Papan pengumuman nampak penuh di huni beberapa siswa yang penasaran. Aksi saling dorong serta terobos diiringi umpatan pelan seolah tak dapat dihindari. Nampaknya apapun yang terpasang di sana merupakan salah satu peristiwa paling fenomenal di Sekolah Atas Suna.

Setelah menilik dengan saksama, beberapa siswa yang nampak kecewa meluapkan kekesalannya dengan cacian. Saling dorong serta injak kaki yang menyebabkan beberapa gadis menjerit tak terima. Namun tetap saja tak ada yang berniat menyahuti. Untuk Kamis pagi yang bisa dibilang tak cukup berarti itu, suasana di sepanjang koridor lantai satu Sekolah Atas Suna bisa dibilang ricuh.

Entah apa yang terpasang di sana, yang jelas hal itu membuat suasana hati beberapa siswi berubah drastis. Mereka yang tadinya berangkat dengan polesan bedak ternama serta rambut tergerai indah terpaksa keluar kerumunan dengan pakaian acak-acakan. Tidak hanya itu, umpatan sumpah serapah terlontar dari beberapa siswi yang nampak tak terima.

"Sialan! Kepala sekolah seperti mengamitkan jimat keberuntungan padanya," tutur salah seorang berambut merah. Mata kelabunya memutar bosan.

"Peringkat paralel, gadis paling bergengsi, panitia segala macam acara. Dia seperti seorang Nona Besar di Suna." Temannya berambut hitam juga ikut menimpali. "Tapi, tidak ada lagi si jalang yang tukang rebut perhatian, 'kan?"

Pemilik surai merah tertawa puas, "Ya, tentu saja si jalang itu tak akan menganggu. Tapi asal kau tahu saja, dia pindah ke Konoha."

"HA?"

Chapter 1: Senorita

.

.

.

.

.

Senorita

Semua tokoh milik Masashi Kishimoto

Ide cerita murni milik saya

Ino Yamanaka as main cast

.

.

.

.

.

Sekolah Atas Suna merupakan salah satu sekolah paling bergengsi di Suna. Dia yang populer—terlebih dia yang pintar maka akan mengambil alih. Tak heran jika beberapa gadis pesolek seolah berlomba untuk menjadi yang paling populer—mereka tahu jika kepintaran bukan jalan utama.

Namun tak jarang mereka yang memegang kendali justru semakin dibenci. Misalnya saja, siswi yang memenangi kontes gadis paling bergengsi tahunan—nyaris sepanjang tahun pandangan santet mereka terima. Lain halnya jika kapten tim olahraga—yang mayoritas laki-laki—memenangkan kejuaraan kemudian berpidato rutin. Maka sepanjang mereka bersekolah di sana, maka sepanjang itulah surat beramplop merah muda selalu terpampang di loker mereka.

Intinya, mereka perempuan yang fenomenal di sini akan dihujat, sementara para siswa laki-laki sensasional akan dipuja.

Maka dari itu, ketika papan pengumuman penuh dengan orang-orang—seperti saat ini, maka seluruh siswa perempuan akan memanjatkan doa penuh supaya para siswi bergengsi segera enyah. Yah, setidaknya apa yang mereka doakan tercapai. Salah satu siswi paling fenomenal mendapat urutan pertama dalam daftar.

Daftar Siswa Pertukaran Pelajar

Yamanaka Ino (Konoha)

Sudah jelas, bukan?

.

.

.

.

.

Bukan hal yang aneh jika setiap pagi di apartemen kakak-beradik Yamanaka akan selalu terdengar suara bantingan beberapa peralatan. Entah itu penggorengan, spatula, panci, bahkan kadang piring tak berdosa juga ikut merasakan amukan si bungsu. Iris biru kehijauannya menatap garang kakak semata wayangnya yang justru masih tekun dengan alam mimpinya.

"BANCI SIALAN! KAU. HARUS. BANGUN."

Dengan kaki yang menghentak-hentak—dikelilingi aura suram, si bungsu itu menghampiri pemuda yang masih puas meringkuk di atas kasur empuknya. Para tetangga mungkin sudah terlampau maklum mendengar teriakan si bungsu. Untung saja orangtua mereka tidak berada di apartemen. Jika ya, mungkin zona amukan gadis pirang itu akan bertambah luas.

"Dasar Kunyuk menyebalkan!"

BRAK!

Deidara—nama pemuda berambut pirang yang tengah tertidur lelap itu seketika terduduk sembari melongo parah. Mata abu-abunya mengerjap tak percaya. A-apa yang terjadi?

"Kau lebih memilih bangun sekarang lalu mandi atau bangun nanti dari kematian?"

Kedua aquamarine yang berkilat marah, rambut pirang panjang sang adik yang seperti melambai-lambai untuk segera mencekik Deidara, serta posisi ancang-ancang si bungsu yang siap untuk kembali menendang kaki ranjang hingga patah itu menciutkan nyali Deidara.

Demi Cebol Ohnoki, sejak kapan Ino jadi horor seperti ini?

Kemarin lusa menyiraminya menggunakan air cucian beras, kemarin memecahkan guci kesayangan Deidara. Dan sekarang mematahkan kaki ranjang Deidara yang berharga ratusan ribu ryo. Astaga, di Suna mencari kayu jati kualitas tinggi seperti kayu ranjangnya itu sama dengan mustahil.

"Dei-nii?" panggil Ino yang seketika mematahkan lamunan Deidara.

"Ya, ya. Asal kau memperbaiki kaki ranjang kasurku nanti." Dengan malas Deidara bangkit, meninggalkan Ino yang menghela nafas pelan. Pemilik surai pirang platina itu berjalan meninggalkan kamar sang kakak terkasih—setidaknya sebelum jawabannya nanti akan membuat Deidara melemparkan barbel ke arahnya.

"Itu mudah, Dei-nii. Aku tinggal mematahkan semua kaki ranjangnya agar sama tinggi. Beres, 'kan?"

Deidara benar-benar tak habis pikir. Apa dosa almarhum ibunya hingga melahirkan adik perempuan bar-bar seperti seorang Yamanaka Ino?

.

.

.

.

.

Walau Ino selalu semena-mena pada Deidara, namun sejujurnya itu adalah bentuk kasih sayang Ino yang paling nyata. Sering mengomel jika Deidara tak kunjung pulang—karena Ino terlampau khawatir, selalu membangunkan Deidara dengan cara brutal—hanya agar Ino tak melewatkan sesi sarapan pagi dengan kakak tersayangnya, hingga polahnya yang bagai pengasuh jika berdua dengan Deidara yang hanya semata-mata agar Deidara tak berpaling dari sisinya.

Meski Ino ta pernah mengucapkan, Ino berharap Deidara mengerti mengenai kelakuan Ino yang sedemikian rupa. Manusiawinya, adik mana yang mau selalu sendiri dan merasa sepi sementara kau memiliki kakak yang bisa menjagamu? Terlebih saat orangtuamu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Dari situlah, Ino sebisa mungkin menghabiskan waktunya hanya dengan bersama Deidara. Jangan anggap seorang Yamanaka Ino memiliki kelainan kesaudaraan atau apa. Tidak, memiliki kekasih serupa kakaknya adalah keinginannya setelah mati saja. Ino tentu masih memiliki tambatan hati—ehem meski Ino tak mau menyebutkan namanya. Ino juga memiliki prioritas utama, sekolah—sebenarnya sambil curi-curi pandang pada sang pujaan di kelas sebelah—dan membuat Deidara nyaman memiliki adik sepertinya.

Seperti pagi ini.

Ino sudah melepas apron ungu kebanggaannya saat menatap dapurnya yang kembali mengkilap. Hasil masakannya juga sudah tertata rapi di konter dapur (apartemen Ino dan Deidara terlalu sempit jika ditambah dengan meja makan), bekal makanan untuknya serta Deidara juga sudah siap, hanya tinggal menunggu kakaknya keluar dari kamar.

Sembari menunggu, Ino mendudukan dirinya senyuman mungkin di kursi menghadap konter dapur. Hari ini ia hanya membuat roti isi daging untuk sarapan dan sushi sebagai bekalnya. Jika hari ini sesuai pertimbangannya, maka Ino akan kenyang sepanjang hari nantinya. Ya, risiko siswi yang cukup sibuk di sekolah.

"Masak apa, un?"

Deidara—dengan kemeja kotak-kotaknya mengambil tempat duduk di samping Ino. Matanya menatap roti isi yang cukup banyak di atas piring. Kemudian pandangannya teralih ke arah Ino, "Tumben banyak."

"Hm," Ino mengangguk malas, "biasanya Sakura minta dibawakan."

Deidara mengangguk paham. Keheningan tercipta saat kakak-beradik itu sibuk dengan makanannya masing-masing. Satu saat yang paling tentram di apartemen Deidara dan Ino adalah ketika mereka tengah sarapan. Selebihnya hanya berisi makian, teriakan, tak jarang juga umpatan—tentu saja dilakukan oleh si adik.

Sebenarnya Deidara selalu merasa maklum jika Ino bersikap seperti itu padanya. Bagaimanapun, mereka hanya hidup berdua semenjak lebih dari sepuluh tahun. Seluruh keperluan rumah tangga diurus Ino, sementara Deidara mengurusi urusan perwalian atau apapun yang berhubungan dengan itu untuk dirinya sendiri dan Ino. Jadi, jika Ino bertindak sedemikian rupa, itu Deidara anggap bentuk kepedulian.

"Sudah keluar belum daftar siswa pertukaran pelajarnya, un?" Deidara memecah keheningan.

Ino menoleh, menatap kakaknya dengan pandangan heran, "Aku tak pernah berniat mendaftar. Itu merepotkan," jawabnya malas.

Kali ini Deidara benar-benar berhenti mengunyah roti isinya, memusatkan perhatian pada sang adik sepenuhnya, "Bukannya baik, un? Kau bisa langsung diterima di universitas mana pun setelah lulus nanti."

"Mau di universitas mana pun, aku pasti diterima. Tak perlu bersusah payah seperti itu."

Deidara hanya sweatdrop mendengar penuturan Ino. Kumat lagi sikap Nona Besar milik adiknya ini.

Drtt... Drtt...

Percakapan keduanya terpaksa terhenti saat ponsel pintar Ino yang tergeletak di samping piringnya bergetar. Dengan mengernyit, Ino menatap layar ponselnya yang menunjukkan panggilan oleh nomor tak dikenal. Sakura tak mungkin ganti nomor, 'kan?

"Halo?"

"Yamanaka?"

Wajah Ino seketika mengeras, tidak sopan sekali penelpon ini, pikirnya sebal.

"Ya, ini aku. Siapa kau?"

Ingin sekali rasanya Ino langsung memutuskan panggilan ini. Tapi tentu saja ia akan sama tak sopannya dengan si penelpon. Maka dengan amarah tertahan, Ino berkata ketus. Semoga saja ubun-ubunnya tidak segera mendidih.

"Ini aku."

Perempatan siku-siku kini tercetak jelas di dahi indah Ino. Deidara bahkan dipaksa mengernyit bingung saat mode lampir adiknya seolah siap meletus. Siapa pun yang menelpon Ino semoga selamat nantinya, doa Deidara.

"Ya, aku tahu itu kau. Tapi kau itu siapa?"

Sepertinya bungsu Yamanaka itu sudah tak bisa lagi menahan amarahnya. Dengan teriakan tercekat dan genggaman mengeras pada ponselnya, itu sudah cukup untuk membuat Deidara segera menyelesaikan makanannya.

"Aku teman sekolahmu."

Astaga! Jangan salahkan seorang Yamanaka Ino jika sekarang wajahnya memerah penuh amarah. Ino sebenarnya bukan tipikal gadis pemarah—mungkin ini efek siklus bulanan yang menjadikan hormon emosinya berkali lipat lebih mengerikan.

"Iya, aku tahu kau itu teman sekolahku. Tapi namamu siapa?!"

Cukup sudah. Kesabaran Ino hari ini tidak lebih panjang dari rok sekolahnya. Dan penelpon gelap ini justru terus saja memotongi emosinya tanpa henti. Biarkan saja ia dikatai gadis dengan cara bicara paling kasar. Toh, mengumpat dan memaki pada penelpon tak sopan sesekali juga bukan kesalahan besar.

"Aku Sabaku Gaara."

JDER!

DEMI JASHIN, SILAKAN KUBUR INO HIDUP-HIDUP!

Mana ada... tidak-tidak. Apa ada seorang gadis yang memaki sembari mengumpat bercampur teriak pada pujaan hatinya—yang justru dengan baik hati memberi harapan dengan menelpon lebih dahulu? Iblis sekali pun pasti enggan mendekati Ino jika seperti ini.

DIA SABAKU GAARA!

Gaara yang membuat Ino selalu datang pagi-pagi hanya demi melintas dan menatap Gaara yang hanya terdiam ditemani buku di pojok kelas. Gaara yang membuat Ino sehari meminta ijin ke toilet empat kali hanya untuk melirik si pemuda merah itu di kelasnya. Dia Gaara. Gaara yang selalu berhasil membuat Ino pura-pura masih ada kegiatan amal di sekolah supaya bisa menonton si kapten futsal handal Suna. Gaara oh Gaara!

Dan sekarang... dan sekarang di saat Ino tengah merajut impiannya agar bisa menggapai Gaara, pemuda itu berbaik hati memberinya harapan terlebih dahulu. Ta-tapi sikap Ino malah seperti preman pertigaan gang yang menunggui kakek tua berjalan. Oh tidak!

"Yamanaka?"

Ino terkesiap, wajah yang tadinya mengeras meleleh bagai masuk ke oven. Organ-organ yang tadinya mendidih seolah menguap. Bahkan suara bak toa yang sudah ia siapkan tersangkut entah ke mana. Ke hatinya Gaara mungkin, batin Ino mulai sinting.

"E-eh? Y-ya. Aku masih di sini." Dan menantimu duhai sayang, batin Ino kian menjadi.

Samar-samar Ino bisa mendengar suara deheman ringan dari sana, "Kau masuk sekolah hari ini?"

Mana bisa aku bolos sementara pangeranku perhatian seperti ini. Ingin sekali Ino sebenarnya berbicara seperti itu. Tapi itu terlalu menunjukkan kadar masokisnya yang tinggi. Oleh karena itu Ino hanya menjawab, "Ya, aku masuk. Kenapa?"

Pikiran Ino mulai macam-macam. Jantungnya bertalu seolah mau meledak. Wajahnya merah padam—tentu lain arti dengan yang tadi—disertai sekujur tubuh yang gemetar. Duh, apa kasmaran separah ini, ya?

"Tidak. Hanya saja... uhm, yah..."

Deidara yang berada di samping Ino hanya cengo menatap perubahan ekspresi Ino yang tadinya mau meledak menjadi seorang mau ayan. Sebagai seorang kakak yang perhatian, tentu saja ia khawatir dengan keadaan adiknya. Dengan gerakan bibir tanpa suara ia bertanya siapa-dia, namun hanya ditanggapi dengan telunjuk di bibir—sebelum si pirang muda meninggalkan konter dapur menuju ruang tengah. Meninggalkan sarapannya yang hanya berkurang seperempat.

"Hanya kenapa?"

Dengan suasana hening di ruang tengah, Ino yakin ia bisa bereaksi apa pun begitu Gaara menyampaikan hal-hal yang bisa tak terduga. Dua tahun lebih memendam rasa, dan kini Ino tak harus menunggu terlalu lama.

"Hanya jika kau mau, kau bisa berangkat bersamaku."

DUAR! DUAR! DUAR!

Kali ini bukan suara petir yang menyambar-nyambar. Justru ledakan kembang api dan konfeti yang seolah mengelilingi Ino. Seumur hidup, sepanjang tujuh belas tahun hidupnya, selama ia bersekolah hingga naksir Gaara, Ino tak pernah—tidak sekali pun membayangkan akan diajak berangkat bersama dengan sang gebetan.

Dengan kecepatan kilat, Ino melemparkan ponsel pintarnya ke sofa, berlari menuju balkon yang menampakkan sinar matahari yang cukup cerah. Dengan semangat menggebu ia meloncat girang, sesekali berputar-putar senang.

"GAARA MENELPOKU! MASA DEPAN DATANG LEBIH CEPAT. SUAMIKU! SAYANGKU! DUHAI CINTAKU! HUAAAAA!"

Deidara yang melirik Ino dari ekor matanya menghela nafas pasrah. Siapa pun yang menelpon Ino, pasti dia satu-satunya orang yang masih cukup waras untuk pergi bersama lampir berbungkus nona besar seperti si bungsu Yamanaka ini.

Setelah Ino puas dengan aksinya berteriak tak jelas, ia kembali masuk ke dalam. Menatap Deidara dengan pandangan berbinar beribu watt—sebelum memeluk leher sang kakak erat nan kencang. Terlalu kencang hingga Deidara merasa wajahnya membiru kehabisan nafas.

"Dei-nii, adikmu ini akan segera menikah, loh!" Ino memainkan kedua pipi Deidara gemas, "Bersama si pangeran unyu pula," tambahnya yang semakin menjadi.

Deidara—yang memang sudah pasrah—hanya mengangguk-angguk. "Sudah kau jawab belum, un? Ponselmu kau buang begitu."

Mendengar penuturan Deidara, Ino refleks melepaskan pelukannya. Dengan kecepatan kilat pula ia menyambar ponselnya yang layarnya telah berubah warna menjadi gelap. Namun begitu bersyukurnya Ino saat panggilan Gaara belum terputus.

"Yamanaka?"

Ino berdehem, "Ya, aku di sini." Sayangku, racau batin Ino makin sinting.

"Aku kira terjadi sesuatu padamu."

Suamiku, apa kau sedang khawatir?

Sepertinya Ino juga perlu beberapa suntikan anti euforia jika kewarasannya terus menurun seperti ini. "Tidak, kok. Tadi, uhm... tadi masih ada panggilan alam."

"Oh. Aku pikir kau tak menjawab karena tak mau berangkat bersamaku."

Ino mencubiti pipinya sendiri gemas. Membayangkan Gaara berkata seperti ini pasti sangat menggemaskan.

Aih, jangankan berangkat bersama, Suamiku. Pergi ke altar bersama pun, aku juga mau, kok!

"Tidak, kok, tidak." Ino mengibaskan tangannya sendiri. "Aku mau."

"Baiklah, sampai jumpa lima belas menit lagi."

Ino merona hebat, "Ya, sampai jumpa."

Tadinya Ino hanya ingin menggerai rambut panjang—yang lebih panjang dibanding rok sekolahnya ini—daripada dikuncir kuda. Bukan apa-apa, hanya saja terkadang Ino merasa pening hebat saat rambutnya dikuncir tinggi. Biasanya, orang-orang akan mengoloknya sadako pirang jika seperti itu. Tapi apalah arti ejekan, toh seluruh Sekolah Atas Suna juga tahu jika Ino pemenang kontes siswi paling bergengsi tiga kali berturut-turut.

Namun pengecualian untuk pagi ini.

Dengan cekatan, Ino menguncir rambut pirang—terlampau panjangnya—tinggi. Menyisakan sedikit ekor poni di sebelah kanan—yang memang sudah menjadi hak patennya. Wajahnya yang memang sudah putih ia bubuhkan bedak tipis. Bibirnya ia poles lipsbalm kemudian lipsgloss untuk memberi kesan merekah. Bulu matanya kini berlapis maskara. Tak lupa pula jam tangan untuk mempercantik diri. Setelah memastikan dandanan sederhananya sempurna, Ino menyemprotkan parfum aroma gardenia yang segar manis.

"Kau cantik sekali, Yamanaka Ino," gumam Ino pada pantulan sosoknya di cermin.

Yosh, sepertinya Ino sudah bersiap untuk membuka lembaran baru bersama pemilik tato di dahi kirinya itu.

.

.

.

.

.

Sudah menjadi tradisi rutin seluruh siswi di Sekolah Atas Suna untuk iri pada dia yang paling beruntung mendapatkan penghargaan gadis paling bergengsi. Seolah kembar siam pula jika siswi pemenang kontes kecantikan itu merupakan siswi peringkat paralel. Otomatis mereka akan dilayangi pandangan membunuh oleh seluruh lapisan siswa. Ya, mereka yang memenangkan dua hal paling diidamkan itu pasti menjadi Sang Ace bagi guru-guru di sana.

Apabila menjadi cantik dan pintar saja sudah dimusuhi, lalu bagaimana jika ditambah dengan berangkat bersama dengan siswa paling diidolakan oleh seluruh lapisan siswi Sekolah Suna?

Hal itu pula yang akan menimpa si bungsu Yamanaka yang tak bisa menyembunyikan senyum cerah mataharinya. Meski tak ada yang spesial sepanjang perjalanan—Gaara hanya mengendari motornya dengan hati-hati, sementara Ino berpegangan pada ujung jaket Gaara—namun Ino merasa puluhan letupan di dadanya. Bayangkan saja, dia dan Gaara hanya sebatas tahu nama dan kelas masing-masing—meski kadang Ino mencuri-curi kesempatan untuk modus. Selebihnya tidak. Selama dua setengah tahun Ino bersekolah di sini, ia bahkan tak sempat bertegur sapa barang sekali pun dengan Gaara.

Oh, betapa bahagianya sang adik kecil Deidara ini jika sadar waktu singkatnya sebelum lulus akan berisi hal semenyenangkan ini.

"Kau nanti ada kegiatan dulu, Yamanaka?"

Ino menggeleng pelan, menepuk-nepuk surai pirang panjangnya yang sedikit kusut terkena angin, "Tidak. Kenapa?" tanya Ino (sok) jual mahal.

"Tidak, tidak apa-apa." Meski Gaara berbicara dengan raut wajah sedatar dada Sakura, Ino tetap saja menahan debaran. "Kalau begitu, kau bisa menemaniku mencari buku sepulang sekolah nanti?"

TENTU SAJA MAU, SUAMIKU!—Namun ekspresi yang terpasang diwajahnya justru pandangan mendelik.

Menyadari ekspresi Ino—yang menurut Gaara terlihat curiga, pemuda berambut merah marun itu buru-buru menambahkan, "Kau tahu jika bulan depan ujian. Aku sedikit lemah di fisika." Ino tak bisa menyembunyikan senyum tulusnya. Sudah baik, keren, unyu, ganteng, kapten tim futsal, pintar, jujur pula. Kurang apa coba Gaara? Uhm, mungkin cuma kurang memiliki alis.

"Kenapa kau tak bilang sedari tadi? Aku punya banyak referensi buku pembelajaran fisika." Ino membuka tas selempangnya, "Kau bisa bawa satu jika mau." Ia menyodorkan salah satu buku yang dibelikan Deidara.

"Terima kasih." Gaara melengkungkan bibirnya ke atas sekian milimeter. Dan oh, betapa panasnya wajah Ino saat ini. "Gosip itu tak benar ternyata."

"Gosip apa?"

Keduanya berjalan meninggalkan pelataran parkir. Berjalan melewati koridor yang memang masih cukup sepi—namun tetap saja ada mata-mata yang kadar kehororannya berkali lipat ke arah si pirang Yamanaka.

"Tidak, bukan apa-apa."

Hening...

Pembelajaran masih akan dimulai lebih dari tiga puluh menit, tetapi kedua siswa yang masing-masing memegang kendali siswa paling populer itu sudah menebar aura yang membuat siapa pun pasti iri. Gaara dengan segala kharismanya, sementara Ino dengan segala hal yang menjadi obyek keirian para gadis.

"Jika kau mau, kita bisa belajar bersama sesekali." Ino berucap saat keduanya sampai di depan kelas XI-A, kelas Yamanaka Ino.

"Kau mau?"

Ino tersenyum ramah, "Kenapa tidak?"

Ino tak bisa membohongi saat dirinya merasa puluhan kali lebih baik tatkala senyuman gratis dari seorang yang terkenal rajanya ekspresi datar itu tertuju padanya. Oh, andai saja kelulusan Ino diperpanjang satu abad lagi, Ino sama sekali tak keberatan.

"Terima kasih," ujar Gaara pelan. "Tidak hanya cantik, kau ternyata sangat baik." Kemudian pemuda beriris hijau itu mengangkat tangannya guna menyingkirkan ekor poni Ino yang menutupi mata Ino ke belakang telinga.

"Eh?"

Pupil Ino membulat sempurna saat tubuh tegap itu merapat padanya. Semerbak aroma cendana yang hangat langsung saja menerpa penciumannya yang memang cukup tajam. Gaara nampak melakukan sesuatu—apa pun itu, pasti berhubungan dengan rambutnya karena ia merasa sedikit teracak.

"Tapi begini lebih cantik."

Ino dengan ekspresi yang jauh dari kata etis itu hanya menatap punggung Gaara yang masih terus berjalan, meninggalkan si pirang yang membulat tak percaya. Mungkin—ini masih mungkin loh—Gaara menyimpan jutaan keromantisan di balik rupa datarnya.

Ah, betapa beruntungnya Ino!

"Jepit rambut?"

Benda kecil—yang pasti Ino yakini berwarna merah itu terpasang dengan manis di sisi kiri rambutnya. Sementara ekor poni kanan Ino menyelip di belakang telinganya—hingga siapapun dapat menatap iris jernih lautan milik si bungsu Yamanaka ini. Mungkin ia memang terlihat lebih cantik jika seperti ini.

Tanpa berniat menarik benda kecil berwarna merah itu, Ino membalikkan badan. Masuk ke dalam ruang kelas unggulan di Sekolah Atas Suna itu dengan senyum—yang entah kapan akan luntur.

.

.

.

.

.

"Kau kenapa? Ayan?" Nyaris saja sebuah fantovel legam melayang menimpa surai merah muda Sakura. Ino dan Sakura kini duduk berhadapan di salah satu meja kantin paling ujung yang nyaris tak terjamah para siswa.

Yah, satu-satunya alasan yang memungkinkan dua gadis cantik itu duduk meringkuk terisolir hanyalah karena tatapan-tatapan menyedihkan dari siswi lain. Sudah menjadi takdir jika Suna memiliki jumlah siswa perempuan dua pertiga dari seluruh siswa. Sisanya baru laki-laki. Sudah bisa dipastikan bagaimana jika perempuan-perempuan bergelar populer yang mendapat anugrah keelokan tingkat atas.

Namun tetap saja, seburuk apa pun perilaku siswi pada Sakura dan Ino, tak satu pun dari mereka yang berani mendekat—ini karena mereka lebih menyayangi nyawa dibanding egoismenya. Sakura tak pernah main-main dalam hal pukul-memukul, sementara Ino bisa membuat seluruh siswi menjerit ngeri saat menebar aura sadako bulenya.

Bisa dibilang, mereka yang iri hanya bisa memendam kebencian dalam-dalam.

"Kau tahu, sedari tadi aku penasaran malapetaka apa yang membuat sadako sepertimu tersenyum sepanjang hari."

Ino memutar matanya bosan, "Mengejek berarti tak boleh makan." Ia menarik kembali bekal makan siang Sakura yang dibuatnya, namun buru-buru ditepis gadis Haruno itu.

"Aku bercanda, Buta." Kini malah Sakura menampilkan senyum lima jari. "Tapi aku serius. Dari tadi, kau tak berhenti tersenyum. Kenapa memangnya? Oh, atau jangan-jangan karena..." Sakura sengaja menggantungkan ucapannya. Melirik ekspresi Ino yang nampak berbunga-bunga.

"Lihat jepit rambut ini, Dekorin?" Sakura mengerutkan keningnya bingung. Sakura rasa, topik pembahasan dan arah pembicaraan Ino mulai melenceng. "Jangan bilang kau tersenyum setengah hari ini hanya karena jepit rambut?" Ia menyipitkan mata kesal.

"Terserah apa katamu. Asalkan kau tahu saja jika Gaara yang memberikan ini padaku." Sisi tak waras Ino mulai kumat.

"HE?"

Satu detik...

Ino tersenyum manis, Sakura melongo parah.

Dua detik...

Sakura menganga tak percaya, Ino menepuk-nepuk jepit rambut barunya sembari meringis senang.

Tiga detik...

"Aku tahu kau suka Gaara, Buta! Tapi jangan segila itu untuk mengaku kau diberi hadiah olehnya!" Sakura berdiri menatap Ino tak terima. Meski posisi mereka berada di meja paling ujung serta terisolir, tentu saja itu masih memasuki wilayah kantin—semua siswa dapat mendengar dampratan Sakura.

Menyadari apa yang telah diperbuat, Sakura menutup mulutnya sendiri—seolah tak percaya kalimat menggelegarnya. Iris hijaunya melirik sekeliling yang mengalihkan pandangan ke arahnya dengan tatapan menyelidik.

"Maaf, maaf."

Meski para siswa sudah kembali ke posisi semulanya, namun beberapa masih menggunjingkan perihal ucapan Haruno Sakura. Tak banyak yang dapat didengar para siswa kecuali nama Gaara dan panggilan Buta. Bukan hal yang terlampau menggemparkan jika Buta—nama panggilan sayang Sakura ke Ino—akan digadang-gadang bersama seorang Gaara. Siapa pun tahu, Ino gadis paling bergengsi, dan Gaara satu-satunya kandidat paling kuat untuk menjadi pasangan Ino. Hanya saja masalahnya...

"Yamanaka?" Ino menolehkan kepalanya, menatap dengan bingung beberapa kerumunan gadis yang memberikan sebuket bunga mawar oranye untuknya. "Ini... maafkan kami selama ini, ya?" Hingga para gadis-gadis (yang diketahui Ino merupakan koloni paling membencinya) itu berlalu, Ino masih saja menatap punggung mereka. Mengalihkan pandangannya ke Sakura.

"Apa?"

"Kau tak merasa aneh dengan sikap mereka?" Ino mengernyit curiga.

Belum sempat Sakura menjawab, panggilan lain sudah terdengar. Aquamarine Ino memutar bosan, sementara zamrud Sakura hanya menyendu. Apa jangan-jangan Ino...

"Ino-san, kau sungguh hebat." Ino mengernyit bingung saat siswi yang diketahuinya bernama Fuuma Sasame ini menatapnya dengan pandangan berbinar. "Kau benar-benar sempurna." Ino menatap Sakura dengan pandangan ada-apa yang hanya dibalas dengan helaan nafas berat.

"Sebentar..." Ino membenahi posisi duduknya, "Kau bisa menjelaskan padaku apa yang terjadi, Fuuma?"

Siswi bersurai oranye itu nampak terkejut, namun buru-buru mengubah ekspresinya, "Kau tak tahu apa pun, Ino-san?" Ia mendudukan dirinya di samping Sakura—tepat di hadapan bungsu Yamanaka. "Padahal beritanya cukup sensasional."

Ino semakin mengernyit bingung, "Tidak satu hal pun."

Sasame menghela nafas pasrah, "Kau adalah satu-satunya murid pertukaran pelajar yang akan di kirim Konoha."

"APA?"

Seisi kantin seketika menoleh, menatap si gadis pirang berkuncir kuda yang kini menebar aura pekat. Tidak seorang pun akan berani menganggu Ino jika masih dalam mode seperti itu—terutama para kaum pemuda.

Lain halnya dengan para pemuda, para gadis yang memang membenci Ino semakin gencar mendekati siswi peringkat sepuluh besar paralel itu. Abaikan aja aura pekatnya, yang penting bisa balaskan dendam karena gebetanmu selalu lebih tertarik padanya, merupakan satu dari sekian banyak motto mereka.

"Yamanaka, hati-hati, ya! Kami pasti akan merindukanmu!"

"Ino, sampai jumpa! Maafkan semua salahku, ya!"

"Kami pasti akan merindukanmu, Ino-chan."

BANCI SIALAN! RAJUNGAN! MENYEBALKAN! DEIDARAAAAA!

.

.

.

.

.

.

Deidara meringis pelan saat kompres es menyapu permukaan wajahnya yang mulai membiru. Di hadapannya kini, si adik tengah merengut dengan tingkat kehitaman auranya berkali lipat dibanding Kakuzu yang kehilangan kembalian lima ratus peraknya.

"Ino-chan, ayolah! Ini sudah lebih dari tiga jam!" Deidara sudah tak kuat. Ia kini menyerupai anak yang tengah merengek pada ibunya.

Ino tetap diam. Matanya menatap tajam Deidara—sejak tujuh jam lalu tak mengendur barang sedetik pun.

Begitu mendengar berita paling menghebohkan itu, Ino langsung mendobrak gerbang depan tanpa permisi. Coret murid teladan, hapus titel gadis paling menawan. Yang paling penting adalah meminta pertanggungjawaban Deidara.

BAGAIMANA MUNGKIN SEORANG KAKAK TEGA MENJERUMUSKAN ADIKNYA YANG BERUSIA TUJUH BELAS TAHUN KE KOTA ANTAH BERANTAH? —ehem, tidak bisa dikatakan menjerumuskan juga, sih. Tapi tetap saja, bagi Ino itu tetap merugikannya.

Logikanya, Ino hanya menyisakan enam bulan berada di Sekolah Atas Suna, dan dengan sikap sewenang-wenangnya Deidara memaksa Ino terbang ke Konoha. Dengan waktu sesingkat itu, Ino bahkan tak diberitahu bagaimana cara untuk bersosialisasi dengan baik nantinya. Terlebih, ia tak pernah ke Konoha sebelumnya. Yang paling parah, Ino harus pindah di saat pendekatannya dengan Gaara sedang gencar-gencarnya. Ino Yamanaka sudah menunggu lebih dari dua tahun hanya untuk ini—dan bagaimana hal itu lenyap begitu saja adalah sebuah neraka besar bagi Ino. Kurang sial bagaimana coba?

"Ino-chan?"

"..."

"Baiklah, Imoutou... sekarang aku harus bagaimana?" Deidara mengalah. Mengabaikan seluruh memar di wajah, lebam di sekujur tubuhnya serta pakaian compang-camping buluknya, ia menatap Ino sendu. Repot juga didiamkan sang adik sekian lama. Padahal jika harus memilih keinginannya, dari dulu Deidara sangat ingin Ino diam.

"Ino-chan? Ayolah Imoutou, jangan marah begitu..."

Ino tetap diam. Kedua lengannya terlipat di bawah dada dengan sempurna, rambut sepanjang pertengahan paha yang acak-acakan serta pandangan kosong, itu sudah cukup untuk membuat Deidara nyaris menjerit.

"Ino-chan?"

Semenjak Ino memutuskan bolos dari sekolah hingga malam menjelang, posisinya tetap saja sama.

"Hiks... hiks..."

Deidara mengerjap.

"Hiks... h-hiks..."

Kini Deidara mulai melongo.

"Dei-nii... hiks..." Secepat kilat Deidara duduk di samping Ino. Merengkuh tubuh adik terkasihnya itu dari samping. "Hiks... tega sekali... h-hiks..." Tangisan Ino justru semakin menjadi.

"Hust! Maaf, ya!" Deidara terus saja menenangkan semampunya. Merapatkan tubuh mereka saat merasa tangisan Ino akan makin parah.

"AKU BARU SAJA MAU PENDEKATAN DENGAN GAARA, DEI-NII! HUAAA! GAARA! HIKS... H-HIKS... HUAAA..."

Walau batin Deidara dongkol setengah mati, tapi tetap saja ia menepuk-nepuk punggung Ino. Jadi sedari tadi, mulai dari dirinya yang dipukuli secara bar-bar hingga dianiaya, semua hanya karena Ino tak mau berpisah dengan gebetannya? Seharusnya dari awal Deidara tahu jika Ino lebih menyayangi pemuda tanpa alis itu dibanding dirinya. Sialan!

Setelah tangisan Ino mereda, Deidara melepas pelukannya. Ino memang cantik, tapi jika wajahnya seperti ini, ia lebih menyerupai gelandangan pinggir jalan. Dan yang membuat Deidara terpiuh karena adik satu-satunya menangis bukan karena tak mau terpisah dengan Deidara. Di situ pasti terasa sakit sekali!

"Lalu aku harus bagaimana, Ino-chan? Apa kita batalkan saja?"

Bukannya menjawab, Ino malah menampar pipi Deidara keras-keras. Matanya berkilat marah. "Banci bodoh! Kau pikir mereka akan diam? Aku pasti dipaksa membayar biaya ganti rugi sekian juta ryo. Apa kau rela kehilangan uang sebanyak itu?"

Tentu saja tidak! Ini semua karenamu, un! Deidara ingin meneriakkan kata hatinya, namun yang terlihat justru senyuman terpaksa, "Jika itu bisa membuatmu tetap di sini, kenapa tidak?"

Ino menghela nafas keras-keras, menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Padangannya menatap langit-langit—seolah menerawang—sebelum akhirnya menutup perlahan. Ingin sekali rasanya ia terjun bebas dari lantai apartemennya—jika Ino tak ingat bunuh diri itu dosa besar.

"Reputasi sekolahku pasti akan turun jika seperti itu." Ino kembali membuka matanya. Ia memang si adik egois bar-bar yang selalu menganiaya kakaknya. Ia juga merupakan siswi dengan predikat kepercayaan diri kelas wahid yang tak perlu diragukan lagi. Tapi Ino tak sekejam itu untuk mengorbankan hal-hal yang disayanginya. Maka dari itu, Ino menghela nafas sebelum berkata,

"Aku akan tetap berangkat."

.

.

.

.

.

Sama seperti hari sebelumnya, Ino tetap mendapat sambutan hangat dari semua siswi. Meski banyak yang mengadakan syukuran karena kepindahannya, tak sedikit pula yang merasa kasihan karena itu berarti Sakura kana menjadi satu-satunya target kebencian para siswi—jika murid pertukaran pelajar tak ada yang terlalu mencolok.

Ino menghela nafas keras, lebih dari dua tahun ia hanya bisa menatap wajah pemuda berambut merah bermata panda. Nyaris dua jam sekali di sekolah ia akan melirik Gaara. Tapi itu tak akan berlaku untuk enam bulan ke depan. Ino akan menjadi seorang yang terasing di sekolah barunya. Itu sudah pasti. Hanya saja...

"Yamanaka?"

Ino mendongak, Gaara tengah berdiri di hadapannya. Entah terlalu sibuk meratapi nasibnya nanti atau memang Sakura yang meninggalkan Ino diam-diam. Apa pun itu, Ino sudah tak peduli. Duh Gaara!

"Aku mendengar tentang kepindahanmu itu." Gaara menatap Ino yang masih menunduk. "Aku hanya berharap kau bisa menjaga dirimu dengan baik di sana."

Ino hanya mengangguk pelan. Ingin sekali sebenarnya ia menangis tersedu-sedu sembari memeluk Gaara kencang. Kalau perlu, Ino ingin agar Gaara ikut dengannya. Tapi itu terlalu masokis. Menjaga imej dengan gebetan adalah hal utama yang ditanamkan Ino.

"Sampai jumpa enam bulan lagi kalau begitu, Yamanaka." Gaara berdiri, memutar tubuhnya membelakangi Ino—namun tetap dengan ekor mata melirik Ino. "Aku berharap kau akan datang ke acara pelepasan kita nanti."

Dan dengan punggung Gaara yang semakin menjauh itu pula, Ino tak dapat membendung tangisannya. Biarlah hari ini ia bergalau ria. Ia sudah cukup bersabar memendam segala emosinya selama ini. Jengkel dengan tingkah Deidara, marah pada teman-teman sekolahnya, kesal dengan nasibnya. Dari sekian banyak, kenapa harus Konoha?

.

.

.

.

.

T.B.C

.

.

.

.

.

Ini cerita pertama saya di fandom anime. Pelis maap sekali Kanjeng Ndoro Barbie jadi nista, senista-nistanya malah. Apalah dayaku (ampun), karena pengalaman pertama jadi banyak kurangnya (jelas ampun). Terima kasih bagi yang mau memberi saran.

Oh ya, kalau tanya kenapa Ino-chan nista, jawabannya karena Ino-chan di sini mewakili seseorang/kibasponi/dan kisah ini diambil dari berbagai sumber, terutama si penulis/dor/

Kritik, saran, apalah-apalah itu saya terima. Sekalian saya mohon bimbingannya selaku penulis abal. Duh, banyak banget pasti yang perlu di koreksi. Makasih banyak yang mau mampir.

See you :*