Kelopak mata itu terbuka pelan. Merasakan beban yang teramat mengenai bahu, punggung serta jemarinya yang entah berapa kali tertusuk tajamnya jarum. Butuh beberapa saat untuk menyesuaikan penerangan yang ada dengan netranya. Tatkala cahaya telah diterima dengan baik, ia mengeliat pelan.

Menggeliat—jika tak menyadari apa yang membuat bahunya terasa berat.

Dengan suara serak khas bangun tidur, ia nyaris memekik—untungnya tak sampai berteriak dengan posisinya sekarang. Sosok yang semalam ia tunggu keluar dari kamar telah bersandar di bahunya dengan kedua mata yang terpejam—masih berbalut kacamatanya.

Untuk beberapa detik, gadis itu membiarkan menikmati pemandangan pemuda paling tampan yang ia temui di Konoha selama ini. Seorang sama juga yang telah memberikan tempat tinggal yang layak untuknya. Meski terkadang sikap majikannya ini jauh dari kata layak—sepertinya ia sudah terbiasa untuk memaklumi.

Tangan seputih porselen itu tergerak, membelai dengan lembut surai raven yang nampak kusut. Dengan senyum tertahan, ia berujar, "Kau terlihat lebih baik saat seperti ini."

Entah karena ucapan atau sentuhan gadis itu pada kepalanya, kelopak lain yang berbalut kacamata itu terbuka. Menampilkan obsidiannya yang memincing bingung—seolah mencari tahu apa yang baru saja terjadi padanya.

Ino tak sadar jika sosok yang bersandar pada bahunya itu telah terbangun—begitu pula sang Uchiha yang enggan untuk mengangkat kepalanya dari sandaran ternyaman yang pernah ia rasakan. Sasuke tak tahu mengapa ia menemukan tidur dalam posisi bersandar pada Yamanaka, tapi ia paham jika bahu Ino lebih nyaman dibanding apa pun.

Sepertinya Sasuke memang harus menghadapi gejolak yang perlahan menjadi tamu hari-harinya.

"Aku tidak tahu kenapa kau menghindariku, tapi aku senang kau bersandar padaku. Itu berarti kau menganggapku sebagai teman."

Senantiasa terdiam mendengarkan kata demi kata yang terlontar dari si Yamanaka, Sasuke rasa ia ingin kembali tidur. Ya, ingin kembali tidur jika jemari lembut itu tak menyentuh jemarinya yang terasa kebas karena tusukan jarum-jarum sialan itu.

Mana tahu Sasuke jika menjahit itu susah?

Jika tahu jemarinya akan menjadi korban, Sasuke pasti langsung menyuruh Geka agar calon kakak iparnya itu segera memunguti kain-kain menyebalkan itu untuk ia selesaikan. Pasti berat menjadi calon designer yang merintis sejak bawah seperti Geka, pikir Sasuke.

"Maaf menganggumu." Ino menatap khawatir Sasuke yang mulai meninggalkan sandarannya di bahu Ino. Pemuda Uchiha itu hanya terdiam menatap seragam setengah jadi yang berada di pangkuannya.

Sialan! Mau dibawa kemana gengsi Uchiha yang setinggi Himalaya ini?

Seolah mengetahui jeritan hati Sasuke, Ino tersenyum geli, "Tidak apa-apa, Sasuke. Terima kasih sudah berniat membantuku."

Sasuke semakin ingin memutar waktu. Namun belum sempat hal itu menjadi acuan persepsinya, panggilan Ino untuknya semakin membuatnya berpikir keras.

Apa tadi? Sasuke?

Seketika saja Sasuke menolehkan kepalanya. Menatap Yamanaka seakan ia baru saja melakukan hal yang menyalahi takdir. Tapi nihil—gadis itu justru menatapnya balik dengan ekspresi bingung.

"Apanya yang salah dengan memanggil Sasuke?"

Oh, ingatkan Sasuke untuk mengantarkan Ino Yamanaka ke dokter kejiwaan secepatnya.

Chapter 8: Awal Baru

.

.

.

.

.

Senorita

Semua tokoh milik Masashi Kishimoto

Sebuah cerita murahan karya Ayam Rusa

Ino Y. sebagai tokoh utama

.

.

.

.

.

Ino masih tekun dengan jahitannya ketika pemuda itu keluar kamar dengan seragam lengkapnya. Kalau boleh jujur, sekujur tubuh Sasuke sebenarnya serasa akan copot—menginggat ia baru tidur pukul setengah empat pagi dan bangun pukul enam. Jika bukan karena Yamanaka mengerikan itu, pasti Sasuke tak pernah memiliki pemikiran untuk bertindak sampai sejauh ini.

"Sudah selesai? Kemarilah ..."

Walau tak mengerti apa yang dilakukan gadis pirang ini, tapi Sasuke tetap saja berjalan mendekati Ino yang masih berpakaian selayaknya pakaiannya kemarin malam. Pemuda tampan ini mau tak mau berpikir dalam diam. Tidakkah gadis itu berniat untuk pergi ke sekolah?

"Duduk di sini." Ino menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Meletakkan jahitannya sebelum mengambil kotak obat kecil yan tersimpan di belakangnya. "Kemarikan tangan kirimu."

Ragu-ragu, Sasuke menyodorkan tangan kirinya yang penuh dengan tusukan jarum—tak jarang pula goresan pada telapaknya. Sasuke yang seorang jenius pun terpaksa berpikir keras. Memangnya bisa sebuah jarus mengakibatkan luka yang sedemikian?

"Seharusnya kau jangan bertindak terlalu jauh." Sasuke meringis dalam hati ketika Yamanaka di hadapannya ini mengolesi antiseptik seperti mengolesi minyak gosok. Kasar sekali. Padahal ia pasti sudah tahu rasanya memiliki luka karena jarum seperti ini. "Aku yakin pasti kau juga yang menyelesaikan laporanku beberapa waktu lalu."

Sasuke tak menjawab. Masih senantiasa mengutuk Yamanaka yang dengan brutal mengobati telapak tangannya. Boneka hidup ini benar-benar berniat balas dendam karena tingkah canggung Sasuke selama ini sepertinya. Rajungan!

"Tapi tidak apa-apa, sih. Itu berarti kau menyayangiku."

Seketika saja Sasuke menatap aquamarine Ino tajam.

Sayang katanya?

"Kenapa?"

Apa gadis ini benar-benar tak sadar apa yang telah dikatakannya?

Tidak, tidak. Yang benar adalah ... apakah Sasuke benar-benar sadar mengenai dirinya sendiri?

Sasuke yang membiarkan Ino Yamanaka masuk ke dalam lingkaran hidup tertata miliknya.

Sasuke Uchiha yang memberikan perjanjian terlaknat.

Sasuke yang diam-diam memperhatikan dari belakang ketika tubuh menggoda itu berada di dapur.

Pemuda bermodel rambut aneh itu bahkan menyempatkan diri untuk mengerjakan apa-apa yang bisa ia kerjakan untuk Ino Yamanaka.

Bahkan ketika Sasuke ragu ia bisa mengontrol dirinya, ia memilih untuk menjauhi Ino. Takut-takut sisi kurang ajar dirinya berbuat yang tidak-tidak.

Ia yang tak sekalipun berdiri di garis yang sama dengan para gadis nekad menggandeng Ino dalam acara sepenting milik keluarga Uchiha.

Uchiha bungsu ini benci mengakui. Ia tak akan pernah mau mengalahkan egoismenya untuk berada dalam pihak yang diperhatikan. Tapi semakin hari, gejolak itu semakin menjadi. Tentu saja kali ini berbeda dengan egoismenya saat bersama dengan Itachi ataupun keluarga Uchiha lainnya.

Rasanya, Sasuke ingin memeluk tubuh itu setiap saat. Mengukuhkannya sebagai milik seorang Sasuke Uchiha agar tak seorang pun yang berani mendekat ke arah Yamanaka. Bahkan ketika hanya untuk mencicipi masakannya.

Oke, ada yang bisa menjelaskan gejala penyakit apa semacam itu?

Uhm, atau ada yang bisa menjelaskan kelainan kejiwaan apa semacam itu?

"Sasuke?"

"Hn."

"Sudah selesai."

Sasuke buru-buru melepaskan tangannya—yang entah sejak kapan mengenggam jemari porselen itu kuat-kuat. Oh sialan! Apakah sindrom tampan-tampan-penggoda milik Izuna sudah menular pada dirinya?

Atau jangan-jangan Shisui diam-diam mengirimkan pelet agar Sasuke menjadi sosok ganjen bin kecentilan seperti ini?

"Tidak apa-apa." Obsidian itu kembali melirik Ino tajam. "Jika itu membuatmu merasa dekat denganku, tidak apa-apa."

Sebentar ... ini hanya logika Sasuke atau memang Yamanaka terlihat sedikit aneh?

"Aku mendengar jika kau bukan tipikal pemuda yang bisa dekat dengan banyak orang." Ino beranjak ke dapur. Membiarkan Sasuke kembali berpikir dengan segala macam asumsi pribadinya.

Atau memang Ino yang berniat menggali hubungan lebih dalam dengan Sasuke?

Ah, yang seharusnya menjadi pokok pemikiran Sasuke sekarang bukan itu. Dari pada itu, Sasuke seharusnya memikirkan cara bagaimana ia bisa segera mengenyahkan ketidaknyamanan yang disyukurinya ini.

"Tolong minta izin untukku. Aku malas masuk hari ini." Dalam sekejap, gadis pirang itu telah kembali dengan kotak bekal hitam yang tersembunyi di balik tas kotak makan berwarna biru tua. Menghampiri Sasuke yang seolah tak mengindahkan kehadiran Ino.

Si tampan bungsu Uchiha ini hanya diam ketika tas ransel sekolahnya telah dibawa Ino—beserta kotak bekal yang diberikan gadis itu. Memilih untuk bungkam ketika Ino dengan senyum tulus menyodorkan tas sekolah itu padanya.

Ck, ini lebih parah dari yang Sasuke bayangkan.

"Geka akan ke mari." Sasuke meraih knop pintu apartemennya, "Biarkan dia saja yang menjahit kain itu." Kemudian sosok tegapnya hilang bak tertelan. Itu mungkin kalimat terpanjang yang dikatakan Sasuke Uchiha selama lima puluh hari terakhir.

Yah, jangan lupakan Ino Yamanaka yang juga tengah memasang ekspresi paling tidak elit dalam hidupnya.

Satu hal yang pasti yang baru disadari Ino ...

... Uchiha selain memiliki wajah rupawan, akhlak mereka juga cukup tampan, kok.

.

.

.

.

.

Suara gesekan sandal rumah yang beradu dengan ubin terasa kasar. Ino tak henti mondar-mandir. Ini sudah berlalu dua jam semenjak keberangkatan Sasuke. Hal yang wajar bagi pembantu adalah bekerja ketika sang majikan telah pergi. Namun yang tak biasa hari ini adalah Ino yang kunjung menemukan titik ujung dari telpon rumah yang beberapa menit lalu berdering nyaring.

Itachi Uchiha yang menelpon Sasuke agar menghadiri acara relasi di Suna.

Oke, seharusnya itu bukan apa-apa bagi Ino. Tidak saat sisi dramatis dirinya memutar rekaman beberapa pesan singkatnya dengan Gaara beberapa waktu lalu. Semenjak kedatangan pemuda itu di peresmian Sasuke sebagai pewaris Uchiha selain Itachi, pemuda bersurai merah bata itu tak mengirimkan satu pun pesan singkat. Bahkan ketika Ino mengirim pesan, jawabannya pun alakadarnya.

Sekadar perasaan, atau memang Gaara berubah begitu kaku?

Ayolah, ini baru berjalan lima puluh hari semenjak kepergiannya ke Konoha. Dan jika Neji benar-benar memiliki sisi mulia pada Ino, empat puluh hari lagi ia bisa pulang ke Suna. Toh, pembelajaran di Konoha sama sekali tak menjadi hal yang membuat Ino kalang kabut.

Tapi perasaan Ino kali ini berkata jika relasi kali ini berhubungan dengan Gaara.

Sudah jelas, bukan? Gaara datang ke acara Sasuke Uchiha. Tidak menutup kemungkinan mengenai sebaliknya.

Gaara ... Gaara ... Gaara ...

Ajakan kencan secara tersurat pun tak bisa mencegah Gaara untuk bergegas kembali ke Suna. Pemuda itu seperti sosok yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ino memang senang ia bisa dekat dengan Gaara. Namun, ia jauh lebih senang ketika jaraknya dengan Gaara seperti dulu. Tidak akrab ataupun dekat—tapi terasa menghangatkan.

Apabila Ino bertanya pada Itachi, belum tentu golongan kaku Uchiha itu mau menjawabnya.

Jika bertanya pada Itachi saja bisa berarti harapan palsu, apalagi bertanya pada Sasuke.

Uchiha sungguh rumit.

TING ... TONG!

Mendengar bel yang dipencet teratur, Ino segera bergegas. Mengabaikan pakaian yang masih kumal, ia membuka pintu. Dan sudah terduga siapa yang akan datang. Seorang wanita muda cantik dengan manik hijau kebiruan—persis sepertinya—plus tahi lalat yang membuatnya terlihat berbeda.

Geka Sataya (*).

"Ino Yamanaka?"

Ino mengangguk seraya memiringkan tubuhnya—mempersilahkan calon kakak ipar majikannya untuk masuk. Sosok cantik dengan rambut coklat bata itu tersenyum simpul. Ino bahkan harus berpikir dua kali sebelum memastikan jika seorang bertubuh mungil ini bukan gadis Sekolah Menengah Pertama yang salah tujuan.

Sosok bersurai pirang panjang ini melangkah di belakang Geka—yang diketahui Ino ternyata lebih pendek dibanding dirinya. Sepertinya salah satu sosok muda tersohor di Konoha ini ingin melunturkan imej yang terlanjur melekat dengan dirinya saat menghadiri beberapa acara fashion show.

"Jadi, ada berapa seragam yang belum selesai?" Geka bertanya saat sampai di ruang tengah. Menatap seonggok kain yang nampak tak kunjung selesai dengan tatapan ngeri.

Mengetahui reaksi seorang trensenter busana yang sedemikian mengerikan membuat Ino meringis, "Sebenarnya itu sudah harus selesai beberapa minggu lalu. Tapi aku tidak bisa mengerjakan secepat tekadku."

Tanpa diduga Ino, Geka tertawa pelan. Figur cantik itu menatap Ino dengan pandangan menyelidik sebelum menghela napas, "Kenapa tidak bilang sejak beberapa hari lalu saja," ia mulai menggerutu.

"Eh?" Ino menautkan alisnya bingung.

"Sasuke selalu seperti itu. Dia pikir magis apa yang membuatnya selesai dalam sekejap?" Geka mulai mengambil kain setengah jadi itu, menatapnya seakan menilai sebelum bertanya, "Kau menjahitnya sendiri?"

Ino mengangguk, "Apakah terlalu buruk?"

"Tidak." Geka menyahut cepat. "Jahitanmu rapi. Jahitan Sasuke yang berantakan." Ia membolak-balik kain itu sebelum menarik jahitannya kasar. Membuat beberapa bagian sobek.

Dan Ino harus sadar jika wanita pesohor muda ini tak semanis kelihatannya.

"Sasuke menelponku dini hari hanya untuk menanyakan cara menjahit." Ia menggembungkan pipinya sebal. "Dia seperti peduli sekali padamu."

Yamanaka satu ini sungguh tidak paham ke mana arah pembicaraan Geka. Tadi berkomentar mengenai jahitannya, mendadak membahas Sasuke. Apakah ada hal yang dikatakan pada pemuda itu mengenai Ino?

Seolah mengetahui pemikiran Ino, Geka berujar, "Sasuke tidak berkata apa pun padaku—jika itu yang kau khawatirkan." Ia terkikik geli. "Tapi Itachi yang bercerita padaku. Katanya Sasuke siap meremukkan gelas minumannya ketika kau dan Sabaku berbincang," tambahnya diberi aksen dramatis.

Cukup. Ino sudah cukup bingung dengan tingkah labil Sasuke. Dan kenapa Nona Sataya ini tetap menjadi kipas untuk memperbesar api?

Baiklah, baik. Coba hela napas dan cerna ini baik-baik Ino. Pikirkan dengan kepala dingin apa-apa saja yang kalian berdua lewati.

Pertama, kalian saling melirik sadis diikuti ciuman romantis tapi tak etis. Itu hari pertama. Kemudian, kemudian ...

Ino yang meraba wajah Sasuke saat tidur, Sasuke yang mengerjakan tugasnya, Ino yang menunggui Sasuke pulang, Sasuke yang memarahi Ino karena pakaiannya. Bahkan Sasuke yang mengajak Ino menghadiri peresmiannya sebagai pewaris Uchiha. Juga tentang dirinya yang mendadak terkenal di kalangan Uchiha inti.

Itu semua ... karena Sasuke menyukai Ino?

"Baru sadar, ya?" Perempuan bersurai coklat bata itu menatap Ino yang masih terpaku seraya melamun dengan tatapan prihatin. Kalau boleh jujur, Ino sebenarnya ingin melempari wajah sok inosen tapi bermulut kompor tunangan Itachi ini. "Tapi aku bisa memahami perasaanmu. Kau menyukai Sabaku, bukan?"

Kali ini Ino diam saja ketika lengannya ditarik Geka untuk duduk di sofa yang sama dengan perempuan itu. Kedua dudu berdamping, menghadap televisi besar yang layarnya menghitam dengan ekspresi masing-masing.

"Jika seorang wanita menyukai pria, tak peduli siapa pun yang menyukainya, ia pasti akan tetap mengejar yang disukai. Kecuali pria itu juga suka dengannya—atau ada faktor tertentu lain." Geka akhirnya buka suara. Ino hanya terdiam. Mendengarkan dengan seksama penuturan Geka.

"Tapi tidak jika pria tahu ada wanita yang menyukainya. Tidak peduli secinta apa pun mereka pada seorang wanita, pria itu pasti akan berbalik jika seorang wanita menunggunya. Melepaskan sosok yang ia cintai demi seorang yang menyukainya."

Sepertinya Ino mengerti arah pembicaraan ini.

"Hahaha ... sepertinya aku terlalu banyak membual, ya?" Perempuan itu berdiri. Mengambil kain—bahkan seragam jadi—ke dalam pelukannya. Ino pun ikut berdiri, menatap Geka dengan pandangan sulit diartikan.

Hanya perasaan Ino, atau memang perempuan itu nampak tertekan?

"Baiklah, aku segera pulang saja. Aku akan mengantarkan seragamnya nanti malam." Ino mengantar Geka hingga depan pintu apartemennya.

"Tidak perlu terburu-buru, Sataya-san," Ino berujar kaku. Pasti sepulang dari sini, designer muda itu akan bergegas ngebut dengan seragam futsal itu. Beruntung sekali tim futsal Sekolah Internasional Konoha memakai seragam rancangan trensenter di Jepang ini.

"Tidak usah sungkan, Yamanaka." Geka tersenyum simpul. Menatap dua kantung besar kain itu dengan pandangan lelah. "Anggap saja aku kakak perempuanmu sendiri." Cengiran Geka seketika membuat Ino melotot hebat. "Dan tolong sampaikan salam rinduku pada Deidara."

Dei-nii ... mendapat salam dari Geka?

Oke, pasti ada apa-apa dengan kakak dan calon kakak ipar Sasuke ini.

Namun belum sempat Ino bertanya, perempuan itu telah berlalu. Meninggalkan Ino dengan segala kerutan di dahinya.

Jadi Geka itu ... mantan Deidara? Atau bagaimana?

.

.

.

.

.

Suasana hening menyelimuti saat Kakashi Hatake menuliskan beberapa rumus di papan tulis. Murid-murid juga nampak memperhatikan coretan demi coretan rumus itu dengan penuh perhatian. Meski tak seangka pun deretan rumus yang bisa dicerna dengan baik. Bahkan hingga guru berambut perak itu menghentikan coretan rumus di papan, semuanya tetap terdiam.

"Ke mana Yamanaka?"

Keheningan itu seketika buyar ketika menyadari salah satu sosok paling sensasional di Sekolah Internasional tak menghadiri pembelajaran Fisika. Pandangan yang tadinya tertuju pada papan tulis kini buyar. Murid-murid sibuk melirik-lirik—mencari gadis berambut pirang sepinggang yang sama sekali tak mencolok. Padahal biasanya ia akan menjadi salah satu murid paling aktif.

"Naruto?"

Si pirang jabrik yang tengah dilanda frustasi parah karena rentetan rumus itu menegakkan tubuhnya. Merasakan jika berpuluh pasang mata menatapnya dengan pandangan menyelidik. Putera tunggal orang tertinggi Konoha ini berkedip beberapa kali, "Ya Sensei?"

"Kau tahu ke mana Yamanaka?"

"Uhm ..." Naruto melirik bangku di sebelahnya. Si bungsu Uchiha itu masih dengan fokusitas tinggi menatap papan seraya menuliskan goresan di atas buku catatannya. Duh, ingin sekali rasanya Naruto menjambak rambut menantang si Sasuke. Namun belum sempat Naruto melakukannya, Kiba melirik Sasuke jahil sebelum ikut memandang Naruto dengan pandangan konspirasi.

Oh, rasakan pembalasan duo idiot, Uchiha!

"Mungkin Sasuke tahu, Sensei." Merasa jika namanya disebut-sebut. Sasuke menghentikan aksi menyalinnya. Mata tajamnya melirik samping—di mana Naruto tengah memasang senyum memuakkan sembari melipat kedua tangan di belakang kepala.

"Kau tahu ke mana Yamanaka, Sasuke?" Pandangannya Kakashi beralih ke siswa idaman nomor satu di Konoha. Bungsu dua bersaudara itu bahkan masuk dalam 'The Most 20 hot man' versi majalah Hidden Konoha.

"Dia sakit." Sasuke kembali menekuni catatannya. Mengabaikan perhatian yang kini sepenuhnya tertuju untuknya.

"Dia sakit? Cukup parah?" tanya Kakashi menyelidik.

"Hn."

"Yamanaka yang memberitahumu sendiri?"

"Hn."

"Dia hanya bilang padamu untuk memintakan izin?"

"Hn."

"Itu berarti dia besok akan masuk. Ah, kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?"

"Tidak."

"Aku baru tahu jika kalian cukup dekat."

Krek.

Bolpoin tak berdosa itu seketika patah menjadi dua bagian. Penjuru kelas hening—melirik takut-takut Sasuke Uchiha yang mulai menebar aura khas Uchiha. Berbeda dengan reaksi para muridnya, Kakashi justru tersenyum tanpa dosa dari balik maskernya.

"Yah, setidaknya aku ikut berbahagia untukmu, Sasuke." Kakashi kembali meneruskan catatan rumusnya. Mengabaikan obsidian hitam penuh emosi yang menatapnya dongkol.

Sementara itu, Kiba dan Naruto tentu saling melirik dengan cekikikan. tertahan Sesekali Sasuke memang perlu dinistakan. Salah siapa pantat ayam sialan itu sok jual mahal seperti itu.

...

"Tidak berniat pergi ke kantin?"

Sasuke (sok) menyibukkan diri saat bangku di sebelahnya berderit. Diikuti ajakan sang karib untuk ke kantin. Sepertinya si pantat ayam itu masih kesal setengah sekarat dengan si jabrik kumis kucing yang senantiasa berpose tak berdosa.

"Hoi, Sas!" Naruto—yang memang bukan tipikal pemuda penyabar pun berteriak kesal.

BRAK!

Tas bekal ukuran sedang tak berdosa itu sukses menjadi dampratan emosi sang Uchiha. Naruto membulatkan bibir karena kaget. Iblis Uchiha ternyata lebih mengerikan dibanding legenda Sadako.

"Oke, oke. Aku akan ke kantin sendiri saja. Marahmu seram sekali." Naruto segera ngibrit meninggalkan Uchiha berserta aura mengancamnya itu. Tetapi ketika ia berdiri tepat di belakang pintu, pemuda berkulit tan itu berbalik—

"Itu bekal dari Ino-chan?"—ia kembali mengambil tempat di samping Sasuke. Menggeser kursi terdekat agar bisa duduk berdampingan dengan sahabatnya sejak kecil ini. "Aku boleh minta, kan?" pintanya penuh ekspresi. Dibanding dengan meminta, kalimat itu lebih terdengar aku-akan-makan-ini-juga di telinga Sasuke.

Dan sebelum Sasuke menjawab, Naruto sudah membuka kotak bekal itu. Dengan kurang ajar mengambil sumpit lalu mengepalkan kedua tangan di dada, "Selamat makan." Tanpa berniat menunggu sahutan Sasuke, Naruto melahap—coret, dia merampas bekal Sasuke.

"Oh ya, Sasuke ..." Naruto menunjuk-nunjuk Sasuke dengan sumpit yang dipegangnya. Sasuke nampak tak suka dengan perilaku tak tahu diri Naruto, ia kemudian merampas sumpit yang dipegang Naruto kemudian mengambil suapan untuk dirinya sendiri.

"Kau mendapat undangan tidak?" Naruto bertanya dengan mulut yang masih penuh. Membuat Uchiha ini menatapnya jijik.

"Kau menjijikkan." Ia memukul keras kepala Naruto menggunakan sumpitnya.

Anak pasangan ternama ini menggerutu pelan merasakan dahinya yang pasti memerah. Sasuke Uchiha sepertinya tipikal manusia yang cepat mati—ia cepat sekali emosi pasalnya. Untung saja Naruto termasuk golongan berwatak mulia yang pemaaf.

"Kau mendapat undangan atau tidak?" kali ini Naruto memasang wajah serius, membuat Sasuke mau tak mau mengerutkan dahinya bingung.

"Tidak."

"Telpon Ino-chan sekarang." Naruto mengibas-ngibaskan kedua tangannya ketika mata tajam itu meliriknya sadis seolah berkata kau-sedang-menyuruh-seorang-Uchiha-hah. Namikaze satu itu memutar otaknya bingung—bagaimana caranya menjelaskan pada Teme satu ini. "Aduh, bagaimana, ya?" Ia mengacak rambut jabriknya gusar.

"Kenapa memangnya?" Melihat Naruto yang seperti itu membuat Sasuke tak tega juga. ia lantas mengeluarkan ponsel pintar hitamnya dari saku celana. Memencet angka dua sebelum menyalakan loudspeaker.

"Tunggu saja jawabannya." Naruto menghela napas berat. Membuat dahi Sasuke semakin berkerut tak mengerti.

Suara sambungan terdengar beberapa saat sebelum pita manis khas gadis terdengar, "Halo? Ada apa, Sasuke?"

Naruto mengerutkan keningnya bingung. Ternyata di belakangnya, Sasuke dan Ino diam-diam saling melakukan pendekatan. Hah, itu berarti label Sasuke naksir Naruto akan segera luntur. Kapten futsal yang sering dikelilingi gadis cantik ini harus mengadakan syukuran karena predikat homo dengan Sasuke akan segera luntur.

"Ada apa?" Bukannya menjawab, pemuda pantat ayam ini justru balik bertanya.

Ino nampaknya mengambil napas dalam dari sebrang sana, "Ada undangan dari Suna untukmu."

"Biarkan Itachi yang datang." Nada Sasuke terdengar jelas jika ia tak suka. Belum apa-apa ia sudah harus berpergian beda negara.

"Itachi-san sendiri yang menelponku. Katanya kau juga memiliki undangan tersendiri." Suara bantingan piring terdengar. Sikap traktor penghancur Ino kembali lagi rupanya.

"Hn."

Sebelum gadis pirang itu menjawab, Sasuke sudah memutus sambungannya. Kemudian manik kelamnya menatap Naruto dengan pandangan mengerikan. Naruto sendiri terdiam. Nampak menimang apakah ia harus berkata jujur pada Sasuke atau tetap diam.

"Sabaku?"

"Hah?" Naruto mengerjapkan safirnya bingung. Itu tadi Sasuke bicara atau tengah berkumur?

"Yang akan kau bicarakan Sabaku." Dengan tenangnya Sasuke kembali menyantap bekalnya.

Naruto menggaruk pipinya yang tak gatal. Bingung harus bagaimana menghadapi tingkah antik para Uchiha yang memang turun-temurun selalu tenang. "Kau tahu, ehm ..."

Awalnya Naruto nampak ragu. Tetapi pemuda itu tetap menyodorkan sesuatu dari kantung celana seragamnya. "Ini yang akan kau dapatkan jika datang ke Suna," katanya.

Seketika Sasuke menghentikan kunyahannya. Pandangannya menajam—seakan mengancam Narut jika apa yang dikatakannya adalah bualan. Namun sahabatnya itu hanya diam, memperjelas hal yang membuat Sasuke membuang pikirannya.

Bukankah ini ...

.

.

.

.

.

Ino hanya bertopang dagu sembari menatap bangsal pintu dengan pandangan berharap. Sebut saja dia aneh, semenjak Geka menyadarkan Ino jika sikap Sasuke padanya adalah pertanda jika Sasuke menyukainya, Ino buru-buru menyelesaikan segala macam tugas sekolahnya sebelum mengerjakan pekerjaan rumah.

Pukul tiga sore.

Dengan ini, sudah genap satu jam Ino menunggu kepulangan Sasuke. Bahkan Ino sudah menambahnya dengan tidur siang, tapi tetap saja rasanya menunggu itu memuakkan. Sedari tadi pun ia hanya bisa membolak-balik majalah gaya terkini.

"Sasuke ke mana sebenarnya?" Wajah cantiknya semakin menekuk. Dua jam lalu ia sudah menelpon Deidara, pasti kakaknya itu akan bosan jika Ino menelpon lagi sekarang. Neji juga sudah menelponnya, menanyakan tentang keadaan Ino. Naruto pun juga sudah mengiriminya pesan.

Terdengar aneh memang. Tak biasanya si kumis kucing itu mengiriminya pesan jika tak berhubungan dengan Sasuke, tim futsal ataupun tugas-tugasnya. Ini pesannya pun tergolong sangat rancu.

Ino-chan ... jaga dirimu baik-baik, ya!

Aku temanmu juga—kau perlu tahu itu.

Nah, benar aneh, bukan?

Jarang-jarang—atau bahkan baru kali ini Ino mendapat kiriman pesan singkat dari Naruto seperti itu. Apa jangan-jangan Naruto diam-diam menaruh ketertarikan terlebih terhadap Ino juga?

Hei hei, jangan terlalu percaya diri, Ino! Perkataan Geka belum tentu benar.

Yah, sedikit percaya diri memang tak ada salahnya, sih. Tetapi bagaimanapun, tingkah orang-orang sekitar Ino hari ini sangat aneh. Entah karena Ino akan mendapat kejutan menggembirakan atau malah tertubruk dengan tragedi menyedihkan.

Hidup tak ada yang tahu, bukan? Bahkan untuk hal yang bertahun-tahun diperjuangkan sekalipun. Atau sekadar pemikiran kecil yang terkadang akan menjadi masalah besar. Ino mungkin tahu, tapi gadis Yamanaka itu selalu pura-pura untuk tak tahu.

"Sasuke ke mana sebenarnya?" Hendak saja Ino merogoh ponsel pintar yang ada di kantung apronnya—jika pintu apartemen Sasuke tak terlebih dahulu terbuka. Menampakkan pemuda tampan dengan wajah datar andalannya.

Bak gayung bersambut, Ino menghampiri Sasuke. Mungkin karena sekian lama menungguinya pulang membuat kedatangan Sasuke seolah sesuatu paling berharga yang Ino nantikan. "Kenapa sudah pulang? Bukannya biasanya selalu pulang malam?"

Ups, kalimatmu salah, Ino!

Berniat mengabaikan eksistensi si pirang, Sasuke lebih memilih berlalu ke kamarnya. Meninggalkan Ino yang mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri. Apa mulut ceplas-ceplosnya sudah bawaan sejak lahir?

...

"Mau ke mana?" Ino mengalihkan pandangannya dari layar besar televisi saat pintu kamar Sasuke terbuka. Menampakkan pemilik kamar yang terlihat rapi dengan kemeja kotak-kotak gelapnya.

Tanpa menyahuti ucapan Ino, Sasuke segera menyambar kunci mobil yang terletak di meja tak jauh dari sofa yang diduduki Ino. Berjalan melewati Ino yang menatap pergerakannya tanpa kedip.

"Sasuke!" Langkah Sasuke terhenti saat merasakan bagian belakang kemejanya ditarik. Ino tetap menatapnya dengan pandangan menyelidik. Namun Sasuke Uchiha tetap bertahan dengan dinding penghalangnya. "Kenapa terus menghindariku?" tanya Ino bingung.

Pemilik helaian raven ini tersenyum miring sebelum berujar, "Aku akan pulang malam." Ia melepaskan paksa tangan Ino yang masih menarik bagian belakang kemejanya.

Bukan Ino namanya jika tak keras kepala. Ia tetap mengeratkan pegangannya di kemeja Sasuke—hingga kemeja tak berdosa itu kusut. Sasuke sendiri juga nampak tak ingin mengalah, ia tetap mencoba menjauhkan tangan Yamanaka dari kemejanya.

"Jangan dilepaskan!" Ino berteriak tak terima saat pergelangan tangannya dicengkeram Sasuke kasar. "Jangan dilepaskan! Biarkan aku ikut denganmu."

Cengkeraman Sasuke pada pergelangan Ino terhenti. Obsidian itu menyalang—tak memiliki sedikit pun keinginan kegiatannya terganggu. "Aku bosan di sini sendiri." Ino menatap Sasuke penuh harap.

"Izinkan aku ikut, ya?"

Bungsu Uchiha ini hanya bisa menghela napas, "Tidak." Ia meneruskan langkahnya.

"Kalau begitu, di sini saja. Temani aku," Ino kembali merajuk.

"Tidak." Sasuke pasti sudah keluar pintu jika Ino Yamanaka tak terlebih dahulu merentangkan kedua tangannya. Lagi-lagi ia hanya bisa mengambil napas dalam menghadapi tingkah menyebalkan pembantunya ini.

"Ajak aku, atau temani aku." Aquamarine Ino nampak menantang. Kedua tangan yang tadinya direntangkan itu kini terlipat. Menatap sengit Sasuke yang beberapa senti lebih menjulang dibanding dirinya.

Senyum sinis tersungging di bibir tipis Sasuke, "Kau menyuruh seorang Uchiha?" tanyanya sarkasme.

"Ya." Sedikit keraguan pun ta nampak di air muka Ino. "Memangnya apa susahnya menemaniku? Kau juga tak akan rugi mengajak gadis cantik idaman setiap pria seperti aku." Senyuman sinis kini bergilir ke Ino.

Tapi tetap tak seorang pun yang bisa bermain-main dengan seorang Uchiha.

"Kau sadar posisimu bukan, Yamanaka?" Sasuke maju selangkah, memaksa Ino untuk merapatkan tubuhnya ke pintu di belakangnya.

"Te-tentu saja." Ino menenggak salivanya ngeri saat senyum iblis itu semakin terkembang. Ia menahan napas saat wajah itu semakin mendekat ke arahnya. Ragu-ragu Ino berujar,

"Aku Ino Yamanaka, seorang yang disukai Sasuke Uchiha." Ia balik berseringai tajam. Merasa jika menekan salah satu jackpot tombol kemenangan.

Sayangnya, perasaan Ino hanyalah tinggal sebatas perasaan.

Pemuda di hadapannya justru semakin melebarkan seringai iblisnya. Kedua lengannya terangkat mengurung Ino—membuat hormon adrenalin Ino semakin meningkat. Bahkan netra jernih Ino tak lagi berani untuk menatap Sasuke. Pemuda itu terlalu menakutkan saat ini.

Ino merasakan deru napas semakin mendekat. Refleks, ia benar-benar menutup kedua matanya. Dengan tubuh gemetar—berharap Sasuke tak melakukan hal yang bukan-bukan.

Tapi hingga detik Yamanaka ini menghitung dalam hati, tak ada apa pun yang menyentuh bibirnya. Dan ketika kedua aquamarine itu nampak, hanya obsidian kelam yang menatapnya tajam. Tidak ada ciuman—atau apa-apa saja seperti yang Ino harapkan.

Harapkan?

INO! SEJAK KAPAN KAU MESUM BEGINI!

Berdehem singkat untuk menetralkan jantungnya, Ino lantas mengalihkan pandangannya. Didapatinya Sasuke yang tengah memegang knop pintu. Jadi ... tindakan Sasuke tadi bukan karena ingin melakukan sesuatu pada Ino?

"Kau jadi ikut atau tidak?" Suara Sasuke membuat Ino kembali menatap wajah rupawan itu.

Meski suaranya bergetar, Ino mencoba bersua, "I-ikut. Tu-tunggu sebentar ..."

Dalam hati, Ino merutuki ketololannya yang—mungkin telah terjerat dalam pesona memabukkan sang Uchiha.

.

.

.

.

.

Hal yang pertama kali dibayangkan ketika sepasang kakinya berpijak pada salah satu butik ternama di pusat kota hanyalah ketidakpercayaan. Ino bersikap seperti jalang tak pernah mendapat belaian hanya untuk mencegah Sasuke pergi—padahal laki-laki itu pergi untuk mengambil seragam tim futsalnya.

Hell, dia pendiam tapi menghanyutkan!

"Sampai kapan kau akan berdiri di sana?"

Terkejut, Ino segera mengikuti langkah lebar Sasuke. Pemuda itu tak perlu bertegur sapa pada beberapa pegawai butik yang bertugas, itu hanya akan membuat senyuman aneh mereka semakin terkembang.

Lain saat menatap Sasuke, pegawai butik itu menatap Ino dengan pandangan campur aduk. Antara tak terima, iri, kagum, tak percaya—dan entah apalagi pandangan yang ditujukan untuknya itu.

Memutuskan untuk mengabaikan beberapa pasang mata itu, Ino memilih melihat-lihat busana berbagai model yang terpajang di etalase. Harga yang ditawarkan juga cukup fantastis. Pantas saja ia begitu kaya.

"Sudah selesai?" tanyanya ketika Sasuke datang menghampiri dengan dua kantung besar—yang pastinya berisi seragam.

Ino berusaha ramah—mengembangkan senyum pada beberapa pegawai yang terpaku dengan sosok yang berjalan di depannya. Ino bingung sebenarnya, kenapa banyak sekali wanita yang tersihir dengan aura mengerikan Uchiha miliknya itu?

Sasuke meletakkan dua kantung besar itu ke jok belakang. Lantas menyusul Ino yang terlebih dahulu sudah masuk ke dalam mobil. Suasana hening menyelimuti. Sasuke tak kunjung menyalakan mobilnya, Ino juga tetap mengalihkan pandangannya ke luar jendela—menikmati bagaimana pemandangan Konoha pada malam hari.

"Yamanaka?"

Dahi Ino berkerut, dari ekor matanya melirik Sasuke yang masih menatap lurus ke depan. Ekspresinya tetap kaku seperti biasanya. Namun itu yang membuat Ino semakin takut. Selama Ino tinggal di apartemen Sasuke, pemuda itu tak pernah sekalipun mengajaknya untuk melakukan

"Ya?"

Sasuke Uchiha terdiam.

Atmosfer canggung pun semakin terasa. Ino mencoba berpikir positif. Mungkin saja saat di sekolah tadi Sasuke mendapat kejadian kurang mengenakan—atau apa pun yang membuat suasana hati bungsu Uchiha ini buruk.

Tiba-tiba saja Sasuke menoleh padanya—menghujamkan sehunus manik kelam ke netra jernih Ino. Baiklah, Ino—kau sudah biasa menghadapi yang seperti ini. Jadi teruslah terbiasa. Ino terus menerus merapalkan kalimat dukungan dalam hati.

"Kau benar." Napas Sasuke terdengar memburu. "Aku menyukaimu," ujar Sasuke dingin.

Gadis pirang ini bahkan tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Pemuda di hadapannya sungguh mengatakan hal yang menurut Ino hanyalah bualan belaka. Ayolah, dia Uchiha Memangnya apa yang menarik dari Yamanaka sepertinya—hingga sanggup meluluh lantakan seorang Uchiha?

"Dan kau tahu apa yang diinginkan pria yang menyukai wanitanya."

Belum sempat Ino mencerna dengan baik makna kalimat itu. Sasuke sudah membungkam bibir Ino dengan sesuatu yang hangat. Bahkan kehangatannya menjalar hingga membuat aliran darahnya berdesir panas.

Itu bukan sesuatu! Itu bibir Sasuke!

Astaga! Apa?

Saat kesadarannya masih utuh mengambil alih, Ino mencoba mendorong pemuda yang semakin menghimpitnya ke jok belakang mobil. Bukan sebuah kecupan panas yang membakar gairah, hanya lumatan lembut yang sarat akan emosi. Dan itu cukup untuk membuat Ino Yamanaka tak tahu harus berbuat apa.

Ciuman pertama—hingga ciuman kedua Ino bahkan sepenuhnya milik Sasuke. Apakah itu tak cukup? Kenapa Uchiha ini selalu menekan tombol-tombol tersembunyi miliknya? Ino terus bergumul dengan pemikiran beda sisinya.

"Sasuke ..."

Oke, Ino menyerah dan ia tak akan melakukan perlawanan apa pun untuk bibirnya kali ini.

Mungkin Ino tak sempat melihat—atau bahkan seringai tertahan itu luput dari seorang yang tengah berada di atas tubuhnya.

.

.

.

.

.

T.B.C

.

.

.

.

.

(*) OC = Karakter buatan saya sendiri. Deskripsinya bisa dilihat di foto profil ffn saya.

Astagfirulloh, ini apa coba?

Saya nggak yakin chapter ini ada beberapa bagian yang rumpang ataupun nggak dapet dekripsi adegannya. Karena yang benar-benar saya kemas matang itu endingnya, jadi bagian yang ini sedikit nggak kena porsi yang sesuai seperti pada awal-awal chapter.

Sekali lagi saya minta maaf. Maaf bagi yang menunggu lama, maaf bagi yang merasa kurang sesuai sama alurnya. Maaf, maaf dan maaf T_T/bungkuk dalam.

Baiklah, kali ini balas untuk yang non login. Yang log in menyusul besok pagi, ya :* :* :*

Guest : Udah dilanjut kok sayang XD. Makasih ya udah mau nunggu :* :* :*.

amay : Ceritanya nggak seberapa seru kok sayang XD. Makasih banyak kamu udah mau nunggu :* :* :*. Semoga tetep betah sajah ya bebih :*.

Resdiana : Hahaha XD, diusahain lah sebelum libur sekolah selesai fiksi ini udah kelar sayang :3. Makasih banyak ya udah nunggu cerita abal ini :'), aku jadi makin ngrasa bersalah sama kamu bebih :* :* :*. Sekarang fiksi Ino juga sedikit lebih idup kok sayang :3, termasuk SasuIno juga XD.

Namenoor wahdah : Kekeke, ini udah lanjut ya :*. Diusahakan terus berproduksi fiksi-fiksi Ino-hime kok XD.

Rae : Maaf menunggu lama XD. Habisnya masih dalam proses sayang :3. Makasih ya udah mau nunggu :* :* :*.

de-chan : Aduh, kamu nungguin aku ya hani~ kamu tuh apaan banget sih *ikutan peluk layar buntut

Hahaha, setidaknya Ino mah enak, dia naksir orang kaku, tapi ada cogan yang diem-diem perhatian beb. Lah gue? Boro-boro dah T_T /dianya juga numpang curhat :3

Beneran nih nggak bisa milih? Kalo gitu endingnya Ino mati ajalah biar adil/ini ngomong apaan sih XD

Aku malah seneng loh sayang kamu review panjang XD. Yang nggak aku suka itu waktu balesnya/ditampol/ soalnya kan nambah words/maap bebih XD. Aku juga wajib minta maap sama kamunya, kamu selalu kasih komentar panjang, tapi aku selalu bahas alakadarnya :3.

Oh ya saya kelupaan :')

MARHABAN YA RAMADHAN, Minna-san!

Bagi semua yang berpuasa, semoga puasa tahun ini lancar dan mendapat segala pahala yang tidak kita dapatkan pada bulan-bulan sebelumnya. Semoga puasanya pada penuh juga ya ^^.

Terima kasih sudah mau berkunjung :* :* :*