Disclaimers: Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Masashi Kishimoto. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya.
Setting: Alternate Universe
Rating/Genre: T — Drama/Hurt/Comfort
Relationship: SasuNaru (Sasuke/Naruto), slight SasoDei (Sasori/Deidara)
Status: Chaptered
Words: 7k+ words
Peringatan: Fanfiksi ini bertema Boys Love, yang menampilkan cerita tentang hubungan antara pria dan pria. Possible Out Of Characters. DON'T LIKE DON'T READ!
Ringkasan cerita: Naruto tidak pernah menduga kalau liburan musim panasnya yang seharusnya di Hawaii, harus berubah arah ke pulau Bora-bora karena rencana tersembunyi dari kakaknya, Deidara. Pasrah dengan keadaan, Naruto akhirnya mencoba untuk menikmati liburan di pulau yang baru pertama kali diinjaknya itu. Hingga akhirnya, sang takdir mempertemukannya dengan Sasuke, yang akan membawanya ke dalam sebuah kisah cinta baru.
.
.
Chapter 1: Pertemuan Yang Menjadi Takdir
.
.
"Naruto!" Tepukan keras di pundak kanannya membuat Naruto—yang sedang melihat ke luar jendela pesawat—sontak menoleh terkejut. Kalau saja yang menepuk pundaknya itu bukan kakaknya, Deidara, umpatan kesal sudah dikeluarkannya.
"Ada apa, Niisan?" Kedua alisnya terangkat.
"Ayo turun."
"Huh? Turun?" kedua alis Naruto yang terangkat menjadi mengerut bingung. "Kita kan masih belum sampai di Hawaii. Ini masih di bandara Bora-bora."
"Maksudku," Deidara mengulurkan tangan kanannya dan menarik lengan kanan Naruto hingga berdiri, "temani aku turun dari pesawat ini. Ada seorang sahabat lamaku yang menunggu di luar. Ayo!"
"Tapi pesawat yang akan membawa kita ke Hawaii ini akan berangkat—"
"Masih ada waktu dua puluh menit sebelum pesawat ini berangkat," potong Deidara cepat. "Kita akan kembali lima menit sebelum pesawat ini take off."
Naruto mengalah. Daripada tenaganya terkuras percuma karena beradu mulut dengan kakaknya satu ini, lebih baik ia mengikuti kemauannya.
Deidara tersenyum lebar begitu adiknya akhirnya mengangguk dan berjalan lebih dulu menuju pintu pesawat. "Kau memang adik kesayanganku~" katanya, sembari meletakkan kedua tangannya di pundak Naruto. Mendorong tubuh yang beberapa senti lebih pendek darinya itu dari belakang.
Tanpa Naruto sadari, Deidara menoleh ke belakang untuk memberi sinyal pada seseorang yang sejak tadi menunggu perintahnya.
.
.
Paradise Kiss
©Jeanne-jaques San
.
.
Dari tempat duduk panjang di area bandara, Naruto menoleh pada Deidara yang sejak tadi menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi untuk mencari seseorang. Rambutnya yang berwarna kuning sepanjang punggung yang diikat ponytail bergerak-gerak mengikuti gerak tubuhnya.
"Aish! Mana sih dia? Katanya sudah ada di sini sejak tadi." Untuk kesekian kalinya Deidara mendengus sambil menghentakkan kakinya. Orang-orang yang berlalu di depan pria itu tak ayal menoleh untuk menatapnya.
"Ditelepon saja, Niisan." Naruto yang sejak tadi mendengarkan lagu dari iPod nano-nya akhirnya bersuara. Deidara berbalik dan menoleh.
"Ponselku tertinggal di pesawat, Naruto..."
Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah, ini pakai ponselku saja," tangan kanannya mengulurkan ponsel touchscreen-nya.
"Aku tidak hafal nomor telepon sahabatku itu," Deidara meringis. Naruto menepuk dahinya.
"Tinggal dua belas menit sebelum pesawat kita berangkat," Naruto memperingatkan setelah ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Akan lebih baik kalau sekarang kita kembali saja ke dalam pesawat, Niisan."
"Tunggu sebentar. Sahabatku itu pasti akan segera datang!"
"Terserahlah." Naruto mengangkat bahunya. Sambil memasang earphone di kedua telinganya lagi, sepasang matanya terus menatap punggung sang kakak yang kembali menjulurkan kepalanya ke segala arah—kali ini ditambah sambil melompat-lompat. Namun, tiba-tiba Deidara berhenti bergerak. Dia berbalik dengan wajah menahan sesuatu.
"A—duh..."
"Niisan, kau kenapa?" Naruto yang khawatir sontak berdiri—setelah melepas earphone di kedua telinganya—dan mendekati Deidara.
"Naruto..."
"Ya?"
"Aku ke toilet dulu untuk buang air kecil."
Hening.
"Aish, kupikir terjadi sesuatu padamu, Niisan." Naruto berdecak kecil.
"Kau tunggu di sini. Sahabatku itu memakai baju putih bergambar ikan hiu. Namanya Kisame. Aku segera kembali. Jadi jangan ke mana-mana dan tunggu di situuu...!" seru Deidara sambil berlari menuju toilet yang terletak lumayan jauh dari tempat Naruto berdiri.
Naruto mendengus. Kemudian kembali duduk di kursi kayu panjang sambil mendengarkan lagu dari iPod nano-nya lagi.
Volume lagu yang diputar maksimal dari iPod nano-nya membuat Naruto tidak mendengar pengeras suara di bandara yang memberitahukan pesawat yang akan membawa dia dan kakaknya ke Hawaii akan segera take off.
Sementara itu, di waktu yang sama, Deidara tampak berlari menuju tangga pesawat dengan bibir mengembangkan senyuman karena melihat sang kekasih, Sasori, sudah menunggunya di depan pintu pesawat bersama satu orang pramugari.
Pria berambut merah itu mengulurkan tangan kanannya ke arah Deidara dan langsung di raih pria itu. Kemudian keduanya berjalan menuju tempat duduk di bagian belakang.
"Kau sudah menitipkan tas-tas Naruto di pusat pemberitahuan di bandara seperti yang aku suruh?" tanya Deidara begitu keduanya telah duduk bersisian di kursi pesawat.
Sasori mengangguk sambil memasang sabuk pengaman begitu sang pramugari memberi instruksi lewat pengeras suara.
"Kau yang terbaik!" Deidara meraih wajah sang kekasih dan memberinya hadiah ciuman di bibir. "Dengan begini liburan di Hawaii nanti hanya akan dihabiskan kita berdua~"
Pesawat akhirnya lepas landas dan meninggalkan pulau Bora-bora, serta—Naruto.
.
.
'Dear Naruto... Maaf, Niisan-mu ini harus meninggalkanmu sendirian di Bora-bora. Sebenarnya liburan kali ini sudah Niisan rencanakan untuk berduaan saja dengan kekasih Niisan. Tapi karena okaasan menyuruh kita berdua pergi ke Hawaii sekaligus mengunjungi nenek kita, Niisan sudah bisa membayangkan kalau kita hanya akan terkurung di rumah nenek tanpa bisa bebas keluar. Karena itu, seminggu lagi Niisan akan menjemputmu dan kita akan pulang ke Jepang bersama. Kau tidak perlu khawatir karena Niisan sudah meminta tolong Kisame untuk menjemput dan mengantarmu ke resort. Oh ya, berbagai fasilitas yang kau mau juga bisa kau dapatkan di tempat itu (berterima kasihlah pada kekasih Niisan karena semua fasilitas selama seminggu kau akan tinggal di Bora-bora sudah dibayarnya). Jaga dirimu baik-baik~'
Begitulah isi text yang masuk di kotak pesan Naruto. Kedua matanya membelalak dengan mulut ternganga. Jadi selama seminggu dia harus tinggal sendirian di pulau yang tidak dikenalinya ini? Serius?
Dengan bahu bergetar menahan kesal, Naruto menyentuh tombol hijau di layar ponselnya, dan menempelkannya di telinga.
Dua kali. Empat kali. Sepuluh kali. Namun telepon di ujung sana tidak diangkat sama sekali oleh Deidara. Naruto tidak percaya kalau kakaknya tega sekali merencanakan hal ini. Kalau memang kakaknya itu tidak suka terkurung di rumah nenek mereka di Hawaii, Deidara dan kekasihnya kan bisa kabur setelah pesawat landing di bandara Hawaii. Dan bisa membiarkan dirinya pergi sendiri ke rumah neneknya.
Rasanya sekarang Naruto ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya. Dia benar-benar frustasi karena kakaknya tidak mengangkat teleponnya.
Saat Naruto akan menegakkan tubuhnya lagi, setelah mengambil earphone-nya yang sempat terjatuh, dia tidak menduga begitu seseorang yang berjalan melewatinya tidak sengaja—atau memang sengaja—menabrak lengannya hingga membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjerembap. Ringisan panjang keluar dari bibir Naruto begitu kedua lututnya menyentuh lantai. Tangan kirinya yang sedari tadi memegang iPod nano-nya terlepas dari genggaman dan terjatuh, hingga beberapa bagian benda itu tercecer. Rasa sakit yang dirasakan Naruto di kedua lututnya seketika menghilang begitu melihat benda pipih pemberian kekasihnya itu hancur. Dan sedetik berikutnya, Naruto langsung mengangkat wajahnya untuk melihat siapa orang (kurang ajar) yang menabraknya.
Sepasang mata Naruto langsung tertuju pada seorang pria bertubuh tinggi yang memakai kemeja putih yang di bagian punggungnya ada simbol kecil seperti kipas berwarna merah putih. Apalagi, hanya pria itu satu-satunya yang berjalan di sekitar Naruto.
"Hey, you!" teriak Naruto dengan menggunakan bahasa Inggris—karena tahu bandara ini sebagian besar dipenuhi oleh orang asing. Sambil berdiri dari tempatnya jatuh—dan meraih iPod nano-nya yang sudah hancur—Naruto mendekati pria yang lebih tinggi darinya itu, yang masih berjalan membelakanginya.
Merasa dipanggil, pria itu akhirnya berhenti melangkah dan menoleh. Setelah melihat ke sekeliling kalau tidak ada orang lain selain dirinya, tangan kanannya melepas kacamata berlensa hitam, dan menatap Naruto dengan dua alis terangkat. "What?"
Naruto tertegun. Rasanya ia pernah melihat wajah itu di majalah yang isinya orang-orang sukses yang menceritakan high life-nya, keluarganya, dan lain-lain. Kalau tidak salah namanya Uchiha Sasuke, anak kedua dari seorang CEO sebuah perusahaan dagang terkenal di Jepang.
"Hey!" Sasuke menjentikkan jarinya di depan wajah Naruto. Membuat Naruto tersadar dari lamunannya.
"Kau menghancurkan iPod nano-ku," kata Naruto setelah ingat kenapa ia memanggil pria di hadapannya. Ia menunjukkan benda pipih berwarna putih di tangan kanannya ke arah Sasuke.
Sasuke menoleh dan menatap benda itu, sebelum ia kembali menatap Naruto. "Kapan aku menghancurkan bendamu itu?"
"Kau tidak ingat tadi habis menabrakku hingga terjatuh?" raut wajah datar Naruto langsung berubah menjadi kesal. "Dan karena kau menabrakku, iPod nano-ku lepas dari genggamanku! Kau bahkan tidak menoleh dan terus berjalan."
"Oh...," bibir Sasuke membentuk huruf 'O', "lalu?"
Rasa kesal karena ditinggalkan Deidara di pulau yang tidak dikenalinya ini menjadi pemicu, dan Naruto akhirnya meledak. "Aku minta kau memperbaiki iPod nano-ku ini sekarang juga!"
"Sudah rusak parah begitu, mana bisa diperbaiki? Berapa harga benda itu?" Sasuke bersikap santai sambil merogoh saku belakangnya untuk mengambil dompetnya.
Naruto menggeram. "Aku tidak memintamu untuk membeli yang baru. Aku memintamu untuk memperbaikinya!"
Selama lima detik Sasuke menatap pria manis di depannya sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, mana benda itu?" setelah menaruh kembali dompetnya di saku belakang, Sasuke mengulurkan tangan kanannya. Begitu benda yang telah hancur itu berpindah ke tangannya, Sasuke berlalu dari hadapan Naruto. Naruto mengikuti ke mana pria itu pergi dengan alis berkerut.
Sasuke menghentikan langkahnya tepat di depan salah satu tempat sampah setinggi pahanya, kemudian ia menoleh dan menatap Naruto. "Sampah seperti ini, lebih baik dibuang saja," ucapnya sambil tersenyum—merendahkan—ke arah Naruto, dan menjatuhkan benda di tangan kanannya ke dalam tempat sampah. Naruto terperangah.
Setelah itu, Sasuke berbalik sambil memakai kacamatanya lagi, dan berjalan pergi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Darah di dalam tubuh Naruto seketika mendidih. Kemarahannya sudah sampai di atas ubun-ubunnya.
"HEI! BERHENTI KAU, UCHIHA SASUKE!"
Sasuke terkejut. Langkahnya kembali berhenti. Kenapa pria manis yang tidak dikenalinya itu bisa tahu namanya?
Saat Sasuke baru saja akan memutar tubuhnya, Naruto telah berdiri di belakangnya, dan memutar bahunya dengan kasar.
"KAU BENAR-BENAR BERENGSEK!" Tangan kanan Naruto yang terkepal kuat langsung mengincar bagian pipi kiri pria itu. Sasuke yang tidak menduga pukulan itu sontak termundur beberapa langkah ke belakang hingga akhirnya terjatuh—karena kerasnya pukulan Naruto. Kacamata yang dikenakannya juga ikut terjatuh, dan pecah di salah satu bagian lensanya.
Dengan napas terengah-engah, Naruto berusaha menghirup oksigen di sekitarnya. Sepertinya seluruh oksigen yang ada di dalam paru-parunya terserap karena satu pukulan itu. Sepasang matanya tidak menoleh sedikitpun dari Sasuke—yang jatuh terduduk di dekatnya. Sementara Sasuke, tampak memegang bekas pukulan Naruto sambil meringis kesakitan. Baru kali ini ada seseorang yang memukulnya seperti ini. Beruntung area bandara mulai sepi hingga keduanya tidak jadi tontonan.
"Jangan mentang-mentang kau dari keluarga orang kaya yang bergelimpangan harta jadi bisa seenaknya menyelesaikan semuanya dengan uang! Apa kau tahu seberapa pentingnya bendaku yang kau buang di tempat sampah itu? Bagaimana kalau misalnya benda pentingmu juga dibuang ke tempat sampah? Apa kau tidak akan marah, huh?" Dalam satu tarikan napas Naruto mengeluarkan seluruh kemarahannya. Sasuke yang bisa membaca situasi berusaha untuk tidak terpancing, dan memilih diam menatap sosok yang berdiri di hadapannya.
Setelah menarik napas panjang, Naruto berbalik, dan berhenti di tempat sampah tadi. Membungkuk untuk mengambil iPod nano-nya yang dibuang oleh Sasuke di tempat sampah itu. Lalu tanpa menoleh lagi, Naruto berlalu pergi dengan ekspresi yang menunjukkan ia masih marah. Meninggalkan Sasuke yang terus menatap punggungnya hingga menghilang dari pandangan.
.
.
Keheningan tercipta di dalam mobil yang dikemudikan Kisame. Setelah mendapat telepon—dan juga permintaan—dari sahabat lamanya, Deidara, pria berkewarganegaraan asli Jepang yang sudah tiga tahun lebih tinggal di Bora-bora itu langsung menuju bandara.
Selepas ke luar dari bandara, Kisame berusaha mengajak bicara Naruto yang hanya menjawab secukupnya. Melihat pria yang lebih muda beberapa tahun darinya itu seperti menahan marah, Kisame memilih tidak bersuara lagi. Pasti adiknya Deidara ini marah karena ditinggalkan sendirian di pulau Bora-bora ini, begitu pikirnya.
Setelah menempuh perjalanan tidak sampai setengah jam, akhirnya mobil Kisame berhenti di area tempat parkir sebuah resort. "Kita sudah sampai," katanya begitu menoleh ke arah Naruto. Keduanya lalu berjalan beriringan tanpa bicara apa-apa.
Salah satu teman pria Kisame—yang bekerja sebagai salah satu pengurus resort—yang telah menunggu sejak tadi di atas jembatan kayu yang menghubungkan semua bungalow, tersenyum sambil melambaikan satu tangannya ke arah Kisame. Kemudian ketiganya berjalan menuju bungalow yang telah dipesan oleh Sasori untuk Naruto.
Raut wajah Naruto yang terlihat marah sejak dari bandara tadi perlahan berubah begitu melihat laut biru bening yang terhampar di sepanjang matanya melihat. Bungalow-bungalow yang dirancang dengan sangat unik—sesuai dengan rumah adat masyarakat Polinesia—juga menarik perhatiannya karena atap bungalow-bungalow itu tersusun dari daun palma, hingga membuatnya terasa menyatu dengan alam.
"Kepulauan Bora-bora ini merupakan salah satu tujuan objek wisata dunia," Naruto menoleh pada pria yang berjalan di tenga-tengah antara dia dan Kisame—yang sejak tadi menjelaskan sejarah dan keindahan pulau Bora-bora. Merasa tertarik, Naruto akhirnya mendengarkan dengan seksama. "Di tengah pulau ini terdapat dua gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi yaitu Gunung Pahia dan Gunung Otemanu," pria itu menunjuk gunung yang dimaksud secara bergiliran. "Di pulau ini ombaknya juga sangat bersahabat dan tenang."
Ketiganya akhirnya sampai di salah satu bungalow di paling ujung dengan tiga bungalow di sekitarnya.
Teman Kisame menjelaskan fasilitas yang disediakan resort pada Naruto, sebelum akhirnya dia pamit pergi lebih dulu karena masih ada pekerjaan lain yang menunggunya.
"Aku juga akan pamit pulang, Naruto," Kisame akhirnya bersuara sambil meletakkan tas Naruto yang dibawanya sejak turun dari mobil di samping tempat tidur. "Kalau kau ada perlu sesuatu, bisa meneleponku atau temanku tadi."
Naruto mengangguk. "Arigatou, Kisame Niisan. Maaf, karena di bandara tadi aku habis mendapat kejadian tidak terduga. Makanya saat kau mengajak bicara di mobil tadi aku tidak terlalu menanggapimu."
Kisame tersenyum. "Tidak apa-apa. Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Bye!"
Naruto kembali mengangguk dan mengikuti punggung pria itu hingga menghilang dari pandangannya.
Setelah menutup pintu bungalow-nya, Naruto berjalan menuju tempat tidur, dan menghempaskan tubuhnya. Perjalanan lewat udara dari Jepang hingga ia ditinggalkan di pulau Bora-bora ini oleh Deidara membuatnya baru merasakan kelelahan, dan Naruto akhirnya tertidur.
.
.
Pancaran sinar oranye dari matahari tenggelam yang menembus kaca balkon membuat Naruto akhirnya terbangun. Dia bergerak bangun dari posisi tidurnya sambil meregangkan otot tubuhnya yang kaku karena tidur siang, sebelum akhirnya bergerak turun, dan menuju balkon.
Sepasang matanya menatap kagum ciptaan Tuhan yang sudah hampir menghilang di ufuk barat sana. Teringat sesuatu, Naruto menjauh dari pagar pembatas balkon, dan berjalan masuk kembali untuk meraih tas ranselnya. Mengeluarkan kamera tipe Canon Eos 650D miliknya—hadiah ulang tahun ke-22 dari sang ibu yang selalu memanjakannya.
Dengan segera Naruto mengambil foto matahari tenggelam itu dari beberapa angle. Dia tersenyum puas begitu melihat hasil shoot-nya di layar kameranya.
Sepasang mata Naruto kembali menyapu sekelilingnya. Rasanya dia tidak pernah bosan menatap semua hal yang bisa dilihatnya. Tempat ini benar-benar menakjubkan. Karena sanggup membuat rasa kesalnya pada Deidara menguap hilang. Seandainya kekasihnya yang ada di Jepang juga di tempat ini. Pasti mereka bisa menghabiskan waktu berdua di tempat yang seperti surga dunia ini.
Langit akhirnya berubah menjadi gelap. Naruto memilih untuk masuk kembali ke kamarnya dan menutup pintu balkon. Setelah menyalakan lampu, dia meraih ponselnya untuk menelepon sang kekasih, namun nomor yang dia telepon tidak aktif. Apa dia masih marah ya? Naruto bertanya dalam hati.
Selama beberapa menit Naruto berkutat mengetik text untuk kekasihnya, hingga perutnya—yang sejak siang tadi memang tidak memakan apa-apa—menjerit minta diisi. Naruto berdiri dari pinggiran tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu, meraih jaket hoodie tanpa lengannya, kemudian berjalan keluar.
.
.
Restoran yang Naruto masuki terlihat ramai dengan para turis. Setelah mengambil makanan yang sudah disediakan di atas meja panjang, Naruto berjalan menuju salah satu meja makan kosong yang terletak di bagian sudut dan mulai menyantap makanan di piringnya.
Dan sang takdir kembali mempertemukan keduanya...
Sasuke yang baru melangkah masuk ke dalam restoran langsung mengedarkan pandangannya untuk mencari meja makan yang diinginkannya. Sesaat begitu sepasang matanya melihat sosok pria manis—yang sudah memukulnya tadi di bandara—membuat Sasuke tercenung. Lalu tiba-tiba bibirnya menyeringai.
"Ambilkan satu gelas jus orange untukku," perintahnya pada seorang pria bersetelan jas hitam yang berdiri di sampingnya, yang bertugas sebagai pengawalnya. Pria itu mengangguk dan berlalu. Tak lama kemudian pria itu sudah kembali dengan satu gelas jus orange di tangannya. "Ambilkan salad dan daging juga untukku," kata Sasuke, sembari berlalu. Pria bersetelan jas hitam itu kembali mengangguk, dan kembali berjalan mengambil makanan yang diminta tuan mudanya.
Dengan langkah tenang Sasuke berjalan menuju meja makan di mana Naruto duduk. Naruto tidak menyadari kehadiran Sasuke, karena sedang berkonsentrasi memotong daging bakar di piringnya. Dan tepat satu meter sebelum mencapai meja makan pria manis itu, Sasuke pura-pura terantuk kakinya sendiri, hingga tangan kanannya yang memegang gelas berisi jus orange langsung diarahkannya ke bagian depan baju Naruto.
Naruto tersentak dan seketika berdiri. Baju hitam yang dipakainya basah di bagian depan dengan cairan berwarna oranye—yang dari aromanya bisa dia cium kalau itu jus orange. Tangan kanan Naruto langsung menyambar serbet di atas meja untuk membersihkan baju bagian depannya yang basah.
" Sorry..." Sontak gerakan tangan Naruto berhenti dan ia mengangkat wajahnya karena mendengar suara yang sudah tidak familiar itu lagi. Sasuke tersenyum angkuh dengan satu alis terangkat. "Aku memang sengaja menumpahkannya di bajumu."
"Kau—" desis Naruto. "Berengsek!" Dengan gerakan tiba-tiba, Naruto menghampiri Sasuke, bersiap melayangkan pukulannya lagi. Namun dengan cepat pria bersetelan jas hitam yang baru datang membawakan makanan yang diminta Sasuke tadi langsung menahan tangannya yang sudah terkepal di udara, dan mencekalnya di belakang punggung.
Semua mata yang ada di restoran itu sontak menatap ke arah mereka. Sasuke yang menyadari hal itu lebih dulu langsung memerintahkan salah satu anak buah ayahnya itu. "Usir dia keluar. Aku akan kehilangan selera makan jika melihat wajahnya di dalam restoran ini." Dengan gerakan dagu, Sasuke menunjuk pintu. Sang pengawal langsung mengangguk patuh, dan menyeret Naruto tanpa banyak bicara.
"Hei! Hei! Lepaskan aku!" Naruto meronta-ronta agar bisa lepas. Namun sayang, pria bersetelan jas hitam itu memiliki tenaga yang lebih besar dari Naruto.
"Jangan biarkan dia masuk ke dalam lagi. Dia telah membuat kegaduhan," kata pria bersetelan jas hitam itu pada dua security yang berdiri di samping pintu masuk restoran setelah dia mendorong Naruto keluar.
Mendengar hal itu, kedua tangan Naruto yang terkepal di kedua sisi tubuhnya mengepal keras. Membuat kegaduhan? Apa dia tidak salah dengar? Bukannya si Uchiha berengsek itu yang lebih dulu cari gara-gara dengannya?
Sebelum berbalik pergi dari tempat itu, Naruto memberikan pandangan sengit pada pengawal Sasuke tersebut.
"Sialan!" maki Naruto untuk yang kesekian kalinya. Uchiha Sasuke benar-benar perusak mood-nya yang baru saja kembali membaik. Ingin sekali dia menghajar muka itu hingga lebih lebam dari 'hadiah' yang diberikannya di pipi kiri pria itu.
Dengan kaki menghentak-hentak, Naruto berjalan di atas jembatan kayu yang menuju bungalow-nya. Tapi tiba-tiba hentakan kakinya berhenti karena perutnya yang kembali berbunyi. Naruto segera mendekati pagar jembatan terdekat dengan satu tangannya yang memegang perutnya.
"Aku masih lapar..." keluhnya pelan. "Karena Uchiha berengsek itu aku hanya memakan setengah makananku di restoran tadi. Ugh..."
Naruto menarik napas panjang dan berbalik. Mungkin di luar resort ini ada tempat makan, katanya dalam hati.
.
.
Dengan langkah-langkah ringan, Naruto berjalan menuju area resort yang hampir sejam lebih ditinggalkannya untuk mencari tempat makan di luar. Perutnya sudah terisi kenyang. Satu tangannya yang memegang tas plastik—yang berisi snack—terayun mengikuti gerak tubuhnya. Senyum lebar terus mengembang di wajah manisnya setelah keluar dari tempat makan yang dimasukinya tadi. Naruto sudah memutuskan kalau mulai besok dia akan makan di tempat makan itu lagi. Meski tempat makan itu tidak besar, dia bisa mendapat ketenangan, dan keramahan pemiliknya.
Tiba-tiba langkah kaki Naruto berhenti. Senyum lebarnya juga ikut menghilang. Sosok yang sangat dibencinya—begitu tiba di pulau ini—duduk di dekat pantai dengan satu tangan menopang tubuhnya, sementara satu tangan yang lain sibuk dengan ponselnya.
Sepasang mata Sasuke yang sejak tadi terfokus di layar ponselnya tidak menyadari kehadiran Naruto yang berdiri lima meter dari tempatnya. Sepertinya dia sedang asyik chatting dengan teman-temannya di Jepang.
Naruto yang berniat mengambil jalan putar—agar tidak bertemu lagi dengan pria menyebalkan itu—tiba-tiba mematung karena sebuah ide yang terlintas di otaknya. Dengan bibir menyeringai, Naruto berbalik menuju pos security yang terletak di depan gerbang resort. Tapi sebelum dia mencapai tempat itu, Naruto membuat tubuhnya berantakan seolah dia habis dihajar seseorang. Rambut kuning berponinya dibuat acak-acakan, bajunya dibuat kusut dan robek di bagian tertentu. Setelah semua itu selesai, Naruto berjalan tertatih-tatih ke arah pos security.
Salah satu security yang lebih dulu melihat ke arah Naruto, segera berdiri dari tempat duduknya, dan menghampiri pria manis itu. Menanyakan kenapa pria manis itu bisa dalam kondisi nyaris mengenaskan seperti itu. Naruto—dengan cerita kebohongan yang diciptakannya—segera menjelaskan keadaannya. Satu security lain juga menghampiri Naruto dan menatap khawatir sambil mendengarkan penjelasan Naruto. Kedua security itu akhirnya mengikuti Naruto untuk mencari orang yang telah memberikan kekerasan pada pria manis itu.
"Itu orangnya. Dia langsung tiba-tiba menghajarku begitu aku hanya bertanya di mana letak restoran resort ini," Naruto menunjuk sosok Sasuke—yang masih sibuk dengan ponselnya—begitu dia dan kedua security itu telah sampai.
Kedua security itu saling pandang, kemudian mengangguk. Dan berjalan menuju ke arah Sasuke. Dengan tiba-tiba keduanya menahan kedua lengan Sasuke di sisi kiri dan kanan, dan menariknya hingga berdiri.
"Hei! Apa-apaan ini?" Terkejut, Sasuke mencoba melepaskan diri.
"Lebih baik Anda menjelaskan semuanya di pos nanti," kata salah satu security yang berbadan tinggi besar dan kekar. Kedua alis Sasuke mengernyit.
"Apa? Menjelaskan semuanya di pos? Memang apa yang kulakukan?" tanyanya bingung.
"Kami mendapat laporan dari pria di sana bahwa Anda telah menghajarnya." Salah satu security langsung menjawab pertanyaan Sasuke sambil menunjuk ke arah Naruto yang berdiri lumayan jauh dari mereka.
Sasuke menoleh dan menatap pria yang dimaksud. Seketika kedua matanya membelalak begitu melihat Naruto. "Kau—!"
Naruto yang melihat reaksi Sasuke termundur beberapa langkah ke belakang sambil memeluk tubuhnya sendiri. Ekspresi wajahnya dibuat ketakutan.
"Hei! Lepaskan! Dia telah menghasut kalian berdua dengan cerita bohongannya! Aku tidak pernah memukulnya!" Sasuke berteriak sambil meronta-ronta begitu akhirnya sadar bahwa Naruto telah menceritakan kebohongan pada dua security yang menahannya di kedua sisi tubuhnya. Sayangnya, kedua security—yang telah termakan kebohongan cerita Naruto—tidak percaya dengan Sasuke dan terus menyeretnya pergi.
Sasuke akhirnya berhenti meronta. Kepalanya dia tolehkan ke belakang untuk melihat Naruto. Naruto yang juga belum melepas pandangannya dari sosok Sasuke kontan menjulurkan lidahnya ke arah pria itu, lalu dengan jari telunjuknya dia memalingkan wajahnya dari sepasang mata tajam itu. Dan berjalan dengan bibir tersenyum penuh kemenangan.
Kedua bahu Sasuke bergetar dengan rahang mengatup keras. "Dia itu...!"
.
.
Hari pertama liburan di pulau yang baru pertama kali ini diinjaknya, dimulai Naruto dengan menyusuri semua tempat di resort. Dengan kamera yang tergantung di lehernya, sesekali Naruto berhenti untuk mengambil foto dari tempat-tempat indah yang tersaji. Hingga matahari sudah sejajar di atas kepalanya, Naruto akhirnya berhenti dengan hobby fotografernya untuk mengisi perutnya.
Naruto kembali pergi ke tempat makan yang semalam dimasukinya. Di siang hari, ternyata pengunjung di tempat makan itu sangat banyak. Naruto sampai harus meminta izin untuk bisa duduk di salah satu meja makan yang masih tersisa satu kursi kosong. Untungnya para pengunjung terlihat bersahabat, dan Naruto tidak perlu khawatir karena setelah itu dia sudah ikut membaur dalam pembicaraan di meja makan yang didudukinya.
Setelah dua jam lebih berada di tempat makan itu, Naruto akhirnya berjalan kembali menuju resort. Bunyi mesin dari arah laut membuat dia menoleh. Dari tempatnya berdiri, Naruto bisa melihat salah seorang turis tengah mengendarai jet sky, dan hal itu langsung membuat Naruto jadi ingin mencobanya juga. Segera saja Naruto menuju tempat penyediaan jet sky yang terletak di ujung resort. Begitu sampai di tempat itu, Naruto segera dilayani, dan diarahkan ke salah satu jet sky yang tersisa.
Meski Naruto sudah pernah mengendarai kendaraan laut itu saat di Hawaii dulu, Naruto tetap mendengar instruksi yang dijelaskan.
Kendaraan yang khusus hanya bergerak di air itu akhirnya melaju begitu Naruto menarik gas tangan. Merasa ingin memacu adrenalinnya, Naruto membawa jet sky-nya semakin jauh. Seruan senang keluar dari mulutnya tanpa jeda begitu jet sky yang dibawanya dia pacu di atas kecepatan yang diinginkannya, hingga tiba-tiba sebuah speed boat berwarna putih yang melaju dari arah belakang nyaris menyambarnya, dan akhirnya membuat Naruto terlempar dari jet sky-nya—karena ombak yang tercipta dari bagian bawah kapal itu.
Kapal yang berukuran beberapa kali lipat dari jet sky Naruto itu berhenti. Dan Naruto yang baru muncul di permukaan air sontak mendongak untuk melihat siapa yang berada di atas kapal itu.
Di palang besi kapal itu, Uchiha Sasuke berdiri bersandar dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. Senyuman angkuh penuh kemenangan terukir di bibirnya.
"Kau benar-benar berengsek!" Naruto berseru dengan jari telunjuknya yang mengarah pada Sasuke.
Sasuke mendengus, hampir tertawa. "Kau beruntung aku tidak menyuruh pengawalku menabrak jet sky yang kau naiki itu," katanya sambil menunjuk kendaraan air yang terletak tidak jauh dari Naruto dengan dagunya. "Ini pembalasan karena semalam kau telah membuat aku ditahan di pos security." Dan setelah mengatakan hal itu, Sasuke berlalu, menyuruh pengawalnya untuk kembali menjalankan kapal.
Naruto menatap speed boat yang mulai menjauh itu dengan kesal. Uchiha berengsek itu, awas saja dia nanti! Rutuknya dalam hati.
Begitu Naruto akan berenang menuju jet sky-nya, tiba-tiba kedua kakinya menjadi kram, tidak bisa digerakkan. Kedua mata Naruto membelalak, segera saja dia menggapai-gapai permukaan air dengan kedua tangannya.
Bagaimana ini? Bagaimana ini? Naruto menjerit panik dalam hati. Tubuhnya perlahan-lahan mulai tenggelam. Air laut akhirnya tertelan olehnya begitu oksigen di dalam paru-parunya telah menipis. Lima menit berikutnya dihabiskan Naruto dengan menggapai permukaan dengan sia-sia, hingga akhirnya pandangannya menjadi gelap.
Sementara itu, Sasuke yang hendak duduk di kursi santainya lagi, tanpa sadar menoleh ke belakang untuk melihat Naruto. Kedua alisnya mengernyit begitu hanya melihat jet sky Naruto. Di mana dia? Sasuke bertanya dalam hati. Kenapa dia jadi merasa cemas pada pria manis itu?
"Hei! Cepat berbalik ke tempat tadi!" seru Sasuke pada pengawalnya yang membawa kapal. Dengan patuh pengawal itu memutar speed boat yang dikendarainya ke tempat yang dimaksud tuan mudanya. Lima menit kemudian, speed boat Sasuke telah sampai di dekat jet sky Naruto.
"Ke mana dia? Apa dia sudah berenang ke tepian dan meninggalkan jet sky-nya?" Sasuke bertanya entah pada siapa sambil melihat ke bawah.
"Butuh waktu setengah jam jika pria itu memilih berenang ke tepi dari tempat ini, Tuan Muda." Pengawal Sasuke akhirnya bersuara. Pasalnya tempat mereka berada sekarang sudah berada di bagian laut dalam yang lumayan jauh dari tepi pantai.
Seluruh tubuh Sasuke seolah tersengat listrik begitu telinganya seperti mendengar bisikan, "Mungkin saja pria manis itu tenggelam", yang langsung membuat Sasuke melompat ke bawah, setelah dia melepas kemeja biru mudanya, menyisakan singlet putih dan celana putih sebatas lutut yang dipakainya.
Dengan sedikit panik, Sasuke mengedarkan pandangannya di dalam lautan. Sesaat Sasuke mematung begitu melihat sosok Naruto yang terus menuju dasar lautan dengan kondisi tak sadarkan diri. Dengan keahlian renangnya—yang tidak diragukan lagi—Sasuke langsung menuju ke arah Naruto, dalam hati berdoa agar pria manis itu masih hidup. Dan saat Sasuke berhasil meraih tubuh itu, rasa bersalah Sasuke langsung menjadi-jadi begitu melihat wajah pucat Naruto. Sasuke langsung melingkarkan salah satu lengannya di pinggang Naruto, dan berenang ke permukaan.
Sesampainya di permukaan, Sasuke langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kemudian dia berenang menuju tangga yang tergantung di badan kapal, menaikinya susah payah karena tubuh Naruto yang dia topang di salah satu bahunya. Pengawalnya yang sejak tadi berdiri di ujung tangga, langsung sigap meraih tubuh Naruto, dan meletakkannya di lantai kapal.
"Denyutnya semakin melemah. Sepertinya dia menelan air laut sangat banyak," kata pengawal itu setelah memeriksa keadaan Naruto. Kedua tangannya langsung memompa dada Naruto, berusaha mengeluarkan air yang tertelan oleh pria manis itu.
"Cepat kemudikan speed boat ini ke tepian," Sasuke telah duduk bersimpuh di samping Naruto, "biar aku saja yang melakukannya."
Pengawal itu mengangguk patuh dan berlari menuju kemudi kapal. Selepas kepergiaan pengawalnya, Sasuke segera memompa dada Naruto dengan raut wajahnya yang terlihat sangat khawatir. Berulang-ulang kali dia memompa, namun air yang keluar dari mulut Naruto hanya sedikit.
"Sial!" Sasuke merutuk pelan. Tidak ada cara lain selain memberikan pertolongan dengan 'cara itu'. Direndahkan wajahnya dan meniupkan udara ke dalam mulut Naruto, kemudian memompa dadanya. Lalu meniupkan udara ke dalam mulut pria manis itu lagi, dan kembali memompa dada itu lagi. Berkali-kali. Hingga beberapa menit kemudian, Naruto akhirnya mengeluarkan air yang ditelannya sambil terbatuk-batuk. Sasuke menarik napas lega.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sasuke pelan, nyaris berbisik.
Naruto yang setengah tidak sadar mengangguk lemah, lalu kembali tak sadarkan diri karena kepalanya yang terasa berat.
.
.
Kedua kelopak mata itu pelan-pelan akhirnya terbuka. Selama beberapa detik Naruto menatap langit-langit kamar sambil berusaha mengumpulkan kesadarannya, sebelum dia bergerak bangun dari posisi tidurnya, dan memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
"Akhirnya kau sadar juga."
Naruto nyaris terlonjak begitu mendengar suara yang dikenalinya. Segera ditolehkan kepalanya ke sumber suara dan terpana begitu melihat sosok Sasuke yang duduk di sofa. Naruto mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan dan kembali menatap Sasuke.
"Apa yang kau lakukan di kamarku, huh?" tanyanya dengan kedua mata menyipit. Sasuke berdiri dari sofa yang sejak tadi didudukinya dan mendekati Naruto.
"Tentu saja menunggu kau sadar, Dobe."
"'Dobe'?" kedua mata Naruto yang menyipit menjadi membulat. "Hei! Namaku bukan 'Dobe'!"
"Aku tidak tahu namamu, makanya kupanggil begitu." Sasuke mengedikkan bahunya santai.
"Keluar dari kamarku!" Jari telunjuk Naruto sontak menunjuk pintu.
"Mana ucapan terima kasihmu? Jika aku tidak menolongmu saat tenggelam tadi pasti sekarang kau sudah berada di dalam perut ikan-ikan, atau mungkin jadi salah satu mayat yang menghiasi terumbu karang di pulau Bora-bora ini," ujar Sasuke, sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
Naruto menarik napas tercekat. Terkejut. "Kau bilang apa tadi? Kau yang menolongku saat tenggelam tadi?" Sasuke mengangguk sekilas. "Unbelievable..." ketus Naruto sambil memutar kedua bola matanya. "Keluar. Keluar dari kamarku!"
"Tch, harusnya tadi kubiarkan saja kau tenggelam," decak Sasuke sambil berjalan menuju pintu. Urat berbentuk pertigaan seketika terbentuk di dahi Naruto.
Dengan tiba-tiba Naruto melompat dari atas tempat tidurnya, menyambar salah satu lengan Sasuke, dan mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya itu keluar dari bungalow-nya. Sasuke nyaris terjerembap kalau saja dia tidak meraih pagar jembatan.
"Kasar sekali kau!" Sasuke berbalik dan langsung membentak.
"Hanya padamu!" Naruto balas membentak dan menutup pintu bungalow-nya dengan suara 'BLAM!' keras. Sasuke mendengus dan kembali berbalik. Menuju bungalow-nya yang ternyata bersebelahan dengan bungalow Naruto.
Begitu sampai di kamarnya, Sasuke langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Menopang kepalanya dengan kedua tangannya yang terlipat di belakang kepala.
Kejadian saat dia memberi napas buatan pada Naruto tadi kembali terlintas di pikirannya. Tanpa sadar Sasuke meraba bibirnya. Baru kali itu dia merasakan lembutnya bibir seseorang. Padahal sudah tidak terhitung lagi berapa kali dia merasakan bibir-bibir para wanita di salah satu klub malam yang biasa didatanginya di Jepang.
Wajah manis itu langsung membuat Sasuke tertegun saat pertama kali bertemu di bandara Bora-bora. Tapi entah kenapa Sasuke tidak merasa kecewa begitu sadar tidak ada tonjolan di bagian dada yang menandakan Naruto adalah wanita. Tubuh itu... pasti tidak kalah luar biasa dari milik wanita.
Satu lagi. Sasuke jadi ingin merasakan bibir itu lagi...
.
.
Matahari pagi yang baru saja muncul di ufuk timur langsung membuat niat Naruto untuk berenang menjadi mengebu-ebu. Setengah jam lalu saat dia terbangun, ikan-ikan, dan terumbu karang yang terlihat jelas dari lantai kamar—yang terbuat dari kaca—langsung membuat Naruto menatap kagum. Rasanya dia juga ingin ikut berenang bersama dengan ikan-ikan itu.
Dan di sinilah Naruto sekarang. Setelah menuruni tangga bungalow-nya, dia langsung mendapati pegangan besi seperti yang selalu dilihatnya di kolam renang.
Setelah memakai kacamata renang, dan hanya memakai singlet hitam serta celana pendek sebatas lutus berwarna cream muda, Naruto sudah membungkuk, dan bersiap melompat untuk berenang. Hingga suara Sasuke menginterupsinya, dan membuatnya jatuh dengan tidak indahnya.
"Jangan sampai tenggelam lagi, Dobe. Karena aku tidak akan menolongmu lagi."
"HUWAAA...!" suara teriakan Naruto yang terkejut dan berikutnya suara 'BYUR!' keras. Naruto langsung menoleh ke sumber suara setelah kepalanya muncul di permukaan air. "HEI!" bentaknya kesal begitu dilihatnya Sasuke tengah tertawa tanpa suara setelah melihat aksi jatuhnya yang sangat 'tidak indah' tadi. "Tidak lucu!" dengus Naruto, kemudian dia berbalik untuk berenang ke tempat di mana dia tidak akan melihat wajah menyebalkan Sasuke. Dalam hati Naruto bertanya, kenapa Uchiha berengsek itu bisa menempati bungalow di samping bungalow-nya?
Sasuke yang sudah berhenti tertawa, kembali menuju meja dan kursi di balkon bungalow-nya untuk menikmati sarapan paginya. Sesekali dia kembali terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya begitu mengingat aksi jatuh Naruto tadi.
Sementara Naruto, setelah melupakan kejadian memalukan tadi, disusurinya pantai di sekitar bungalow-bungalow dengan berbagai gaya renang yang dipelajarinya saat dia masih bersekolah dulu. Dan setengah jam kemudian, begitu perutnya berbunyi minta diisi, Naruto akhirnya mendekati tangga bungalow-nya. Bersiap-siap untuk sarapan pagi ke tempat makan—yang sudah dua hari dikunjunginya. Namun saat Naruto hendak berjalan menuju pintu, sesuatu yang tertangkap ekor matanya membuat langkahnya berhenti. Naruto menoleh dan mendapati sarapan yang telah tersedia di atas meja. Didekatinya meja itu dengan kedua alis mengerut bingung.
Siapa yang membawa sarapan ini? Apa para pengurus bungalow? Perasaan tadi dia tidak menelepon mereka untuk mengantar sarapan resort ini? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Naruto. Tapi segera menghilang bersamaan dengan bunyi perutnya. Akhirnya Naruto memilih untuk memakan sarapan yang telah tersedia itu. Daripada mubazir, pikirnya sambil mengunyah makanan yang disuapkan ke dalam mulutnya. Sebenarnya, kalau Naruto memperhatikan dengan baik ke luar jendela bungalow-nya, dia bisa mendapati sosok Sasuke yang tengah tersenyum kecil sambil memperhatikannya dari seberang jendela bungalow-nya.
.
.
Kalau kemarin Naruto mengabadikan pemandangan di sekitar resort dengan kameranya tanpa ada objek. Sekarang giliran dia berfoto dengan panorama alam sebagai latar belakangnya. Jarang-jarang dia bisa sampai di pulau yang seperti surga ini.
Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan jam dua belas lewat ,dan menandakan sudah waktunya dia makan siang, Naruto menyudahi acara berfoto solonya. Dia akan kembali melanjutkan kegiatan berfotonya setelah makan siang nanti.
Sambil memakai topi jerami yang sejak tadi tergantung di belakang punggungnya, Naruto berjalan menuju pintu keluar resort. Namun tiba-tiba tangisan anak kecil menghentikan langkahnya. Naruto mengikuti ke mana asal suara tangisan itu, dan akhirnya mendapati seorang anak perempuan—yang kira-kira berusia enam tahun—duduk di bawah pohon kelapa sambil menangis. Rambut hitam anak kecil itu terurai indah sebatas punggungnya dan mata hitamnya terlihat sembap karena menangis. Apa anak ini terpisah dari keluarganya saat bermain? Naruto bertanya dalam hati.
Merasa kasihan, didekatinya anak perempuan itu, dan berjongkok agar bisa berbicara dengan nyaman. Anak kecil itu terus menangis dan bergeming meski Naruto sudah membujuknya untuk pergi ke receptionist—agar bisa menemukan keluarganya. Naruto yang pada dasarnya tidak bisa menenangkan atau pun membujuk anak kecil yang sedang menangis, nyaris putus asa dan berniat untuk pergi mencari bantuan lewat security.
"Ternyata kau itu tidak pandang bulu ya kalau mengasari orang. Anak kecil pun kau buat menangis." Entah sejak kapan Sasuke tiba-tiba sudah berdiri di samping Naruto sambil menggeleng-geleng.
Terkejut. Naruto menoleh dan mendongak. Kedua matanya langsung memandang sengit. "Jangan asal menuduh! Aku tidak membuat anak kecil ini menangis!" serunya, sembari berdiri.
"Lalu kenapa anak kecil itu bisa menangis? Anak kecil tidak akan menangis kalau tidak ada seseorang yang membuatnya terluka. Dan hanya kau bersama dia di tempat ini." Sasuke terus menuduh Naruto—yang jelas-jelas tidak melakukan apa-apa.
Merasa kalau dirinya akan terus dituduh, Naruto akhirnya mengalah, "Iya, aku yang membuat anak kecil ini menangis! Kau puas, huh?" Dengan raut wajah kesal, Naruto akhirnya berlalu meninggalkan Sasuke dengan langkah menghentak-hentak.
Sasuke terus mengikuti punggung itu hingga menghilang dari pandangannya. Kemudian dia menoleh dan menatap anak kecil di bawahnya yang sudah berhenti menangis. "Ayo, Kakak temani kamu mencari ayah dan ibumu." Sasuke mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum hangat.
Anak kecil itu terdiam sesaat menatap tangan Sasuke, sebelum dia meraihnya sambil mengangguk.
"Oniisan yang pergi tadi tidak membuat Rika menangis," kata anak kecil itu begitu Sasuke berjalan sambil mengandeng satu tangannya. Sasuke menoleh. "Rika terus menangis karena masih marah sama okaasan."
Sasuke mengangguk-angguk. Akhirnya mengerti situasi. "Jangan menangis lagi, ya? Kakak pasti akan menemukan kedua orangtua, Rika-chan."
Anak kecil itu tersenyum. "Arigatou, Oniisan."
.
.
Sambil mengetik text pada Deidara, Naruto menyuapkan dessert yang dipesannya tadi ke dalam mulut. Jika memikirkan masih ada waktu lima hari lagi sebelum dia dijemput kakaknya untuk pulang bersama ke Jepang, Naruto bisa jadi gila. Serius.
Ini karena Uchiha berengsek itu yang selalu muncul dan merusak mood-nya. Kalau saja pria itu tidak ada di pulau ini, Naruto pasti betah berlama-lama di pulau ini. Maka dari itu, lebih baik sekarang dia mengabari kakaknya agar segera menjemputnya, atau dia sendiri yang akan pulang ke Jepang dan membeberkan rencana Deidara—yang hanya ingin berlibur berdua dengan kekasihnya itu—pada kedua orangtua mereka.
"Kau kenapa sih? Bukannya pulau Bora-bora itu sangat indah? Kenapa buru-buru mau pulang ke Jepang?" Deidara akhirnya langsung menghubungi Naruto dan membombardirnya dengan pertanyaan.
"Pokoknya...," Naruto berhenti sejenak untuk menelan potongan buah di dalam mulutnya, "aku tidak mau tahu. Besok Niisan harus ke sini menjemputku pulang, atau aku sendiri yang akan pulang ke Jepang, dan memberitahu semuanya pada otousan dan okaasan," ancamnya.
"Hei! Hei! Kalau kau melakukan itu, aku tidak akan mengizinkan kekasihmu itu menginjak rumah kita lagi!" Deidara balas mengancam di seberang telepon.
"Otousan dan okaasan saja tidak pernah melarang kekasihku ke rumah. Kenapa Niisan malah melarang?"
"Memangnya kenapa? Aku juga punya kuasa untuk melarang pria itu datang ke rumah."
Naruto mendengus begitu membayangkan di seberang sana Deidara pasti tengah menjulurkan lidahnya. "Niisan diktator! Jika besok Niisan tidak menjemputku kemari, aku serius akan langsung pulang ke Jepang!" katanya, lalu memutus pembicaraan secara sepihak. Naruto lalu mematikan teleponnya agar Deidara tidak bisa menghubunginya. Pembalasan karena beberapa waktu yang lalu telepon darinya tidak diangkat-angkat.
Setelah meletakkan ponselnya di atas meja, Naruto kembali menyuapkan potongan-potongan buah di piringnya ke dalam mulut.
"Boleh aku duduk di sini?" Tanpa menunggu jawaban, Sasuke tiba-tiba duduk di kursi seberang meja, berhadapan dengan Naruto. Naruto yang tidak menduga kedatangan 'perusak mood'-nya langsung tersedak karena terkejut. Sasuke sontak berdiri dan menepuk-nepuk punggung Naruto, kemudian mengulurkan air pada pria manis itu.
"Kau—" Naruto memandang sengit setelah pulih dari acara tersedaknya. "Kau pasti sengaja ingin membuat aku mati tersedak, kan?"
"Kenapa kau berpikiran begitu?" kedua alis Sasuke mengerut. Nyaris terpancing kalau saja dia tidak ingat kedatangannya ke sini untuk berdamai dengan Naruto. "Ah, maaf. Aku tidak ada maksud untuk membuat kau terkejut hingga tersedak seperti itu," ujarnya, sembari duduk berhadapan kembali dengan Naruto.
"Siapa yang mengizinkanmu duduk semeja denganku? Banyak meja kosong di tempat makan ini. Sana pindah!" usir Naruto dengan wajah kesal.
Sasuke menarik napas panjang. "Aku kemari untuk minta maaf dan berdamai denganmu. Apa tindakanku salah?"
"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kau ingin berdamai denganku?" kedua alis Naruto terangkat tinggi-tinggi. Sasuke mengangguk. "Bahkan meski kiamat datang pun aku tidak akan memaafkanmu!"
"Tuhan mengajarkan kita untuk saling memaafkan sesama manusia. Dan kenapa kau tidak bisa melakukan hal itu?"
"Kau—apa jiwa iblismu itu telah berubah menjadi seorang pastor?" Naruto menatap terkejut pria di depannya. Apa kepala pria ini baru saja terbentur sesuatu saat kemari? Ataukah ini kembarannya? Ah, mana mungkin! Naruto mengibaskan pertanyaan terakhir. Yang dia tahu—dari majalah yang dibacanya—Uchiha Sasuke hanya memiliki satu kakak laki-laki dan bukannya kembaran.
"Aku minta maaf karena telah menuduhmu membuat anak kecil tadi menangis. Setelah aku berbicara dengan anak itu, dia ternyata menangis karena masih marah dengan ibunya
Naruto mendengus sambil bangkit berdiri. Tak peduli dengan permintaan maaf pria itu. Sasuke sempat tertegun, sebelum ia menyusul pria manis itu.
"Tunggu, Dobe!"
"What the!?" Naruto berbalik dengan raut wajahnya yang bertambah kesal. "Sudah kubilang namaku bukan Dobe!" bentaknya sambil mengarahkan jari telunjuknya di depan wajah Sasuke. "Dan jangan mengikutiku, Teme!"
Sasuke menghentikan langkahnya. Emosinya akhirnya terpancing. "Namaku Uchiha Sasuke!"
"Terserah aku mau memanggilmu seperti apa!" Naruto balas berteriak sambil berlari pergi.
"Dobe!"
"Teme!"
Alhasil keduanya saling berteriak dengan panggilan yang mereka buat masing-masing sampai salah satu menghilang dari pandangan.
Naruto akhirnya berhenti berlari begitu dia melangkah ke dalam area resort. Berkali-kali dia menghapus peluh keringat di wajahnya—akibat berlari tadi—sambil berjalan. Merasa mendapat tempat sejuk, Naruto melepaskan topi jerami yang dipakainya dan duduk bersandar di salah satu batang pohon kelapa yang berdiri kokoh di pinggir pantai. Angin laut yang menerpa tubuhnya tampak memainkan rambut dan poni kuningnya. Naruto kembali menyalakan kameranya untuk melihat hasil foto-foto solonya tadi.
Setidaknya jika besok dia akan pulang ke Jepang, dia sudah berfoto dengan beberapa pemandangan indah di pulau ini. Naruto tersenyum sambil menggeser jarinya di layar kamera untuk melihat foto berikutnya. Jari telunjuknya yang akan menggeser foto berikutnya terurung begitu di fotonya juga menangkap dua sosok di belakangnya.
Penasaran dengan dua sosok yang berdiri di salah satu bungalow—yang tidak sengaja terambil oleh kameranya—membuat Naruto menekan tombol zoom, hingga akhirnya dua sosok itu terlihat jelas.
Kedua mata Naruto seketika membelalak. Bukan karena dua sosok itu adalah hantu, melainkan karena dua sosok itu—kekasihnya sendiri, Gaara sedang berciuman dengan seorang pria yang Naruto kenali hanyalah sebatas teman kekasihnya, Neji.
"Jadi, ternyata text dari Shikamaru yang kuterima di tempat makan tadi memang benar?" Naruto bertanya pada diri sendiri. Tidak menyangka selama dia menjalin hubungan dengan Gaara, kekasihnya itu juga menjalin hubungan dengan Neji?
Naruto yang mengira Gaara mematikan teleponnya karena marah dirinya ditinggalkan sendiri di Jepang, ternyata sedang menghabiskan liburan musim panas di pulau Bora-bora ini? Bersama Neji? Berduaan?
Dan kemudian, batang pohon kelapa yang sejak tadi menjadi tempat bersandar Naruto, menjadi korban pukulan bertubi-tubi pria manis itu.
.
.
Sasuke menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. Dia terus-menerus melakukan hal itu sampai akhirnya capek sendiri. Sudah hampir tiga jam dia duduk bersandar di atas tempat tidurnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Aish!" Sasuke mengacak-acak rambut hitamnya hingga berantakan. Kemudian menoleh dan menatap sang pengawal yang sejak tadi setia berdiri di samping pintu kamar. "Aku ingin keluar! Bosan sekali tinggal di dalam sini!"
"Maaf, Tuan Muda, tapi tuan besar sudah memberi perintah kepada saya agar tidak mengizinkan Anda pergi ke klub malam di pulau ini lagi," kata sang pengawal dengan nada suara tegas.
"Otousan-ku sedang tidak ada di sini. Dia ada di Jepang sana!" Sasuke mendengus. "Karena itu biarkan aku keluar sekarang!" bentaknya sambil menuju pintu. Sang pengawal dengan sigap langsung berdiri menghalangi pintu.
"Maaf, Tuan Muda. Lebih baik Anda kembali tidur saja."
"Kau bilang apa?" nada suara Sasuke menajam. "Kau bukan kedua orangtuaku! Jadi cepat menyingkir dari pintu!"
Namun sang pengawal bergeming. Karena perintah ayah Sasuke selalu dipatuhinya. Sasuke yang melihat itu akhirnya menggeram kesal.
"Terpaksa," sudut bibir Sasuke terangkat, "aku harus menggunakan cara kasar, ya?"
Dan dengan tiba-tiba Sasuke menyerang pengawalnya. Sepuluh menit kemudian, pengawal itu akhirnya ambruk di bawah kaki Sasuke. Dengan bibir tersenyum penuh kemenangan, Sasuke menyambar jaket kulitnya yang berwarna hitam, dan berjalan keluar dari bungalow-nya.
Ekor mata Sasuke yang menangkap sosok seseorang yang tengah duduk di dekat pantai seketika membuat langkahnya berhenti. Sepertinya dia merasa familiar dengan sosok itu—yang sedang duduk membelakanginya. Sasuke akhirnya berbalik arah dari tujuannya, dan mendekati sosok itu dari belakang. Dan begitu Sasuke telah berdiri di samping sosok itu, Sasuke akhirnya tahu bahwa instingnya benar.
"Apa yang kau lakukan di sini, Dobe?" Sasuke bertanya, sembari berjongkok. Sosok itu tetap bergeming dengan posisinya yang masih menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang dipeluk dengan kedua lengannya. "Hei, Dobe." Jari telunjuk Sasuke mengetuk-ngetuk bahu pria manis itu. "Ini sudah malam. Kalau kau ingin tidur, kembalilah ke bungalow—"
"Pergi!"
Sasuke mengernyit. Sepertinya suara pria manis ini berubah, katanya dalam hati. "Kau kenapa, Dobe?"
"APA KAU TIDAK DENGAR? KUBILANG PERGI DARI SINI!" Naruto mengambil pasir putih di sekitarnya dengan kedua tangannya, kemudian melemparnya ke arah Sasuke tanpa jeda. Sasuke—yang tidak sempat menghindar—berusaha menghalau pasir yang dilemparkan Naruto dengan menyilangkan kedua lengannya di depan wajah, mencegah agar pasir itu tidak masuk ke dalam matanya.
Dengan napas terengah-engah, Naruto akhirnya berhenti melempar pasir di sekitarnya. Sasuke yang melihat kesempatan itu, segera menurunkan lengannya dan bersiap menyemburkan kekesalannya—karena sekarang rambut dan pakaiannya nyaris dipenuhi pasir yang dilemparkan Naruto. Bibir Sasuke yang terbuka kembali mengatup begitu dia melihat sepasang mata Naruto terlihat sembap dan memerah.
"Kau—" Kekesalan yang dirasakan Sasuke seketika menguap hilang. Tanpa sadar dia mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh pipi itu. "—habis menangisi apa?"
Naruto menepis tangan itu dengan kasar sebelum menyentuh pipinya. Kemudian dia bangkit berdiri dan berlari pergi. Sasuke baru tersadar semenit berikutnya. Wajah Naruto—yang habis menangis—seperti menghipnotisnya. Dan saat Sasuke juga akan bangkit berdiri, kedua matanya menangkap benda yang tergeletak di atas pasir.
"Apa kamera ini miliknya?" Sasuke meraih benda itu sambil mengamatinya. Setelah membersihkan pasir-pasir di tubuhnya, Sasuke menyalakan kamera di kedua tangannya. "Ternyata memang milik si Dobe itu."
Tanpa seizin si pemilik benda, Sasuke mulai melihat-lihat foto-foto di dalam kamera besar itu. Tidak percaya kalau Naruto bisa terlihat natural saat mengambil fotonya sendiri. Senyuman Naruto di dalam foto-foto itu membuat Sasuke terpana berkali-kali. Pria manis itu ternyata sangat manis jika tersenyum lepas seperti di foto ini.
Hingga akhirnya, begitu Sasuke menggeser jarinya untuk melihat foto berikutnya, dia membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok yang sangat dikenalinya, tengah saling merangkul mesra sambil tersenyum lebar.
"Gaara...?"
.
.
.
To Be Continued...
Jeanne's notes:
Terima kasih bagi kalian yg sudah meninggalkan apresiasi (baik itu review, fave, dan follow) di fic 'Itu Bukan Cinta':
uzumakinamikazehaki; hanazawa kay; saphire always for onyx; Kagaari; aryaahee; zukie1157; akira; Eka u-know; Himawari Wia; Uzumaki Prince Dobe-Nii; gici love sasunaru; xxx; Prefescius Highmore; RisaSano; narusay; Aradea; HiNa devilujoshi; Leethakim; SNlop; Akasuna no Akemi; November With Love; Guest; darkoyah nggaenggae; Shiroi 144; Nyenyee; deClementine.
Dari review-review yg masuk, saya melihat ada yg bertanya bagaimana nasib Naruko, dan apa peran Naruko. Bukannya sudah jelas klo Naruko hanya adiknya Naruto di fic itu. Dan mengenai nasibnya... anggaplah si Naruko juga nggak tau mau nyari Naruto di mana.
Sebenarnya, saya nggak pernah ada niat untuk mempublikasikan fic SasuNaru multichap di FNI ini (karena saya ini salah satu tipe author yg ngaret untuk update fic. Serius. Makanya lebih banyak bikin fic oneshot). Tetapi karena melihat beberapa review yang masuk, maka saya putuskan untuk me-remake salah satu RPF saya jadi fic SasuNaru. Anggaplah fic ini sebagai hadiah kecil untuk kalian yg menginginkan saya membuat fic multichap di FNI ini. :)
Dan bagi kalian yg ingin gabung di grup fb saya (di grup itu saya me-repost fic2 SasuNaru yg adegan lemon-nya nggak saya cut), silakan add fb saya. Bisa buka profil FFn saya, di sana saya sudah memperbaharui profil, dan menambahkan link menuju facebook saya.
Oke, sampai jumpa di chapter 2! ^^