"Kalau kau membantu seorang penjahat, kau juga akan dikenai hukuman."

"Aku tau itu, aku tau."

"Lalu kenapa masih membantu buronan sepertiku?"

"Karena kau tidak keliatan jahat."

"Alasan unawesome."

.

.

.

Poison Me

T+. Crime, angst. Standart disclaimer applied.

PrusSpa special for Michaela Sangster maaf kalau jelek/sujud.

Warning: BL, Buron!Prussia, AU, OOC, alur gaje, typos, dkk.

.

.

Act 1: Tyche

.

.

Pemuda yang umurnya belum genap dua puluh lima tahun itu menghela nafas. Sudah genap empat tahun ia mendekam di penjara. Hukuman penjara seumur hidup ia dapatkan karena dituduh telah membunuh seorang pianis terkenal berkebangsaan Autria karena telah merebut pacarnya. Padahal ia tidak pernah berani membunuh seseorang, ia tidak pernah membunuh siapa pun. Ia berkali-kali meminta bantuan pada pacarnya. Naas sang pacar justru menyalahkannya, sang pacar justru berkhianat kepadanya.

Beruntung ia tidak mendapatkan hukuman mati tetapi kurungan penjara seumur hidupnya, cukup berat tapi pemuda itu sudah mulai terbiasa hidup di balik jeruji besi tersebut. Di dalam sel hanya terdapat sebuah ventilasi kecil yang letaknya sangat tinggi untung dicapai. Tidak ada celah untuk melarikan diri barang sedikit pun. Pada tahun pertama ia menjalani hukuman, berbagai cara ia lakukan untuk bisa melarikan diri untuk menghirup udara bebas namun semua usahanya gagal. Sudah lama ia menyerah untuk mencoba melarikan diri. Rambut hitamnya tampak kusut, badanya kurus tak terawat, wajahnya pucat. Pemuda itu sudah terlihat seperti mayat hidup.

Lalu bagaimana dengan pacarnya? Sudah tidak peduli lagi dengannya, sepertinya gadis itu sudah menikah dengan orang lain saat ini. Ah betapa bodohnya ia? Ditipu mentah-mentah oleh seorang gadis untuk berpura-pura membunuh seorang pianis terkenal yang dijodohkan dengan gadis tersebut lalu melimpahkan semua kesalahan itu padanya. Ia tidak keberatan pada awalnya, tetapi mengingat ia dikhianati, mendadak ia mempunyai dendam dengan gadis tersebut.

"Hey, waktunya makan." Seorang polisi masuk ke dalam sel dan meletakkan sepiring roti keras di sebelah pemuda tersebut. Polisi itu menyeringai kemudian menendang tubuh pemuda tadi. Ia tertawa puas atas ketidak berdayaan pemuda tersebut.

Pemuda itu melotot tajam ke arah polisi yang tadi menendangnya. Tangannya yang kurus langsung mencengkram kuat kaki polisi tersebut.

"GYAAAAA!"

Beberapa polisi lainnya segera mendatangi sel tempat pemuda tadi ditahan. Tampak pemuda itu sedang dijejeli roti keras makan malamnya oleh polisi tadi, polisi itu berjongkok membelakangi polisi lainnya. Pemuda itu tampak tertunduk dengan rambut yang menutupi wajahnya.

"Jangan terlalu kasar pada mayat hidup itu hahaha, tapi aku kaget ia bisa berteriak seperti tadi." Ucap salah seorang polisi setengah mengejek.

Yang lainnya menatap ngeri ke arah tahanan tersebut, diantara tahanan lainnya, dia adalah tahanan dengan kondisi tubuh yang paling menyedihkan. Kemudian mereka memutuskan untuk kembali berjaga di posnya.

Setelah semua polisi itu pergi, polisi yang membungkam tadi bergumam. "Mudah sekali mengelabui mereka." Ucapnya dengan seringaian menghiasi wajahnya. Tidak, ia bukanlah polisi melainkan tahanan seumur hidup yang berhasil menukar posisinya dengan polisi yang sebenarnya.

Sementara polisi tadi? Sudah kehilangan nyawa karena racun kalajengking memtikan yang diberikan oleh tahanan yang cerdik tersebut.

"Aku beruntung menemukan kalajengking di tempat seperti ini." Ia tersenyum puas kemudian pergi dari penjara itu untuk menghirup udara bebas, ia sudah bebas kini. Walau hanya sementara.

Ia memutar sebuah kunci mobil di telunjuk tangan kanannya, bermaksud mengendarai sebuah mobil polisi untuk kabur sebelum polisi lainnya sadar. Sebenarnya ia sadar jika di setiap mobil polisi sudah dipasangi alat pelacak untuk mengetahui posisi mobil tersebut.

.

.

.

Hal pertama yang harus ia lakukan adalah merubah penampilannya kemudian bersembunyi. Satu-satunya halangan baginya adalah ia tidak memiliki uang sepeser pun, dan lagi berkeliaran dengan penampilan mencolok akan membuat keberadaannya diketahui polisi dengan cepat. Merubah penampilan sekarang sama saja bunuh diri.

Pemuda itu memutar otak, ia harus berpikir cerdas untuk mengelabui polisi. Setidaknya selama setahun atau sebulan saja ia ingin merasakan bebas dari dalam sel penjara yang lembab dengan sedikit sinar matahari yang mampu menembus masuk ke dalamnya, ia selalu ingin berjemur sinar matahari setidaknya untuk yang terakhir kali dalam hidupnya.

Terkutuklah gadis yang pernah dicintainya, terkutuklah pianis terkenal itu, terkutuklah semua orang yang selalu menyalahkannya atas kematian Roderich―pianis terkenal yang terbunuh itu. Dan ia tidak memiliki pilihan lain untuk mengakui hal yang sebenarnya bukan kesalahannya. Ia tidak pernah membunuh orang, walau terkenal bandel dan suka membangkang, ia sebenarnya orang yang baik. Adalah Elizabeta―pacarnya saat itu―yang membunuh Roderich dengan mencampurkan racun pada teh yang diminum Roderich. Setelah membunuh Roderich, Eliza memanggilnya untuk datang dan membuanya seakan-akan pemuda naas itu yang membunuh Roderich. Eliza adalah gadis yang cerdik, ia bahkan memasukkan bungkus racun yang dimilikinya pada kantong jaket pemuda tersebut sehingga ia tak dapat mengelak segala tuduhan yang dilimpahkan kepadanya.

Mujur tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak. Pemuda itu harus menanggung hukuman yang diperbuat pacarnya. Selama ini pun ia bungkam untuk melindungi Eliza, gadis busuk itu mungkin sudah hidup bahagia bersama pria lain. Menggelikan, rasanya ia melakukan kesalahan di masa lalu untuk melindungi gadis itu.

Terpikir sebuah ide gila di otaknya untuk mengelabui polisi. Ia mengemudikan mobilnya menuju pegunungan curam dengan jurang mematikan. Menabrakkan mobil itu ke pembatas jalan, ia tentu sudah mempersiapkan diri dengan melompat keluar dari mobil tersebut sebelum terguling. Tubuhnya terpental ke sisi lain jalanan, ia segera bangkit dan kebetulan sekali ada sebuah truk yang melintas. Agar tidak ketahuan, ia menaikkinya sedacara diam-diam di belakang truk tersebut. Beruntung saat itu matahari sudah berganti shift dengan bulan sehingga aksinya tidak akan terlihat.

BOOM

Mobil polisi itu meledak di bawah jurang, membuat pemandangan indah dengan api yang menyala dengan liar di tengah kegelapan malam. Kedua pengemudi truk spontan menoleh kaget ke belakang. Mereka hendak berhenti tetapi ada urusan lain yang lebih penting sehingga mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Pemuda itu beruntung karena mereka menuju ke sebuah perkebunan tomat yang lumayan jauh dari tempatnya menabrakkan mobil polisi dengan sengaja.

Mereka tiba sebelum matahari menampakkan dirinya sehingga tidak ada yang melihatnya menempel di bagian belakang truk, pemuda itu sangat beruntung. Setelah truk itu berhenti, ia langsung saja bersembunyi di tengah pepohonan tomat yang rimbun dengan dedaunan sehingga tubuhnya bisa tersamar di tengah ribuan pohon tomat tersebut.

Pengemudi truk itu tampak berbincang dengan seornag pemuda berkulit sawo matang. Tampaknya pemuda itu sebaya dengannya. Apakah ia pemilik perkebunan ini? Pemuda itu tampak tersenyum kemudian pengemudi truk dan kedua anak buahnya mengambil beberapa keranjang tomat segar yang sudah dipetik kemarin untuk dipasarkan.

Setelah selesai, truk itu kembali menuju perkotaan untuk menjual semua tomat yang sudah tersimpan rapi di dalamnya. Sementara pemuda tadi masuk ke dalam sebuah rumah besar, lebih terlihat seperti sebuah vila baginya. Bagunannya bahkan terlalu bagus untuk sebuah rumah milik petani tomat. Pemuda buronan itu merasa sangat kelelahan, perlahan pengelihatannya menjadi buram secara perlahan, kesadarannya mulai menjauh. Pemuda itu ambruk di tengah perkebunan tomat.

.

.

.

Kedua kelopak matanya terbuka perlahan memperlihatkan kedua iris shapire blue miliknya. Langit-langit kamar menjadi pemandangan pertama saat ia membuka matanya. Cahaya yang begitu terang membuatnya harus mengerjapkan matanya beberapa kali untuk beradaptasi dengan cahaya yang ada.

"Kau sudah sadar?"

Suara seseorang membuatnya terkejut. Dimana ia sekarang? Penjara?

"Aku menemukanmu tak sadarkan diri di kebun tomatku."

Oh pemuda pemilik kebun yang tadi. Berarti saat ini ia berada di dalam rumahnya.

"Kau terlihat sangat kurus dan pucat, jadi kubuatkan jus tomat dan beberapa olahan tomat lainnya." Pemuda itu meletakkan sebuah gelas di meja yang terletak di sebelah tempat tidur. Ia tersenyum lembut, terselip ekspresi cemas juga. "Kalau butuh sesuatu, aku ada di bawah." Begitu ucapnya sebelum meninggalkan buronan tadi.

BLAM

Pintu ruangan itu tertutup, menyisakan buronan itu di dalamnya. Manik shapire blue miliknya melirik segelas jus tomat yang terlihat menyegarkan. Langsung saja ia menyambar dan meneguknya. Ia tidak peduli jika liquid tesebut menetes dari mulutnya dan membasahi pakaiannya. Tunggu, ia mengenakan pakaian yang berbeda dangan yang dipakainya ketika kabur dari tahanan.

Bukan pakaian polisi yang bau busuk tetapi sebuah kemeja berwarna putih dengan wangi tomat. Dia menggantikan pakaiannya ketika pemuda itu tak sadarkan diri? Lalu dimana pakaian polisi yang dipakainya tadi? Ia harus menghilangkan barang bukti itu secepatnya.

"Maaf mengganggumu tuan, tapi sarapan sudah siap!" terdengar teriakan dari pemuda tadi.

Sang buronan merasa tidak enak hati. Ia tidak boleh melibatkan orang lain barang sedikit pun. Ia tidak boleh berhubungan dengan pemuda itu lebih jauh lagi, ia harus kabur dari tempat tersebut tapi bagaimana caranya?

KRUYUUK

Ah perutnya tidak bisa diajak berkerja sama rupanya. Setidaknya ia hanya akan bertahan sampai siang di rumah ini, selanjutnya ia akan kabur ke luar negeri dan memalsukan identitasnya.

"Hallo, kau masih di sana?" suara pemuda tadi kembali terdengar.

Dengan terpaksa buronan itu bangkit dari ranjang dan menuruni tangga secara perlahan. Begitu sampai di ruang makan ia langsung disambut aroma wangi dari masakan si petani tomat tersebut.

"Ayo duduk dan perkenalkan dirimu." Sambut petani tomat itu dengan senyum mengembang di wajahnya. "Namaku Antonio, kau?"

"Gilbert." Sebuah jawaban singkat keluar dari mulutnya. Ia duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Nama yang bagus." Hanya itu komentar yang keluar dari mulutnya sebelum memulai acara sarapan bersama. "Bagaimana menurutmu mengenai kebun tomatku? Dan rasa tomatnya?" ia mulai mencari topik pembicaraan. "Ah aku senang sekali setelah sekian lama tinggal sendirian, kini ada orang yang bisa kuajak berbincang. Hey, tinggalah lebih lama di sini. Akan kusediakan kebutuhanmu." Pinta Antonio dengan kegirangan. Tinggal sendirian memang bukanlah pilihan yang tepat, tetapi ia terpaksa memilihnya demi melindungi seseorang.

"Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi." Ucap Gilbert.

Antonio tampak sangat kecewa, Gilbert menyadarinya tetapi memuutuskan untuk pura-pura tidak peduli. "Kenapa?" begitu tanyanya menuntut penjelasan dari Gilbert.

Gilbert terdiam, untuk sementara waktu ruangan tersebut menjadi hening. "Karena aku adalah buronan polisi, kau akan terlibat jika membantuku."

Antonio terteguh, tampak sekali dari mimik wajahnya jika ia kaget saat mengetahui kebenaran mengenai orang yang ditolongnya. "Benarkah? Tetapi wajahmu tidak terlihat jahat." Ucapnya polos. "Aku rasa tidak masalah jika kau bersembunyi di sini. Aku akan membantumu dengan senang hati, fusosososo!"

Gilbert menggigit sebuah roti dengan kasar. "Kau tau? Jika kau membantu seorang penjahat, kau juga akan dikenai hukuman." Gilbert seperti ingin menakut-nakuti Antonio.

"Aku tau itu, aku tau." Ucap Antonio dengan santai. Ia mengoleskan selai tomat pada rotinya, bisa dibilang pemuda yang satu itu tidak bisa makan tanpa tomat sebagai pelengkap rasa.

"Lalu kenapa masih mau membantu buronan sepertiku?" tanya Gilbert tidak mengerti dengan jalan pikiran Antonio yang aneh.

"Karena kau tidak keliatan jahat." Antonio mengulangi kata-katanya beberapa waktu lalu, entah kenapa suasana diantara mereka menjadi tegang.

"Alasan unawesome." Ejek Gilbert. Ia masih belum mengerti mengapa pemuda itu memiliki pola pikir yang lain dari orang kebanyakan. Aneh tapi ia terbantu berkat pemuda itu.

Antonio kembali melanjutkan perkataannya, "Selain itu aku tidak peduli jika harus menjalani hukuman mati karena menyembunyikan buronan sepertimu."

"Kenapa?" tanya Gilbert penasaran.

"Karena," Antonio memberi jeda, sekilas wajahnya terlihat sedih. "Aku merasa percuma hidup di dunia ini."

Gilbert terkekeh. "Lalu kenapa kau tidak mencoba bunuh diri? Itu akan jauh lebih mudah, bukan?" ucap Gilbert, semacam sebuah usul yang dilontarkan untuk Antonio.

Antonio hanya tersenyum. "Kau sendiri kenapa tidak bunuh diri? Padahal kau dijatuhi hukuman seumur hidup. Kabur pun percuma, bukan?"

Gilbert terbelalak kaget, ternyata benar jika pemuda bersurai brunette itu sudah mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. "Kesese, itu karena ada sesuatu yang ingin kulakukan sebelum mati." Ucapnya mantap.

"Aku pun begitu, ada sesuatu yang kuinginkan sebelum pergi dari dunia ini." Antonio menggigit roti yang sudah diolesi selai tomat olehnya tadi.

Gilbert merasa penasaran, ia tau jika tidak pantas baginya untuk bertanya tetapi ia tetap menanyakannya. "Apa itu?"

Antonio menatap manik shapire blue milik Gilbert, indah bagaikan permata. Ia tersenyum sebelum akhirnya menjawab, "Aku ingin memiliki seorang sahabat yang setia sebelum mati."

Sekarang Gilbert mengerti. Mereka berdua sama-sama memiliki sebuah impian sebelum meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Mungkin terdengar naif, tetapi Gilbert merasa beruntung karena bertemu dengan pemuda bernama Antonio tersebut.

.

.

.

"Baju itu sudah kubakar bersama dengan sampah plastik dan sudah kubuang ke sungai terdekat. Tadi aku ke kota dan membeli ini." Antonio menyodorkan tas berisi pewarna rambut dan soflens sekembalinya dari kota.

"Danke." Gilbert menerima semuanya. "Kau berbuat terlalu jauh. Mungkin di masa depan kau akan menyesalinya."

Antonio tertawa khas dirinya, "fusososososo~" kemudian ia menepuk pundak Gilbert. "Tidak akan, aku yakin. Nah, sekarang cepat warnai rambutmu dan pakai soflens itu."

Gilbert mengangguk. Kemudian membawa tas itu menuju kamar mandi, ia mengurung diri sangat lama di dalamnya. Sementara Antonio kembali mengurusi ladangnya. Sepertinya polisi belum menyadari aksi Gilbert.

Antonio tau, cepat atau lambat polisi akan menyadarinya dan ia pasti juga akan didatangi oleh polisi. Ia menatap ke arah rumahnya. Mungkin akan lebih baik jika ia memberitahukan mengenai gudang bawah tanah rahasia yang mungkin bisa membuatnya aman.

Sejauh ini belum ada pemberitaan mengenai buronan yang kabur. Entah memang dirahasiakan dari publik untuk menghindari kepanikan atau mungkin karena polisi belum menyadarinya?

"Maafkan aku, Ibu." Ia tau ia mengecewakan ibunya. Tetapi ia selalu ingin menolong orang yang sedang dalam kesusahan. Entah mengapa seperti ada dorongan yang menyuruhnya untuk membantu Gilbert. Ah ia baru sadar jika ia sudah melangkah terlalu jauh dan tidak bisa melangkah mundur. Anehnya ia tidak merasa menyesal barang sedikit pun. Ia tidak merasa menyesal karena telah membantu Gilbert, ia tidak menyesal karena berteman dengan Gilbert.

.

.

.

Seorang pemuda bersurai blonde tengah mengetuk pintu kamar apartemen. Tangannya membawa sebuket bunga mawar merah yang dirangkai sedemikian rupa. Ia mengenakan kemeja santai dan rompi. Celana jeans dan sepatu kets tak lupa ia kenakan demi memperindah style-nya.

Pintu itu tetap tidak terbuka, hanya terdengar suara seorang gadis dari dalam. "Pergi, aku tidak akan membukakan pintunya." Usir gadis itu.

Pemuda tadi tampak kecewa tetapi ia belum menyerah. "Aku tidak akan pergi sebelum kau membukakan pintu untukku, mon ami."

"Menjijikkan." Bentak gadis di dalamnya.

Pemuda itu terkekeh. "Padahal aku membawa bunga, sayang sekali."

"Jangan ganggu aku lagi, biarkan aku hidup tenang." Gadis itu menangis dari sisi lain pintu.

Wajah pemuda tadi tampak berubah. "Kau tidak seharusnya hidup tenang setelah 'membunuh' kedua pria yang mencintaimu." Kemudian nada bicaranya kembali berubah menjadi seperti semula. "Bunganya kuletakkan di depan pintu, mon ami. Besok dan lusa pun aku akan membawakan bunga untukmu!" pemuda itu meletakkan bunga yang dibawanya di depan pintu kemudian pergi dari tempat tersebut.

Sementara gadis tadi terduduk menyandar ke pintu. Ia tampak berantakan dengan kantung mata tebal akibat insomnia dan rambut yang kusut. Ia menjambak rambutnya frustasi, membuat beberapa helai rambutnya tertinggal di tangannya. Ia tidak tenang, tidak pernah tenang setelah membunuh kedua kekasihnya. Ia selalu dihantui oleh mereka ketika malam tiba, ia tidak pernah tidur sedetik pun. Sudah empat tahun berlalu dan kondisinya semakin memburuk. Ia menghembuskan nafasnya kemudian membuka pintu apartemennya. Ia membawa masuk bunga dari pemuda tadi masuk ke dalam, biasanya ia akan langsung membuangnya ke tong sampah. Kali ini ia mengambil vas bunga yang sudah lama tidak ia gunakan dan menata bunga di dalamnya kemudian meletakkannya di atas meja tulisnya. Ia tersenyum dengan wajah pucatnya.

"Semuanya akan berakhir hari ini."

.

.

.

TBC

A/N: AAAAA, ga nyangka bakal jadi multichap lagi. Huhu, buat Nike maaf kalo jadinya sangat abal. Gue udah coba semampu gue. Btw ini multichap ga bakal panjang-panjang, palingan Cuma dua atau tiga chap.

Entah kenapa belakangan saya suka bikin ff dimana salah satu charanya mati dan yang mati chara fav saya. Entah kenapa…mungkin karena omongan Nike beberapa waktu lalu.

Maaf kalo banyak typo, saya ngetik buru-buru soalnya. Dan belum sempat di review beberapa kali karena kesibukkan/soksibuklo.

Btw maaf kalo update buat chap berikutnya bakal sangat kendur, saya ga tau kapan bisa main ke warnet lagi huhuhu karena minggu depan sudah mulai TPM tingkat 4 dan awal mei sudah UN! Doakan saya semoga mendapat nilai yang memuaskan yaps? /sungkem

Spoiler buat chap berikutnya → angst, angst, angst. Not gomen. /peach

Oke cukup sekian, SEE YA NEXT CHAP!