'Sebelum libur musim panas aku hanyalah pemuda berumur 15 tahun biasa, pelajar biasa, bocah yang suka membuat onar seperti anak lelaki pada umumnya,'

"Hei bocah."

'Tetapi semuanya berubah ketika kecelakaan itu menimpaku,'

"Kau tuli, hei bocah tengik?"

'Dan dia mengambil alih setengah kontrol tubuhku,'

"Cih, bocah sialan. Cepat buka matamu, kau akan terlambat."

'Kau… siapa?'

.

.

.

Who is That Inside of Me?

T. Supranatural, Drama. Standart disclaimer applied!

Warning: typos, BL, arwah!Levi, Samurai!AU, time slip, dkk.

(PS: baca sambil dengerin lagu OP Tokyo Ghoul yang pertama).

.

.

.

1st Personality:

.

.

.

Liburan musim panas…

Musim panas dengan matahari yang bersinar begitu terik membuat banyak orang memilih untuk tetap tinggal di rumahnya, siapa juga orang waras yang mau berkeliaran saat matahari bersinar begitu teriknya? Hanya orang gila yang akan melakukannya.

Termasuk dirinya yang sedang mengurung diri di kamarnya. Sebuah kalender tampak kotor oleh beberapa coretan. Liburan musim panas hanya tinggal seminggu dan pemuda itu belum menyelesaikan satu pun tugas liburannya.

Pemuda bersurai brunette itu meneguk segelas orange juice dingin dengan brutal, kerongkongannya sudah tidak tahan dengan siksaan sinar matahari yang menyengat sekujur tubuhnya. Entah kenapa musim panas kali itu adalah musim panas paling panas yang pernah dilaluinya sepanjang lima belas tahun hidupnya. Manik emerlad-nya menatap malas ke arah tugas yang diberikan sang wali kelas untuk ia kerjakan selama liburan. Sepertinya kipas angin tidak begitu membantu karena udara panas mengalahkan angin sejuk dari kipas angin yang sedang menyala dengan liarnya hingga tampak seperti pisau berputar yang mampu memotong daging. Kembali pada tugas liburannya yang supersulit, pemuda itu mengacak-acak surai berunette-nya setelah putus asa.

"Seandainya Mikasa masih tinggal di sini, pasti akan lebih mudah untuk menyalin tugasnya." Pemuda itu menghela nafas panjang. Mikasa adalah nama teman sekelas sekaligus sepupunya, Mikasa tadinya tinggal menumpang di rumah keluarganya sehingga ia bisa dengan mudahnya memanfaatkan kepintaran gadis tersebut. Toh yang bersangkutan juga tidak pernah keberatan jika ia manfaatkan. Sayang sekarang Mikasa sudah pindah ke rumah baru yang jaraknya sekitar 1,5 km dari rumahnya "Apa aku harus ke rumah barunya?" pemuda itu bertanya entah pada siapa kemudian menggeleng dan menjawabnya sendiri. "Cuaca di luar seperti neraka, keluar sama saja bunuh diri."

Kedua tangannya terlipat angkuh, matanya tertutup oleh kedua kelopak matanya. matanya masih terpejam, sementara surai coklat kayu itu bergerak ke kanan dan ke kiri, ia sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Sudah kuputuskan!" pemuda itu bergegas mengambil tas punggungnya dan memasukkan tugas serta beberapa peralatan tulis yang dibutuhkannya. Ia berniat menantang maut dengan berjalan kaki sejauh 1,5 km menuju rumah baru sepupunya tersebut. Benar-benar pemuda pemberani yang suka menantang maut.

.

.

.

Entah sudah berapa kali ia berhenti di bawah kerindangan pohon hanya untuk bersembunyi dari sinar matahari yang begitu ekstrem hari itu, entah sudah berapa botol minuman mineral yang ia habiskan. Rumah baru Mikasa dan keluarganya hanya tinggal tiga blok dari tempatnya berdiri, di depan sebuah patung berbentuk aneh.

Pedang? Atau pisau daging? Ia sendiri tidak tau dengan pasti bentuk apa itu, tidak pernah ada yang tau bentuk apa itu sebenarnya. Bahkan yang membuatnya saja tidak ada yang tau, patung itu benar-benar patung misterius. Menurut kabar yang beredar, patung itu dibuat ribuan tahun lalu, apa tujuan dan siapa yang membuatnya tidak ada yang tau persis.

'Eren.'

Mendengar namanya dipanggil, pemuda bernama Eren itu segera menoleh mencari sumber suara. Nihil, tidak ada seorang pun di sekitar tempatnya berdiri, lebih tepatnya ia sedang sendirian sekarang. Ia menoleh ke arah patung, jika tidak salah dengar sumber suaranya berasal dari dalam patung tersebut. Eren merasa jika bulu kuduknya berdiri semua, ia bergidik ngeri dan langsung memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Baru selangkah ia meninggalkan tempat tersebut. Tepat di tengah jalan saat itu ada motor oleng yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

Eren tidak dapat mengelak karena semuanya terjadi begitu cepat, motor itu dengan kecepatan sepersekian detik membuat tubuh pemuda lima belas tahun tersebut terpental membentur patung tadi. Langsung saja si pengemudi motor dengan panik turun dari motornya dan menatap Eren dengan panik, Eren sendiri sudah hampir kehilangan kesadaran, darah segar mengalir dari dahinya.

'Cih kalian akan mendapatkan hukuman berat karena menabrakku. Terutama pemuda cebol yang memakai kimono itu, ia mengejekku setelah temannya menabrakku? Menggelikan.'

Kesadaran Eren mulai menjauh perlahan dan ia pun tak sadarkan diri. Sementara si pengemudi motor berusaha menghubungi rumah sakit dan ambulans.

"Halo? S-s-saya baru saja menabrak seorang remaja putra, a-apa yang harus saya perbuat? D-dia pingsan dan kepalanya berdarah!" ucapnya dengan ketakutan. Dari suaranya, sudah jelas jika ia adalah seorang wanita. Wanita itu melepas helmnya, membuat surai blonde-nya terekspose.

"Jika ada orang lain di sekitarmu, minta tolong untuk menghentikan pendarahan di kepalanya. Ambulans akan tiba kurang lebih sepuluh menit yang akan datang." Suara seorang wanita di seberang telepon yang sepertinya adalah seorang suster rumah sakit itu berusaha menenangkan si pengendara motor.

"A-anu, s-saya hanya seorang diri di sini."

.

.

.

Gelap, bahkan ketika Eren sudah yakin kelopak matanya sudah terbuka. Tunggu, Eren merasa tangan dan kakinya seperti diikat kuat oleh sebuat tali tambang. Ah, Eren baru sadar jika matanya ditutupi kain sehingga ia tidah dapat melihat apa pun di hadapannya. Ia hanya dapat mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Kursi yang terbuat dari besi itu menjadi satu-satunya tumpuan baginya. Badannya lemas, entah kenapa Eren merasakan perih yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dan kenapa udaranya begitu dingin? Sebenarnya ia berada di mana sekarang? Apa yang sebenarnya sudah terjadi? Mimpikah?

"Kau baik-baik saja, bocah?"

Ahh, Eren ingat suara itu yang tadi memanggil namanya. Pasti ini semua ulah orang iseng. Pokoknya siapa pun itu, Eren akan membuat perhitungan dengannya. Eren hanya diam, tidak bergerak sedikit pun sampai ia merasakan ada tangan yang terasa dingin sedang berusaha melepaskan ikatan yang menjeratnya.

Matanya mulai menangkap cahaya, butuh beberapa saat bagi Eren untuk beradaptasi dengan cahaya yang begitu terang. Cahaya lampu, berarti dirinya sedang berada di dalam ruangan. Apakah ia di rumah sakit saat ini? Tapi kenapa ia diikat pada sebuah kursi?

Fokus Eren teralih pada sesosok pria yang tingginya di bawah rata-rata. Jika Eren tidak salah ingat, pria itu yang tersenyum puas saat dirinya ditabrak motor beberapa saat yang lalu.

"Oi." Suara alto milik pria itu mengagetkan indra pendengaran Eren. tidak salah lagi, ia adalah dalang dari semua kejahilan ini. Eren baru akan mengomel.

"…." Mulutnya tidak mengeluarkan suara apa pun. Eren terus mencoba berteriak tetapi suaranya tetap tidak mau keluar. Seperti mimpi, seberapa keras kau mencoba berteriak, suaramu tetap tidak terdengar.

"Cukup mengangguk jika kau baik-baik saja." suara itu kembali terdengar. "Lukamu cukup parah, akan kugendong sampai rumah." Sosok cebol itu menggendong Eren ala pengantin. Sungguh diluar dugaan jika pria itu mempunyai tenaga yang begitu besar sehingga dapat menggendong Eren yang tubuhnya sedikit lebih besar dari pria tersebut.

Ah memalukan, Eren berusaha meronta tetapi tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Entah kemana perginya semua staminanya, mungkin ini pengaruh kehilangan banyak darah karena kecelakaan tadi. Pasrah saja, pemuda umur lima belas tahun itu hanya bisa menatap kesal pria yang tampaknya miskin ekspresi tersebut.

Tidak membutuhkan waktu lama, mereka sampai di rumah pria miskin ekspresi tadi. Eren langsung dibaringkan dan pria tadi menyiapkan beberapa obat untuk mengobati luka gores di sekujur tubuh Eren. Keheningan menyelimuti keduanya saat pria miskin ekspresi itu mengobati luka Eren.

"Orang tuamu sudah tiada karena aku lengah." Walau sekilas, manik emerlad Eren sempat menangkap ekspresi menyesalnya. Eren tidak tau kenapa pria itu kesal. "Maaf." Begitu lanjutnya.

Ah tangan Eren mengepal erat, air matanya mengalir begitu saja. Tunggu, Eren bahkan tidak bisa mengontrol tubuhnya. Tubuhnya bergerak sendiri tanpa komando dari Eren, seakan sudah mengikuti skenario yang ada.

Pria itu menatap Eren. Kedua manik gelapnya bertemu dengan emerlad milik Eren. Tenggelam, Eren tenggelam dalam manik gelap milik pria tersebut. Manik gelap itu seakan menyeret Eren untuk masuk ke dalam lubang tak berdasar di dalamnya.

"Jadilah anak buahku." Permintaan atau ancaman, entah apa yang dipikirkan pria itu, tetapi Eren mengangguk tanpa ijin yang bersangkutan.

Ah, kali ini suara Eren yang keluar sendiri. Walau nyaris tak terdengar dan gemetar tetapi Eren yakin pria tadi mampu mengetahui kata apa yang barusan ia ucapkan. Terbukti dengan senyuman kecil yang nyaris tak terlihat menghiasi wajah miskin ekspresinya.

'Terima kasih.'

.

.

.

Kelopak matanya terasa sangat berat untuk dibuka. Suara alarm membuatnya tersadar dari alam bawah sadarnya. Cahaya lampu yang tergantung di langit-langit kamarnya menyambut kesadaran sang empunya kamar. Tangan kanannya berusaha menggapai alarm, berniat mematikannya.

"Eren, ayo bangun!" suara sang ibu menggema sampai kamarnya.

Ah, ia lega karena sudah bangun dari mimpi buruknya. Dan ia sudah bisa mengontrol seluruh tubuhnya kembali dengan sempurna.

'Oi bocah.'

Mata Eren membulat sempurna ketika mendengar suara alto itu lagi. Eren langsung bangun dari ranjangnya dan mencari-cari sosok pria miskin ekspresi yang tingginya dibawah rata-rata pria pada umumnya tersebut. Sip, kamarnya kosong. Hanya ada dirinya jadi ia simpulkan kalau suara tadi hanyalah halusinasinya.

Pintu kamarnya terbuka secara tiba-tiba, disusul sosok sang ibunda tercinta dengan frying pan berisi telur dadar. Sang ibu tampak marah karena anaknya belum bersiap juga.

"APA YANG KAU LAKUKAN? KAU AKAN TERLAMBAT SEKOLAH, EREN!" semprotnya dengan cetar membahana di ruang kamar Eren, sebuah kap lampu tidur milik Eren tampak miring setelah ibu Eren menyemprot anaknya.

"S-sekolah?" Eren membeo kebingungan. "Bukankah masih seminggu lagi?"

"Kau mengigau? Ini sudah tanggal berapa?" Carla, ibu Eren menjewer kuping anaknya. "Cepat ganti baju dan sarapan." Begitu ucapnya sebelum pergi mendinggalkan Eren yang masih belum bergeming dari tempatnya berdiri saat ini.

Apa saja yang sudah terjadi selama seminggu? Ia terus bermimpi selama seminggu? Tidak, rasanya semuanya begitu singkat untuknya. Bagaimana dengan tugasnya? Eren segera mencari tugas musim panasnya, tepat di atas meja belajarnya dengan rapih dan bersih. Tunggu, siapa yang membersihkan kamarnya? Eren ingat betul sebelum ia mengalami kecelakaan, kamarnya sangat berantakan dan kotor oleh sampah bungkus es. Sekarang kamarnya tampak begitu rapi dan bersih. Apa ibunya yang membereskan semuanya? Ah, rasanya tidak mungkin ibunya membersihkan sampai sebersih ini.

'Berterima kasihlah padaku, bocah tengik.'

Eren menelan ludahnya dengan sekuat tenaga. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya. "Jangan-jangan…." Kakinya mulai bergetar. "Dimana kau? Tunjukkan dirimu!" ujar Eren dengan lantang. Ia masih mencari-cari sosok yang muncul dalam mimpinya, sesosok pria berkimono hitam dengan motif daun bambu.

'Kau tidak akan pernah menemukanku.'

Eren mendecih sinis. "Karena aku tidak melihatmu? Jangan belagu!"

'Bukan.'

"Lalu karena apa?" Eren sedikit membentak, ia sudah hilang kesabaran.

Hening menyelimutnya yang masih tetap berdiri di tengah ruang kamarnya. Suara jam dinding seakan mengalunkan musik latar khusus untuknya. Jantung Eren berdegup dengan kencang, saking kencangnya suara degup jantungnya menyamai suara jam dinding. Pukul 07.35, Eren harus segera bersiap jika tidak ingin terlambat. Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya menunggu jawaban dari pria itu juga. Baru saja tangan kanannya mencoba meraih seragam sekolah yang tergantung dikamarnya, suara itu kembali terdengar. Jawabannya membuat Eren kembali membatu di tempatnya berdiri.

'Karena aku ada di dalam dirimu.'

.

.

.

Terlambat saat hari pertama masuk bukanlah hal yang menyenangkan, Eren harus menerima hukuman menulis puisi indah dari wali kelas mereka. Tugas yang tidak begitu sulit karena tugas musim panasnya selesai dengan sangat memuaskan, entah siapa yang menyelesaikannya. Kemudian Eren kembali terngiang kata-kata dari pria berkimono yang miskin ekspresi itu. Beruntung setelah mengucapkannya, Eren tidak mendengar kata apa pun lagi.

"Omong kosong." Decihnya dengan ekspresi kesal.

"Kau baik-baik saja, Eren?"

Tidak ada jawaban. Eren memilih untuk diam, ia tau siapa yang bertanya padanya. Kedua sahabatnya, Armin dan Mikasa.

Yang bersurai pirang memposisikan dirinya duduk di kursi di depan tempat duduk Eren. "Kau sedikit aneh setelah kecelakaan itu."

Alis Eren sedikit terangkat saat sahabatnya mengungkit kecelakaan yang menimpanya tempo hari, atau seminggu yang lalu lebih tepatnya. "Maksudmu?"

Armin―pemuda bersurai pirang itu dan Mikasa saling bertatapan. Kemudian Armin kembali membuka mulutnya. "Kau tidak mengenali kami semua, kau juga jadi suka bersih-bersih setelah kita belajar bersama, kau juga jadi pendiam, dan…" Armin menggantungkan kalimatnya.

Mikasa menyela, gadis bersyal merah itu menatap Eren dengan tatapan khawatir. "Kau aneh saat melewati patung misterius yang ada di dekat rumahku."

"Oh patung itu? Aneh bagaimana?" Eren meletakkan pensilnya di atas kertas putih yang seharusnya sudah berisi dengan puisi indah untuk dikumpulkan siang nanti.

Armin menatap gelagat Eren, kemudian kedua manik shapire-nya menatap wajah Eren seakan ingin memastikan sesuatu.

"Kau berdiri dengan wajah sedih dengan tangan kananmu mengusap patung tersebut di tengah hujan deras tengah malam musim panas." Mikasa mengeratkan syalnya, sedikit ngeri sebenarnya mengungkin pemandangan tidak biasa waktu itu. "Kau terlihat seperti orang lain." Lirihnya.

Saat itu mungkin memang bukan dirinya yang menemui mereka, yang melakukan hal aneh dan yang membersihkan kamarnya. Mungkinkah pria berkimono itu?

'Ya.'

Eren tersentak kaget. Barusan ia mendengar suara itu lagi. Lagi, dan sampai kapan? Tidak, ia harus menghentikan suara yang kemungkinan besar hanya halusinasinya tersebut. "Aku permisi ke toilet sebentar." Kemudian pemuda bersurai kayu itu pergi meninggalkan kedua sohibnya.

.

.

.

Atap adalah tempat di mana Eren bisa berbicara dengan bagian lain dari dirinya. Setelah yakin jika ia adalah satu-satunya orang yang ada di atap sekolah, Eren mulai membuka suara. "Kau…Siapa?"

'Bosmu.'

"Jangan bercanda!" bentak Eren dengan emosi yang tak terbendungkan.

'Aku serius.'

"Ahaha, hahaha! Omong kosongmu itu lucu sekali!" eren tampak seperti orang gila saat ini.

'Kau menyedihkan, bocah.'

Kemudian tawa Eren pecah menjadi sebuah tangisan memilukan. "Seseorang sadarkan aku, tolong." Kemudian semuanya kembali menjadi gelap.

.

.

.

Sayup-sayup terdengar suara dua orang lelaki yang sedang berbicara, terdengar pula suara pengaduan dua bilah pedang. Sedikit memilukan telinga, Eren pun menutup kedua telinga menggunakan tangannya. Tunggu, di mana ia sekarang? Suasana ini, sepertinya persis seperti suasana dalam mimpinya. Eren memposisikan dirinya bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Diam-diam ia mencuri dengar.

"Bos, kalau dipikir-pikir aku tidak tau namamu." Tanya seorang pemuda bersurai coklat pada lawan bertarungnya.

"Levi, panggil saja begitu." Eren mengenal suara ini, suara alto seorang pria yang terus mengganggunya sampai ia kehilangan kesadaran.

'Oh namanya Levi.' Batin Eren.

PRANG

Pedang pemuda bersurai kayu itu terlepas dan terlempar ke arah Eren bersembunyi. Tertusuk pedang bukanlah hal yang menyenangkan, terlebih lagi pedangnya menembus badanmu dan tertancap di permukaan tanah. Tunggu, Eren baru menyadari jika tubuhnya tembus pandang. Apa-apaan ini? Ia sudah mati?

"Eren, ambil pedangmu. Kita lanjutkan setelah makan siang." Titah Levi yang kemudian dengan angkuhnya berjalan mendahului anak buahnya.

Eren terperanjat. Barusan Levi memanggil namanya? apakah ia menyadari keberadaan Eren? jantungnya seakan berhenti sepersekian detik sampai pemuda bersurai coklat tadi menoleh ke arahnya dan menghampirinya―menghampiri pedangnya lebih tepatnya. Hal itu membuat Eren bertambah kaget saat mengetahui bahwa wajah mereka, rambut mereka, postur serta tinggi badan mereka sama persis. Nama mereka pun sama. Apa yang sebenarnya terjadi? pemuda tadi melewati Eren dengan slowmotion, ia mengambil pedangnya dan segera menyusul bosnya. Sementara Eren tak bergeming, ia masih membeku di tempatnya berdiri. Betapa tidak? Ia baru saja bertemu dengan orang yang mirip dan bernama sama dengannya. Eren semakin tidak mengerti, kepalanya seperti berputar-putar.

SRAK

Eren menoleh ke arah sumber suara, ia mendapati sosok yang familiar di matanya sedang bersembunyi di balik semak-semak.

"Armin?"

Sosok itu menoleh ke arah Eren tetapi sepertinya ia tak dapat melihat pemuda itu. Eren sadar jika bola mata Armin terlihat kosong dengan warna gelap. Seperti dirasukki sesuatu.

"Armin…" lirihnya sebelum semuanya kembali menjadi gelap.

.

.

.

'Eren, kau harus berhati-hati dengan pemuda bernama Armin itu.'

"Kau bercanda, dia sahabatku!"

'Dia akan membunuhmu jika kau lengah sedikit saja.'

"Armin tidak akan melakukan hal itu kepadaku!"

'Dia dirasuki oleh iblis dan tubuhnya dikuasai kegelapan.'

"Dia bukan orang jahat, aku percaya itu!"

'Tch, terserah kau saja.'

.

.

.

TBC

A/N: hello, lama ga ketemu. Maaf buat ff sebelah saya masih seret ide, semoga ff ini ga seret ide. Ini multichap tapi ga banyak-banyak kok chapnya, karena saya ga bisa bikin multichap panjang-panjang. Perkiraan 3 chapter mungkin bisa kurang atau lebih. Alurnya maju mundur biar greget, maaf kalau kurang jelas.

Kembali ke ff, kenapa saya bikin time slip seperti ini? Karena saya suka bikinnya/apa
terus samurai!AU juga saya liat jarang(sebenernya modus supaya banyak nulis kata "pedang yang beradu"/ambiguoi). Ff ini terinspirasi setelah saya nonton Tokyo Ghoul, telat mungkin tapi saya kepikiran plot ini pas liat lirik lagu openingnya, jadi saya saranin pas baca sekalian pasang lagu opening TG yang pertama. Judul ff ini juga sama kaya salah satu liriknya.

Saya suka supranatural dan lahir lah ff ini. Btw itu si Levi sama Eren jadi semacam mirip Kaneki sama Rize, bedanya di sini Levi adalah arwah yang ngerasukkin Eren dan ngambil alih setengah tubuhnya.

Irvin di sini saya jadiin antagonis walau dia baru muncul di chapter berikutnya hehe. Armin sendiri jadi kaki tangannya.

Buat patung yang bentuknya ga jelas itu, sebenernya bentuk 3DMG tapi karena Eren dkk ceritanya orang modern, mereka ga tau apa itu sebenernya.

"Kenapa ga pake kata 'katana' aja sebagai pengganti pedang?" ―karena 'pedang' lebih ambigu (y)

Oke sekian, silahkan kritik dan saran asal jangan flame. SEE YOU NEXT CHAPTER!

[Special thanks: HaePillow, Michaela Sangster, Aulia McLean, and YOU]