[challenge]'PerfectTiming'

.

黒子のバスケ © Fujimaki Tadatoshi

'Perfect Timing' © Alenta93

.

Length : 3597 words

Pairing[s] : AomineXAkashiXNash

Genre[s] : romance, drama, not angsty hurt n also not fluffy enough

Warning[s] : AU!, MxM relationship, possibly OOC, harsh words

Summary :

To: Daiki Aomine

From: Seijuurou Akashi

Subject: none

'Perbaikan biolanya sedikit memakan waktu karena Minami Instruments sedang ramai. Kau bisa datang 30 menit dari sekarang, Daiki. Selesaikan dulu pekerjaanmu.' / Perfecto taimingu! Siapa kira e-mail singkat dari Akashi itu justru malah membawa petaka.

.

Comments :

Hai, Natha deeeesu! Akhirnya saya balik lagi posting FanFic setelah lamaaaa nggak posting.. *tengok story list*last posted on Sept 2014* #headdesk

Yep, ini spontanitas buat AoAka day, dikebut dari siang juga .. maaf kalo' mungkin nggak maksimal~ *bows deeply*

Maa, kotoshi mo yoroshiku ne, minna .. *o*/

Let's celebrate 4/5, AoAka day! Please read and enjoy :D

.

.

.

.

'PerfectTiming'

.

.

April 5, 2015. 09.06 am.

From: Seijuurou Akashi

To: Daiki Aomine

Subject: none

Perbaikan biolanya sedikit memakan waktu karena Minami Instruments sedang ramai. Kau bisa datang 30 menit dari sekarang, Daiki. Selesaikan dulu pekerjaanmu.

...-

Aomine berdecak kala manik deep bluenya menilik sederetan pesan dalam sebuah e-mail yang masuk sekitar sepuluh menit lalu pada ponselnya. "Terlambat hey, Ou-san yo*.. Aku terlanjur sampai." Dengusnya sebelum menutup flip ponsel dan kembali mengantonginya di saku celana.

(*Ou-san atau Ou-sama dapat dartikan King. Namun konteks penggunaan panggilan yang dipakai Aomine di sini bermaksud menyindir si pengirim pesan.)

Pemuda tinggi itu kemudian melepas helm, meletakkannya di sisi spion lalu bangkit dan turun dari motornya. Jemari panjangnya beralih meraih resleting dan segera menanggalkan jaket yang dikenakan sebelum melemparnya menutupi helm. Aomine kemudian melenggang pergi, meninggalkan area parkir itu. Berniat menyusul orang yang mengiriminya e-mail, Aomine melangkah santai menghampiri sebuah toko alat musik di pinggir jalan raya yang tak jauh dari tempatnya memarkir motor.

Criing~

Suara lonceng kecil menyapa pendengaran kala pemuda berkulit tan itu memasuki Minami Instruments. Sebuah toko alat musik yang sudah menjadi langganan bagi Akashi Seijuurou. Ya, pemuda inilah yang mengirimi Aomine e-mail di saat Aomine tengah memacu motornya di jalanan.

Seiring dengan langkah lebarnya yang semakin dalam memasuki ruangan penuh berbagai macam alat musik itu, sepasang deep blue Aomine tak kunjung menemukan sosok yang dicarinya. Masih dengan mengantongi kedua tangannya di saku celana, Aomine melangkah menghampiri seorang pria paruh baya yang berjaga di balik meja kasir.

"Yo, Jiichan yo~ (Hey, Si kakek tua~)" Sapa Aomine seperti biasa.

"Araa, Aomine-kun janeeka? (Eeh? Aomine-kun bukan?)" Balas pria itu dengan suara sedikit bergetar usai menebar senyum sesaat setelah mengangkat wajah dan menemukan sosok tinggi Aomine dari balik kacamata kunonya.

Senyum masih mengisi wajah Aomine sebelum ia menelengkan kepala dan menggantung kata-katanya dengan tanda tanya. "Seijuuro―?"

"Oh~? Tadi Akashi-sama kemari, beliau meninggalkan biola untuk mengganti senarnya yang putus." Pria tua itu menunjuk biola yang hendak diperbaiki oleh salah satu pegawainya. Sepasang manik cinnamon dari balik kacamata itu menilik penjuru ruangan sebelum teringat sesuatu. "Araa, sepertinya tadi beliau ingin keluar sebentar untuk menghubungimu, Anak Muda."

"Oh? Ya.." Aomine mengangguk singkat. "Ya, dia mengirimiku e-mail. Jadi, dia belum kembali?"

Kakek tua itu menggeleng pelan. "Kurasa mungkin Akashi-sama mampir ke salah satu kedai untuk menunggu perbaikan biolanya?" Ujarnya ragu.

Aomine kemudian menjentikkan jarinya. "Ah! Aku tahu dia dimana! Terima kasih, Jiichan!" Perlahan pemuda tinggi bersurai navy itu bergerak mendekati pintu. "Tolong hati-hati dengan biola anak itu yaa, Jiichan.. Kau tahu dia tak akan mengampunimu kalau ada lecet barang satu milimeter saja!" Aomine mengerling sebelum tergelak.

Suara langkah Aomine lenyap dalam sekejap, teredam lonceng kecil yang bergemerincing bersamaan dengan dentuman pintu yang ditutup, meninggalkan pemuda yang telah berkeringat dingin dengan tangan gemetar yang hendak meraih biola milik Akashi Seijuurou.

"Tak usah kau dengarkan, Yamato-kun.." Pria tua itu turun dari kursi tingginya sebelum menepuk pundak pemuda yang dipanggilnya Yamato itu―"Biar aku yang menggantinya."―dan menggantikan pemuda itu mengganti senar biola milik sang Tuan Muda Akashi.

.

*55*

.

Aomine berjalan santai di trotoar sembari bersiul. Sepasang manik deep bluenya beredar menatap jajaran café dengan dinding kaca yang memang banyak tersebar di kompleks pertokoan itu.

Pemuda tinggi itu masih memacu langkahnya dengan kecepatan standar, hingga matanya menangkap pemandangan itu. Sosok bersurai scarlet yang dicarinya tengah mengobrol dan duduk berhadapan dengan pemuda bersurai golden blonde di salah satu cafédi seberang jalan.

Tanpa pikir panjang, dibawanya langkah lebar itu melewati jalan besar dengan menyetop beberapa mobil yang berlalu lalang hingga sampai di depan pintu café itu. Aomine segera memasukinya dan menghampiri meja pemuda bersurai scarlet itu. "Sei!" Panggilnya kala langkah lebar itu terhenti di samping sebuah meja kaca berkaki rendah―dengan sofa warna maroon yang melingkarinya―di sudut ruangan café tepat di samping dinding jendela yang menghadap jalan raya.

"Daiki!?" Sepasang manik crimson itu tak kalah lebar memandang pemuda yang menjulang di sampingnya ini. Jujur saja, Akashi Seijuurou terkejut dengan kedatangan Aomine Daiki yang tiba-tiba menghampirinya.

"Sedang apa kau di sini?" Geram Aomine, mencoba menahan amarahnya.

"Daiki, tadi kau tak baca e-mail―"

"Aku tanya padamu, Sei! Sedang apa kau dengannya di sini!?"

Tepat setelah mendengar bentakan Aomine, pemuda tinggi dengan tattoo di leher itu menahan tawanya. "Hey, Ace.. You should listened to what hana-chan* wanna say first.." Ujarnya ringan sebelum meraih wine dan meneguknya.

(*hana-chan, hana means flower. Biasa panggilan diberikan untuk perempuan.)

"Diam!" Sungut Aomine sebelum menghampiri pemuda golden blonde yang masih duduk manis itu kemudian segera menarik kerah jas pemuda itu. "Hey! Katakan padaku apa yang kau lakukan pada Seijuurou!?" Geramnya.

"Daiki!" Akashi bangkit kemudian menarik lengan Aomine, berusaha melerai dua pemuda itu. "Kami tak melakukan apapun.."

Manik deep blue itu kemudian beralih menatap sepasang crimson pemuda mungil yang telah beranjak berdiri dari duduknya itu. Tunggu, apa tadi Seijuurou bilang? 'Kami'? Dia menyebut dirinya dan son of bitch itu dengan 'Kami'? Oh like a hell, dunia sudah memporak porandakan pagi yang nyaman milik Aomine Daiki!

Aomine melepas cengkeramannya pada Nash kemudian bangkit berdiri. "Kau bilang apa, Sei?" Ia meminta Akashi mengulang kalimatnya. "Kami?"

Seolah baru menyadari, Akashi melenguh. Ya, ia telah salah memilih kata. Bodoh! Umpatnya.

"Jawab aku, Sei!"

"Nash tak melakukan apapun padaku, Daiki, kami hanya minum kopi." Jawab Akashi.

"Huh? Kau membelanya eh, Hana-chan yo~?"

Ejekan itu sekses memunculkan tiga siku-siku di pelipis Akashi. "Daiki, tadi aku sudah mengirimimu e-mail kalau perbaikan―"

"Ya!" Aomine mengangguk malas, memotong kalimat pemuda mungil itu. "Lalu? Apa karena kau menyuruhku datang 30 menit lagi lantas kau bisa pergi menemuinya, huh!?"

"Daiki!" Kini dahi Akashi Seijuurou berkerut tajam.

"Aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku agar tak membuatmu menunggu, Sei! Aku sudah ke Minami Instruments dan tak menemukanmu di sana." Aomine mendengus. "Dan lihat sekarang, apa yang kudapat setelah aku terburu-buru tadi?" Aomine mengangkat bahu. "Kau―di sini―bersamanya!" Imbuh Aomine dengan penekanan di setiap kata.

"Tsk, tidak seperti itu, Daiki.."

Seolah tak mendengar, Aomine terus memuntahkan amarahnya. Ia terlalu kesal mendapati Akashi masih berhubungan dengan pemuda golden blonde ini. "Ya, dia mengajakmu minum kopi." Aomine mengulang alasan yang sebelumnya Akashi lontarkan. "Tapi kau bisa menolaknya, Sei! Untuk apa kau bertemu lagi dengannya!? Tak cukupkah amarahmu saat dia nyaris mencicip tubuhmu dulu?!"

PLAAAKK!

Sepasang manik saffir pemuda bertattoo itu membulat sesaat, bersamaan dengan mulutnya yang menggumamkan 'whooops' dengan sedikit dengusan meremehkan. Seolah ia tengah menonton drama di layar televisi.

"Tutup mulutmu, Daiki!" Akashi menggigit bibir bawahnya menahan kesal. Ia tak mengira justru pemuda di hadapannya inilah yang akan mengungkit masalah itu.

Dan, ya.. Sebuah tamparan sukses Akashi berikan dan mendarat sempurna di pipi kiri pemuda berkulit tan itu. Membuat Aomine berhenti bicara dalam sekejap. Pemuda itu terpaku, masih mencerna kejadian yang baru saja menimpanya sepersekian detik lalu.

"Whoa! I've told you, hey stupid Ace. I never thought that Hana-chan would slapped you like that. Hhahaha."

Akashi menoleh cepat, manik crimsonnya menatap pemuda yang baru saja berkomentar itu dengan tatapan tajam. "Nash, just shut up your fucking mouth!" Umpatnya yang malah mendapat senyuman lebar dari pemuda golden blonde itu. Akashi kemudian mengembalikan pandangannya pada Aomine. Sedikit mendongak, sepasang manik crimsonnya kembali beradu dengan manik deep blue itu. Tak dihiraukannya tatapan mata seluruh pengunjung cafésudah bertubrukan menatap mereka.

"Aku sudah bilang padamu, dengarkan aku! Daiki, dengar, aku tak pernah suka kau mengungkit masalah itu lagi!" Pemuda mungil itu menghela nafas keras. "Dan perlu kau tahu, kau―salah―paham! Aku bisa jelaskan semuanya.."

Akashi melihat Aomine tak mengalihkan pandangan darinya sedetikpun. Mencoba tenang, Akashi memulai penjelasannya. "Setelah mengirimimu e-mail begitu aku keluar dari Minami Instruments, aku tak sengaja bertemu Nash. Dia mengajakku barang menyesap kopi sebentar―"

Belum Akashi menyelesaikan kalimatnya, Aomine memutuskan untuk sedikit membungkukkan badannya. Membuat bibirnya sejajar dengan cuping telinga pemuda mungil itu. "Dengar, Akashi. Moodku―berantakan. Terus saja kau bela si brengsek itu!" Bisiknya seraya menatap Nash tajam. "Aku pulang." Ucapnya usai menarik diri dan segera melenggang pergi―

"Daiki! Hey, Daiki!"

―Langkah Aomine membawanya keluar dari café, tak dihiraukannya panggilan kekasihnya itu.

.

*55*

.

Pemuda tinggi bertattoo itu menelengkan kepala saat manik saffirnya tengah mengamati pemuda mungil yang mengambil duduk di sofa sebelahnya. Akashi terlihat tengah memejamkan mata dan menarih hembuskan nafasnya perlahan. "Hey, don't you go after him?"

Hening. Pemuda mungil bersurai scarlet itu bungkam. Ia tak menghiraukan pertanyaan itu.

"Are you sure you choose to be here beside me, huh?" Seringai Nash semakin lebar kala mendapati Akashi membuat pergerakan; pemuda mungil itu membuka matanya. "You know right, Hana-chan.. If you choose to be here a little longer, I'm sure I couldn't hold up to not to eat you."

Sebuah tawa kecil tedengar bersamaan dengan Akashi melemparkan manik crimsonnya menatap pemuda tinggi itu jengah. "Listen, that's―not―funny! I'm not in a good mood for joking around." Dan tawa keras mengisi gendang telinga Akashi kala ia memutuskan beranjak dari duduknya. Akashi kemudian membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang seribu yen.

"No no no, my treat. You don't need to pay, Hana-chan.." Nash bangkit dari duduknya yang semula bersandar di sofa.

"I don't need your treat. It'll be better if you used your money to go to improve your damned attitude!" Akashi beralih pergi seiring dengan seruan 'whooops' yang lagi-lagi keluar dari mulut sialan pemuda gila itu.

"Tsk!" Akashi berdecak seraya memijit pangkal hidungnya usai menyeberang dan berniat kembali menuju Minami Instruments untuk mengambil biolanya. "Ah!" Langkahnya kemudian terhenti, Akashi menarik ponselnya dan menekan beberapa tombol sebelum sebuah panggilan tersambung dan berakhir dalam waktu kurang dari lima belas detik.

"Ah, Keita-san? Sekarang aku di Minami Instruments. Antar aku ke rumah Daiki."

.

*55*

.

"Terima kasih, Keita-san." Akashi Seijuurou kembali menarik tubuhnya berdiri tegap setelah membungkukkan badannya sedikit untuk mengucap terima kasih pada sopir pribadinya. Usai pria yang dipanggilnya Keita-san itu mengangguk, Akashi beralih membuka pagar kecil di dekatnya dan melangkah masuk. Tanpa mengetuk pintu, ia pun menggeser pintu depan dan masuk ke dalam.

"Akh, Aomine-san.. Se-seben―"

"Kenapa? Kau ini kan laki-laki, tahanlah sedikit."

Cuping telinga Akashi menangkap percakapan di dalam rumah yang dihampirinya. Menurut pemikiran pemuda mungil ini, harusnya tak ada orang lain di rumah ini selain sang pemilik. Aomine Daiki.

"Hai―ouh! Sakit, Aomine-san! Tolong pelan-pelan memijitnya."

Akashi masih sibuk melepas sepatu kala terdengar suara yang jelas-jelas bukan suara Aomine.

"Hahaha Ryou, baiklah."

'Ryou? Siapa―?"

"Uuh~"

"Bagaimana? Masih sakit?"

'Hah? Siapa―? Dan apa yang sebenarnya mereka lakukan!?' Rasa kesal itu memacu langkah cepat Akashi beralih ke ruang duduk yang terhalang pintu geser.

"Uun, tidak terla―"

GRAKK!

"Apa yang kalian lakukan hah!?" Akashi membuka kasar pintu geser di depannya. "Ha!?" Manik crimsonnya kemudian membulat kala mendapati sosok partner Aomine di masa SMA itu ada di rumah ini. "Ryou― Sakurai?" Akashi menelengkan kepalanya.

Sementara dua pemuda yang bersila di ruang duduk itu pun menghentikan kegiatan mereka. Aomine duduk berhadapan dengan Sakurai Ryou, pemuda bersurai sewarna kayu manis dengan sebelah kakinya yang diselonjorkan bertumpu di paha Aomine.

"Ah? Eh!? Doumo, Akashi-sa― it-ta-ta-tai! (Ah? Eh!? Halo, Akashi-sa― Sa-sakiiitt!)" Lenguh pemuda itu saat tanpa sadar ia bergerak menarik kakinya yang bengkak karena terkilir. "Sumimasen. Jama saseru nante― (Maaf. Aku sudah mengganggu―)" Sakurai hanya bisa menunduk. Suasanya sekitarnya mendadak suram.

Tatapan tajam crimson Akashi tertuju penuh menatap manik deep blue Aomine yang masih dalm posisi bersilanya. "Yo, Daiki." Seringai Akashi dengan sudut bibir terangkat.

"Sei? Kenapa―"

"Kau tanya kenapa aku ke sini, huh?" Akashi mendengus. "Aku ingin menyelesaikan masalah perihal Nash tadi.. tapi kau tampaknya malah berdua dengan Sakurai."

"A-anoo Akashi-san~ Sumimasen deshita. Tadi tanpa sengaja aku―"

"Aku tak berbicara padamu." Tatapan tajam Akashi cukup membuat Sakurai menelan kembali kalimatnya dalam sulitnya ia meneguk ludah. "Aku tak ada urusan denganmu, Sakurai. Bisa kau pulang?" Ujar Akashi dingin.

"H-Hoy, dia tamuku, tak seharusnya kau mengusirnya." Aomine bangkit berdiri dari duduknya.

"Begitu? Kenapa?" Akashi mendongak, menatap Aomine yang berdiri beberapa meter di depannya.

"Kakinya terkilir, karenanya aku―"

"Oh? Aku bisa meminta sopirku mengantarnya pulang." Jawab Akashi ringan.

Mengetahui ia yang menjadi masalah, Sakurai angkat bicara. "Tak perlu repot-repot, Akashi-san.. Sa-saya akan panggil taksi."

"Ah, ide bagus, Sakurai-kun." Senyum Akashi―palsu, tentu saja.

Masih dengan susah payah barang sekedar menarik hembuskan nafas, Sakurai beralih menggamit ponselnya dengan tangan gemetar.

Aomine yang menyadarinya pun menarik tangan Akashi. "Aku yang akan mengantarnya pulang karena aku yang membawanya kemari." Tutur Aomine tegas.

"Apa? Oh, jadi kau lebih berani dariku yang hanya menemui Nash di café yaa.. Kau bahkan membawanya pulang!"

Kesal, Aomine mendorong Akashi hingga punggung mungil pemuda scarlet itu beradu membentur dinding. Sebelah tangannya masih mencengkeram tangan Akashi dan tangannya yang lain menumpu dinding. "Jaga bicaramu, Sei!" Geramnya tepat di depan wajah Akashi yang hanya berjarak beberapa centimeter di depannya.

"Oh, kau sekarang membelanya? Membelanya sepertiku yang kau lihat tadi? Sepertiku yang kau kira membela Nash?"

Aomine mengalihkan pandangannya dan berdecak. "Sei! Kau tak tahu bagaimana kejadianya! Dengarkan ceritaku setelah aku mengantarnya pulang."

"Menurutmu aku mau mendengarnya, huh?"

"Seijuurou!"

"Hey, aku melakukan hal yang sama denganmu tadi, Daiki. Kenapa kau terlihat keberatan? Tadi kau bahkan pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasanku." Tatapan manik crimson itu meneduh.

Ha!? Aomine tertegun. Ia melempar manik deep bluenya yang semula memaku sepasang crimson indah milik Akashi. Katakanlah Aomine bodoh. Ya, kalian benar. Aomine memang bodoh. Ia sadar ia telah termakan emosi. Parahnya― "Katakan―" Desisnya.

"Huh?"

Manik deep blue itu kembali menatap pemuda mungil dalam kungkungannya itu. "Ceritakan padaku bagaimana kau bertemu pemuda sialan itu!"

.

.

"Anoo, Akashi-sama." Suara berat yang sedikit bergetar milik pria tua itu membuat Akashi mengehentikan kegiatannya yang semula menilik beberapa biola kuno koleksi milik sang pemilik toko. "Mohon maaf, sesuai dengan urutan, sepertinya perbaikan untuk biola milik Akashi-sama akan sedikit memakan waktu."

"Eh, begitu kah?" Manik crimson Akashi pun beralih menyusuri toko dan menemukan beberapa orang yang masih menunggu alat musiknya yang tengah diperbaiki.

"Kalau Akashi-sama berkenan, kami akan mengantarnya ke rumah Anda langsung setelah biola Anda selesai diperbaiki. Saya pribadi mohon maaf."

"Ah? Tidak, tidak. Kurasa tak perlu sampai repot-repot Jiichan, aku masih punya waktu." Akashi mengulas senyum. "Oh. Kalau begitu aku akan menghubungi Daiki sembari menunggu perbaikannya selesai."

Akashi pun beralih keluar dari Minami Instruments. Bersandar pada dinding di dekat pintu kaca, ia menarik ponselnya. Sibuk mengetikkan beberapa kata hingga jarinya beralih menekan tombol 'send'. Usai ponselnya berbunyi menandakan bahwa e-mailnya terkirim, Akashi pun menutup flip ponselnya dan berniat untuk duduk-duduk di café sembari menunggu. Seraya mengantongi ponsel dalam saku, Akashi melangkah begitu saja saat―

BRUKK

"Ah~" Akashi sontak mengulurkan tangannya saat ponsel itu terlepas dari genggamannya begitu saja saat ia menabrak seseorang.

GREP!

Hup!

"It was dangerous, Hana-chan~"

Manik crimson Akashi melebar kala telinganya menangkap suara berat itu.

"Here."

Sebuah tangan besar mengulurkan ponsel di depan mukanya. Perlahan, seiring dengan kepalanya yang menoleh, sepasang bola mata Akashi melebar saat menemukan sosok pemuda bersurai golden blonde itu tengah melingkarkan sebelah lengannya di perut Akashi, mencegahnya yang tadi nyaris terjatuh saat hendak menyambut ponselnya yang terlempar. "Nash―?"

"Yo!" Sapa pemuda itu usai melepaskan tangannya dari Akashi dan membiarkan pemuda mungil itu mengambil alih posel yang berhasil ditangkapnya.

"What are you doing here?"

Tatapan itu, Nash tahu. Tentu saja pemuda mungil itu sedikit banyak masih menyimpan ketakutan padanya. Tentu saja, bagaimana tidak? Dua tahun lalu, saat Akashi suntuk dengan segala hal di sekelilingnya, Nash yang tanpa sengaja bertemu dengan Akashi malah membawa pemuda itu ke sebuah pub. Parahnya, Nash memasukkan obat perangsang pada minuman Akashi dan nyaris menyetubuhi pemuda mungil itu. Oh well, kalian tahu seberapa brengseknya seorang Nash Gold sekarang.

"H-hey!"

Sahutan Akashi itu menarik Nash kembali dari pikirannya. "Ah, hhahaha sorry. Hmm, wanna have a cup of coffee with me?"

"Hah!?"

Reaksi terkejut yang sedikit berlebihan tak luput dari observasi manik saffir itu. "Ehmm, right there!" Seru Nash menunjuk salah satu café di seberang jalan. "How?"

Akashi pun mengiyakan.

Saat di café, Akashi sengaja memilih meja di samping jendela. Selain ia dapat mengalihkan perhatian saat tak ada topik pembicaraan, juga setidaknya untuk berjaga-jaga kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi. Ya, Akashi tak bisa meremehkan Nash. Pemuda ini jauh lebih bastard dari Haizaki Shougo.

Dan obrolan mereka hanya sebatas, 'Bagaimana pemain-pemain di Jepang? Apa permainan basket mereka sudah lebih baik dari seekor monyet?' atau 'Apa lagi yang akan kau lakukan di Jepang?!' hingga Aomine datang menghampiri mereka dan sedikit membuat kekacauan. Oh? Siapa yang membuat kekacauan? Aomine? Ataukah Nash?

.

.

Tubuh Aomine melemas, ia menumpukan kepalanya di pundak Akashi. "Ore no baka. (Aku memang bodoh.)" Umpatnya tanpa suara sebelum kedua tangannya beralih menarik Akashi dalam pelukannya.

"Daiki?" Akashi terkejut, namun ia tak menolak rengkuhan erat itu.

"Untuk apa kau bertemu lagi dengannya!? Tak cukupkah amarahmu saat dia nyaris mencicip tubuhmu dulu?!"

Kalimat itu terus terputar dalam kepala Aomine. "Warui, Sei. Warukatta. (Maaf, Sei. Maafkan aku.)" Sesal Aomine. Ia tahu ia tak seharusnya mengatakan itu. Tambahkan mereka sedang berada di tempat umum. Tak seharusnya ia mengungkit masalah pribadi itu. Dan semua terasa wajar bila Akashi sampai menamparnya pagi tadi.

Akashi membalas pelukan itu dengan mencengkeram sisian kaus Aomine. Ia pun semakin menenggelamkan dirinya dalam rengkuhan hangat dada bidang pemuda tinggi itu.

"Na Sei, kau tahu, tamparanmu tadi sakit sekali." Dengus Aomine, masih memeluk Akashi.

"Ah, maafkan aku, Daiki. Aku kesal―"

"Tak masalah." Aomine melepaskan pelukannya, ia menggeleng pelan sebelum menyeringai. "Akan kumaafkan kalau malam ini kau menginap di sini." Bisiknya. Dan seringai Aomine semakin lebar kala manik deep blue itu mendapati serpihan merah perlahan mengisi pipi pucat pemuda mungil bersurai scarlet di hadapannya ini.

Menunduk, Aomine meraih belakang kepala Akashi. "Suman na, Akashi." Ucapnya sebelum memagut bibir tipis itu. Mereka larut dalam kecupan-kecupan ringan itu. Lidah Aomine nyaris mengeksplore rongga mulut Akashi saat―

"A-anoo, sumimasen ga― (A-ah, ituu, maaf menginterupsi―)"

Seolah tersadar akan satu hal, tautan bibir itu terlepas. Dalam satu gerakan Akashi mengambil jarak dengan mendorong dada bidang Aomine. Nafasnya memburu dan wajahnya memerah. Ya, betapa malunya Akashi sudah dengan indahnya berciuman begitu saja di depan―Sakurai. Demi Tuhan, Akashi melupakan eksistensi pemuda polos itu.

Melirik Sakurai yang gugup dengan semburat merah yang juga mengisi wajahnya, Aomine semakin saja mengeratkan pelukannya di pinggang Akashi―yang tentunya menuai protes.

"Daiki!"

"Ne, Ryou. Bagaimana kalau sopir Sei saja yang mengantarmu pulang?"

"Eh?" Takut-takut, Sakurai menolehkan kepalanya, menatap Aomine yang menjulang.

Dengan sengaja, Aomine malah menyentuhkan dahinya dengan dahi pemuda mungil dalam dekapannya. "Sei? Bisa kau minta Keita-san masuk dan membantu Ryou berjalan ke mobil lalu mengantarnya pulang?"

"Seharusnya Keita-san masih di luar. Aku akan menelponnya. Lepaskan dulu!" Akashi menampik lengan pemuda berkulit tan itu. Menarik ponselnya, Akashi segera meminta sopir pribadinya itu masuk ke rumah Aomine.

Tak berapa lama, seorang pria usia akhir tiga puluhan dengan setelan jas lengkap itu menyapa mereka di ruang duduk. Pria itu membantu Sakurai berdiri dan merangkulnya, mengingat sebelah kakinya yang terkilir, Sakurai tak bisa bertumpu pada satu kakinya saja.

Saat Sakurai dan pria itu hendak meninggalkan ruang duduk, Aomine beralih memeluk Akashi dari belakang. Ia kemudian berseru, "Keita-san!" Dan bertepatan saat pria itu menoleh, Aomine―sengaja―mengecup pipi Akashi. "Bisakah Anda menjemput Sei besok, Keita-san?"

Sudut-sudut bibir Keita tertarik mengulaskan senyum. "Daiki-sama, kenapa tidak Daiki-sama sendiri yang mengantar Seijuurou-sama pulang besok pagi? Sekaligus sarapan bersama dengan Tuan Besar."

Kalimat Keita membuat Aomine tertawa. "Terima ka―"

"Tidak, Daiki! Tidak, tidak! Otou-sama bisa marah besar kalau―"

"Seijuurou-sama tenang saja. Saya akan bilang bahwa Seijuurou-sama menginap di rumah Daiki-sama seperti biasanya―tentu tanpa mengungkit perihal ciuman dan hal lain yang akan Tuan Muda berdua lakukan setelah ini. Hohoho." Pria itu menutup kalimat panjangnya dengan tawa kecil yang tentu saja mendapatkan teriakan dari sang Tuan Muda―

"KEITA-SAAANN!"

.

*55*

.

"Sei." Panggil Aomine. Manik deep blue itu memaku pada wajah Akashi yang berbaring dengan memejamkan mata di sampingnya.

"Hmm?" Akashi mendongak dan menemukan pemuda bersurai navy itu tidur dengan memiringkan tubuh tingginya menghadap padanya. Sebelah tangan Aomine yang tak Akashi gunakan sebagai bantalan itu mengusap kepalanya lembut.

"Tadi itu, Nash benar-benar tak melakukan apa-apa padamu kan?"

Akashi menghela nafas. "Seperti yang kuceritakan padamu, Daiki."

"Waktu dulu juga―kan?" Aomine mencoba memastikan.

"Berapa kali pun kau bertanya akan kujawab, Daiki. Aku sama sekali tak melakukan apa-apa dengannya. Aku memang mabuk saat itu. Tapi aku setengah sadar." Akashi mengulurkan tangannya meraih pipi Aomine. "Dan yang kutahu, kau datang sebelum semuanya terjadi." Aomine tersenyum―lega. "Dan yang selalu kuingat. Setelahnya, aku melakukannya―yang pertama kali―denganmu. Hhahaha gara-gara obat perangsang sialan itu!" Dengus Akashi.

Aomine menunduk, hendak menyesap bibir tipis Akashi saat jemari pemuda mungil itu membekap mulutnya. "Aku melupakan satu hal. Kau belum menceritakan bagaimana kau bisa membawa Sakurai kemari."

"Aaaaarrggh." Aomine mengerang kala ciumannya harus tertunda karena ia memang belum menceritakan apapun.

"Jadi?"

"Saat mengendarai motor, tanpa kutahu seseorang jatuh di depan motorku. Untung saja aku berhasil menghentikan laju motor. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau saja aku tak mampu menginjak rem barang sedetik saja.

"Aku segera turun, mencoba menlong orang itu. Dia beberapa kali meminta maaf padaku karena nyaris membuatku menabraknya. Dia terus meminta maaf hingga kami saling menyadari siapa yang berada di hadapan kami. Tahu itu Ryou, aku membantunya memungut barang-barang dan membantunya berdiri. Baru kusadari kaki Ryou mungkin terkilir saat aku melihat kakinya bergetar padahal dia hanya berdiri saja. Akhirnya, aku membawanya kemari dan membantunya mengurut kakinya."

Ya, iniliah alasan kenapa suara lenguhan Sakurai mengisi ruang duduk rumah milik Aomine ketika Akashi pertama kali datang.

"Aku tak seberapa tahu apa yang terjadi, sepertinya Ryou tak sengaja terdorong pejalan kaki lain dan dia terlilit kakinya sendiri yang akhirnya ia malah membuatnya jatuh ke badan jalan."

"Hmm~ begitu kah? Kasihan sekali Sakurai.."

"Tak usah mempermasalahkan itu. Kau tahu Keita-san pasti membawanya ke rumah sakit sebelum mengantarnya pulang kan?"

Akashi mengangguk. "Ya."

Sebelah tangan Aomine mendekatkan posisi tubuh mereka di balik selimut. "Na, Sei. Sekarang, bisa aku mendapatkan kecupan darimu?"

"Huh? Tidak!"

"Haa!?"

Akashi mendengus. "Aku lelah, Daiki. Besok pagi saja kuberikan sebagai morning kiss untukmu." Pemuda mungil itu beralih menarik selimut hingga batasan leher dan bergerak membelakangi Aomine.

"Hey, apa-apaan posemu yang memunggungiku itu? Kau mau aku menusukmu dari belakang?

Dan pertanyaan itu sukses memunculkan tiga siku-siku di kepala Akashi.

.

.

.

*FiN*

.

.

A/N:

Yak! Pasti aneh banget orz *ngais tanah*

Duuuuhh ini selain kebut juga disamping mood yang nongol ngilang TwT Aomine pasti OOC banget .. ntah kenapa nggak bisa dapetin 'feel' dia hiks

Maaf kalo' jadninya berantakan Minna.. *bows*

nggak lupa makasih banyak buat kalian yang udah nemu n mampir baca FanFic ini .. :D

Maa, I really need your comments guys.. Thankies :*

Happy AoAka day, everyone !

Regards

_Natha