Epilogue
0.
.
.
Seven years later, London….
Tersenyum ramah membuat sudut bibirku kaku dan kering. Kakiku mulai terasa pegal, berdiri sepanjang hari dan tetap terjaga hasil dari meminum tiga gelas kopi hitam. Rasa kantuk karena tidak bisa tidur hari sebelumnya membuatku semakin merasa tegang juga stres, juga terlalu banyak menguap di saat yang tidak tepat. Semuanya terasa sepadan ketika para pengunjung pameran memberikan respon positif pada setiap lukisan yang terpajang. Tujuh tahun, itu bukanlah waktu yang singkat.
Aku menghela napas setelah memberikan salam perpisahan pada salah satu kolektor lukisan yang berasal dari Paris—salah satu penggemarku, itu katanya. Aku tidak begitu mengerti bahasa Perancis, walau melodi itu terdengar mengalun lembut dan mengagumkan. Paris, tujuanku selanjutnya setelah New York dan London. Aku mulai tidak sabar untuk membayangkan menara Eiffel yang menjulang di kala senja menyambut. Warna hangat jingga yang membuat jantungku berdebar cepat. Pikiranku mulai kembali tertuju kepadanya—
"Rukia, ada yang mencarimu," bisik Rangiku, asistenku selaku penanggung jawab acara. Dia yang selalu menarik perhatian orang banyak lebih dulu dibandingkan denganku. Aku tidak pernah menyalahkannya karena penampilan Rangiku selalu terlihat mengaggumkan. Dia yang berdiri bak model kelas dunia dengan rambut strawberry blonde yang tergerai cantik mencapai pinggang, lekuk tubuh jam pasir dan wajahnya serupa pahatan dewi Romawi.
Dan ketika dia tersenyum mengejek kepadaku, aku tahu dia bisa menebak isi kepalaku. Aku yang bersikeras untuk segera kabur dari tempat itu, dari tengah-tengah pameran tunggalku sendiri hanya demi tidur satu jam di atas kasur empuk. Semuanya terlambat saat Rangiku sudah berdiri di hadapanku seperti sebuah tameng penangkal.
"Siapa? Aku ingin mengambil air sebentar—"
"Dia ingin membeli lukisanmu," cegah Rangiku, menahan lenganku erat. "Satu set yang berada di ruangan khusus."
Mataku membesar, berusaha mendengar lebih jelas. Mungkin Rangiku salah bicara. "Semua lukisan di sana tidak dijual, kautahu itu."
"Karena itu dia ingin bertemu denganmu—memaksa. Ya, walaupun kuakui kau tidak bisa menahan pesonanya. Pria itu sangat berkarisma," kata Rangiku, tersenyum lebar. "Sepertinya orang penting."
Aku menahan napasku. Rasa ganjil yang bergelut di dalam perutku, rasa tidak tenang. Apakah mungkin?
"Dan kau menyerahkan semuanya kepadaku," desahku.
"Ayolah, Rukia, kau hampir terlihat tak melakukan apa pun selain tersenyum dan menyalami setiap orang dengan mata setengah kantukmu. Aku sudah melakukan sebagian besar tugasmu—berjalan ke sana kemari dan tak bisa menyicipi sampanye gratis!"
Aku memutar bola mataku, menjawab pasrah. "Aku akan ke sana."
Segera aku melangkahkan kakiku ke ruangan khusus yang terletak di bagian belakang, di mana para pengunjung tak lagi memenuhi area ini. Seharusnya Rangiku sudah menutup ruangan ini lima belas menit yang lalu. Melakukan sebagian besar tugasku, itu katanya. Sekarang aku mulai meragukan itu.
Langkahku terhenti ketika hawa dingin seakan membelai kulitku. Ini bukan dari pendingin ruangan. Sesuatu yang muncul dari masa lalu, instingku seakan berteriak nyaring. Hatiku semakin tak tenang saat melihat seseorang berdiri di tengah ruangan khusus, di antara lukisan-lukisan lamaku yang kunamakan—
"Bayangan jingga," ujar pria itu, seperti bergumam kepada dirinya sendiri. Dia yang berdiri membelakangiku. Pria paruh baya dengan bahu tegap. Dia mengingatkanku akannya….
Tidak mungkin. Suatu kebetulan tak selalu datang tak terduga.
"Maaf sekali karena semua lukisan di ruangan ini tidak dijual, Tuan…."
"Isshin," ujarnya, berbalik menghadapku. Aku tersentak di tempat saat pria itu tersenyum lembut kepadaku. "Itu namaku, Nona Rukia."
"Tuan … Isshin."
Fitur wajahnya mengingatkanku akan sosoknya, orang itu.
"Kau menggambar dari hatimu, itu yang terlihat di dalam ruangan ini. Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau menamakannya bayangan?"
Aku tertegun, pertama kalinya lidahku terasa kelu. Kata sambutan dan pidato panjang tak terasa semenakutkan ini. Rasa dingin kembali menjalar di seluruh punggungku.
"Pria yang kaugambar, dia sama sekali tak terlihat seperti bayangan."
"Apa Anda mengenalnya?"
Isshin terdiam, matanya tak beralih dari satu lukisan di sisi kiri ruangan. Di mana sepasang mata tajam menatap balik, mengintimidasi. Mata hazel terang yang begitu dingin.
"Aku hanyalah turis asing yang kebetulan lewat dan tertarik untuk melihat sebuah pameran lukisan," jawabnya. "Dan sekarang aku berpikir untuk membeli beberapa."
Aku bisa menebak dari hatiku bahwa dia berusaha berbohong. Tapi nada suaranya sama sekali tak terdengar goyah.
"Apa … kau percaya dengan yang namanya sebuah takdir?" tanya Isshin. "Bagaimana kalau aku bisa memberikan itu kepadamu, Rukia? Ahh—tapi aku ingin membeli seluruh lukisan ini sebagai gantinya. Kupikir ini akan terlihat sempurna di ruang tengahku, untuk menemani sisa-sisa hari orang tua renta ini di masa pensiunnya."
Aku tidak bisa menolaknya saat pria itu memberikan secarik kertas kepadaku. Sebuah alamat yang cukup jauh dari London, sedikit ke sisi kota yang lebih tenang. Di mana seharusnya aku tak menemukan apa pun selain hamparan padang rumput hijau dan beberapa rumah kecil bernuansa pedesaan. Terlalu tenang ketika hanya beberapa mobil yang melewati jalanan utama. Lampu-lampu depan rumah mulai dinyalakan saat senja benar-benar datang seperti pengantar tidur.
Aku memerhatikan jalanan berbatu setelah memarkirkan mobilku di sisi padang hijau, menghadap ke ujung bukit. Laut. Sesuai dengan alamat yang pria itu beri kepadaku, Isshin namanya. Apakah semua ini sepadan dengan menjual seluruh lukisan kesayanganku kepadanya? Mengapa aku begitu mempercayainya hingga dadaku terasa sakit?
Apa yang dia katakan mengenai takdir, itu mengganggu pikiranku sepanjang malam, hingga aku memutuskan untuk membuktikannya sendiri.
Menghadapi ketakutanku sendiri, aku tak pernah mengira akan menemukannya hingga hari ini. Menapaki jalan setapak ke sebuah rumah kecil serupa dengan gubuk kayu yang menghadap ke arah laut. Aku mengeratkan baju hangatku saat ombak berdebur lebih kencang menghantam dinding tebing. Angin laut yang tak terasa hangat. Langit berwarna abu pucat, menampakkan keindahan yang terlalu dingin untuk dirasakan.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan rasa pilu di dada. Memejamkan mata bukanlah lagi sebuah solusi ketika aku mulai putus asa dan tak lagi bisa mengejar sosok itu. Bayangan yang meninggalkanku, tujuh tahun lalu tanpa jejak. Kini, dia seakan berwujud nyata di depanku. Bukan berupa garis sketsa atau lukisan yang terpajang di ruang pameran.
Dia benar-benar nyata. Ichigo, itu namanya.
Pria yang berdiri di samping jendela di dalam rumah tua itu, memegang sebuah tongkat di sisi kirinya. Sebelah tangan terulur pada kaca dinding yang sudah berdebu. Lalu, mata itu tak lagi bisa memancarkan keindahannya seperti topaz berkilau. Ketika perban putih menutupnya dari dunia.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, apa yang sebenarnya kurasakan saat air mata jatuh membasahi pipiku tanpa isakan. Ketika kedua tanganku merengkuh tubuhnya, seakan tak bisa pergi dari masa-masa kelam itu. Dia yang seharusnya tak lagi datang untuk menjemputku. Sang malaikat kematian.
Tangannya meraba, naik dari bahuku hingga meraba wajahku. Perlahan sentuhannya menyapu lembut, mengamati dalam caranya. Meneliti hingga akhirnya dia mengatakan kata yang sudah lama tak kudengar.
"Malaikatku, akhirnya kau menjemputku. Ini sudah waktunya aku pergi, huh?"
Keputusasaan, kesedihan yang terlalu menyakitkan untuk didengar, sebuah suara yang mewakilkan kerinduan terpendam. Semua itu berasal dari dirinya. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang?
"Kau menangis…."
Aku berusaha menjauh, tapi dia tak membiarkannya. Kehangatan tubuhnya membuatku tak bisa menolaknya. Ini terasa ganjil.
"Katakan kalau ini nyata. Aku masih belum mati, bukan?"
"Belum—belum saatnya kurasa…."
"Karena hutangku yang belum lunas, huh? Aku masih memiliki alasan untuk hidup hingga hari ini, lalu bertemu denganmu. Sebuah kebetulan yang diberikan oleh langit seakan sedang mengolokku," ucapnya berbisik. Dia menelan ludahnya tegang, garis wajahnya kaku. "Menanggung dosa di sisa hidupku, mungkin selamanya. Tidak apa, asalkan kau bisa menemukan kebebasanmu."
"Kau menghilang dan meninggalkanku sendirian," bisikku, berusaha untuk tidak tersedak napasku sendiri. "Tujuh tahun, kau menghilang tanpa jejak seperti bayangan. Kurasa itu tidak bisa disebut sebagai sebuah kebebasan."
Jeda yang cukup lama, hanya tangannya yang tak berhenti membelai pipiku dalam posisi yang canggung. Dia tak memedulikannya, seakan aku adalah pegangan terakhir baginya sebelum jatuh dan benar-benar hancur.
"Semuanya sepadan—tujuh tahun itu. Rukia, aku tak pantas mendapatkanmu, itu yang kuyakini hingga sekarang. Seharusnya kau sudah tak terikat lagi denganku. Bahkan dengan apa yang kukorbankan, tubuh juga jiwaku, kurasa itu belum cukup mampu—"
"Siapa kau? Kau bukanlah hakim penentu kehidupan di dunia ini."
"Itu adalah hukuman karena aku sudah merengut sayapmu, Rukia. Kau tidak pantas mendapatkan keburukan dari dunia ini. Ketika akhirnya aku berdiri di sini, merasakan kehidupan tak lagi menggairahkan dan membosankan, ketika aku tak bisa lagi melihat mata indahmu yang menatapku—selamanya. Kuharap ini sepadan."
Aku memastikan sekali lagi, mendongak untuk memastikan dirinya yang masih tak bergeming. Dia tak menunduk sekadar melihat raut wajahku yang kusut.
Dia yang tak lagi tak bisa memandang dunia. Matanya terengut darinya.
"Apa … yang terjadi?" tanyaku, akhirnya, berusaha untuk tidak kembali menangis.
Ichigo tak menjawab, tak ingin. Dia hanya terdiam dan berusaha untuk membayangkan laut dari suara deburan ombak. Itu yang kutebak, saat bibirnya berkedut untuk tersenyum simpul.
"Di luar cerah?" tanyanya.
Aku memejamkan mataku, mengangguk. Tidak memiliki alasan untuk berbohong.
"Kurasa ya, sangat cerah. Tidak lagi turun hujan."
"Apa kali ini kau tidak merasa takut untuk terbang, Rukia?" Dia yang menyebut namaku pilu. "Walau aku tidak bisa membantumu. Aku tidak berdaya. Ini seperti yang kaudapatkan untuk meraih kebebasanmu—sebuah pengorbanan yang aku pun tak bisa hindari. Sungguh menggelikan, bukan?"
"Kali ini, biarlah aku yang menjadi sayapmu, Ichigo," ucapku gugup, tapi seluruhnya adalah kejujuran yang tertuang dari hatiku. Terlalu lama terpendam di sana. "Bolehkah?"
Aku berjinjit untuk meraihnya, dan Ichigo bisa mengerti isi hatiku, dia yang perlahan menunduk untuk meraihku ke dalam pelukannya. Di dalam kegelapan dunianya aku akan berada di sana. Menjadi cahaya yang tak bisa ditemukannya, menjadi dirinya sendiri.
Sebuah ciuman yang terasa seperti sebuah perpisahan. Aku merengkuhnya, berusaha menahannya agar tidak lagi menghilang seperti asap. Terlalu lelah terjaga sepanjang malam hanya untuk melihat bintangnya di atas langit. Bertanya-tanya apakah dia sudah berada di atas sana dan meninggalkanku di dunia yang mengerikan ini seorang diri? Apakah aku tidak lagi menjadi harapan baginya?
Hari-hari itu kini terasa seperti sebuah mimpi buruk. Aku bahkan tidak lagi mengingatnya ketika Ichigo menggumamkan namaku berulang kali. Dan ketika air matanya pun turun membasahi pipiku.
Kami yang sama-sama hancur, saling bertumpu satu sama lain, sebuah rasa benci dan ketakutan yang perlahan berubah—dengan caranya sendiri—menjadi ketergantungan yang mengikat. Takdir. Jantung yang berdebar dan senyum mengalahkan bayangan hitam di masa lalu. Hati yang terlampau jujur, perasaan yang membuncah terasa hangat di dada.
"Akhirnya aku menemukanmu, bayangan jinggaku…."
.
.
.
.
.
.
_*_Black Hair Girl_*_
By: Morning Eagle
Disclaimer :: Bleach belong to Kubo Tite ::
Just to warn you all :: AU, OOC, Misstypos, Dark/Violent Contents...for this story
.
.
.
_*_The End_*_
.
.
.
.
.
.
.
Author's note:
End? End! Tamat! Wah…. Awalnya ga berniat membuat sepanjang ini, mungkin hanya kurang dari 10 chapter, tapi kebablasan dan masih banyak pertanyaan belum terjawab. Bahkan epilog ini terasa masih kurang menjawab, tapi aku cukup puas. Ini epilog yang sudah lama kuinginkan terwujud dari awal mengetik fic ini. Ichigo dan Rukia berakhir bersama? Ya. Bagaimana kelanjutannya? Bayangkan sendiri ya. ^^ Ini bertema angst tapi tidak berakhir ngenes, karakter mati atau sebagainya, karena aku tidak berniat membuat seperti itu. Angst lebih ke kemirisan kehidupan dua karakter utama, bahkan sampai akhir pun masih berasa sedihnya (moga terasa). Kalau menceritakan kehidupan bersama mereka nanti ga bakalan jadi angst. Hoho…. Ini fic pertama yang kutulis dengan cara berbeda dari ficku lainnya, banyak perumpamaan seperti Rukia yang berperan seperti malaikat atau cahaya di awal cerita dan di akhir dia tetap seperti itu bagi Ichigo walau sayapnya (harapan hidup dan kebebasannya) pernah pupus karena pria itu.
Oke, aku akan menjelaskan beberapa bagian yang tak terjawab di bawah sini. Mungkin akan kujadikan chapter/fic one shot tambahan, tapi aku belum tahu pasti:
Ichigo melanjutkan hidupnya sebagai ketua klan Kurosaki setelah meninggalkan Rukia (di chapter 14). Dia pindah ke Jepang karena di New York terjadi penangkapan besar-besaran pada kelompok mafia berpengaruh. Alasan mata Ichigo buta itu ada dua alasan yang masih berupa draft semata, belum kutentukan. Pertama, karena orang kepercayaan Yhwach, Jugram, masih hidup dan membalaskan dendam Yhwach kepada Ichigo. Kedua, karena klan Kurosaki bentrok dengan klan yakuza kuat lainnya di Jepang, hingga Ichigo terluka parah dan indera penglihatannya terengut.
Isshin sengaja mencari Rukia setelah 7 tahun berlalu. Dia tahu kondisi Ichigo, walaupun dia sudah pensiun tapi Isshin masih memantau kondisi anak kesayangannya. Isshin tidak ingin Ichigo berakhir seperti dirinya, tersiksa hingga masa tuanya. Karena itu dia memutuskan untuk mencari Rukia. Kenapa setelah 7 tahun? Dia menunggu waktu yang tepat.
Gubuk/rumah tua di tebing pinggir pantai itu bukan rumah Ichigo. Tapi Ichigo seringkali pergi ke sana sendirian (dia sudah tahu rutenya tanpa perlu pendamping). Ichigo sering merenung lama di sana dan membagi kesedihannya dengan angin laut. Itu di mana salah satu memorinya bersama Rukia berhubungan dengan pantai/laut (scene 3).
Ichigo pensiun dari mafia? Ya, bisa dibilang begitu. Klan Kurosaki tak bertahan lama karena kondisi penglihatan Ichigo yang tak bisa disembuhkan (benar-benar buta), itu menghambat aktivitas kelompok dan tanpa pemimpin kuat maka mereka tak bisa bertahan di tengah-tengah Jepang yang masih memiliki kelompok-kelompok yakuza kuat lainnya. Ichigo membubarkan klannya dan dia pergi ke pinggiran kota London untuk tinggal di sana. Dia ditemani anggota kepercayaannya yang masih setia.
Setelah 7 tahun, Rukia bisa mewujudkan mimpinya sebagai pelukis ternama, yaitu mengadakan pameran tunggal. Rangiku adalah teman baiknya sekaligus merangkap menjadi asisten. Rukia masih tinggal di New York, single, dan tetap tak bisa melupakan Ichigo.
Itu saja yang bisa kujelaskan. Di luar itu, kalian bayangkan sendiri ya. Karena tidak semua cerita menjelaskan semua yang terjadi dengan jelas. Terkadang beberapa hal masih banyak dipertanyakan hingga akhir. Begitu juga dengan kehidupan nyata, bukan? ^^
Sekali lagi terima kasih banyak yang sudah mau membaca hingga akhir! Ahh, satu lagi fic yang selesai. Bakalan rindu, tentunya, dengan fic ini. Ini salah satu fic yang kusukai, karena aku benar-benar menikmatinya saat menulis. Feel nya beda dan susah dibayangkan pada awalnya. Terlalu banyak hal buruk terjadi dan tidak bisa (tidak boleh) membangun suasana bahagia. Karena itu terkadang aku suka sedikit terbawa emosi selesai ngetik fic ini, beda dengan The Dark Legacy yang lebih bebas dalam menceritakan emosi karakter.
Terima kasih bagi yang sudah mereview, memberi masukan juga kesan kalian selama membaca fic ini. Maaf kalau aku tidak bisa menyebutkan nama kalian satu per satu. Setiap kali aku membaca review, rasanya semangatku semakin kuat buat menyelesaikan fic satu ini, masih banyak yang mendukung dan menunggu. Sungguh, terima kasih banyak! 3 *kissandhug
.
Balasan untuk pertanyaan reviewers:
Guest: Untuk kelompoknya Ichigo, itu terjawab di epilog ini ^^
Nad-Ru15: Ya itulah konsekuensinya, sebagai penerus klan, Ichigo ga mau Rukia semakin ga berdaya walaupun mereka bisa bersama dalam wktu lama. Ichigo sudah mulai terbuka setelah bicara sama Isshin, dan dia memilih untuk tidak mengambil risiko itu, walau masing2 dari mereka akan tersakiti juga T_T. Ya, kalung yang Ichigo ksih itu dari Black Diamond, hoho…
Hendrik Widyawati: Titik temu IR? Ada di epilog ini ^^
Terima kash buat, Azura Kuchiki, wowwoh geegee, Guest, Nad-Ru15, guestguest, Rukichigo, flake purpurea, bokujabu, Naruzhea AiChi, Uchiha no Potoks, Rin Azuna, Hendrik Widyawati, Mr Rius, buat reviewnya, juga dukungan dan sukanya. Love you all! Maaf ga bisa balas satu2 T_T *bighug
Playlist:
Celine Dion- Ashes
Post Malone- I Fall Apart
P!nk- Wild Hearts Can't Be Broken
These songs don't belong to me….
.
See you on the next fic! Thank you so much! Love,
Morning Eagle