Title : The Sound of Silence

Cast : Oh Sehun – Luhan – Park Chanyeol

Ff ini Vi tulis 17 September 2014 -udah lama banget yak?- tapi vi update sebagai gantinya Worry Along, soalnya itu ff mau Vi update di folder yaoi. wait yak.

Ff ini dipaksa banget sama si 'Ivo' buat di update. Bentuk terima kasih aku juga. thanks Vo, udah beliin Exodus Tao Vers. (dan membuatku membeli Sehun vers. pake uang pribadi). thanks buat kiat kamu maksa aku buat cinta Tao. Kamu hampir berhasil. xoxo you.


"Ketika aku membuka mata, hidupku terasa terpasung oleh satu hal yang disebut dengan kegelapan. Dan disaat bersamaan hidupku telah menemukan sebuah pelita yang terang yang ia adalah Oh Sehun." –Luhan-

"Aku melihat seorang lelaki tua menuntun seorang wanita tua keluar dari gereja, mungkin ia adalah istrinya. Aku merasa bahwa mungkin lelaki tua itu memiliki perasaan yang sama seperti yang kurasakan pada Luhan. Mungkin wanita tua itu adalah Luhan bagi sang kakek." –Oh Sehun-

The Sound of Silence

Rated T

"AKU akan menutup mata untukmu. Sekarang kita melihat satu hal yang sama, gelap," Luhan begitu tersentuh saat Sehun mengucapkan kalimat itu, namun disaat yang bersamaan Luhan merasa bersalah. Luhan mencintainya, tapi tak sekalipun ia pernah melihat rupanya.

"Terima kasih sudah mencintaiku tanpa harus melihat rupaku, Luhan," Sehun memeluknya dengan pelan. Bahkan kulit arinya tak benar-benar menempel di permukaan kulit Luhan. Luhan hanya merasakan bulu halus milik Sehun menyentuh kulit pergelangan tangannya. Halusnya sangat menggelitik perasaan sayangnya.


Sore seperti itu adalah satu dari seribu lebih sore yang biasa ia habiskan bersama Luhan. Seorang wanita buta berkebangsaan Korea yang sembilan tahun terakhir tinggal di rumah panti gereja tua. Gereja itu terletak satu blok dari rumahnya.

Luhan sangat cantik. Ia berambut merah curly yang membingkai wajah mungil yang putih khas rupa orang Asia. Sehun mengenalnya dari Pendeta Woo yang adalah paman dari Luhan. Ia sudah sedari awal merasa tertarik pada Luhan, namun karena keterbatasan cara berkomunikasi, ia mengurungkan untuk berkenalan. Tapi empat tahun yang lalu, berkat bantuan seseorang, ia bisa berkenalan dan kemudian menjalin hubungan dengan Luhan.

Ini adalah tahun keempat hubungan mereka. Selama tahun demi tahun berlalu, mereka sering bertemu hanya untuk sekedar bercerita. Rutinitas yang selalu mereka lakukan adalah memberi makan burung dara liar di sekitar gereja, mendengar Sehun mendeskripsikan suatu obyek untuk Luhan, dan atau hanya saling duduk diam untuk melepas rindu.


"Sehun, aku punya sebuah berita bagus untukmu," suatu sore Luhan membuka bibirnya sesaat setelah ia mendaratkan tubuhnya di bangku taman. Ia mengenakan gaun cokelat muda bercorak panda yang terlihat sangat manis di kulit putihnya. Terlihat seperti serbuk kapucino diatas cake keju.

"Apa itu?"

"Tebaklah," Luhan merapatkan lengannya pada lengan milik kekasihnya, sedikit mengurangi jarak diantara mereka.

Karena Sehun terus diam, Luhan melanjutkan,"Paman Woo menemukan seorang dokter yang mau dengan sukarela mengobati mataku. Aku senang, sebentar lagi aku akan bisa melihat wajahmu."

Sekarang Luhan diam menunggu reaksi dari Sehun. Ia berharap kekasihnya mengucapkan sepatah kata namun ia tak mendengar apapun.

"Apa kau mendengarku?" Ia masih tidak mendengar jawaban. Itu membuat Luhan mulai khawatir. "Apa kau masih disampingku, Sehun?"

Rasa khawatirnya menghilang. Ia merasakan sebuah dekapan hangat di tangan kirinya. "Apa kau tak merasa bahagia karena aku akan bisa melihat lagi? Dan aku akan melihatmu?"

"Apa kau tak akan kecewa jika kau melihatku nanti?" Sehun mengucapkan sebuah pertanyaan yang tak diduga.

Luhan tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan yakin. Untuk apa Luhan kecewa pada seseorang yang sangat mengasihinya dalam waktu yang sangat lama. Seseorang yang mengerti tiap getir sisi tak berwarnanya.


WAKTU terus berjalan, musim gugur Andalusia sudah melenggang menjauh dari Sevilla. Luhan merasakan suhu udara semakin menurun. Ia membenahi mantel miliknya agar semakin memeluk tubuhnya dengan hangat.

Ini adalah tahun ke sembilan semenjak perpindahannya dari Seoul ke Sevilla. Sama lamanya semenjak ibunya bercerai dengan ayahnya. Sepuluh tahun semenjak ia sakit yang membuat matanya yang berwarna hitam terus memudar sampai berubah menjadi abu-abu keperakan yang terlihat pucat dan membuat warna merah mawar terus menggelap sampai benar-benar pekat di mata Luhan.

Luhan menginjak usia 21 tahun sekarang. 10 tahun sudah ia tak bisa melihat. 10 tahun, itu sangat lama. Bahkan memori tentang beberapa warna dan juga hal penting sudah mulai memudar dari ingatannya.

"Kau sudah lama duduk disini?" Ia mendengar suara Sehun. Begitu lembut, masih sama dengan kemarin. Aroma lemon yang dipadu dengan anggur merah juga tercium oleh hidungnya, khas sekali aroma parfum milik kekasih yang sangat ia sayangi. Suara dan aroma itu membuatnya sadar dari lamunan.

"Tidak baik jika kau keluar dari rumah tanpa pengawasan. Hubungi aku tiap kali kau ingin keluar, kau bisa?"

Luhan merasa hatinya meleleh seperti eskrim di musim panas. Meleleh jauh hingga tak tertampung oleh waffle cone-nya. Bagaimana bisa seorang tinggi dan baik seperti Sehun mau mencintainya, ia yang buta.

"Sehun, aku akan ke Madrid pekan depan. Mungkin setelah melakukan misa pagi, aku akan berangkat," ia tersenyum memandang ke arah kiri bangku taman. Sebuah taman di area kebun jeruk di sisi kanan Katedral.

"Untuk apa kau ke Madrid?"

Luhan memiringkan kepalanya. Ia merasa tadi Sehun berada di kirinya, namun setelahnya ia mendengar suaranya di sisi kanan. Terkadang ia juga merasa Sehun datang bersama seseorang, namun Sehun selalu berkata bahwa ia sendirian. Luhan percaya saja, toh ia tak bisa melihat.

"Ah itu, aku akan menjalani operasi cangkok mata. Awalnya aku takut. Bayangkan, mataku akan di congkel dan dibuang, kemudian akan diisi oleh mata baru. Mata orang lain yang aku tak tahu itu milik siapa. Bukankah itu sangat mengerikan? Tapi mengingat ini sangat penting agar aku bisa melihatmu, aku akan melakukannya."

Ia tersenyum sangat cantik diakhir kalimatnya dan menemukan Sehun masih diam dan tidak menjawab apa-apa.


"AKU akan menjalani operasi cangkok mata," kalimat itu mengiang dengan sempurna di gendang telinga Sehun. Ia takut. Apa Luhan masih mencintaiku jika ia melihatku nanti?

Ia terus diam saat melihat Luhan terus berceloteh tentang operasinya. Ia merasa ada sebuah lubang besar sedang menekan sisi tersakitnya. Apa aku harus jujur mulai dari sekarang?

"Sebentar lagi kita bisa berlari bersama, memanen jeruk milik ayahmu, dan juga berjalan-jalan ke Danau Gulpiyuri," Luhan terus menambahkan kalimat demi kalimat yang membuat Sehun semakin tercekat.

Sehun diam. Ia meraih tangan Luhan dengan pelan dan mengarahkannya pada pipi kirinya.

Tangan halus nan bersih milik Luhan meraba semua yang ada di wajah Sehun, "Wajahmu sangat halus. Aku suka hidungmu yang mancung, bibirmu yang penuh, dan juga rambutmu yang selalu berubah gaya setiap musimnya," Ia tak sabar untuk benar-benar menikmati rangkaian bentuk menakjubkan itu dengan matanya.

"Jika nanti kau mendengar suaraku, apa kau akan mengenaliku?" Sehun membuka bibirnya setelah sekian lama terdiam.

"Tentu saja," Luhan sangat yakin. Bahkan ia masih ingat, saat ia terlambat melakukan misa, ia berhasil masuk gereja karena dituntun oleh suara Sehun yang sedang memelodikan lagu mulia di dalam gereja. "Suaramu adalah hal terbesar yang paling mudah kuingat dan kukenali."

"Jika nanti kau meraba wajahku, apa kau akan mengenaliku?"

"Itu pasti. Aku menyentuhnya hampir setiap hari di empat tahun terakhir. Apa kau kira aku bisa melupakannya. Wajahmu adalah braille dari kata tampan," Luhan kembali tersenyum. Ia sangat yakin. Bahkan ia masih ingat dimana saja Sehun pernah digoda oleh jerawat. Itu karena hampir pada setiap kesempatan ia meraba wajah itu.

Ia mendengar Sehun mendesah. Ada perasaan sedih di dalam suara itu. "Dari kedua itu mana yang paling kau sukai? Wajah? Atau suara?"

Luhan merasa Sehun tidak dalam keadaan baik sekarang. Ada beban yang dipikul suara maupun wajahnya.

"Jawab aku," Sehun memeluk Luhan semakin dalam. Bisa Luhan rasakan detak jantung Sehun yang beritme cepat.

"Menurutku, suaramu seperti lagu penyemangat untukku, sebuah melodi musim dingin yang menantikan natal, dan lullaby halus yang menenangkan," Luhan berhenti. "Ia sangat berharga sampai aku merasa bahwa suaramu adalah kompas untukku. Dan rupamu—"

"Apa suaraku lebih menarik?" Sehun memotong kalimatnya.

"Selama ini, suaramulah yang mengiang di kepalaku, Sehun. Selain itu aku tidak dapat mengvisualkan."


Hari semakin siang. Misa pagi sudah selesei. Lonceng Katedral berbunyi beberapa kali untuk menandakan pemberkatan telah berakhir.

Sebuah gedung berukuran sedang di sisi pohon Jeruk Katedral terlihat ramai, itu panti tempat tinggal Luhan. Ada beberapa orang berkerumun disana.

"Baik-baiklah disana, Luhan."

"Semoga semuanya lancar."

Luhan mendengar banyak sekali orang memberikan ucapan selamat dan juga doa untuknya. Hari ini ia akan pergi ke Madrid untuk operasi. Ia tersenyum akan setiap ucapan, namun ia mencari suara yang lain. Biasanya suara itu mengisi gereja dengan alunan lagu pujian untuk Tuhan, tapi hari ini ia tidak terdengar. Lelaki itu— Sehun, biasanya akan mengiringinya dari gereja menuju panti tinggalnya sekedar untuk memastikan jika ia sampai dengan selamat.

Hari ini adalah hari besarnya, setidaknya ia ingin Sehun mengucapkan satu atau dua kata untuk menguatkannya. Namun sampai mobil menjemputnya, ia tak menemuinya.

"Hmm," Luhan mendengar seseorang berdeham dengan keras. Itu dehaman seorang lelaki, ia berdeham dengan aneh, seperti dipaksakan.

Lelaki itu sangat dekat dengannya, meraup tangannya dan menggenggamkan sebuah kalung kecil, lalu menepuk pundak Luhan dengan lembut. Luhan merasa mencium aroma lemon yang dipadu anggur merah. Apa itu Sehun? Ia bertanya-tanya.

Mobil melaju menuju arah utara. Jauh menuju Madrid, menuju kesembuhan, cahaya, dan wajah Sehun. Luhan tersenyum. Apa itu tadi Sehun? Ia masih bertanya-tanya. Tangan itu, aromanya terasa sangat Sehun. Tapi suara dehaman itu, itu bukan milik Sehun.

Luhan terus menggenggam kalung yang tadi diberikan pria itu. "Aku akan memberimu sesuatu saat kepergianmu nanti," ia ingat janji yang dikatakan Sehun beberapa waktu yang lalu. Apa kalung ini? Ia masih tak tahu.


SEHUN TERMENUNG di bangku coklat yang kemarin lalu ia selalu gunakan untuk duduk bersama Luhan. Ia merasa hangat gadis berambut merah di sisinya masih terasa. Semoga ia baik-baik saja. Terselip sebuah doa saat ia memegang liontin berbentuk salib di dadanya.

"Aku yakin ia tak apa-apa," ia mendengar seseorang berkata padanya.

"Kuharap begitu," ia ingin berkata demikian, namun ia hanya menganggukkan kepala tanda bahwa ia setuju.

Hari berganti dengan minggu dengan merangkak. Tiap saatnya terasa sangat berat untuk Sehun. Ia rindu Luhan. Ia mendengar dari Pendeta Woo bahwa Luhan telah berhasil di operasi, namun perban dimatanya belum dibuka. Jadi belum ada yang bisa memastikan apakah Luhan bisa melihat kembali atau tidak.


Sehun duduk di kursi panjang gereja. Ia menatap lurus pada lukisan Pejamuan Akhir yang dilukis di belakang salib besar berdiri. Ia memikirkan Luhan. Sedetik kemudian ia memejamkan mata dan berucap beberapa doa. "Kuharap kau akan baik-baik saja. Kuharap kau bisa melihat burung dara di sekitar panti yang selalu kau beri jagung. Dan kuharap aku tidak mengecewakanmu karena fakta ini," Ia berucap puluhan kata amen diakhir doanya.


WALAUPUN lambat, waktu akan terus berjalan. Sekarang awal Desember dan salju telah menutupi daratan Sevilla dengan tipis. Luhan duduk di samping Pendeta Woo di dalam mobil dan menatap sekeliling.

"Kau lihat bocah yang berlarian disana?" Pendeta Woo menunjuk pada seorang berkulit cokelat yang sedang bermain bola salju di halaman sebuah rumah, "Dia adalah Sebastian."

Mata Luhan menatap ke arah yang ditunjukkan Pendeta Woo. "Bocah yang selalu memberiku manisan apel?" Kemudian ia bertanya.

"Iya. Dan yang sedang duduk di teras itu adalah Nyonya Pastinha," Pendeta Woo menunjuk seorang lagi.

"Sang legenda Samba?"

"Ia juga hebat dalam bidang Capoeira."

Luhan terus memandang sekeliling. Sesekali Pendeta Woo menunjukkan beberapa orang yang juga dikenal oleh Luhan. Ia bahagia sekarang bisa melihat mereka. Ternyata begini rupa salju Andalusia, begitukah rupa Sebastien dan Nyonya Pastinha yang sangat baik dengannya, dan beginikah rasanya melihat rupa pemandangan? Luhan merasa bahagia.


HARI INI hari rabu. Gereja sedang melakukan beberapa kegiatan rutin. Luhan membuka pintu dan melihat sekeliling. Inikah pohon jeruk tak berbuah yang selalu Sehun katakan? Hatinya terus bermonolog setiap kali ia melihat sesuatu. Beberapa burung dara mengerumuninya.

"Kalian merindukanku?" Ia terkekeh mencoba menyentuh salah satu mereka.

Ia sibuk dengan burung dara saat ia mendengar suara piano berdenting. Ia menoleh ke arah gereja. "Itu Sehun."

Ia berlari dengan semangat menuju pintu besar gereja. Gereja itu saksi pertemuannya dengan Sehun empat tahun yang lalu, saksi cintanya yang tulus tak ternoda, dan saksi bagaimana ia terus mengelukan nama itu dalam tiap doa.

Pintu terbuka, ia melihat ke sisi depan. Gereja ini terlihat seperti surga. Dulu, ia hanya bisa mencium aroma jeruk pada pewangi ruangan. Sekarang ia bisa melihat banyak lukisan disana. Itu counterfeit karya Leonardo da Vinci, Pejamuan Akhir, diujung gereja. Beberapa lagi lukisan Maria dan bayi-Nya serta domba-domba, banyak hingga Luhan tak tahu harus menyebutnya dari mana.

Matanya menyapu ruangan. Ia melihat piano di sisi kiri. Apa Sehun disana?

En palabras simples y comunes yo te extraño

(Dengan bahasa sederhana, aku merindukanmu)

En lenguaje terrenal mi vida eres tu

(Dengan bahasa duniawi, kau adalah hidupku)

En total simplicidad sería yo te amo

(Dalam kalimat sederhana, aku mencintaimu)

Y en un trozo de poesía tu serás mi luz, mi bien

(Dan dalam kedamaian puisi, kau kan jadi cahaya)

Sebuah lirik terdengar. Suara itu adalah suara yang tak asing baginya. Seorang lelaki muda, tinggi, dan berkulit putih cerah sedang berada di atas panggung. Ia memegang gitar dan sebuah mik berdiri di depannya. Lelaki itu berdiri mengarah pada piano, sedikit membelakangi Luhan.

Suaranya bagai sebuah panggilan surga yang sangat kental. Membuat kaki terhuyung berjalan ke arah itu.

El espacio donde me alimento De tu piel que es bondad

(Ruang dimana kuserap kebaikan dari kulitmu)

La fuerza que mueve dentro para recomenzar

(Kekuatan di dalam diri menggerakkanku untuk mulai lagi)

Y en tu cuerpo encontrar la paz

(Dan di dalam tubuhmu kutemukan kedamaian)

Sangat damai. Apa kau merindukanku juga? Ia bermonog dalam hati. Ia hendak membuka suara saat kakinya hampir mendekati panggung musik, hingga saat seorang dibalik piano berdiri. Ia lelaki yang lebih muda, berambut merah, dan terlihat terkejut memandang Luhan. Hal itu membuat yang sedang bermain gitar berhenti dan menarik pandang pada pandangan sang pemain piano, pada Luhan.

"Luhan?" Ia bergumam. Walau lirih Luhan mampu mendengarnya. Telinga mana yang tak mampu mendengar suara lembut yang jantan itu.

"Sehun."

Luhan merasa bahagia. Ia berlari ke atas panggung dan kemudian berhampur memeluk sosok di hadapannya. "Akhirnya aku bisa melihatmu," ia semakin mempererat pelukannya.

"Luhan," pria itu memanggilnya dengan lemah. Tangannya melepaskan gitar karena merasa terkejut.

"Kau ganti parfum?" Pelukan Luhan masih tak lepas dari tubuh tinggi dihadapannya.

"Luhan, aku bukan—"

"Jangan bicara, aku tetap suka apapun parfummu."

"Sekarang tatap aku," Luhan merasa tubuhnya dijauhkan dari wajah sang kekasih. Tangan kekasihnya mendekap lengannya dengan lembut. "Tutup matamu sebentar."

Luhan menuruti instruksi. Ia menutup mata. Tangan sang kekasih menyentuh tangannya. Tangan itu terasa sangat dingin dan menuntun tangannya menuju wajah di hadapannya. "Jangan membuka matamu," kekasihnya memperingatkan. "Rasakan, siapa aku."

Luhan merasa ada yang berbeda. Wajah itu bukan milik Sehun. Wajah itu terasa memiliki bibir lebih penuh jika dibandingkan dengan milik Sehun. Hidungnya tak semanis milik Sehun, dan juga matanya, mata itu sangat berbeda.

Luhan mundur selangkah. Matanya terbuka pelan. Ada tatapan bingung disana.

"Kemarilah," lelaki yang memiliki suara Sehun namun berwajah lain itu menarik tangannya mendekati seseorang yang sedang duduk di balik piano. Pria pemain piano itu memandang Luhan dengan tatapan yang berbeda. Luhan merasa bingung saat ia dituntun untuk menyentuh wajah lelaki tinggi dan berkulit lebih putih itu.

Hanya dengan mendekat, Luhan mencium aroma lemon dan anggur merah, khas parfum Sehun. Namun ia tak yakin. Apa-apaan ini?

"Rasakan."

Luhan hampir menempelkan tangannya saat matanya bertemu dengan manik mata dihadapannya. Tatapan itu sangat sendu dan memendam rindu yang sangat dalam. Matanya berwarna hitam pekat dan dibingkai dengan alis merah yang sangat lembut.

Ia ragu, namun tangan milik lelaki itu memegangnya dan membawanya menjelajahi pipi yang sangat familiar ditangan Luhan. Matanya terpejam, menikmati bibir, hidung, mata, dan setiap inchi wajah itu.

"Sehun," Luhan terisak. Ia memeluk lelaki itu. "Maafkan aku karena tidak mengenalimu."

Sehun diam. Ia bungkam.

"Gwencana?" Luhan berkata dengan Bahasa Korea-nya dan dijawab dengan anggukan oleh Sehun.

"Ia Oh Sehun dan aku Park Chanyeol," pria yang bermain gitar tadi membuka suara dan disusul anggukan oleh Sehun.

"Suara kalian sangat mirip," Luhan berucap dengan lembut. "Maafkan aku karena tiba-tiba memelukmu." Tentu ia merasa sangat bersalah karena salah mengenali kekasihnya. "Maafkan aku juga karena aku tidak mengenalimu," ia memeluk tubuh Sehun sekali lagi.

Sehun menggerakkan tangannya pada Chanyeol. Seperti memberi isyarat, namun itu terlalu panjang jika disebut dengan isyarat.

"Tidak, kau tidak salah. Yang selama ini kau dengar memang adalah suaraku", Chanyeol diam. Ia memandang wajah Sehun lagi, sekedar memastikan apa yang ia katakan adalah benar.

"Namun wajah yang kau sentuh, tangan yang selalu membantumu, dan orang yang pasti membantumu adalah Sehun, orang yang berada dihadapanmu."

Luhan tak mampu mencerna apa yang terjadi. Ia memandang wajah Sehun lagi. "Apa maksudnya?"

Kaki Luhan terasa lemas. Ia melihat Sehun menyentuh bibirnya sendiri dan kemudian mengayunkan telapak tangan ke kanan dan ke kiri. Bibirnya terbuka mengeja sebuah kalimat tanpa suara. "A-ku tak bi-sa bi-ca-ra, a-ku bi-su," Luhan berhasil mengartikannya.

Luhan semakin tak berdaya saat Sehun mengarahkan tangannya ke leher Sehun. Terasa tulang tenggorokannya bergerak ke atas dan ke bawah. Tangan Sehun menuntun tangan Luhan untuk menepuk bagian itu dan kemudian mengucap sesuatu. "A-da yang sa-lah di-si-ni." Bibir itu hanya bergerak tanpa mengeluarkan suara.

Luhan melihat kesedihan di wajah Sehun. Ia pun sedih, ia merasa dunia runtuh dihadapannya.

"Ia menunggumu setiap hari di depan panti dan memberi makan burung dara untukmu. Ia merasa takut setiap saat karena memikirkan kau akan kecewa karena ia tak bisa berbicara," Chanyeol mengungkapkan apa yang selama ini ia saksikan.

"Selama empat tahun ini, akulah yang membantunya mengucapkan apa yang ia rasakan padamu. Aku selalu berada di sampingnya saat kalian bersama, sekedar menjadi suara agar ia bisa mengungkapkan beberapa hal padamu," Luhan sekarang tahu mengapa kadang suara Sehun terdengar lebih jauh dan mengapa ia sering merasa ada orang lain disamping Sehun. Ternyata itu Chanyeol.

"Aku pernah menolak untuk berbicara untuknya, kupikir tak baik jika harus menipumu. Namun ia telah memperhatikanmu sedari pertama kau datang kesini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menjadi suaranya saat berbincang denganmu. Itu kulakukan karena aku tak mendapatkan cara lain agar kalian bisa saling mengenal tanpa suara dan penglihatan."

Ia datang ke Sevilla sembilan tahun yang lalu dan berkenalan dengan Sehun empat tahun yang lalu. Jadi selama lima tahun Sehun memperhatikannya? Lima tahun diam mencintai seorang buta? Hati Luhan meleleh. Ia marah karena ia ditipu, tapi cinta Sehun terlalu besar untuk diabaikan karena hal ini.

"Kau harus berjanji satu hal padaku, jangan pernah berbohong apapun padaku setelah ini, karena aku sangat mencintaimu, siapapun dirimu," kini mata Luhan berkaca-kaca.

"Dan—" ia tak sanggup menahan tangis. "Dan ajari aku beberapa bahasa isyarat agar kita bisa saling berbagi cerita dengan mudah."

Sehun tersenyum lega. Ia memegang dadanya dengan telapak tangan, menunjuk atas pada kubah berlukis Tuhan, dan kemudian menyentuh dada Luhan. Dan berakhir mengangkat tangannya dan menekuk jari manis dan tengahnya.

"Ia berkata bahwa ia mencintaimu," Chanyeol mengartikan.

"Aku juga.. Aku sangat.. Aku—" Luhan terisak.

Sehun meraih tubuhnya dalam pelukannya.

"Aku mencintaimu, Sehun."

Sehun memandang dalam pada mata Luhan yang kini berwarna hijau zambrut. Terlihat berbeda namun mata itu cantik di wajah kekasihnya. Ia menggerakkan tangannya yang Luhan tak paham artinya.

"Matamu sangat cantik, jangan menangis."


AKHIR...

Si la vida me permite al lado tuyo

(Jika hidup mengijinkanku untuk berada di sisimu)

Crecerán mis ilusiones no lo dudo

(Aku tak ragu, mimpiku kan tumbuh)

Y si la vida la perdiera en un instante

(Andai nyawaku harus hilang sebentar lagi)

Que me llene de ti

(Biarkan aku penuh olehmu)

Para amar después de amarte, vida

(Selalu mencintaimu)

SUARA LEMBUT Luhan beriringan dengan anggukan berirama lembut yang dilakukan oleh Sehun. Mereka berbalut baju hangat musim dingin berwarna merah. Salju sudah turun walaupun hanya sedikit. Suhu Sevilla 9°C sekarang.

"Ini adalah natal ke lima semenjak kita bertemu. Aku sangat bahagia," Luhan membuka suara dan disusul oleh anggukan oleh Sehun.

"Bisakah kau mengatakan sesuatu? Ajari aku isyarat yang lebih sulit, kumohon," bujukan menggemaskan itu dibalas dengan senyuman yang manis oleh Sehun. Lelaki Korea berambut merah itu tersenyum lembut dan kemudian menggelengkan kepala.

"Lalu ajari aku yang sederhana," Luhan kembali melakukan penawaran.

Sehun menunjuk wajah Luhan yang dibalut syal berwarna putih dengan ujung jarinya. Kemudian jari itu bergerak maju mundur menunjuk wajahnya sendiri.

Luhan menurut pada instruksi, ia memajukan wajahnya. Tangan dingin Sehun menyentuh ujung bibir Luhan dan matanya memandang jauh ke mata Luhan.

Yang Luhan tahu setelahnya adalah dadanya bergetar sangat kuat, duduknya menegang, dan merasakan hangat di bibirnya. Ini adalah kali pertama bagi mereka setelah empat tahun bersama. Ini adalah sentuhan yang memiliki definisi yang sangat kuat mengenai Apa-Itu-Cinta.

END

Note:

readers, thanks for your reviews, even there're almost 800 viewers and only 27 reviews. kkkk m so thankful. for this chapter n next chapters, pls show ur love.

last, thanks once again. n Vi loves you guys. *bowing*