Eren sedang tiduran di ranjangnya, sepanjang hari itu Levi tidak mengganggunya sama sekali. Bahkan ia sudah tidak bermimpi tentang masa lampau. Sebenarnya ia bersyukur karena teror dari Levi sudah berhenti, tetapi otaknya entah kenapa tidak bisa memikirkan Levi. Suaranya selalu terngiang di telinganya, sosoknya yang sedang bertarung selalu membekas di ingatannya, ditambah lagi ia penasaran dengan nasib dirinya di masa lampau. Eh, Eren menggelengkan kepalanya.

"Kenapa aku memikirkannya?"

DRRT

Ponsel yang diletakkan di atas meja belajarnya berdering. Seseorang menghubunginnya dan Eren sesegera mungkin mengangkat telepon tersebut. Saat itu langit sudah berubah warna menjadi jingga. Suara gagak terbang terdengar mengalun, lagu sore hari yang sangat disukai Eren.

"Eh? Ketemu sekarang? Baiklah." Eren menutup teleponnya dengan keheranan. "Tumben." Gumamnya. Ia segera beranjak pergi menemui seseorang. Ia tetap pergi walau ada seseorang yang berkata 'Jangan.' Di dalam hatinya. Ia tetap pergi meskipun perasaannya tidak enak.

'Bocah merepotkan.'

.

.

.

Who is That Inside of Me?

T. Supranatural, Drama. Standart disclaimer applied!

Warning: typos, BL, arwah!Levi, Samurai!AU, time slip, dkk.

(PS: baca sambil dengerin lagu OP Tokyo Ghoul yang pertama).

.

.

.

3rd Personality: Reincarnation

.

.

.

Eren berjalan menuju tempat yang dituliskan oleh seseorang pada email yang diterimanya beberapa saat lalu. Ia melihat sosok orang itu tengah menunggunya di depan patung dekat rumah Mikasa. Pemuda itu masih memakai seragam, menunjukkan ia belum sempat pulang untuk berganti pakaian. Senyum Eren mengambang, tangannya melambai-lambai sembari mempercepat langkahnya mendekati pemuda tadi.

"Oi, Arm―" mulutnya mengatup dan langkahnya terhenti saat melihat ada sebuah aura hitam menyeruak dari dalam tubuh sahabatnya. Tidak mungkin, Armin… dirasuki?

Eren mundur beberapa langkah tetapi sosok itu sudah menyadari keberadaannya. Armin menoleh ke arahnya. Ia tampak menyeringai, matanya terlihat hitam pekat dan tampak menggenggam sebuah pisau tajam. Eren mulai berlari ketakutan seraya berteriak meminta pertolongan. Sayang lingkungan di sekitar situ terbilang sangat sepi dan menjerit sekeras apa pun mungkin tidak akan ada yang mendengarnya.

'Hei bocah, biar kuambil alih tubuhmu.'

"Apa?" pekik Eren, setelah itu ia merasa terhempas dari tubuhnya. Jiwanya seperti keluar dari raganya. Gelap, semuanya kembali gelap.

.

.

.

"Hei, sadarlah."

Eren membuka matanya perlahan, mendapati sesosok pria bersurai kayu tengah menatapnya cemas. Ia bangkit perlahan sembari memegangi kepalanya. "Kau siapa?"

Pria itu tersenyum. "Tidakkah kau mengenaliku? Bukankah kau sudah menyaksikan semuanya?" tanyanya. Sekilas Pria itu tampak mirip Eren tetapi terlihat lebih tua.

Eren menatap pria itu dengan tatapan tidak suka. "Ada apa lagi?" ketus pemuda itu.

"Langsung ke inti saja." pria itu menatap Eren dengan serius. "Kau adalah diriku, kau adalah keturunanku, dan kau adalah wujud reingkarnasi dariku. Karena itu kau mengalami semua ini, bukan tanpa alasan kau mengalaminnya."

"Ini semua sudah direncanakan?" tebak Eren asal.

"Ya," pria itu memberikan jeda. "Semenjak kematian Levi aku selalu mencari tau mengenai iblis yang mengincar nyawanya dan nyawa orang di sekelilingnya. Dan aku menemukan fakta bahwa Levi terkena kutukan tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-17."

"Kutukan?" beo Eren. ia malah semakin tidak mengerti.

"Ia dikutuk karena secara tidak sengaja merusak segel yang mengurung iblis jahat tersebut." Pria itu melanjutkan.

"Kalau begitu mudah saja kan? Tinggal segel iblis itu kembali, beres!"

Pria itu menyela dengan cepat. "Tidak semudah yang kau bayangkan, aku sudah mencoba berbagai cara dan tidak pernah berhasil. Sampai aku mendapatkan sebuah kesimpulan jika yang bisa menyegelnya hanya Levi seorang. Dia yang merusak segelnya, maka ia juga yang harus menyegelnya kembali."

"Dia sudah mati, mana mungkin bisa menyegelnya." Celetuk Eren.

"Kau benar." Ucap pria itu, ia mengelus surai rambut Eren. "Karena itu ia membutuhkanmu, membutuhkan kita untuk menyegelnya. Bawalah iblis itu dan Levi masuk ke dalam patung yang sudah kubuat khusus untuk menyegel mereka. Aku sudah meletakkan abu kremasi Levi di dalamnya."

"Hah? Tapi bagaimana caranya?"

Pria itu tersenyum. "Cukup dengarkan kata hatimu."

Kemudian pria itu menghilang bagai debu tertiup angin dan kegelapan kembali menyelimuti Eren.

.

.

.

'Hei Levi.'

"Apa?"

'Keluarlah dari tubuhku.'

"Ini bukan saat yang tepat, bocah."

'Ini saat yang tepat. Biarkan aku yang mengambil alih tubuhku dan menyadarkan Armin, kau fokuslah pada iblis itu.'

"Tch, terserah."

.

.

.

Eren membuka matanya, sosok Armin yang mengejarnya dengan menodongkan sebuah pisau yang siap menusuknya.

JLEB

'Hei.'

Eren tersenyum penuh kemenangan. Tangannya mencengkram tangan Armin dan melepaskan pisau yang masih menancap tepat di perutnya. Beruntung lukanya tidak begitu dalam sehingga Eren masih dapat tersadar. Ia melempar pisau itu jauh-jauh dan mengunci pergerakkan Armin. Tepat di depan patung aneh yang akan ia sebut sebagai makam Levi. Armin terus meronta hebat tetapi Eren mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menahan Armin.

Sementara itu, Levi pun berusaha mengeluarkan iblis itu dari tubuh Armin. Jika dilihat dari jauh, ada cahaya putih dan cahaya hitam yang sedang beradu dari dalam tubuh Armin dan Eren. Perlahan namun pasti, kedua iris Armin yang semula hitam pekat mulai berubah ke warna asalnya, shapire blue. Langsung saja tubuh pemuda bersurai pirang itu ambruk dan langsung ditahan oleh Eren.

'Gawat, aku tidak kuat lagi.' Batin Eren yang merasa kekuatannya sudah sampai pada puncaknya. Darah segar masih merembes membasahi pakaiannya dan menetes di permukaan tanah. Mereka berdua ambruk dengan Armin menimpa tubuh Eren yang terluka. Eren masih setengah sadar. "Tatakae…" kemudian kesadarannya menjauh pergi.

Levi pun masih terus menggiring sosok itu ke dalam patung. Tidak mudah karena lawannya adalah iblis yang berkali-kali membunuh orang yang dekat dengannya. Tapi kerja kerasnya membuahkan hasil, ia berhasil menyegel kembali iblis tersebut.

Hari itu, detik itu, tepat 1 abad setelah ia melepaskan segel iblis jahat secara tidak sengaja. Kini ia berhasil menyegelnya kembali setelah satu abad berlalu. Ia berhasil menyegel iblis itu. Iblis itu telah tersegel bersama dengan jiwanya.

.

.

.

Jari-jari tangannya bergerak, kelopak matanya terbuka perlahan, ia merasakan ada sesuatu yang menusuk tangan kirinya, infus. Perlahan rasa sakit lainnya datang menyerang bagian perutnya. Ia di rumah sakit?

"Eren sudah sadar!" pekik Carla kegirangan, wanita itu langsung memeluk anaknya. Ia kembali menangis haru karena anaknya sudah sadar setelah koma selama seminggu.

Eren melihat ayahnya ikut memeluknya. Ia juga melirik Mikasa yang menjatuhkan gelas kaca karena begitu bahagia mengetahui sepupu tersayangnya sudah sadarkan diri.

Tidak lama seorang dokter datang, dokter perempuan dengan kacamata tebal. Rambutnya dikuncir kuda ke belakang. Ia lebih tampak seperti ilmuan gila ketimbang dokter.

"Yahoo~ syukurlah kau sudah sadar, anak muda. Luka tusukkan pisau itu berhasil mengenai usus besarmu, tapi tidak apa karena kami sudah melakukan operasi sebagai tindak lanjut mengobati lukamu." Wanita itu membuka sebuah dokumen riwayat kesehatan Eren. "Hmm, ada yang harus kutanyakan pada dokter yang menangani anak ini sebelumnya, ada yang tau dimana dia sekarang?"

"Dokter Irvin Smith menghilang entah kemana sejak sepekan lalu, tepat saat Eren ditusuk oleh Armin." Begitu jelas Grisha. Ia sendiri merasa shock atas kepergian sahabat masa sekolahnya yang benar-benar lenyap tanpa kabar tersebut.

"Hah? Yang benar?" dokter wanita tersebut tampak kaget. "Padahal ada sebuah kata yang tak bisa kubaca di sini." Ia menunjukkan kata tersebut kepada Grisha, Carla, Eren dan Mikasa.

"Huruf latin? Kecil sekali, tak terbaca." Gumam Grisha. "T_ _ n_ _os." hanya itu yang mampu terbaca oleh mata jeli Grisha. Pekerjaannya membuat ia mampu membaca beberapa huruf latin dengan mudahnya.

"Thanatos?" tebak Mikasa yang sejak tadi hanya diam. "Sama seperti yang terukir pada pil yang diminum Armin." Lanjutnya kemudian.

"Pil yang diminum Armin? Oh iya, Armin dimana? Dia sudah sehat?" Eren bertanya.

Mendadak keheningan menyelimuti ruangan tersebut. Semuanya sama-sama tidak enak hati untuk menyampaikan kenyataan mengenai keadaan Armin yang sesungguhnya.

"Dia sedang tertidur." Mikasa angkat bicara, ia sedikit menunduk. Tidak seperti biasanya gadis pendiam itu mau banyak bicara.

"Dimana?" tanya Eren lagi. "Dan kapan aku bisa bertemu dengannya?"

"Kau tidak akan bisa membangunkannya, Eren." ucap Mikasa lagi, terdengar lebih pelan.

"Eh?" Eren berharap keadaan Armin tidak seperti yang dipikirkannya.

"Armin―" suara Mikasa nyaris tak terdengar.

"―sudah meninggal."

.

.

.

Kelopak bunga sakura jatuh berguguran mengiringi senyum yang mengembang pada mulut beberapa remaja yang baru saja masuk SMP incara mereka. Upacara pembukaan semester baru saja selesai, tetapi pemuda bersurai pirang baru saja tiba di gerbang sekolah barunya. Wajahnya memerah menahan malu karena terlambat dan kelelahan karena harus berlari dari sekolah menuju rumahnya.

Eren melirik kasihan padanya, ia sendiri juga baru saja tiba dengan Mikasa, sepupunya. Mereka sendiri terlambat karena Eren bangun kesiangan, dan sebagai sepupu yang baik, tentu saja Mikasa menungguinya untuk berangkat bersama. Berbeda dengan pemuda bersurai pirang tadi, wajah mereka terlihat biasa saja.

"Kalian terlambat?" tanya seorang wanita muda yang merupakan guru matematika.

Ketiganya menganggukkan kepalanya bersamaan kemudian menunduk dalam, berusaha menyesali keterlambatannya―tentu saja Eren tidak termasuk karena dia tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.

"Kau baik-baik saja?" tanya guru itu kembali pada pemuda bersurai pirang tadi. Pemuda itu tampak sesak nafas hingga wajahnya memerah dan badannya gemetar. "Mau kuantar ke―"

Pemuda itu ambruk sebelum guru matematika tadi sempat menyelesaikan kalimatnya. Eren dan Mikasa terpaksa membantu wanita itu menggotong pemuda tadi menuju UKS. Beruntung Mikasa terkenal sebagai gadis tsuyoi yang kuat mengangkat barbel 3kg.

Ketika sadar, pemuda itu berterima kasih kepada Eren dan Mikasa. Keesokkan harinya pemuda itu memberikan kue buatan sendiri sebagai ungkapan berterima kasih. Sejak saat itu mereka dekat dan memutuskan memasukki SMA yang sama.

Pemuda bersurai pirang itu bernama Armin Arlert.

.

.

.

"Bagaimana bisa?" begitu tanya Eren. Tatapannya kosong, tampaknya ia masih belum menerima kepergian sahabatnya.

Dokter wanita yang kebetulan masih berada di sana kemudian angkat bicara. "Perkenalkan nama saya Hanji Zoe, kebetulan saya juga punya kenalan tim ahli forensik yang bertugas meng-autopsi jasad Armin." Hanji memberikan jeda sejenak. "Hasil pemeriksaan menyatakan jika ia sudah meninggal tiga jam sebelum menusukmu. Kami tidak yakin dia yang menusukmu setelah hasil ini keluar, tetapi setelah kami melakukan autopsi dan memeriksa lambungnya, terdapat sebuah pil yang ajaibnya masih utuh. Kami memeriksanya dan pil itu menjadi sebab kematian Armin."

"Pil hitam beracun yang terukir 'Thanatos' di atas permukaannya. Dalam mithologi yunani, Thanatos adalah dewa kematian. Kami yakin pelaku sengaja melakukannya untuk menyembunyikan kejahatannya." Grisha yang pernah membuat novel detektif ikut angkat bicara.

Hanji mengangguk membenarkan. "Kemungkinan besar pelakunya adalah Irvin yang merupakan dokter yang menangani Armin sejak kecil, karena sebelum bertemu denganmu ia mengatur janji untuk bertemu dengan Dr. Irvin. Dugaan itu semakin kuat mengingat Dr. Irvin menghilang entah kemana."

"Hei, apa maksudmu?" Grisha tersulut api karena tidak terima jika sahabatnya dituduh.

"Thanatos yang tertulis pada laporan ini juga menjadi bukti kuat. Tim kepolisian akan memeriksa lebih lanjut mengenai motifnya membunuh Armin dan mencoba membunuh anakmu, Eren." Hanji membenarkan letak kacamatanya, ia berusaha terlihat tenang. "Informasi yang kuperlukan sudah didapat, saya permisi."

Semuanya terdiam, tampak kaget dan tidak percaya dengan analisa Hanji. Bukan rahasia lagi jika Hanji merupakan seorang dokter sekaligus profiler[1] terkemuka. Analisisnya yang walau terdengar konyol justru tepat seratus persen.

"Aku ingin mengunjungi makamnya." Eren membuka suara untuk memecah keheningan yang melanda.

Mikasa menatap saudaranya, kasihan. "Akan kuantar setelah kau sembuh."

.

.

.

Eren dan Mikasa menatap nanar sebuah batu nisan bertuliskan 'Armin Arlert'. Sebuket bunga mawar putih. Sudah satu bulan semenjak kematian Armin dan mereka baru sempat mengunjungi makam sahabat mereka karena Eren perlu waktu yang tidak sebentar untuk pulih dari luka tusuknya.

Mereka tau hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Mereka sudah tau jika sejak kecil Armin memiliki tubuh yang lemah dan penyakitan. Bahkan Armin pernah mengingatkan mereka,

"Aku bersyukur mengenal kalian, selama ini aku tidak mempunyai teman karena sebagian besar hidupku, kuhabiskan di rumah sakit dan rumah. Dan satu lagi, karena aku tau suatu saat nanti aku akan mendahului mereka menemui Sang Pencipta, aku tidak mau menjadi beban untuk mereka, untuk kalian."

Ah, Eren merasa air matanya mulai membasahi pipinya. Mikasa hanya mengeratkan syal merahnya, cuaca saat itu cukup dingin.

"Aku sayang kalian, kalian temanku yang paling kusayang."

.

.

.

"Um, Eren."

Yang bersangkutan menoleh. Mereka baru saja hendak pulang, tetapi Eren tampak masih membawa sebuah buket bunga. "Ya?"

Mikasa menunjuk buket bunga di tangan Eren. "Untuk siapa?"

Eren tersenyum nanar. Ia mendongak menatap langit yang perlahan mendung, seperti hatinya saat ini. Ah perasaanya menjadi campur aduk setelah suara-suara'nya' tidak mengganggu hari Eren seperti waktu itu lagi. "Untuk seseorang yang paling kusayang di dunia ini."

Mikasa hanya menatap saudaranya yang tiba-tiba berhenti saat melewati patung misterius di dekat rumahnya. Eren ingin menginap sementara di kediamannya karena kedua orang tua Eren sedang sibuk dengan sebuah urusan.

Hujan mulai turun. Hanya setitik demi setitik, gerimis biasa. Mikasa mengeluarkan sebuah payung lipat dan memayungi Eren. "Kau bisa sakit, Eren. kau harus menjaga kondisimu untuk kepindahanmu minggu depan."

Eren tidak mengubiris perkataan Mikasa. Tangannya meletakkan buket bunga yang dibawanya di depan patung tersebut, di depan makam Levi. Kemudian pemuda itu terdiam, menangis dalam diam lebih tepatnya.

Mikasa menatap miris sepupunya. Ini kali kedua ia melihat Eren dengan kondisi seperti ini.

.

.

.

Kedua orang tua Eren sudah sepakat untuk menitipkan Eren pada kenalan mereka di Jerman sampai jangka waktu yang tidak ditentukan. Mereka menyadari jika Irvin masih mengincar Eren jika anak itu masih tetap tinggal di sana, tentu saja itu akan membahayakan Eren.

"Dia pernah berhutang nyawa padaku, dia seorang penulis juga sama seperti ayah." Begitu kata Grisha ketika ditanyai sang anak mengenai orang yang akan menjaganya selama di Jerman.

Carla menambahkan, "Dia sudah mama anggap adik kandung sendiri karena umur kami tak berbeda jauh. Sebelum hamil Eren, dia tinggal bersama dengan kami tapi dia memutuskan untuk pindah ke Jerman saat kau lahir." Maksudnya sih untuk meyakinkan sang anak.

Eren hanya melongo sambil menghabiskan makan malamnya. Entah kenapa ia masih memikirkan sosok Levi hingga saat ini. Sepi juga tidak ada yang bisa diajak bicara saat sedang bosan, mungkin jika masih bisa berhubungan dengan Levi, ia bisa mengajaknya perang batin?

"Eren?" Carla menatap khawatir anaknya. Wajahnya terlihat sedih. "Mama tau ini sulit, tetapi cobalah untuk bersabar, kau tidak aman jika ada di sini. Ini semua demi kebaikanmu, karena kami sangat mengkhawatirkanmu."

Ah, Eren terteguh. Meninggalkan Mikasa, makam Armin, teman sekelasnya yang menyebalkan, guru cantik di sekolahnya, mamanya yang selalu memarahinya jika bangun kesiangan, ayahnya yang selalu sibuk menulis hingga lupa makan, Eren akan merindukan segalanya, suasana, aroma masakan mamanya, bahkan perdebatannya dengan Jean. Dan yang paling ia rindukan tentu saja, makam Levi.

Besok Eren akan berangkat menuju Berlin. Semua persiapan dirasa sudah matang, selanjutnya tinggal perjalanannya saja.

.

.

.

Eren memejamkan matanya, membiarkan hatinya dikuasai oleh kehampaan. Saat ini ia sudah duduk di dalam pesawat yang akan mengantarkannya menuju Jerman. Sepi, rasanya sangat berat untuk meninggalkan teman-temannya dan keluarganya.

'Levi, seandainya kau bisa mendengarku saat ini. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.'

Eren menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

'Kau sudah berhasil menyegel Irvin. Ia sudah lenyap bersama dengan jiwamu. Aku tau kau mungkin sudah tidak ada di dalam diriku lagi. Aku tau kau mungkin tidak bisa mendengarku lagi, tapi―'

Eren membuka matanya perlahan kemudian melirik ke arah jendela pesawat, hamparan awan menjadi pemandangannya saat itu.

'―aku mencintaimu.'

.

.

.

Fin

A/N: GYAHAHAHA, akhirnya jadi ngegantung gini, jadi gaje malah. Bingung milih kata buat scene terakhir sampe tunda ngetik sehari. Armin meninggal, maafkan saya. Oh ya, mungkin nanti bakal ada sekuel atau prekuelnya tergantung saya moodnya bikin yang mana/apa

Kenapa Eren ke Jerman? Kenapa harus Jerman? Karena saya suka Prussia/oke ini ga nyambung\

[1] Profiler: psikolog kriminal yang mempelajari psikologi dan tingkah laku para pelaku kejahatan. Dalam beberapa kasus sering disebut juga sebagai detektif.

Oke, kali ini ga banyak-banyak jadi SEE YA NEXT TIME!

_Omake_

Eren tiba di Jerman tanpa membawa barang satu foto pun orang yang akan menjaganya selama di Jerman. Ia hanya diberika selembar kertas berisi alamat rumah orang tersebut, apartemen lebih tepatnya. Jadi Eren memutuskan untuk naik taxi menuju alamat yang dimaksud.

Setelah yakin dengan nomer kamar yang tertera pada kertas yang dibawanya dan yang terpajang di depan pintu sebuah kamar pintu apartemen tersebut, Eren hendak mencoba mengetuk pintu itu.

GREK

Knop pintu diputar dari sisi lain pintu dan pintu tersebut terbuka perlahan, memperlihatkan sesosok pria yang akan menjadi pengasuh Eren selama tinggal di Jerman.

"Eren Jaeger?" suara alto itu menggetarkan hati Eren yang masih tidak percaya dengan sosok di hadapannya.

"kh…" Eren merasa lidahnya kelu sehingga tidak dapat berkata-kata, kakinya gemetar dan wajahnya pucat. Sebagai tambahan, ia hampir mengompol.

"Kau seperti melihat hantu, aku manusia." Begitu ucapnya karena merasa terhina dengan respon Eren.

"k-k-kau memang setan." Ucap Eren terbata. Perasaannya campur aduk antara tidak percaya, takut dan bahagia.

"Sudahi bercandamu, cepat masuk ke dalam." Pria itu membantu membawa masuk koper besar milik Eren. "Oh, aku belum memperkenalkan diriku,"

Eren ingin menangis bahagia saat itu juga.

"Namaku Levi, panggil saja Levi tanpa embel-embel apa pun."

"B-baik bos."

"Bos?"

"E..eh itu.." Eren speechless sementara Levi kembali fokus pada koper Eren.

'Dia mirip orang yang selalu kumimpikan.' Kemudian Levi melirik Eren lagi. 'Pathetic.'

.

.

Fin