LOST INNOCENCE
By
Ellden-K
Prev : "Tuan, anda baik-baik saja?"
—Seorang pelayan mengintruksi. Mengejutkan Jungkook yang masih dalam keadaan semi ereksi.
Kemudian terasa remasan pada bagian paha dari bawah, namun Jungkook tidak sekalipun meliriknya. Setengah mati ia mengusahakan agar wajahnya terlihat biasa saja, tetapi Jungkook tetap tidak dapat menahannya.
"Aku— aku,.." remasan semakin kuat dan Jungkook merasakan ujung kejantanannya menyentuh belakang tenggorokan Taehyung. Ia terdiam untuk beberapa saat, lalu menghembuskan nafas kuat-kuat. "Tidak apa-apa.."
Pelayan itu semakin mengkerutkan alisnya, merasa bahwa pernyataan Jungkook sama sekali tidak meyakinkan. Ia semakin mendekat dan Jungkook semakin gemetar dibuatnya.
Chapter 11
Hasrat itu tentu tak tertahankan, tapi Jungkook tetap tidak menginginkan siapapun melihat dirinya tengah melakukan hal tidak sopan seperti ini. Ia menggulirkan bola mata penuh kegelisahan, mencari-cari alasan yang cukup logis agar orang itu meninggalkannya sendirian. Tapi Jungkook juga tidak ingin pelayan itu pergi, karena keadaan seperti ini benar-benar membuatnya merasa tidak nyaman. Ia ingin menghentikannya, tetapi tidak mungkin didepan orang Amerika itu.
Dari sudut matanya Jungkook dapat melihat Taehyung yang tengah menatapnya sambil bibir tebal itu mengulum kejantanan Jungkook, beruntung meja berisi gelas-gelas minuman itu cukup tinggi hingga keberadaan Taehyung sama sekali tidak terdeteksi.
Pemandangan yang luar biasa panas tapi Jungkook malah merasa semakin kotor, ia terlalu bodoh karena tidak mampu menghentikan Taehyung. Apa yang akan ia katakan jika komisaris Choi mengetahui hal ini? Atau semua orang menyadari apa yang ia lakukan kepada Taehyung?
Semua orang pasti akan menyalahkan Jungkook karena telah memperalat anak sahabat ayahnya dan memanfaatkan Taehyung untuk alasan yang sama sekali tidak bisa ia pertanggung jawabkan.
Jungkook hanya mampu menahan nafasnya yang hampir tercekik, ia menatap pelayan itu dengan tidak nyaman. Mencari-cari didalam kepalanya apa yang mesti ia katakan, sedangkan dibawah sana Choi Taehyung tengah melakukan hisapan-hisapan kuat yang memecah konsentrasinya. Jungkook bahkan tidak bisa fokus, ataupun membedakan antara keinginan dan kebingungan ini.
"Aku tidak apa-apa, percayalah. Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu."
Jungkook nampak memberikan kode dengan bergantian memandangi pelayan itu lalu berganti kearah selangkangannya, ekspresi wajahnya tentu tidak dapat disembunyikan. Ia mengernyit, nafasnya kencang namun ditahan dan pelayan itu sangat mengerti dengan apa yang terjadi, namun sayangnya ia hanya tersenyum maklum lalu mengangguk dan berbalik.
Tidak, bukan itu maksudnya idiot! Kembali! Bantu aku menghentikan lelaki ini!
Setelah pelayan itu pergi bukan kelegaan yang Jungkook dapatkan, ia hanya semakin berjengit gelisah dengan udara yang tertahan didalam paru-paru. Ia tidak sanggup untuk menarik nafas, mungkin saja ia akan kehilangan kontrol dan mengerang dengan suara yang tidak pantas. Namun bagaimana pun juga, tubuhnya tetap memerlukan oksigen, ia menghembuskan nafas kuat-kuat, meremas lengan kursi dengan tangannya yang gemetar.
"Henti—ahkk—" Hampir saja ia mengerang ketika Taehyung menenggelamkan seluruh kebanggaannya kedalam mulut, hingga sekali lagi Jungkook dapat merasakan rongga tenggorokan yang luar biasa nikmat— umm maksudnya sangat mengganggu pikiran.
Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk sekilas lalu denyutan liar mengaktifkan alarm keamanan didalam kepalanya. Sial, Jungkook merasa sangat dekat, ia mencoba mengontrol nafasnya. Melihat beberapa orang nampak sempat meliriknya sesekali, kemudian tanpa disadari Taehyung mengeluarkan sapu tangan dari saku celana nya.
Tangannya yang lain masih setia bekerja sama dengan mulutnya untuk meledakkan Jungkook. Ketika intensitas denyutan semakin terasa dan Taehyung melihat Jungkook yang sudah tak dapat lagi menahan diri, ia melepaskan kejantanan Jungkook dari mulutnya namun terus mengocok dengan gerakan super cepat lalu berlutut dan menyambar bibir Jungkook tanpa memperdulikan tatapan terkejut beberapa orang yang melihat itu. Setelah sebelumnya ia menutupi selangkangan Jungkook dengan sapu tangannya, Taehyung mencium Jungkook dengan penuh gairah. Menghentikan teriakan pelepasannya.
Saat kejantanan Jungkook menyentak-nyentak akibat ejakulasi, pemuda itu menggeram berat di tenggorokan. Kedua tangan masing-masing mencengkram kursi roda dan pinggul Taehyung. Kemudian hampir tanpa ia sadari telapak kakinya bergeser akibat efek dari pelepasan luar biasa itu, dan Taehyung berhasil menghalau teriakan Jungkook sekaligus membuktikan bahwa kakinya memang baik-baik saja.
"Rrrrmmhh! Mmhh!"
Jungkook tersentak, astaga kakinya bergerak. Sialan salah satunya bahkan menegang kaku. Taehyung masih menciumnya ketika Jungkook melihat beberapa pasang mata memperhatikan mereka, bodoh! Bagaimana jadinya jika—
Sialan! Masa bodoh dengan semua itu!
Tapi, mengapa ia seperti sangat mengenali perlakuan ini? Mengapa Jungkook merasa ia mengetahui ciuman ini? Bagaikan ia sudah pernah melakukannya. Tapi tidak mungkin dengan Taehyung kan?
Ia menggeliat, luar biasa gelisah ditengah pandangan orang-orang.
Taehyung segera menghentikan ciuman panas mereka ketika jari tangannya merasakan lelehan cairan hangat membasahi permukaan kulit.
Ia kembali ke tempatnya, namun kini tetap berlutut hingga kepalanya masih dapat terlihat.
Jungkook tetap memejamkan mata dengan kejantanannya yang masih berada dalam genggaman Taehyung, nafasnya memburu, hingga ia mesti melakukannya lewat mulut.
Apa maksud dari perasaan ini? Mengapa ia sangat mengenal liukan lidah itu? Sialan. Ini terlalu banyak.
Jungkook membuka matanya perlahan ketika ia merasakan Taehyung mulai membersihkan kejantanannya dari cairan lengket itu menggunakan sapu tangan, ia hampir frustasi ketika melihat senyuman nakal Taehyung diperuntukan baginya. Jungkook mengerang diam-diam, ia memejamkan matanya lagi.
Siapa kau sebenarnya Choi Taehyung?!
Sedangkan Taehyung bangkit dari tempatnya setelah memompa kejantanan Jungkook, ia nampak menyeringai tipis saat mendapati pria tampannya tak berniat membuka mata sedikitpun.
Kemudian Taehyung pun kembali membungkuk dan berbisik tepat disamping telinga Jungkook.
"Kita belum selesai sayang, kau berhutang banyak penjelasan kepadaku." Taehyung melepas jas yang membaluti tubuhnya kemudian melipat itu dan menaruhnya di pangkuan Jungkook.
Ketika ia membuka mata, Taehyung sudah mendorong kursi roda Jungkook dari belakang dan membawanya entah kemana.
Jimin tidak menemukan Jungkook dimanapun, meski ia sudah mencari-cari pada tempat yang sama ketika ia terakhir kali meninggalkannya.
Pria itu menggeram, seharusnya tidak sulit untuk ia mencari seorang laki-laki dengan kursi roda diantara kerumunan manusia ini. Tapi Jimin benar sama sekali kehilangan jejak.
Jungkook tidak ada dimana-mana, membuat ia semakin kebingungan.
Jimin mencoba bertanya pada seorang pelayan, namun yang ia dapat hanya senyum maklum. Kendati melihat Jimin yang nampak kebingungan dan juga kesal, pelayan itu pun berdehem, kemudian menjawab.
"Saya melihat orang yang tuan maksud tengah bersama seorang laki-laki lain, mereka pergi lewat pintu itu." Ia menunjuk sebuah pintu otomatis yang terbuat dari kaca satu arah, hingga orang luar sama sekali tidak bisa melihat kedalam. "Selebihnya saya tidak tahu mereka hendak pergi kemana."
Jimin mendesah.
Taehyung pasti sudah bertemu dengan Jungkook, dan entah itu sosok Jungkook yang sebenarnya ataukah Alter-ego yang tidak diketahui sudah sejak kapan mulai menguasai tubuhnya.
Selain itu, pintu yang ditunjuk oleh pelayan tadi adalah jalan menuju kamar suite setelah keluar dari ballroom.
Dengan semua kemungkinan yang muncul dikepalanya, Jimin sangat yakin, kalau Taehyung sama sekali tidak membuka e-mail yang ia kirimkan. Mengingat setumpuk pekerjaan akan menenggelamkan pesan yang Jimin kirim berhari-hari lalu. Tapi mengingat Taehyung yang belum kembali pulang untuk mengurus pekerjaan di Korea, nampaknya pria itu mengalihkan semua e-mail masuk kepada asistennya.
Jimin mengumpat sembari setengah berlari menuju pintu otomatis tersebut, ia mesti segera memberitahu Taehyung.
Ketika ia sudah siap merogoh kantong untuk mengambil ponselnya, sebuah panggilan masuk pun menunda niat Jimin yang hendak segera menelpon Taehyung.
Itu dari Yoongi, dan tidak biasanya ia menghubungi Jimin.
"Park." Seru Jimin sambil setengah berlari, ia melewati meja resepsionist yang kosong —entah seorang wanita yang biasa menyambut tamu itu pergi kemana.
Sebelah tangannya memegang ponsel yang ia dekatkan ditelinga.
Kemudian ia segera melewati lorong menuju Lift khusus. Sekilas melirik kolam berenang out door yang nampak berkilauan.
"Jimin, kau disana?"
"Ya, bicara dengan cepat Hyung. Aku sedang terburu-buru."
"Kupikir kau pasti sudah menyadarinya, tapi Kwon Jungkook seperti memiliki kepribadian ganda. Aku telah menyelidikinya semasa ia masih disini, dari rekaman cctv, banyak hal ganjal yang aku temukan."
"Tentu Hyung, dia memang. Aku sudah menemukan keganjalan itu sejak pertama bertemu, kau sedikit terlambat untuk memberitahuku."
Jimin berbelok ke sebelah kiri, namun itu buntu. Hanya ada pintu tempat penyimpanan alat kebersihan.
Ia menemukan lift nya disebelah kanan, namun Jimin kembali memutar bola mata kesal ketika mengingat ia tidak tahu kemana tujuan Taehyung.
"Ya, tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Jimin."
"Katakan." Ia memutar arah, berniat kembali menghampiri meja resepsionis tadi. Berharap jika wanita yang menjaganya sudah kembali.
Terjadi jeda beberapa saat, namun Yoongi tetap tak menyuarakan apapun. Ketika Jimin sudah hampir sampai di meja resepsionis, ia segera melihat wanita pirang dengan rambut digelung tinggi sedang menerima panggilan.
Tepat ketika Jimin sampai didepannya, ia menurunkan gagang telepon dan menatap Jimin dengan wajah terkejut.
"Kwon Jungkook tidak lumpuh—"
Kendati demikian, bersamaan dengan wanita itu menurunkan gagang telepon, Jimin pun menyingkirkan ponselnya dari telinga.
"—aku sama sekali tidak melakukan operasi kedua padanya. Ia hanya mendapat jahitan karena luka yang kembali terbuka." Yoongi nampak mengigit bibir ditempatnya, menggumamkan kalimat tersebut dengan gelisah. Ia menggeleng, kemudian melanjutkan pengakuan yang sempat membuatnya ragu.
Namun disini, Jimin nampak segera menyerbu wanita resepsionis itu dengan pertanyaan, sekilas mengabaikan kalimat Yoongi diseberang sana. Sebelah tangannya menggenggam ponsel dengan erat.
"Permisi, kamar atas nama Choi Taehyung."
Semoga Taehyung tidak memesan kamar menggunakan nama lain.
Wanita itu tampak kebingungan awalnya, tapi kemudian ia memeriksa juga.
"Lantai 4 nomor 309, sir. Apa anda—"
"Terima kasih."
Jimin segera kembali menuju lift, dengan langkah kaki tergesa dan beberapa kali hampir menabrak sepasang kekasih juga seorang pegawai hotel.
Ia menekan lantai empat, ketika sudah didalam, lift melesat seperti terlalu lama. Kemudian saat pintu lift terbuka dilantai tujuannya, Jimin segera melangkah keluar dan dengan cepat mendapati sebuah kursi roda teronggok disamping pintu bernomor 309, bersama dengan jas dan sapu tangan putih diatasnya.
Ia terengah, lalu kembali mengangkat ponselnya setelah pintu lift dibelakangnya mulai menutup, namun kalimat Yoongi nampak terpotong.
"—aaf baru memberitahumu sekarang. Kita harus kembali berbicara ketika kau sudah tidak terburu-buru." Yoongi memang dapat mendengar suara langkah kaki yang cepat dan keributan seperti apa yang Jimin ciptakan ketika ia berlari sekaligus hampir menabrak orang. Entah mengejar apa, Yoongi tidak tahu, yang penting ia telah mengatakan hal itu kepada Jimin.
"Baiklah Hyung, aku mengerti."
Sedangkan Yoongi kelihatan gelisah diseberang sana, ia menghembuskan nafas lega karena Jimin tidak langsung mendampratnya dengan amarah seperti biasa. Sama sekali tak menyadari jika pria itu tidak mendengar semua yang ia katakan.
Jungkook seperti tersihir, ketika Taehyung membawanya menuju lift di lorong yang agak temaram beberapa saat lalu sama sekali tak memberikan dorongan apapun agar suaranya keluar. Ia tak dapat membeberkan tentang penyakitnya didepan umum, meskipun lift hanya mengangkut mereka berdua, tapi cctv disudut atas itu tentu mengganggunya. Tidak boleh ada yang tahu, —orang luar manapun, tentang penyakitnya.
Ia bagaikan bisu, tak bisa bersuara.
Kini Taehyung nampak mendorongnya memasuki lift, kelihatan pria itu menekan lantai 4 sebagai tujuan mereka. Namun Jungkook masih juga tak dapat berkata, beberapa kali nampak menelan kekhawatiran.
Ia sedikit bersyukur sebenarnya, karena Taehyung membawa mereka pergi dari kerumunan banyak orang, dan dengan begitu Jungkook dapat dengan leluasa untuk mengakui semuanya. Setidaknya hanya pada Taehyung, meski demikian Jungkook pun telah mempertimbangkan reaksi terburuk yang akan didapatnya. Ia mesti mulai memilah kata paling tepat untuk menjelaskan pada Taehyung, tidak sekarang, tidak didalam lift.
Barangkali Taehyung akan mengerti, bahwa yang kemarin mereka lakukan ialah dibawah kesadaran Jungkook, karena yang waktu itu bersama Taehyung bukanlah dirinya yang asli.
Ia akan meminta maaf, menyusun kalimat paling sopan agar ia tidak menyakiti Taehyung sedikitpun.
Namun, ketika Taehyung membawanya keluar dari lift, seluruh kalimat yang ia susun seakan luruh tak bersisa. Lebih-lebih saat pria itu beralih kehadapan Jungkook dan membungkuk untuk meraup bibirnya.
Tidak, Jungkook harus menolak. Ia tidak boleh terlena.
Tapi dengan bodohnya ia malah mengerang ketika Taehyung menelusupkan lidah kedalam mulutnya, sebelah tangan yang terangkat nampak dicekal Taehyung dengan begitu mudah. Ciuman bibir ini mengingatkan Jungkook tentang percintaan panas didalam van, kayu panjang yang memukuli tubuhnya, dan peluru panas yang menyergap tiba-tiba. Kemudian wajah dingin dokter Min saat dirumah sakit, wajah yang terhalang gelapnya bayangan hanya menampilkan sepasang bola mata almond berwarna kecoklatan, lalu sepasang lengan yang mencakar bahunya hingga menyisakan bekas memanjang. Sakit, nyeri, marah, frustasi, merasa hina, kotor, linglung dan kebingungan.
Sampai akhirnya semua hilang dan berganti menjadi gelap.
Lorong panjang itu sepi, bahkan suara decak dan dengus yang mereka hasilkan terdengar lebih nyaring disini. Tepat didepan lift yang sudah tertutup adalah kamar nomor 309, dan ciuman panjang itu meningkat jadi semakin intim. Lumatan berubah menjadi gigitan, lidah membelai keluar masuk dan nafas terengah menerpa masing-masing wajah yang hampir merah padam.
Jungkook bereaksi lebih antusias, sebelah tangan yang tak tercekal menangkup wajah Taehyung, kemudian ia bangkit dari kursi roda dengan mudahnya. Menekan tubuh Taehyung pada pintu dibelakangnya, tanpa malu-malu membiarkan jas tadi jatuh diatas lantai, setelah sebelum itu menutupi celananya yang terbuka.
Taehyung mengalungkan dua tangannya dileher Jungkook, menyeringai diantara desahan saat mulut bergigi kelinci itu beralih menginvasi lehernya. Memberi tanda keunguan dan tak jarang mengigit permukaan kulit Taehyung seperti gemas.
"Sayang, aku belum membuka pintunya. Bisakah kau sedikit bersabar— oh! Biarkan aku mengambil kartu— Ah! Mhh— dikantung celana bagian kanan— Ya!" Taehyung memeluk kepala Jungkook sembari meremas surai merahnya sampai berantakan, sementara lelaki yang menghimpit dan menerjangnya dengan gerayangan tangan penuh godaan itu menciumi leher dan mengambilkan kartu yang ada disaku Taehyung.
Dua kakinya mengait pada pinggang Jungkook ketika mereka menerobos masuk, pintu pun tertutup rapat dan otomatis terkunci dari dalam.
Mengurung Taehyung hanya berduaan dengan Jeon Jungkook.
Ini, adalah malam ketika Taehyung memenuhi permintaan ayahnya untuk datang ke rumah sakit. Ketika itu, pukul sepuluh malam dan ruangan vip lumayan sepi. Sejak awal, ia memang hendak mengunjungi Jungkook. Namun wajah tentram dengan nuansa kamar yang temaram itu malah membuatnya menyeringai tipis.
Sama sekali tak ada niatan untuk membangunkan Jungkook, tetapi Taehyung juga tidak ingin hanya berdiam diri dan termangu menatap bagaimana caranya tertidur.
Kemudian, Taehyung mengambil langkah untuk mendekat dan dengan perlahan mengusap dada yang terbentuk alami itu pelan-pelan.
Kepalanya merunduk, jatuh dan bertautan diatas bibir Jungkook. Meraupnya tanpa tanggung, hingga hembusan nafas yang tadinya tenang berubah menjadi dengusan halus.
Taehyung sempat berjengit ketika dengan tanpa diduga sebelah tangan lebar berjemari panjang itu menekan kepalanya dan membalas pagutan. Ketika ia membuka mata, dilihat Jungkook tetap memejam. Bagaikan menikmati stimulan yang Taehyung berikan.
Ia tersenyum tipis disela ciuman itu.
Kedua tangannya merambat kebawah, memereteli kancing baju Jungkook. Diikuti oleh kecupan-kecupan basah diwajah dan lehernya, lalu dada. Terakhir...
Gundukan yang mengembung diantara keremangan kamar membuat Taehyung tidak tahan untuk menyentuhnya. Ia menggosok itu dengan telapak tangan dan menarik ujung celana Jungkook kebawah hingga benda semi keras nan tebal itu jatuh ke tangannya.
Taehyung mengocok perlahan-lahan dan lembut, lalu tanpa menunggu lama ia segera memasukannya kedalam mulut.
Dengan itu, Jungkook mendesah sembari meremas lapisan linen dibawah kulitnya. Ia bersuara, namun kedua mata tetap terpejam erat.
Seakan ia menikmati itu bagaikan mimpi erotis yang sedang berlangsung.
Taehyung menyeringai dalam kulumannya, ia tahu Jungkook setengah sadar. Karena Yoongi selalu menyuntikkan obat penenang agar ia bisa tertidur tanpa gangguan mimpi buruk ataupun insomnia.
Infomasi yang sangat berguna, mengingat Taehyung sudah lama kehausan oleh tubuh Jungkook dan dengan bantuan Yoongi yang selalu memasukan obat tidur dalam infus nya, bagaikan obat penawar yang sangat efektif.
Saat tubuh Jungkook meregang pelepasannya, Taehyung menelan semua yang keluar dari sana. Kemudian membiarkan obat itu bereaksi dengan Jungkook yang terkulai kelelahan.
Ia membenahi pakaian Jungkook agar kembali seperti semula, lalu melumat singkat bibir yang kini sudah kembali tertutup rapat dengan kelopak mata bergerak-gerak hampir terbuka.
"Selamat tidur.. Semoga mimpimu menggairahkan." Bisik Taehyung, kemudian pergi untuk menemui ayahnya.
.
.
.
Didalam ruangan Seunghyun menyambut Taehyung dengan senyum bisnis yang sudah biasa ia berikan, ketika putranya baru saja menginjakkan kaki didepan meja Seunghyun segera menyongsongnya untuk ikut duduk disofa.
"Kwon Jiyoung menghubungi ayah soal anaknya, Jungkook." Ungkap Seunghyun langsung ke inti.
Sedangkan Taehyung terdiam sembari mendengarkan.
"Ia meminta bantuan, dan ayah pikir kau orang yang cocok untuk melakukan salah satunya."
"Bantuan?" Tanyanya sedikit heran namun tetap mengernyit biasa. "Bantuan seperti apa?"
"Untuk mengawasinya sampai semua masalah yang sedang dihadapi presdir Kwon menyurut. Kau tentu mengerti, tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya saat ini." Katanya. "Kecuali kau dan ayah, Jiyong mempercayakan putranya pada kita. Dia sahabat ayah."
"Aku mengerti." Taehyung menyeringai sendiri didalam hati, kemudian menautkan jemarinya seperti nampak berpikir. "Tapi kenapa presdir Kwon menginginkan bantuanku?"
"Well, ayah mengatakan padanya jika kau memiliki teman yang hebat. Kau pernah bercerita beberapa pada ayah, termasuk dokter Min dan siapa satu lagi? Park Jimin? Ya, kau bilang Park Jimin ini adalah seorang ahli bela diri kan? Dia juga lulusan terbaik akademi militer dan beberapa kali menjadi pengawal orang-orang penting."
"Tapi dia sudah berhenti ayah."
"Maka dari itu bantuanmu sangat diperlukan bukan?"
.
.
.
Taehyung tidak bisa banyak berpikir, ayahnya memang bersahabat dengan tuan Kwon. Dan kini ia memerlukan bantuannya untuk membuat Park Jimin mau menjadi pengawal Jungkook.
Bisa dikatakan keuntungan memang selalu berada dipihaknya ya.
Taehyung menyeringai ketika mendapati punggung kurus Min Yoongi yang kini nampak tengah menyantap makan siangnya di kantin rumah sakit. Kemudian menyapa dengan tanpa sopan santun —ya, Taehyung menepuk punggung Yoongi terlampau keras, bukankah itu tidak sopan?
Pria yang lebih kecil tersentak lalu segera menyerobot minum ketika ia mulai terbatuk-batuk kecil.
"Apa yang kau lakukan disini dengan membuat aku tersedak, keparat sialan?" Yoongi melirik sinis, dengan punggung tangan mengusap mulutnya yang basah.
"Aku membutuhkan bantuanmu.."
.
.
.
Yoongi tak bisa berhenti menggerutu didalam hati setelah Taehyung berkata ia butuh bantuannya. Dengan sedikit bujukan setan ia mengatakan akan membayar berapa saja jika Yoongi berhasil merayu Park Jimin untuk menyetujui permintaannya.
Hal tersebut tentu ia tolak mentah-mentah, pasalnya semua orang memang mengetahui jika Jimin sangat menyukai Yoongi namun tidak akan semudah demikian. Tapi itu tentu bukan satu-satunya alasan ia tak memenuhi permintaan gila Taehyung.
Yoongi hanya tidak ingin kembali terlibat dengan orang yang pernah mereka culik, banyak hal bisa terjadi dan ia tidak pernah mau mengambil risiko lagi.
Namun, tekad baja Choi Taehyung patut diacungi jempol, karena tanpa henti pemuda itu membuat ponselnya bergetar sepanjang hari.
Sial man! Ia butuh istirahat dan keparat Choi Taehyung itu terus menghubunginya meski kini Yoongi sedang memarkirkan mobil di parking place apartemen tempat ia tinggal.
Membuat ia mesti membanting pintu mobil lalu menggeser icon berwarna hijau pada ponselnya.
"Tolong hentikan omong kosong ini, aku sudah berkata tidak Taehyung. Aku tidak akan pernah meminta Park Jimin untuk menjadi pengawal bocah ingusan itu." Katanya langsung menyembur Taehyung dengan murka.
Sedangkan pria lain diseberang sana terdengar mendengus remeh.
"Ayolah Hyung, itu tidak akan sulit. Bantulah aku sekali ini."
"Tidak. Suruh saja Kwon Jungkook untuk mencari pengawal lain, atau kau yang memintanya sendiri kepada Park Jimin."
"Dia tidak akan mendengarku."
"Persis."
"Tapi tak akan terjadi jika denganmu."
"Sial. Sudah aku bilang, aku tidak mau."
"Tapi—"
'PIP'
Sambungan pun terputus dengan Yoongi sebagai pelaku utama yang menekan icon merah diponselnya.
Ia segera menghela nafas dengan wajah datar dan bergegas pergi menuju lift. Namun belum berapa langkah ia sampai disana, seseorang tiba-tiba memanggilnya dengan nada bersahabat.
"Suga-ssi."
Tidak, itu tentu tidak bersahabat. Namun ia merasakan bulu roma nya bergidik ketika seseorang terdengar memanggilnya dengan nama lain yang ia miliki.
Nama yang tidak sembarangan orang tahu.
Yoongi berbalik dengan wajah terlanjur pucat. Namun helaan nafas lega kemudian terdengar ketika wajah familiar menampakan wujud didepan matanya.
"Seokjin Hyung. Kau mengagetkanku."
.
.
.
Entah apa yang terjadi dengan Min Yoongi. Namun kabar yang Taehyung dapatkan pagi ini sungguh membuatnya tak bisa berhenti menyeringai penuh kemenangan. Ia memandang ponselnya, lekat-lekat, dan membaca setiap kalimat dari pesan masuk line nya dengan begitu hikmat.
Aku tahu kau akan terus memaksa sampai rambut diatas kepalaku ini rontok, maka sebelum itu terjadi aku akan memutuskan untuk membantumu. Tapi, ini yang terakhir kalinya. Tidak ada permintaan konyol lainnya lagi seperti ini.
Taehyung pun segera mengetik balasannya.
Taehyung Choi
Oh, hyung. Kau memang yang terbaik. Beruntung aku mengenalmu.
Tak lama, ponselnya kembali berbunyi.
Beruntung karena aku masih bekerja dirumah sakit milik ayahmu.
Dengan senyum kecil yang tak juga pudar, Taehyung mengusap bagian bawah bibirnya dengan jari manis. Menaruh jari tengah diantara hidung dan bibir atasnya, ia pun kembali membalas.
Taehyung Choi
Kabari aku Hyung.
Ketika pesan itu sampai di ponsel Yoongi, ia tengah berada di apartemennya yang sedikit berantakan.
Tidak, ia tidak masuk kerja hari ini. Ada 'sedikit' urusan yang perlu ia tangani sebenarnya.
Setelah ia membaca pesan terakhir Taehyung, seorang pria berbahu lebar menampakan eksistensinya dari balik keremangan dapur. Sembari membawa secangkir teh hangat ditangannya, pria itu pun tersenyum. Bersandar pada meja makan minimalis yang tertata rapi dibelakangnya.
"Tunggu apa lagi? Hubungi Park Jimin sekarang."
Diantara sedikitnya cahaya yang masuk dari celah gorden yang sengaja tak dibuka, Seokjin menampakan cahaya berkilauan dari kedua manik matanya.
Yoongi tidak pernah membantah, tentu itu terjadi sudah sedari dulu. Karena meskipun Seokjin terlihat seperti tidak memiliki watak sekeras Hoseok, orang itu tetap ketua tim mereka. Salah satu anggota paling kuat.. Juga..
... Paling gila.
Yoongi menuliskan beberapa baris kata kepada Jimin, dan Seokjin menunggu dalam keheningannya sendiri bersama secangkir teh tanpa gula.
Sesekali terdengar suara denting dari ponsel Yoongi dan Seokjin nampak menaikan alis ketika melihat pria didepannya mendongak dengan alis mengerut kaku.
"Dia tidak menyetujuinya Hyung." Kata Yoongi pelan-pelan, ia nampak menggelengkan kepala sembari mendecak.
Melihat itu Seokjin segera berujar. "Bujuk dia Yoongi.." Katanya sembari menaruh cangkir teh diatas meja. "Meskipun aku tahu kau melakukannya dengan setengah hati, usahakan Jimin berkata 'iya'."
"Tapi Hyung, kau tahu aku tidak menginginkan ini. Kenapa aku harus membuat Park Jimin menyetujuinya?" Untuk pertama kali sejak ia kembali bertemu dengan Seokjin, Yoongi pun bertanya dengan berani. Menatap kilatan manik almond Seokjin yang memancarkan aura gelap.
"Karena kau harus." Nada pada suaranya kedengaran lembut, namun Yoongi tentu menyadari dorongan itu dari Seokjin. Ia memaksa menggunakan cara yang halus, dan Yoongi tidak berani main-main dengan itu.
"Namun bagaimana jika Jimin tetap menolak?"
Kali ini Seokjin tergelak dengan kedua tangan melipat diatas dada.
"Meski aku meragukan itu, walau kau yang melakukannya?"
Yoongi mengangguk.
"Well, aku akan menghendaki Hoseok untuk menangani Jimin."
.
.
.
Akhirnya Jimin menyetujui itu setelah Hoseok yang mendatanginya sendiri, dan ia sedang ada di Amerika saat ini, menangani Kwon Jungkook dan sekaligus berada ditengah-tengah bencana yang hendak terjadi. Jimin telah banyak melakukan segala hal demi Yoongi, berkata kalau ia mencintainya. Meskipun Yoongi selalu kelihatan enggan menanggapi, lelaki itu melakukan hal tersebut tentu bukan tanpa alasan. Ia adalah salah satu yang paling dipercaya oleh Kim Seokjin, selain Kim Namjoon dan Jung Hoseok. Ia hanya tidak ingin menyeret Jimin untuk masuk terlalu dalam, terlibat dengan rencana yang sudah Seokjin susun teramat rapi. Namun sepertinya Yoongi memang tak dapat membatah apapun, sampai akhir.
Kendati demikian, ia tetap harus memperingatkan Jimin. Merasa kalau melibatkannya adalah suatu kesalahan. Seokjin tahu kalau Jimin adalah kelemahannya, tiada satupun yang menyadari sikap enggan yang ditunjukan Yoongi. Semua penolakan dan kalimat sinis yang selalu ia berikan pada Jimin. Seokjin dapat melihat semua perilaku semu yang Yoongi lakukan didepan Jimin, ia membacanya tanpa kesulitan, mengingat ilmu psikologi yang ia kuasai mempermudah itu semua.
Maka demikian, Yoongi tidak bisa diam melihat Jimin berjuang sendirian disana. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya, dan Jimin bisa saja memilih pihak yang sepatutnya tidak ia bela. Namun mengingat kebiasaannya tentang melindungi siapapun yang ia jaga, apapun yang bakal mungkin ia hadapi, Jimin tidak mungkin gentar, dan Seokjin bukan tipe orang yang akan mempertahankan anggota yang tidak perlu.
Sampai saat ini, Yoongi yang tengah menerima masa cuti pun memanfaatkan waktunya untuk menelpon Jimin, kendati ia tak pernah mengira tengah terjadi hal yang agak menyusahkan Jimin disana. Pria itu terdengar tak sabaran saat pertama menyapanya lewat telepon dan terburu-buru.
"Park."
"Jimin, kau disana?" Yoongi bertanya dengan suara tenang, namun wajahnya tak menunjukan indikasi tersebut sedikitpun.
"Ya, bicara dengan cepat Hyung. Aku sedang terburu-buru."
Yoongi menghela nafas, kemudian sembari memandang cangkir teh disamping laptop yang masih menyala menampilkan beberapa file berisi informasi tentang Jungkook, ia pun mulai kembali berbicara.
"Kupikir kau pasti sudah menyadarinya, tapi Kwon Jungkook seperti memiliki kepribadian ganda. Aku telah menyelidikinya semasa ia masih disini, dari rekaman cctv, banyak hal ganjal yang aku temukan."
"Tentu Hyung, dia memang. Aku sudah menemukan keganjalan itu sejak pertama bertemu, kau sedikit terlambat untuk memberitahuku."
"Ya, tapi aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu Jimin."
"Katakan."
Setelah semua yang ia lakukan, Yoongi tak bisa mundur sekarang. Ia telah memutuskan, ia pikir bersatunya kelompok mereka lebih penting dibandingkan dengan ambisi pribadi apapun. Mereka memang melakukan tindak kriminal bersama-sama, tapi Yoongi tidak menganggap kelompok mereka ada suatu persoalan yang mudah. Mereka tidak boleh hancur hanya karena satu orang. Sekalipun itu adalah pimpinan mereka.
"Kwon Jungkook tidak lumpuh—" Yoongi nampak mengigit bibir ditempatnya, menggumamkan kalimat tersebut dengan gelisah. Ia menggeleng, kemudian melanjutkan pengakuan yang sempat membuatnya ragu. "—aku sama sekali tidak melakukan operasi kedua padanya. Ia hanya mendapat jahitan karena luka yang kembali terbuka."
Ia tak menyadari kalau Jimin tak mendengarkan, namun Yoongi tetap terus melanjutkan pengakuannya.
"Soal D.I.D yang diderita Kwon Jungkook, itu bukan tanpa alasan. Itu bukan karena apa yang telah Taehyung lakukan. Seokjin Hyunglah dalang dibalik itu semua. Aku yang memfasilitasi dia agar dapat masuk kekamar Kwon Jungkook, ia memintaku untuk berbohong. Aku tahu apa yang dia lakukan, tapi aku tak pernah menyangkal apapun yang ia minta. M—aaf baru memberitahumu sekarang. Kita harus kembali berbicara ketika kau sudah tidak terburu-buru."
Yoongi menghela nafas setelah kalimat panjang itu akhirnya diungkapkan, sembari menggigiti bibir ia menunggu jeda yang cukup lama untuk Jimin menjawab. Pikirnya pria itu mungkin sedang mencerna kata-kata yang barusan Yoongi akui, setengah berharap semoga Jimin tak akan marah seperti biasanya.
"Baiklah Hyung, aku mengerti."
Mendengar itu, Yoongi merasa seperti beban berat yang membebat dadanya terasa hilang seketika, ia agak terengah —entah mengapa— kemudian senyum kecil menyungging diwajahnya yang cerah.
Yoongi tidak sadar kalau sambungan sudah terputus, dan Jimin yang melakukannya. Ia hampir menjawab kalimat Jimin jika saja suara dalam seorang lelaki tak mengintrupsinya dari belakang.
"Ternyata kau tak bisa dipercaya ya..." Yoongi terlonjak, kemudian menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ia melotot seketika setelah menyadari.. "Bagaimana kabarmu? Suga-hyung?"
"Jung Hoseok?"
... Kalau Hoseok telah tiba di Korea sejak malam kemarin.
Ia telah kembali dari Amerika, dan Yoongi sama sekali tak memprediksi kalau lelaki itu akan datang kemari.
Jimin tak menyadari kalau lift dibelakangnya terdengar berdenting, dan ia masih terpaku menatap pintu 309 yang tertutup rapat. Meninggalkan kursi roda milik Kwon Jungkook dan sebuah jas mahal tergeletak begitu saja, seakan pemiliknya tak memiliki minat untuk memungut itu.
Ketika Jimin hendak bergerak dari tempatnya, tiba-tiba sebuah tangan terulur dari belakang. Membekap mulutnya dengan sapu tangan yang telah dibubuhi obat bius, lelaki itu meronta diantara dekapan yang tidak main-main kuatnya. Samar-samar, ia dapat mendengar suara Seokjin yang berbisik dibelakang telinganya.
"Sstt.. Kau sudah terlibat cukup jauh Jimin-ah, terima kasih atas bantuannya, dan... Selamat tidur."
Tubuh terasa lunglai dan tak punya tenaga, Jimin merasakan tatapannya mulai kabur. Nyeri di kepala tidak seberapa, namun kegelapan segera merenggut segalanya.
Seokjin mendengus tanpa ekspresi, kemudian menjatuhkan Jimin keatas kursi roda. Sembari melonggarkan dasi, ia pun membenarkan kacamata yang ia kenakan.
"Lakukan dengan baik, Jeon." Monolognya sambil menatap pintu 309 didepan.
Taehyung sama sekali tak terkejut ketika Jungkook mendorongnya dengan kasar keatas kasur, kemudian ditengah kebiasaannya menjilat bibir, ia menatap Jungkook seakan penuh gairah.
"Tak perlu buru-buru sayang, kau berhutang banyak penjelasan padaku." Katanya ketika Jungkook membungkuk untuk memerangkapnya diatas kasur, menatap Taehyung lekat-lekat.
Ia melirik jam tangannya, kemudian melepas sesuatu dari sana dengan gerakan santai, Jungkook bergumam, suaranya terdengar lebih berat dan sorot mata yang janggal.
"Penjelasan ya?" Ia menempelkan sebuah benda berbentuk bulat kecil seukuran kancing ditangan Taehyung, membuat sang empu mengernyit heran. "Bagaimana kalau aku biarkan kau mendengar seluruh penjelasan langsung..." Ia menggantungkan kalimat, sementara Taehyung makin menatapnya curiga.
"Dari Seokjin?"
Dengan itu, Taehyung menatapnya kaget, retinanya nampak gemetaran karena terguncang. Rasa dingin seperti melumpuhkan tubuhnya yang kemudian terasa lemas dan lesu. Nama itu. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa bocah ini mengetahuinya? Tidak mungkin mereka saling kenal. Tapi kenapa—
Taehyung balas menerjang Jungkook, membalikan posisi dengan sekuat tenaga meskipun tubuhnya merasa lelah tiba-tiba, nafas terengah bersama bulir keringat yang mulai muncul. Ia meremat kemeja tanpa dasi milik Jungkook, berharap sinar rasa takut dimata bulat itu akan kembali hadir dan sikap gugup nya mengatakan kalau ini cuma candaan.
"Kau— bagaimana—"
Belum-belum Taehyung mengintrogasi pria itu dengan pertanyaan, tetiba tubuhnya mulai tak seimbang, ia terjatuh, menimpa dada dengan dada. Kemudian kepala cantiknya tergeletak lesu disamping leher Jungkook. Dengan apatis, ia menepuk punggung Taehyung yang menindihnya, mengelus itu bagaikan meninabobo bayi.
"Tidurlah sayang, setelah ini tak akan ada lagi yang mengganggu kita."
.
.
.
.
TBC
Ash! Setelah sekian lama—
Maafkan untuk update yang luar biasa terlambat ini, mohon maaf yg sebesar-besarnya.
Semoga chapter ini tidak mengecewakan dan semakin memperjelas konflik yang dengan egois telah saya buat semencekam itu.
Saya hanya berharap agar gaya penulisan di ff ini menjadi semakin baik dan tidak seamburadul waktu-waktu lalu.
Setelah lama hiatus saya berfikir, barangkali ini bisa jadi angin segar setelah lama tidak di update. Jujur saja, saya menyemangati diri dengan review para readers yang menyukai fiksi ini, memikirkan bagaimana perasaan mereka kalau cerita ini benar-benar tidak pernah dilanjutkan sama sekali. Jadi, semangat menulis saya kembali lagi.
Terima kasih untuk semuanya, meski tak saya sebutkan satu persatu. Mungkin dalam waktu dekat fanfic ini akan segera selesai.
Karena sudah pada tahu kan dalang yg sebenarnya itu siapa?
Saya gak bisa berharap banyak yg review, tapi setidaknya saya membuat kalian semua senang^^
Tunggu chapter berikutnya ya!
Tertanda : Ell
[14.08.2018]