Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
.
Warning :
OOC. Typo (selalu). Gaje. Dan kekurangan-kekurangan lainnya.
.
.
.
.
Setting fic ini adalah saat Boruto dan Sarada berumur sekitar 18 tahun dan jelas bukan tentang seputar dunia Shinobi.
.
.
Selamat membaca
.
.
.
.
.
.
"Hei, Boruto! Apa yang kau lakukan di sini?" seorang gadis berambut hitam pendek dan berkacamata berseru kepada laki-laki berambut kuning mencuat berantakan yang sedang memegang gitar sambil memainkannya dengan asal. Dia duduk dengan santainya di sebuah kelas kosong yang tidak terpakai di bangunan itu tanpa memperhatikan gadis itu.
"Kau membolos kuliah lagi? Aku akan bilang pada bibi kalau kau tidak masuk kuliah lagi," ujar gadis itu dengan nada sedikit mengancam. Laki-laki itu kelihatan tidak sabar dan dia akhirnya menatap perempuan itu dengan tidak sabar.
"Apa tidak ada hal lain yang bisa kau lakukan selain mengadukanku pada okaasan? Kenapa? Lagipula kenapa kau ke sini? Ini bahkan bukan gedung jurusanmu," ujar laki-laki itu kesal.
"Apa ada peraturan kalau mahasiswa dari jurusan lain dilarang berkunjung ke gedung jurusan lain?" sahut gadis itu, menatap galak laki-laki di depannya. Laki-laki itu hanya membalasnya dengan angkat bahu sambil mencibir ke arah gadis itu.
"Bilang saja kalau kau mau menemui, siapa itu.. Inojin? Atau siapa itu? Iya 'kan? Wahh, kau sudah mulai kencan diam-diam 'kan? Padahal kau baru saja masuk tahun pertama di sini. Aku akan bilang pada ayahmu nanti. Dan kau pasti dimarahi.. Ha~!" laki-laki itu kembali memainkan gitarnya dengan asal.
"Papa sedang pergi keluar kota. Dan biasanya ponselnya tidak begitu diperhatikan saat dia di luar kota. Aku akan bilang bibi setelah ini. Dan kau akan segera dimarahi saat pulang ke rumah nanti. Lihat saja. Dasar, pemalas!" gadis itu mendengus pelan ke arah laki-laki itu dan segera berlalu dari tempat itu seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas ranselnya.
"Hei! Hei, Uchiha Sarada!" seru laki-laki itu dengan keras. Tapi gadis itu tidak menoleh lagi ke belakang dan malah mempercepat langkahnya sambil setengah berlari.
"Gadis itu benar-benar.." laki-laki muda bernama Boruto Uzumaki itu memukul gitarnya dengan kesal.
.
.
.
.
.
.
"Uzumaki Boruto. Apa itu benar? Kau membolos kuliah lagi hari ini?"
Boruto baru saja memasuki rumahnya dan meletakkan sepatunya di rak dekat pintu masuk, saat seseorang menyambutnya dengan tatapan galak di dekat pintu masuk ruang tamu. Ibunya sudah berdiri di sana dengan kedua tangan ditekuk dan ditaruh di dadanya serta menatapnya dengan tatapan tajam dengan kedua mata amatheist-nya.
Boruto berdiri dengan sikap kaku dan balas menatap ibunya dengan kikuk.
"Ahh, tentu saja tidak. Kaasan, mana mungkin?" elaknya kemudian. Dia menghampiri ibunya dan mencium pipinya sekilas lalu berlalu dengan cepat dari hadapan ibunya.
"Tunggu. Boruto! Kau belum menjawab pertanyaan okaasan dengan jujur. Kau benar-benar membolos kuliah lagi hari ini?" ibunya kembali bertanya dengan nada galak. Boruto meghela napas panjang. Mati aku kali ini, batinnya.
Dia lalu berbalik dan menatap ibunya yang hanya setinggi bahunya dengan tatapan lembut.
"Kaasan, kenapa kau tidak mempercayaiku?" katanya seraya tersenyum manis ke arah ibunya. Tapi ibunya sama sekali bergeming dan masih menatapnya tajam.
"Sarada-chan mengatakan bertemu denganmu di waktu yang seharusnya kau masuk jam kuliah. Boruto, kenapa kau tidak mengatakannya dengan jujur dan bicara bohong? Apa okaasan mengajarimu berbohong? Kau yang paling besar dan bagaimana kalau adikmu mencontoh perilakumu itu? Lagipula kenapa kau membolos kuliah lagi?"
Boruto tidak berani menatap wajah perempuan di depannya ini secara langsung. Dan dia hanya menunduk menatap lantai kayu di bawahnya dengan wajah tertekuk.
"Kau sudah besar sekarang, bukan anak-anak lagi. Kenapa kau jadi semakin tidak disiplin akhir-akhir ini? Apa karena band-mu itu?" tanya ibunya lagi. Boruto kembali tidak menjawab. Kalau dia bilang iya, ibunya pasti akan lebih marah lagi dan dia akan dipaksa keluar dari band itu.
"Kau terlalu keras padanya, Hinata," sebuah suara bariton terdengar di belakangnya. Boruto terbelalak dan langsung menoleh ke belakang dengan antusias. Seorang laki-laki bermata biru safir dan berambut kuning sepertinya muncul dari dalam dan berjalan menghampirinya.
"Tousan? Bukankah kau sedang ada di Hong Kong? Kenapa sudah pulang?" tanyanya.
"Apa begitu caramu menyambut kedatangan ayahmu yang sudah seminggu pergi dari rumah?" ayahnya menghampirinya dan mengacak rambutnya dengan asal.
"Naruto-kun, aku sedang memarahinya. Lihat 'kan? Dia selalu seperti ini kalau sudah ada kau. Kata-kataku jadi tidak digubris lagi," Boruto menoleh ke arah ibunya yang kini mulai marah-marah lagi padanya. Boruto kembali menunduk dengan wajah bersalah.
"Aku yang akan menanganinya. Kau bantu Himawari di dalam saja. Dia bilang butuh bantuan mengerjakan tugas bahasa asingnya," ayahnya menunjuk ruang di belakangnya tanpa menoleh ke belakang.
Boruto bernapas lega saat melihat ibunya akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua dan menghilang ke ruang yang ditunjuk ayahnya tadi.
"Band lagi, eh? Boruto?" tanya ayahnya seraya duduk di salah satu sofa di ruang tamu itu.
"Begitulah," jawab Boruto pelan. Dia khawatir kalau ayahnya juga akan memarahinya. Tapi selama ini, seumur hidup dia tinggal di rumah ini, ayahnya lebih banyak membelanya dibanding memarahinya seperti ibunya. Walaupun terkadang, ayahnya juga tidak segan-segan memukulnya kalau Boruto benar-benar melakukan sesuatu yang keterlaluan dan membuat ibunya marah besar.
"Lebih baik kau mendengarkan kata-kata ibumu. Atau sesuatu yang lebih buruk akan terjadi nanti. Otousan maupun okaasan tidak pernah melarangmu menekuni hobimu itu. Tapi tidak ada salahnya kau menuruti kata-kata ibumu 'kan?" ayahnya menatapnya seraya tersenyum samar.
"Ya, aku mengerti," kata Boruto patuh.
"Kau memang harus mengerti itu. Jangan sampai hubunganmu dengan ibumu jadi renggang gara-gara kau tidak mendengarkan nasihatnya," kata ayahnya lagi.
"Ya," sahut Boruto lirih.
"Baiklah. Kau lelah 'kan? Cepat masuk ke kamarmu. Ibumu sudah memasakkan sesuatu untukmu di dapur tadi. Dan ada oleh-oleh dari Hong Kong di kamarmu," kata ayahnya.
Boruto menatap ayahnya dengan antusias.
"Benarkah? Ah, terimakasih, tousan," Boruto tersenyum ke arah ayahnya seraya meletakkan tangan kanannya ke pelipisnya seolah-olah dia sedang memberi hormat, sebelum akhirnya dia melesat menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua rumah itu.
.
.
.
.
.
.
.
"Mama! Mama.. Di mana lauknya?" Sarada berseru dengan keras seraya membuka-buka lemari dapur dengan sedikit frustasi. Tapi tidak ada jawaban.
"Mama!" panggilnya lagi.
"Nee-chan, kau berisik," seorang laki-laki muncul di belakangnya dengan wajah mengantuk. Sarada menoleh ke belakang dan mendapati adiknya, Daichi, berdiri dengan wajah mengantuk. Pemuda berambut merah muda itu kemudian membuka lemari es dan mengeluarkan susu kotak dari dalamnya.
"Kau tahu ramen instan yang biasanya ada di sini?" tanya Sarada pada adiknya yang tujuh tahun lebih muda darinya. Tapi adiknya itu tidak menjawab dan malah menuangkan susu ke dalam gelasnya tanpa melihatnya.
"Hei, Daichi. Kau mendengarku 'kan?" Sarada berkata pada adiknya agak kesal.
Adik laki-lakinya itu lalu mendongak dan menatapnya dengan malas.
"Sudah dibuat Mama tadi, karena paman Itachi ke sini dengan istri dan anaknya," jawabnya kemudian.
Sarada mendesis kesal ke arah adiknya.
"Kalau kau sudah tahu dari tadi kenapa kau tidak bilang-bilang dan membiarkanku mencari-cari seperti tikus kelaparan begini?" katanya kesal.
Daichi hanya menghela napas seraya meneguk susunya dengan sikap acuh.
"Lalu sekarang aku makan apa? Apa Mama tidak menyisakan sesuatu untuk makan malamku? Apa tidak ada lauk sedikitpun di sini?" Sarada membuka lemari es dan mengaduk-aduk isinya.
"Ahh.. Apa yang harus aku masak dengan tomat sebanyak ini?" desisnya kesal.
"Nee-chan," panggil Daichi.
"Kenapa?" Sarada menatap adiknya dengan tatapan tak sabar.
"Kau lama kelamaan cerewet seperti Mama," sahut Daichi singkat seraya beranjak dari tempat duduknya, membuang bungkus susunya ke tempat sampah sebelum akhirnya meninggalkan Sarada yang bingung. Sarada lalu membelalakkan matanya kaget.
"Apa? Apa maksudmu? Hei, Daichi! Aku akan bilang Mama kalau kau baru saja mengatainya cerewet. Dasar tidak sopan!" serunya. Tapi adiknya tidak kembali lagi.
"Kau ini kenapa malam-malam begini teriak-teriak seperti itu?" seorang perempuan muncul di belakangnya sambil memukul bahunya dengan pelan.
Sarada menoleh ke belakang dan mendapati ibunya menatapnya dengan penuh tanya dengan kedua mata hijau emerald-nya yang sama persis seperti adiknya. Rambut merah muda sebahunya juga terlihat sedikit berantakan. Dan walaupun kerutan mulai tampak di beberapa bagian wajahnya, tapi kecantikannya masih terlihat jelas.
"Mama, aku kelaparan dan tidak ada satupun yang bisa dimakan di sini. Bahkan sesuatu yang bisa dimasak pun tidak ada," katanya.
Ibunya hanya menggeleng sambil membuka lemari makanan yang menggantung di atas bak cucian dan mengeluarkan sebuah kotak makanan yang tertutup rapat.
"Aku sudah menyisihkan untukmu. Kau tinggal memanaskannya. Itu dari nenekmu," ibunya menaruh kotak makanan itu di atas meja makan.
"Nenek Mikoto? Dia ke sini tadi? Dengan siapa?" tanya Sarada dengan antusias seraya membuka kotak makanan itu.
"Pamanmu Itachi yang mengantarkannya ke sini tadi. Beliau bilang itu dibuat khusus untuk cucu kesayangannya yang sudah jarang ada di rumah ini," sindir ibunya seraya menatap Sarada. Sarada balas menatap ibunya dengan wajah tertekuk.
"Wah, baunya enak sekali. Sup kerang buatan nenek belum ada yang menyaingi aku rasa," katanya kemudian.
"Jadi, kau mau bilang kalau masakan ibumu ini tidak ada apa-apanya?" kata ibunya.
Sarada tidak segera menjawab, dia menatap ibunya dengan kikuk.
"Ahh, maksudku.. Kau yang paling hebat memasak makanan kesukaan Papa, Mama," katanya kemudian seraya menghampiri ibunya dan memeluknya dengan erat.
"Kau belum mandi, ya? Badanmu bau sekali. Cepat mandi sana," kata ibunya seraya memencet hidung Sarada dengan keras.
"Mama! Aku baru saja pulang," elak Sarada.
Sebuah suara kendaraan terdengar dari luar rumah itu sesaat kemudian. Sarada menatap ibunya dengan penuh tanya. Kedua mata hitam onyx-nya menatap ibunya dengan tatapan antusias.
"Apa itu..?" tanyanya.
Ibunya hanya mengangguk.
"Yes!" Sarada tersenyum lebar seraya melepaskan pelukannya dari ibunya dan berlari melesat menuju pintu depan. Dia membuka kunci pintu rumah yang terbuat dari kayu terbaik itu dengan antusias dan langsung membuka daun pintunya begitu kunci terlepas.
Seorang laki-laki sudah berdiri di depan pintu, mengenakan mantel musim gugur dan kacamata hitam serta penutup mulut. Dengan beberapa koper di dekat kakinya. Saat dia melepas masker penutup wajahnya, tampaklah seraut wajah seorang pria berumur pertengahan empat puluhan dan sedang menatap Sarada dengan wajah datar. Gurat ketampanan di wajahnya masih tampak jelas.
"Welcome home, Papa," sambut Sarada pada laki-laki yang kini melepaskan kacamata hitamnya dan tersenyum tipis ke arah Sarada. Sarada menghampirinya dan mengambil koper-koper di dekat kakinya lalu kembali masuk ke dalam rumah.
"Mana pelukan untuk ayahmu?" tanya laki-laki itu.
"Tidak. Papa belum mandi 'kan?" sahut Sarada asal. Laki-laki hanya mendengus pelan, kelihatan tidak terima.
"Ayahmu ini pergi lebih dari seminggu kenapa kau berlagak sama sekali tidak merindukanku?" ujar ayahnya dengan sedikit protes.
"Aku menunggu oleh-olehnya, Papa. Mama yang rindu padamu aku rasa," jawab Sarada seraya menunjuk ibunya yang tersenyum mafhum menatapnya dari tempatnya berdiri saat ini.
Sarada angkat bahu seraya mengangkat koper ayahnya ke dalam dan meninggalkan kedua orangtuanya di sana.
Dari sudut matanya dia bisa melihat ayahnya langsung memeluk ibunya dengan erat di depan pintu. Samar-samar telinganya menangkap suara kedua orangtuanya.
"Aku pulang, Sakura," itu suara ayahnya.
"Okaeri, Sasuke-kun," dan itu adalah suara lembut milik ibunya.
Sebuah senyuman tersungging di bibir Sarada. Dia selalu merasa damai melihat kedua orangtuanya seperti itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
FIN
A/N : Oke. I know it's weirdo -_-
Tiba-tiba dapat ide beginian dan tertulis begitu saja.