjadi begitu melihat Minseok keluar kamar tadi pagi.

Minseok menatap jaket longgar yang dikenakannya, lalu menatap Luhan seolah tak ada yang terjadi. "Emang kenapa? Nggak boleh?"

Sebelumnya, Luhan tidak pernah menganggap jaket itu jelek. Namun sekarang, saat Minseok mengenakannya, jaket itu mendadak terlihat sangat kotor dan tak pantas. Tak pernah Luhan merasa semalu ini selama memilikinya.

"Lepasin," gumam Luhan, membuat mata Minseok melebar.

"Kenapa?"

"Jaket itu kotor," jawab Luhan, risih dengan pandangan anak-anak lain. "Lepasin."

"Nggak kotor, kok." Minseok menggeleng, lalu memeluk lengannya sendiri. "aku suka aromanya."

Luhan melongo. "Ha...?"

Anak-anak semakin ramai berbisik sementara Minseok duduk tenang di bangkunya. Luhan sendiri masih belum bisa bernapas normal—kata-kata Minseok barusan membuatnya seperti tersengat listrik jutaan volt. Ia tidak pernah tahu ia punya aroma. Sekarang, ia menyesal setengah mati meminjamkan jaket itu kepada Minseok. Setelah ini, ia bersumpah untuk mencuci jaketnya setiap habis pakai.

Luhan masih mengawasi Minseok dalam balutan jaketnya saat Tao dan Sehun masuk ke kelas mereka.

"mama kemaren bawain aku tas harmes baru dari Milan. Tapi aku nggak suka.. iyuh… warnanya itu loh hunie… ijo lumut gitu. Itukan warna jelata banget. Kaya barang-barang butut yang udah lama gitu." Gerutuan Tao mulai terdengar dan membuat suasana kelas yang canggung mendadak terusik dengan suara angkuhnya

"untung-untung udah dibeliin panda" tanggap sehun cuek, hell yeah… apa pedulinya dengan tas perempuan dan merek-mereknya. Dia cukup nyaman dengan pakaian armaninya. Ya, dia memang penggila Armani. Tidak seperti Kris, Tao, dan Minseok yang memakai semua mereka terkenal. Dia cukup setia dengan Armani dan hanya memakai merek lain jika itu diberikan oleh ketiga temannya itu.

"tapi itukan jelata banget Hunie.. mau aku kasih kepembantu aku aja itu tas. Aku takut jelata. Itu… warnanya sama kayak jaket yang dipakai Minseok Jie. Jelata banget kan. Kucel dekil gitu" rutuk Tao sambil lalu tapi mampu membuat semua isi kelas menahan nafas, menanti pekikan heboh Tao tentang jelata dan segala kehinaannya.

"yayayaya… itu memang warna jelata banget setelah aku liat jaket Kudel Minseok" ujar Sehun dengan ekspresi terganggu dan mata terpancang lekat ke arah Minseok yang menatap mereka dengan tatapan polosnya, lalu mengalihkan tatapannya kepada Kris yang membeku ditempat melihat tatapan menghakimi Sehun. Kris Tahu, sehun mulai terganggu dengan sikap aneh Minseok belakangan ini

"OH my Fucking God!, sialan!. itu memang barang jelatakan!" yeah… selamat datang di dunia jelata Tao. Itu memang jaket mahluk jelata rendahan bernama Luhan yang setengah mati kamu benci karena kamu anggap merebut jiejiemu dari gegemu. Dan Luhan hanya dapat menggeram kesal ke arah Tao dengan tangan mengepal Kesal.

"yeah… begitulah kira-kira. Jauh-jauh dari mereka berdua kalau kamu nggak mau ketuleran jelata baby Zi" selamat datang dineraka mu Kris, Sehun mulai sama menyebalkannya dengan Tao, yah.. karena itulah mereka cocokkan.

"Jiejie, apa-apan itu? Dari mana jiejie dapet jaket kudel beraura jelata itu?" teriak Tao jijik dan berderap ke arah Minseok tapi berakhir dengan jarak dua bangku dari minseok, takut aura jelata dari jaket yang dikenakan oleh Minseok mengkontaminasi tubuhnya yang meneriakan kata mewah.

"ini jaket Luhan Tao. Dan dia nggak jelata" jawab Minseok dengan santainya, jelas tidak sadar dengan aura tegang yang menggantung di udara.

"apa kataku. Menjauh darinya Tao. Dia jelas sudah sama jelatanya dengan si pemilik jaket." Hina Sehun tanpa berfikir akan menyinggung perasaan Minseok

"Sehun!" bentak Kris tak kalah kerasnya, ia tak mau Minseok sakit hati dan drop lagi karena kata-kata dua orang sahabat mereka itu

"yeah,,, sesama orang yang mendekati jelata, Shut Fucking Up" ok, ini jelas makin kasar dan menyebalkan. Kris tau ini juga salahnya, tapi ia tidak mungkin melarang Minseok dengan segala tingkahnya. Itu hak Minseok, tapi Tao dan Sehun jelas tidak menolelir perubahan yang mendadak itu.

"Jiejie… lepas barang menjijikan itu sekarang juga, Ok." Bujuk Tao dengan lebih lembut. Ia sedikit terusik dengan perkataan Sehun tadi. Walaupun tao juga merasa terganggu, tapi entah mengapa ia juga tak bisa dan tak tega melihat wajah terluka jiejienya. Matanya menatap Luhan dengan pelototan menghakimi dan menyalahkan. Luhan membalas tatapannya dengan tatapan muak dan sakit hati. Entah mengapa lagi-lagi ia merasa terusik. Mungkin ia dan Sehun memang sudah keterlaluan.

"nggak mau. Memangnya kenapa sih dengan jaket ini? Ini bersih kok" terdengar erangan putus asa dari bibir mungil Tao dan dengusan jijik dari arah Sehun

"kau dengarkan nona Kim yang terhormat. Jaket ku itu jelata dan menjijikan. Jadi tolong lepas jaket itu" Luhan akhirnya buka suara. Ia tak tahan dengan tatapan merendahkan dari sehun dan tatapan menyalahkan dari Tao.

"aku nggak mau. Kalian ini kenapa sih. Tao, duduk ke bangkumu ya. Sehunie, aku anggep kamu nggak ngomong jahat sama aku tadi karena kamu adik aku. Dan Luhan, kenapa masih maksa ngelepas jaket ini sih." Minseok kembali membuka suara dan membuat Tao dan Sehun tersentak pelan

Baru saja Tao mau menanggapi perkataan Minseok, Youngmin, guru Fisika mereka, masuk kelas. Tanpa harus mengucapkan apa pun, Youngmin berhasil membuat semua anak duduk di bangku masing-masing. Aura Youngmin yang suram memang membuat semua anak segan padanya, malas mencari gara-gara.

"Baiklah. Saya mau membagikan hasil ulangan kemarin." Youngmin memulai pelajaran tanpa mengucapkan selamat pagi. "Setengah dari kelas ini harus ikut ramedial."

Ia menucapkannya dengan begitu datar, membuat semua anak hanya bisa saling pandang cemas. Youngmin lantas membagikan hasil ulangan itu dengan memanggil satu per satu nama semua anak.

"Kim Minseok."

Minseok bangkit saat namanya disebut, lalu melangkah ke arah gurunya itu. Youngmin menyerahkan hasil ulangan Minseok dengan wajah sedikit garang dari biasanya, tetapi Minseok membalasnya berani.

"Kamu harus belajar lebih giat lagi," kata Youngmin, membuat Minseok mengerjap. Youngmin tak pernah berkomentar pada siapa pun sebelumnya.

Penasaran, Minseok membalik hasil ulangannya. Tiga puluh enam dari seratus. Tak heran, Youngmin memberinya petuah khusus. Sambil menggigit bibir, Minseok melangkah kembali ke bangkunya diiringi tatapan bingung dan penasaran teman-teman sekelasnya. Saat matanya bertemu dengan mata Luhan, Minseok buru-buru mengalihkan pandangan dan duduk, malu.

"Luhan." Youngmin menyebut nama pada kertas terakhir. "Nilai sempurna."

Luhan baru bangkit dari bangku saat Youngmin mengumumkan informasi tambahan yang menghebohkan itu. Sehun mendengus tak suka mendengar perkataan gurunya itu. Membuat Tao mengusap punggung tangannya dengan gesture menenangkan. Sedangkan Teman-teman mereka segera berdecak kagum, tak habis pikir pada kemampuan Luhan mengalahkan soal yang dibuat Youngmin di dalam gua selama tiga hari tiga malam—istilah anak-anak untuk soalnya yang sulit setengah mati.

Luhan menerima hasil ulangan dari Youngmin yang memandangnya dengan tatapan rumit. Seolah bangga, tetapi sekaligus tak rela soal yang dibuatnya dengan susah-payah ternyata masih bisa ditaklukan. Tak ingin berlama-lama di depan kelas, Luhan segera berjalan kembali ke bangkunya. Ia bisa menangkap tatapan kagum Minseok, tetapi berusaha untuk tidak peduli. Apa lagi ia merasakan tatapan tajam penuh permusuhan dari pjok belakang kelas. Tak perlu menengok untuk memastikan tatapan siapa itu, tapi Luhan salah. Tao tak lagi menatapnya dengan tatapan permusuhan, Sehunlah yang sekarang menatapnya dengan aura membunuh yang pekat. Dan begitu Luhan duduk, Minseok memutar tubuhnya.

"kamu pinter banget," puji Minseok.

Luhan bisa merasakan kupingnya memerah, jadi ia melengos. "Biasa aja."

Minseok baru berhenti menatap Luhan saat Youngmin berdeham.

.

.

.

Minseok mendorong pintu perpustakaan dengan sekuat tenaga, lalu mengintip ke dalam. Setelah tadi memohon-mohon kepada Kris, akhirnya ia bisa kembali ke sini. Kris memang tampak sangat tidak setuju, terlebih lagi sekarang Sehun juga sudah mulai menunjukan sikap defensive dan tidak sukanya. tetapi Minseok bisa meluluhkan hatinya dengan berjanji akan segera menelepon bagitu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kris sebenarnya takut akan membuat Sehun dan Tao menjauhi mereka. Bagaimanapun juga Sehun dan Tao itu sahabat mereka. Mereka juga yang akan selalu ada di depan mereka dan membantu mereka dengan suka rela jika mereka sedang kesusahan. Mereka juga yang selama ini selalu ada di samping Minseok ketika Minseok kembali drop. Tao yang manja akan menjadi dewasa untuk Minseok. Menghibur Minseok dengan celetukan-celetukan manja dan sarkasnya. Sehun juga akan membawakan semua barang-barang kesukaan minseok ketika Minseok drop agar nunnanya itu tidak bosan dan tertekan yang justru akan memperparah keadaannya. Mungkin Kris harus berbicara kepada Minseok. Karena minseok jelas tidak peka dengan keadaan sekitarnya dan tidak sadar telah membuat dua orang kesayangannya merasa terganggu dengan tingkahnya yang sekarang.

Minseok melangkah masuk ke perpustakaan sembari mengedarkan tatapannya ke sekitar perpustakaan. Luhan tidak tampak di manapun. Semenjak Minseok ke sini, anak laki-laki itu sering tak kelihatan. Minseok pernah menghabiskan jam istirahat hanya untuk mencarinya di antara rak perpustakaan.

Perpustakaan hari ini begitu lengang. Hanya ada dua anak duduk di meja, sibuk dengan buku yang dibaca. Tak seorang pun menyadari kehadiran Minseok yang masih sibuk menoleh ke kiri dan kanan, mencari sosok Luhan. Wajar saja mereka tidak sadar karena selama ini minseok selalu diekori oleh Tao dan Sehun yang kali ini mulai menjaga jarak dari Minseok. Bukan… buaknnya Tao ingin menjauhi Minseok, Tapi Sehunlah yang sekarang dikhawatirkan oleh Tao. Dia tidak mau Minseok sakit hati oleh Sehun. Sehun yang pendiam jelas lebih mengerikan jika marah dan ia jelas tidak peduli dengan perasaan seseorang jika sedang marah. Dan Tao rasa menjauhkan Minseok dan Kris dari sehun jelas cara yang terbaik untuk saat ini.

Dalam diam, Minseok melangkah ke rak buku-buku fiksi, mengintip lorong di kiri dan kanannya yang sepi .

Perputakaan ini persis labirin. Luhan pernah menjelaskan, koleksi perpustakaan ini sebagian besar berasal dari para alumni yang merangkap sebagai donatur.

Tanpa sengaja, Minseok menemukan sosok Luhan yang sedang berjalan dari balik rak buku antropologi. Sambil mengendap, Minseok mengikutinya. Anak laki-laki itu berbelok di rak buku astronomi, mengamati buku-buku, menarik satu dan duduk di lantai. Minseok mengamatinya yang tampak asyik membaca. Cahaya matahari yang menelusup dari dedaunan di jendela membuat pemandangan itu semakin terasa indah baginya.

Sudut bibir Minseok perlahan terangkat. Luhan yang tenggelam dengan bukunya selalu menarik untuk dilihat. Sikapnya yang tidak peduli pun seperti memikatnya. Selama ini, Minseok selalu dilindungi. Selalu dijaga dari hal-hal yang mungkin berbahaya. Ayahnya, Kris, Sehun, dan tao akan menjaganya dengan protektif.

Namun, tidak saat ia bersama Luhan. Luhan membuatnya merasa... normal.

Luhan sedang memijat lehernya yang pegal saat menyadari kehadiran Minseok. Anak perempuan itu ada di balik rak, berdiri diam sambil menerawang. Luhan segera mengelus dada, hampir saja salah mengira anak berkulit pucat itu sebangsa makhluk halus.

"Kamu ngapain sih, berdiri di situ? Bikin kaget aja," gerutu Luhan, jangtungnya masih berdebar kencang.

Minseok melangkah keluar tempat persembunyiannya, lalu menghampiri Luhan. "Lagi baca apa?"

"Big Bang Theory." Luhan menunjukkan sampul buku yang sedang dibacanya, lalu menatap Minseok heran. "Kamu kenapa ke sini lagi? Nggak dilarang sama pangeran Kamu? Nggak dilarang sama dua orang kelas atas itu?" ada nada sinis dan tak suka dalam suara Luhan. Sudah sewajarnyakan. Dia juga punya hati dan perasaan. Dia sudah muak dengan penghinaan yang diberikan kedua sahabat minseok itu.

Minseok menggeleng, lalu duduk di samping Luhan. Tak memedulikan tampang bingung Luhan, Minseok memperhatikan buku yang dipegang laki-laki itu.

"Tentang apa?" tanyanya, membuat Luhan menghela napas.

"Kamu tahu big bang , kan?" tanya Luhan, tetapi Minseok menelengkan kepala. "Ledakan besar? Salah satu teori dari alam semesta?"

Alih-alih menjawab, Minseok malah mengerjap, sama sekali tidak tahu apa yang sedang Luhan bicarakan. Luhan sendiri menggeleng-geleng tak habis pikir, mendadak ingat saat pembagian hasil ulangan Fisika tadi pagi.

"Kamu nggak pernah belajar apa gimana, sih?" tanya Luhan akhirnya.

"Pernah." Minseok menjawab. "Tapi nggak ingat."

Luhan memicing. "Kenapa?"

"Dari kecil, aku nggak boleh mikir banyak-banyak. Jadi, aku belajar sebisa ku aja."

Ucapan Minseok sukses membuat Luhan melongo. Menurutnya, orang-orang kaya ini semakin lama dikenal, semakin tidak masuk akal. Setelah tidak biasa berjalan kaki, sekarang ia tidak biasa belajar? Apa lagi, apa dia juga tidak biasa mandi sendiri?

"Tapi, aku tertarik dengan bintang." Mata Minseok mendadak berbinar. "Saking sukanya, Ayah bikin langit-langit kamar ku berbintang."

"Kenapa?" Luhan tiba-tiba ingin tahu.

"Ayah pernah bilang kalau aku salah satu dari bintang-bintang itu," kata Minseok. "Katanya, aku adalah bintang yang paling terang di antara seluruh bintang di atas sana."

Luhan menatap Minseok lama. "Kamu tau, ada berapa bintang di atas sana?"

"Satu juta?" tebak Minseok, membuat Luhan mendengus.

"Ada ilmuwan yang membuat pernyataan bahwa bintang di angkasa raya jumlahnya sepuluh kali lipat butiran pasir di bumi," jelas Luhan, membuat Minseok menganga. "Kamu bisa hitung berapa butir pasir yang ada di bumi?"

Minseok segera menggeleng.

Luhan berusaha untuk tidak terlihat geli melihat tampang takjub Minseok. "Jumlahnya bintang ada dua puluh juta pangkat dua puluh dua."

"Sebanyak itu?" Minseok terpekik, tak percaya. "Berapa nolnya?"

Luhan mendengus melihat Minseok yang coba menghitung dengan jari. "Seharusnya, kamu jangan mau disebut bintang paling terang."

"Memangnya kenapa?" Minseok sedikit tersinggung sementara Luhan terkekeh.

"Bintang paling terang itu paling cepat mati."

Jantung Minseok terasa mencelos saat mendengar kata-kata Luhan. Jari-jarinya berhenti menghitung. Ada senyum getir di bibir mungil semerah darah itu. Luhan sendiri tampaknya tidak sadar.

"Bintang paling terang adalah yang suhunya paling tinggi. Karena dia terbakar dengan cepat, bahan bakarnya pasti cepat habis. Kalau massanya sudah habis, dia akan meledak."

Kepala Minseok tertunduk. Ia sama sekali tak tahu kalau kata-kata yang selama ini membuatnya bahagia ternyata mengandung arti yang sama sekali berbeda.

"Dan, kamu tahu bintang yang meledak bisa jadi apa?" Luhan menoleh kepada Minseok, bermaksud menggoda. "Black hole. Lubang hitam. Miris sekali, kan?"

Begitu melihat mata Minseok berkaca-kaca, Luhan segera menutup mulut, tahu bahwa gurauannya sudah berlebihan.

"Mungkin ayah kamu gak tahu apa-apa soal ini." Luhan coba menghibur Minseok. "Mungkin... dia nggak melihatnya dari sisi Fisika."

"Fisika... menyebalkan, ya." Minseok bergumam pelan.

Seperti kata Luhan, ayahnya pasti tidak tahu menahu mengenai fakta di balik bintang paling terang itu. Minseok tidak akan menyalahkannya. Luhan juga tidak bersalah karena mengatakan itu semua. Anak laki-laki itu tidak tahu apa-apa tentangnya.

Dan, harusnya memang tidak perlu tahu.

.

.

.

Semenjak Minseok memutuskan untuk ke perpustakaan setiap jam istirahat, Kris jadi seperti kehilangan pekerjaan. Kris merasa bosan saat ini, Belum lagi Piko sedang dibawa ke dokter hewan karena mengalami gangguan kesehatan. Sepintas, Kris mendengar burung malang itu terlalu banyak diberi makan. Kris sama sekali tak tahu bahwa semenjak ia menjalin hubungan dengan burung itu, anak-anak perempuan pun ingin melakukan hal yang sama dengannya.

Kris menatap kosong sangkar Piko, lalu menghela napas. Sebenarnya, Kris tidak ingin mengizinkan Minseok kembali berada dekat dengan Luhan. Anak laki-laki itu bisa saja menyakitinya lagi. Setelah tragedi Senin itu, Kris sudah mencoba untuk melarangnya, tetapi Minseok bersikeras. Jika Minseok sudah punya kemauan dan tidak dipenuhi, ia akan terus memikirkannya hingga tubuhnya demam. Apa lagi semenjak Sehun dan Tao mulai menjauh dari mereka. Sepertinya ia mamang harus berbicara dengan Minseok dan pasangan itu. Tapi jelas dengan waktu yang berbeda. Ia harus berbicara dengan hati-hati jika menyangkut Minseok dan harus berkepala dingin jika berbicara dengan Sehun dan Tao. Walaupun Kris merasa sikap Tao belakangan ini mulai melunak dan tidak mengusik Luhan dan Minseok lagi.

Pusing dengan pikirannya sendiri, Kris melangkah ke arah kantin, bermaksud untuk membeli minuman. Kantin itu tampak ramai oleh anak-anak dari berbagai kelas yang sibuk berceloteh. Kris tidak mendapati keberadaan dua sahabatnya di sana. Menghindari keramaian, Kris segera melipir ke arah Jaehee. Saat melihat keranjang roti yang masih terisi setengah, ia teringat kepada Yixing.

"Bu, Yixing nggak ke sini?" tanya Kris kepada Jaehee yang sedang sibuk menghitung uang.

"Enggak, dia lagi latihan. Mau ada lomba katanya."

Kris mengernyit. "Lomba? Latihan apa?"

Jaehee mengangkat kepala dari kumpulan kuitansi, lalu tersenyum. "Lihat aja sendiri di lapangan belakang."

Kris mengangguk-angguk. Entah mengapa, ia jadi penasaran pada kata-kata Jaehee. Setelah membeli air mineral, ia melangkahkan kaki menuju lapangan belakang sekolah yang tak pernah diinjaknya lagi semenjak ospek hampir tiga tahun yang lalu. Lapangan itu adalah sebuah lapangan rumput tempat anak-anak ekskul bola dan baseball sering berlatih. Yixing tidak tampak seperti anak yang atletis, jadi Kris tidak yakin ingin melihat anak perempuan itu dalam jersey dan berlari-lari mengejar bola.

Langkah Kris mendadak terhenti saat ia melihat seseorang di tengah lapangan. Tidak, ia tidak sedang melihat jersey maupun bola. Ia sedang melihat seorang anak perempuan yan berdiri anggun di tengah lapangan, terfokus pada sebuah bantalan target puluhan meter di depannya. Dengan konsentrasi penuh, anak itu menarik busur yang dipegangnya, membidik dan melepaskan anak panah yang segera melesat ke arah bantalan.

Melihat anak panah itu melesat di depan matanya dengan kecepatan puluhan kilometer per jam, Kris seolah sedang menonton adegan dalam film.

Yixing menurunkan busurnya, lalu menatap puas anak panah yang menancap di lingkaran kuning bagian luar. Sedikit lagi berlatih, ia yakin bisa memanah lingkaran terdalam bantalan itu. Yixing baru hendak mengambil anak panah kedua dari kantong panahnya saat menyadari kehadiran Kris.

"Kak Kris?" teriak Yixing dari tengah lapangan, terkejut setengah mati. "Lagi apa?"

Kris segera menguasai diri. "Eh, nggak. Tadi aku lagi iseng aja jalan ke belakang. Kamu lagi latihan?"

"Iya, aku lagi latihan untuk lomba," jawab Yixing sambil menghampiri Kris, lengkap dengan peralatan panahan yang menempel di tubuhnya.

Kris mengamati busur yang masih dipegang Yixing dan lengan yang dilindungi arm protector. "Kamu ini apa, Legolas versi cewek?"

Yixing terkekeh, lalu menatap ke belakang Kris. "Kakak nggak sama Kak Minseok?"

"Minseok di perpus," jawab Kris, matanya masih mengamati sosok Yixing. "Seriously. What kind of girl are you?"

Sebelumnya, Kris tidak pernah melihat anak perempuan semandiri Yixing. Ia hidup di lingkungan yang menghormati wanita, menganggap wanita adalah kaum yang harus dilindungi. Sekarang, saat melihat Yixing, ia jadi berpikir, bagaimana cara melindungi wanita ini? Sebagai laki-laki, Kris mendadak merasa kecil.

"Kak, aku harus latihan lagi," kata Yixing, menyadarkan Kris.

"Kenapa kamu ikut olahraga berbahaya kayak gini?" Pandangan Kris naik ke mata Yixing yang mengerjap. "Kamu nggak ikut mading aja atau... paduan suara gitu?"

Yixing balas menatap Kris, lalu tersenyum. "Aku bukan Kak Minseok dan kak Tao."

Kata-kata Yixing membuat Kris terdiam. Yixing benar, anak perempuan itu, Minseok, dan Tao sangat berbeda. Dengan busur dan anak panah seperti ini, Yixing seperti tak memerlukan perlindungan macam apa pun dari siapa pun.

Berusaha untuk tidak memedulikan Kris yang masih menonton, Yixing kembali ke tengan lapangan dan mencoba fokus pada bantalan target empat puluh meter di depannya. Lomba minggu depan adalah kesempatan bagus untuk membuktikan diri. Selain ia akan mendapat piagam untuk portofolio, hadiahnya pun cukup besar. Yixing tidak punya waktu untuk memikirkan perasaannya bagaimanapun juga tak akan pernah bersambut.

Setelah menghela napas mantap, Yixing mengambil sikap, mengangkat busur, mengangkatnya, lalu melepas anak panah yang melesat tanpa basa basi menuju bantalan. Anak panah itu berhasil menancap di lingkaran berangka sepuluh.

"Whoa." Kris tak yakin tahu berapa nilai yang didapat Yixing barusan, tetapi ia tahu kalau anak panah menacap di tengah-tengah target, itu berarti bagus.

Kris kembali menatap kagum Yixing yang sekarang berjalan menuju bantalan target untuk mencabut anak-anak panah yang sudah menancap. Kris buru-buru menghampirinya, lalu mencabut anak-anak panah itu sebelum Yixing melakukannya. Yixing menatap Kris bingung.

"Aku bantuin." Kris memasukkan anak-anak panah itu ke kantong di punggung Yixing. "Kamu di sana aja."

Sedapat mungkin, Yixing menahan debaran di dadanya. Lagi-lagi, Yixing seperti sedang bermimpi di siang bolong. Orang yang selama ini ia kagumi sekarang ada di dekatnya, menonton dan membantunya latihan. Semuanya terasa tidak nyata, seperti yang sudah-sudah.

"Kok, bengong?"

Yixing buru-buru menggeleng. "Emangnya nggak apa-apa? Kak Minseok gimana?"

"Nggak apa-apa. Selama Minseok di perpus, dia aman." Kris mengelus bantalan target yang sudah berlubang di sana-sini.

"Jadi, selama istirahat, aku bakal nonton kamu latihan. Lebih asyik daripada ngajak ngobrol Piko."

Yixing menggigit bibir bawahnya. Kris akan ke sini setiap hari?

"Nggak apa-apa, kan, kalo aku tonton?" Kris menoleh kepada Yixing. "Atau kamu keberatan?"

Yixing tak langsung menjawab. Ia sama sekali tak keberatan, tetapi di sisi lain, ia takut. Ia takut jika anak laki-laki itu terus bersikap baik padanya, ia akan benar-benar jatuh cinta.

"Xing?"

Suara Kris menyadarkan Yixing. Yixing menggeleng pelan, tak tahu apa sudah membuat keputusan yang benar. Dan tampa mereka sadari, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan tak suka dan terganggu dari ujung koridor.

.

.

.

.

TBC

Waw,,, udah berapa bulan aku nggak update? Maaf ya… aku bener-bener nggak sempet n males banget buat edit ff ini kemaren-kemaren. Merasa nggak bertanggung jawab banget deh…

Tapi aku mau egois dulu, aku mau kalian ninggalin jejak di ni ff dan ngeliat berapa banyak yang komen untuk chapter ini. Kalo komennnya muasin bakal aku usahain lanjutnya cepet. Tp kalo Cuma pada numpang baca, maaf aja. Aku males banget ngelanjutinnya. Jahat banget ya aku. Tapi kalian yg jadi sider juga jahat kok ama aku, jadi aku juga mau jahat. Terus komennya jangan Cuma lanjut aja ya.. ada cuap-cuapnya dikit gitu. Kritik juga gak papa kok.. asal jangan kritik gak masuk akal n flame gaje yg jelas bakal Cuma aku ketawain aja.

Aku orgnya masa bodo sih, jd kalopun kalian beci ama aku ya monggo… bilangin aku banyak nuntut ini itu ya silahkan. Aku dak peduli kalian nak ngomongi aku apo. Yakyak.. bahasa kerajaan ku keluar.

Klo ada yg mau add watty aku, frozendeer ya.. tapi gak ada apa-apa loh di watty aku. Hehehehe. cus ke fb aku juga boleh, tapi ya nggak ada apa-apa juga di sana. Cuma ft2 aku yg belakangan jd rada narsis

Ya ampun… ngoceh apa sih aku ini. Ya udah aku minta komen ku ya ^^