Preview :

"Aku mencintai Ren, Kris!"

"Mari kita akhiri, Luhan. Jangan mengharapkan aku lagi. Jangan lagi, untuk datang ke hatimu."

"Berhentilah membahas itu, Ren. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku. Kurasa Luhan cukup cerdas untuk memahami itu."

"Lu, apa ini nikmat? Eum?" bisikan Sehun di telinga Ren membuat model manis itu meringis. Luhan. Ingatkan Ren bahwa malam ini ia berperan sebagai Luhan.

WINTER SOLSTICE— A Bold of the Blue

Rated M; Gender-Switch; Written on 150327

Kris jarang datang ke apartemen Sehun. Ia seorang pengusaha yang sibuk. Induk perusahaannya yang berada di Kanada membuatnya berpisah jarak dengan sang adik. Pagi ini, ia datang. Dengan berfikir bahwa Sehun dan Luhan— kekasih Sehun, sedang berada di kampus, ia memilih untuk menekan angka '6473486' pada password-pad apartemen nomor 765. Password itu Luhan yang mengkombinasikan. Dengan alogaritma sandi sederhana dari rumus ponsel tua, gadis itu membuat delapan digit password yang mudah diingat namun tetap mewakili fungsionalnya berada di atas batas aman. Jika Sehun—yang sedikit pelupa menulis namanya seolah-olah sedang menulisnya di keypad ponsel tua maka ia akan menemukan kombinasi password '6473486'. Password yang mewakili huruf 'O-H S-E-H-U-N', yang officially pemilik bangunan 10x12 meter itu.

13 jam 45 menit perjalanan dari Toronto ke Seoul dan terbang melewati jarak 6.601 mil membuat Kris terlalu lelah untuk memijakkan kaki dengan tegas di lantai apartemen. Ia berjalan lunglai menuju dapur.

Apartemen itu tetap sama, bersih dan rapi berkat tangan ajaib milik Luhan. Dan tetap bernuansa putih berkat keegoisan Oh Sehun. Ia hendak menuangkan air mineral ke dalam unstem-glass saat mendengar suara aneh dari kamar mandi. Ia memicingkan matanya dalam. "Kalian melakukannya?" Kikikan kecil lolos dari bibir Kris. "Sehun, kau nakal sekarang."

Kris berjalan mengendap mendekati pintu vynil kamar mandi. Rencananya ia ingin mengejutkan keduanya dengan mengetuk pintu putih itu namun ia berhenti saat mendengar pintu depan terbuka.

"Aahhh... kenapa harus tertinggal!"

LUHAN.

Gadis yang menggerutu di pintu depan itu adalah Luhan. Kris bisa mengenali suara itu dengan mudah. Belum sampai Kris berhasil menyimpulkan korelasi antara 'desahan-di-kamar-mandi' dan kedatangan Luhan, ia dikejutkan dengan suara khas Luhan yang menyapanya. "Ah, Kris Oppa! Kapan kau datang?"

"Hi, Luhan. Aku—" Baru saja Kris hendak berjalan mendekat, namun Luhan sudah berlari ke arahnya, memeluk tubuh Kris dengan erat.

"Aku sangat merindukanmu," pelukan rindu itu terlepas. "Ah, tapi oppa, aku ada kelas pagi ini. Aku meninggalkan buku catatanku dan aku pulang untuk mengambilnya. Hmm, apa Sehun sudah berangkat?" Mata Luhan mengedar ke sekeliling. "Kurasa ia sudah berangkat. Ia bilang Mr. Park memintanya datang lebih awal pagi ini."

"A—aku akan menunggu kalian disini. Berangkatlah."

"Ya kurasa aku harus segera berangkat. Ada mushroom salad di chiller jika kau lapar. Kurasa kau butuh sedikit sayur. Kau terlihat pucat," gadis itu berjalan menjauh setelah mencium pipi kiri Kris. "Aku akan menghubungi Sehun agar ia pulang lebih cepat. Aku sibuk akhir-akhir ini. Selangkah lagi aku akan mendapatkan beasiswa di USA. Got your nice rest, oppa!" Kemudian gadis itu menghilang di balik pintu.

Kris tahu, pergerakan di dalam kamar mandi itu berhenti. Adegan berbincangnya dengan Luhan terjadi di depan pintu kamar mandi, Kris dapat memastikan dua anak manusia yang berada di dalam kamar mandi itu mendengarnya. Itu adalah satu-satunya alasan mengapa mereka menghentikan aktifitas mereka.

"Seleseikan, Sehun. Kemudian keluar. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."

Kris tidak pernah melihat gadis ini sebelumnya. Gadis ini tinggi, lebih tinggi dari Luhan. Wajahnya dua kali lipat lebih cantik jika dibandingkan dengan Luhan. Rambut blonde sebahunya begitu manis memahkotai wajah V-line yang anggun. Mata, hidung, dan bibirnya benar-benar sosok manekin yang hidup. Ditambah dengan sosok tinggi Sehun yang berada di sampingnya, membuat keduanya saling memberikan pancaran pesona yang menyilau.

"Jadi?" Mata Kris melihat jauh ke dalam iris Sehun yang tertunduk. Kris tahu adiknya dalam keadaan takut sekarang. "Apa alasannya?"

"Tidak bisakah kita membicarakan ini setelah aku mengantar Ren pulang?"

PLAAKK!

Sebuah tamparan keras dihadiahkan Kris pada Sehun sesaat setelah Sehun mengucap kalimat permohonannya. "Maaf aku menamparmu sebelum mendengar penjelasan darimu, Oh Sehun. Tetapi 22 tahun menjadi kakakmu, apa aku pernah mengajarimu untuk melakukan hal semacam ini? Menghianati kekasihmu dan menggumuli wanita lain di dalam apartemen kalian!"

"Aku mencintai Ren, Kris!" Tangan Sehun yang semula memegang pipi kirinya sontak menarik pergelangan tangan Ren untuk keluar. Tepat di depan kamarnya, Sehun berhenti dan membalikkan badan menghadap sang kakak yang masih tak bergeming. "Kuharap kau mengerti apa makna dari kalimat yang baru saja kuucapkan. Aku, Oh Sehun, mencintainya. Choi Minki. Namanya Choi Minki, Kris."

"Tak apa. Aku akan pergi bersama Chanyeol jika kau sibuk. Hmm, jangan lupakan makan siangmu. Kirim pesan jika kau sudah berada di apartemen," Sehun memijit pangkal hidungnya pelan. "Ya, aku sudah bertemu dengannya tadi. Ya, hmm," Sehun menutup silicon case smartphone-nya pelan. Punggungnya kembali bersandar pada tumpukan bantal yang disusun oleh Lay di sudut studio musik miliknya.


"Luhan sibuk lagi?"

Sehun tidak menjawab pertanyaan Chanyeol yang sedang memetik gitar Kramer di sudut lain studio. Pikirannya melayang jauh pada kejadian tadi pagi. Sebenarnya ini sudah terjadi selama beberapa bulan terakhir.

Tiga tahun menjalin hubungan dengan seorang mahasiswa transfer dari China sebenarnya membuat Sehun merasa puluhan kali lebih bahagia jika dibandingkan dengan saat-saat gilanya menjadi seorang playboy kampus. Ia merasa nyaman saat Luhan menjadi sosok yang bisa menjadi apapun di dalam hidupnya. Gadis itu memberinya segalanya.

Namun enam bulan terakhir ini, Luhan semakin sibuk. Ia terus teropsesi dengan beasiswa Fulbright yang makin hari makin meningkat. Si cantik itu menjadi schoolholic. Menjadi sangat serius dalam menguasai mata kuliah, menerima tambahan mata kuliah sesuai kurikulum internasional, dan menjadi penghuni tetap perpustakaan kota. Parahnya, ia mengambil homeschooling dari Australia yang waktu belajarnya pukul dua dini hari.

Hal itu tidak bisa ditoleransi oleh Sehun. Ia tipe pria yang free-spirit. Kuliah hanya sekedar kuliah. Datang, mengikuti mata kuliah, ujian, mendapatkan nilai semampunya, kemudian menunggu hari kelulusan. Hobinya yang khas pemuda Seoul, bermain musik dan mendalami hiphop. Tidak peduli dengan apapun, ia menginginkan kehidupan masa muda yang bahagia dan santai. Kontras sekali dengan Luhan.

Luhan semakin sibuk dari hari ke hari. Sehun semakin bosan menunggu dan menunggu. Hingga seorang mahasiswa baru datang. Namanya Choi Minki. Cantik. Seorang trainer agensi model. Gadis itu begitu menggoda Sehun disaat-saat krisis hubungannya dengan Luhan.

Tidak ada sebuah status yang berarti. Sehun datang pada Ren dan Ren membuka tangannya dengan lebar untuk Sehun. Dan ketika Luhan semakin sibuk, Sehun mencoba menggoda Ren dan Ren membuka pahanya dengan lebar untuk Sehun. Mereka bercinta.

Awalnya, tujuan Sehun hanyalah melampiaskan kebutuhan biologisnya pada Ren. Namun seiring berjalannya waktu, Sehun menemukan rasa 'manis' itu didalam diri juniornya itu. Apa itu cinta? Sehun-pun tak yakin apa itu adalah sebuah cinta. Ia masih mendamba sosok Luhan, namun sosok itu kian menjauh dan tak tergapai lagi oleh inderanya.

Puncaknya pagi ini. Ren datang atas undangan Sehun. Seperti biasa, setelah Luhan berangkat, apartemen akan menjadi tempat berselancar keduanya menuju pulau berkabut putih bernama 'kepuasan'. Mereka saling memagut diawal, saling menyentuh bagian-bagian tersensitif dari lawan main, mendesahkan nama dengan aksen menggoda, dan berakhir dengan lenguhan panjang kepuasan. Biasanya cukup pada titik itu. Namun pagi ini tidak, saat Sehun mandi untuk bersiap menemui Mr. Park, Ren menyusulnya dengan alasan ia juga tergesa untuk datang ke agensi. Sampai birahi itu tak tertahan, mereka melakukannya lagi.

Sehun hendak mencapai puncak saat ia mendengar suara Kris dan Luhan di balik pintu. Ia hampir saja roboh jika saja ia tidak terbakar oleh kalimat Luhan.

"Aku sibuk akhir-akhir ini. Selangkah lagi aku akan mendapatkan beasiswa di USA."

Dua kalimat yang membuat Sehun terbakar. Ribuan kali Sehun melarang Luhan untuk mengejar beasiswa itu. Dan pagi ini ia menyatakan akan kukuh pada pendiriannya untuk pergi ke negeri Paman Sam itu.

"Seleseikan, Sehun. Kemudian keluar. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."

Suara tegas Kris menyadarkan Sehun yang masih dalam keadaan telanjang bersama Ren. Penisnya masih tertanam di dalam dinding vagina sang selingkuhan.

Pinggul Sehun bergerak kembali. Seperti apa yang diinstruksikan Kris, ia akan menyeleseikannya.

Sehun merasa semua sudah berakhir. Ia dan Luhan, mereka sudah berakhir.


Luhan memeluk dirinya dengan erat sesaat setelah ia berlari dari perpustakaan kota menuju halte bus. "Pukul lima," ia memeriksa pergelangan tangannya, pada Raymond Weil Diamond hadiah ulang tahun dari Kris tahun lalu. Ini masih sore. Itu berarti ia belum ketinggalan bus. Dingin.

Februari sudah hampir berakhir tetapi ia masih merasa hawa dingin menyelimuti seluruh permukaan kota. Sneaker stateblue-nya bergerak resah saat merasakan hawa dingin semakin memojokkannya sampai ke ujung telapak kaki. Ia sudah membayangkan saat air hangat dalam bathtub kamar mandi akan membuatnya merasa lebih baik.

Merutuki bus kuning bernomor 07 yang belum juga datang, Luhan memilih untuk duduk. Menggosokkan kedua tangannya pelan, kemudian menyimpan keduanya di setiap sisi saku Supreme yang ia kenakan. Ia membuka smartphone-nya ketika merasakan ada getaran kecil di genggaman tangan kiri.

"Hallo," ia menyelipkan ponsel pintar itu di dalam binnie merah yang membungkus telinga. "Aku menunggu bus untuk pulang. Kau apa? Memasak apa? Ya, I am okay with that. Hanya butuh nori? Okay, I got it."

Baru saja Kris memintanya untuk membeli beberapa bungkus nori. Pria berwajah oriental itu hendak memasak sup katanya, tapi kenapa ia membutuhkan nori?

Luhan mendorong pelan pintu apartemennya setelah memencel delapan digit password dengan jari kelingkingnya. Pasalnya tangannya sedang penuh dengan kertas berisi belanjaan.

"Kau sudah sampai?" Kris menghampirinya dengan tergesa. Berniat membantu, pria itu membawa belanjaan Luhan. Berdiri diam di samping rak sepatu untuk menunggu 'calon adik iparnya' melepas sepatu.

"Aku tak mau rugi membayar listrik hanya untuk chiller yang kosong, oppa," ia melepas sneaker miliknya dan kemudian meraih barang belanjaannya. Berjalan melewati ruang santai menuju chiller di dapur,"Sehun belum pulang?"

"Hmm, belum."

"Tadi siang ia meneleponku dan mengatakan ia sedang berada di Limelight. Mungkin ia masih berada disana sekarang."

"Limelight?"

"Club hiphop milik Chanyeol. Tidak besar, tapi club itu sangat populer di kalangan pecinta hiphop."

Kris terus mengekor Luhan yang sedang memanaskan air panas. Mengambil beberapa kaleng gingseng merah kemudian menaruhnya ke dalam air panas. "Tolong matikan jika ini sudah menghangat, oppa. Aku merasa hampir mati karena dingin. Kurasa aku harus mandi."

Selesei bergumam, gadis dengan tinggi 176 cm itu berjalan menuju kamarnya. Bersenandung kecil sambil melepas binnie Supreme merah yang ia kenakan sedari siang, menampakkan rambut saddle-brown panjangnya yang terlihat manis jatuh sebatas tali bra.

Kris memandang dengan senyum manis. Luhan—gadis China itu, Kris begitu mengaguminya. Ia cantik, cerdas, dan memiliki opsesi yang tinggi. Wajah manis mengutarakan betapa cerdas otaknya dan langkah kakinya yang lembut tegas memperlihatkan betapa besar motivasi bertumpu padanya. Kris menggeleng pelan. "Bagaimana bisa tubuh mungil itu menyimpan IQ 168."


Sudah lebih dari seminggu Sehun tidak kembali ke apartemen. Kris juga sudah kembali ke Kanada tiga hari yang lalu. Luhan tahu ada yang salah. Ia bukan gadis bodoh. Sehun berselingkuh dengan Ren. Ia tahu semuanya. Ia tidak berniat untuk diam membiarkan kekasihnya bersama gadis lain. Tapi Luhan tetap teguh pada prinsipnya.

Ia tidak berasal dari keluarga kaya. Ayahnya hanya seorang distributor pakaian atau kadang exportir skala kecil ke wilayah Asia Timur. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga sederhana yang tidak memiliki penghasilan apapun.

Luhan memiliki mimpi yang tinggi sehingga ia berusaha mengandalkan otaknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik dan kemudian melangkah lebar untuk menjadi seseorang yang bisa di perhitungkan di dunia. Bercita-cita untuk membuat kedua orang tuanya bangga, Luhan berangkat ke Korea sebagai mahasiswa penerima beasiswa transfer. Dan sekarang mendapatkan peluang untuk berangkat ke USA, ia tidak akan melepaskannya. Kadang ia merasa takut dengan opsesinya yang menggila, namun ini sudah ia putuskan sedari awal. Ini adalah tekadnya.

Bukan Luhan tidak berperasaan. Ia sering meraung sendirian di dalam kamar saat mengingat kekasihnya tak lagi berada disana. Pria pujaan hatinya kini sedang berada di tempat yang lain. Tempat dengan ranjang dan pengharum ruangan yang berbeda.

Pagi itu Luhan berangkat seperti biasa. Sneaker, jeans, T-shirt, dan tas ransel merah adalah style Luhan. Kadang ia menambahkan hoodie atau binnie dengan brand favoritnya, Supreme. Penampilannya yang kasual tidak mengurangi kecantikannya. Bahkan banyak mata yang menatap gadis itu dengan tatapan ingin memiliki.

Ia sedang membaca buku alogaritma sandi di bangku di bawah pohon persimmon dan pinus di taman kampus, saat melihat mobil Cevrolet Cruze hitam berbelok menuju basemen kampus.

Itu mobil milik Sehun.

Tujuh menit setelahnya, Sehun muncul dari balik pintu basemen. Tidak banyak yang berubah, hanya rambut pria itu kini berwarna cokelat kemerahan.

Mata mereka bertemu. Jemari Sehun yang semula memainkan kunci mobil sontak berhenti. Bibir dengan siulan riang itu tiba-tiba luntur.

Sedangkan Luhan, ia hanya memandang Sehun dengan tatapan kosong.

Putus.

Mata Luhan sedikit demi sedikit menunduk kembali pada bukunya.

"Luhan."

Lirih, namun Luhan tahu bahwa itu adalah suara Sehun.

"Pulanglah," Luhan menjawab pelan dan tanpa jawaban dari Sehun. "Sehun, aku—"

"Mari kita akhiri, Luhan. Jangan mengharapkan aku lagi. Jangan lagi, untuk datang ke hatimu."

Dan perbincangan satu alur itu berhenti dan dunia Luhan pun ikut berhenti.


Bulan Maret.

Hari ini kampus heboh entah karena apa. Sehun berjalan dari fakultasnya menuju fakultas Seni— tempat kekasih barunya, Ren. Ia bersiul rendah melewati kerumunan mahasiswa di depan papan buletin kampus.

"Wah, Luhan-sunbae benar-benar akan berangkat?"

"Dia berada di nomor empat dari 155 orang. Harvard! Hebat!"

"Aku melihat wawancaranya di portal online milik China kemarin."

"Korea dan USA juga menulis artikel tentangnya."

Sehun mendengarnya. Mantan kekasihnya sudah berhasil rupanya. Ia tersenyum. Walaupun ia sudah memutuskan dengan sepihak hubungan mereka, namun Sehun tak lantas melupakan Luhan. Ia masih sering memperhatikan Luhan dari kejauhan.

LUHAN

Peking University—KAIST—Harvard University


Bulan April.

Sehun sedang berjalan di trotoar saat melihat sosok Luhan duduk di halte. Sehun berhenti, memastikan bahwa yang diperhatikan tidak melihatnya, ia mengamati. Luhan baru saja memotong rambutnya menjadi sedikit pendek. Potongan lima senti dibawah bahu. Rambut yang di cat hitam legam itu tertutup oleh snapback berwarna navy yang manis. Kacamata baca springgreen membingkai mata lelahnya. Gadis itu selalu mempesona dengan caranya sendiri. Tanpa dress pendek, tanpa make-up berlebihan, Luhan tetap bersinar dengan gaya kasual yang cerdas dan berharga mahal.

Sehun melangkahkan kakinya pelan saat melihat Luhan beranjak saat bus biru 203 berhenti di depannya.

"Kau mau kemana?"

Sehun menyadari bahwa Luhan menaiki bus yang sama saat mereka pertama bertemu. Bus yang membawa Luhan pulang ke flat kecilnya. Tidak mungkin Luhan pindah dari apartemen. Sehun terus bermonolog sampai ia melajukan mobilnya menuju apartemen lama miliknya. Yang sudah hampir dua bulan tak ia datangi.

'6473486'

Ia menekan password dan pintu terbuka. Aroma cendana menguar di hidungnya. Ini aroma pengharum ruangan yang Luhan pasang. Aroma favorit Luhan. Lampu apartemen menyala otomatis saat ia masuk, tapi Sehun tak bodoh untuk menyadari bahwa apartemen ini terasa dingin. Seperti lama tak dihuni. Gorden juga tertutup rapat. Berjalan masuk Sehun menemukan dapur dalam keadaan lebih dingin. Lampu chiller mati pertanda bahwa benda itu sudah tak difungsikan. Yang membuat Sehun terpaku adalah saat ia membuka laci lemari kabinet, ia menemukan semua kunci ruangan terkumpul disana.

Luhan sudah meninggalkan apartemen.

Sehun meraih kunci dan membuka pintu kamar. Kamar itu tetap sama. Tujuannya satu, Sehun ingin melihat isi almari Luhan. Ia berharap gadis itu tidak benar-benar meninggalkan apartemen— walaupun itu tidak mungkin.

Almari itu tetap utuh. Semua barang masih ada disana. Tapi itu malah membuat Sehun lebih miris. Semua barang ada, kecuali barang pribadi yang dibawa Luhan dari China. Itu berarti Luhan pergi dengan meninggalkan apapun yang berasal dari Sehun. Apa memorinya dengan Sehun juga ia tinggalkan? Apa benar-benar sudah tidak lagi ada?

Sehun menoleh ke arah ranjang. Matanya berhenti di meja nakas. Ponsel pemberian Sehun untuk Luhan—ponsel couple mereka, tergeletak disana. Luhan meninggalkannya. Ya, gadis itu sudah benar-benar pergi dari Sehun.


12 April.

Hari ini Luhan akan berangkat ke USA. Melanjutkan kuliahnya selama dua tahun disana. Ia bersiap-siap. Membawa sedikit barang yang pasti berguna dan meninggalkan apapun yang tak perlu.

Sehun berhenti pada sebuah persimpangan lorong kampus. Menunggu Ren keluar dari kelasnya, Sehun memperhatikan seorang gadis yang baru saja masuk ke perpustakaan. Ia Luhan. Gadis itu membawa beberapa buku yang terlihat berat ke dalam.

"Kau akan berangkat?" Suara Sehun begitu lirih. Tangannya mengambil alih buku-buku yang gadis itu bawa.

"Ya."

"Akhirnya kau berhasil. Dimana aku bisa menaruh buku ini?"

Luhan tersenyum,"Ini masih permulaan." Kemudian menunjuk rak buku bertuliskan 'Ilmu Bisnis' di rak bernomor 045.

"Semoga kau baik-baik saja disana."

"Semoga," masih dengan senyum yang sama, Luhan menjawab dengan begitu tenang. Itu malah menyulut emosi Sehun. Bukan ini yang Sehun harapkan. Ia berharap tidak ada senyum di wajah Luhan. Ia ingin gadis itu menamparnya, meninjunya dengan membabi buta, atau menendangnya dengan brutal. Apapun, ia ingin melihat rasa kecewa Luhan karena ia telah meninggalkannya.

Lama saling terdiam dengan Luhan yang menatap kemeja biru-hitam milik mantan kekasihnya itu dan Sehun yang masih diam dengan buku di kedua tangannya. Keduanya saling menatap. Tatapan yang mulanya tegar itu menyurut menjadi redup.

"Cobalah menghubungi Kris. Aku sudah menjelaskan padanya dan ia mengerti. Kuharap sebagai adik, kau memiliki etikat baik untuk meminta maaf," Luhan berujar.

"Tapi aku tidak—"

"Aku tahu kau tidak salah. Tapi menyuguhi kakakmu yang baru datang dengan sebuah masalah, menurutku itu sesuatu yang keterlaluan."

"Dia menamparku!" Suara Sehun meninggi. 22 tahun dia hidup, ia tak pernah mendapatkan tamparan dari Kris. Dan itu menyakitinya.

"Aku bukan tipe pemaksa," Luhan bergerak menjauh. "Aku hanya menyarankan. Maaf, aku harus pergi."

Sehun tak menahan Luhan untuk pergi walaupun ia sangat ingin.

"Oh ya, Oh Sehun, happy birthday."

Luhan mengucapkannya. Satu kalimat pendek yang Sehun tunggu-tunggu. "Oh Sehun, happy birthday." Sederhana namun begitu menusuk. Tahun-tahun lalu, pasti ada cake tangerine buatan Luhan di setiap tanggal 12 April. Ucapan selamat ulang tahun yang terus menggema sepanjang hari. Kecupan-kecupan kecil sampai pada pagutan manis yang panas. Dan hari ini, "Oh Sehun, happy birthday."

Hanya tiga kali Luhan memanggil namanya dengan 'Oh Sehun'. Pertama, saat mereka berkenalan di dalam bus biru nomor 203; kedua saat gadis itu menerima cintanya; dan hari ini saat mereka berpisah. Sakit.


"Aku akan pulang ke apartemenku," Sehun mengantar Ren ke depan gedung agensi. Ia melepaskan seat belt wanitanya. Dua bulan mereka tinggal bersama di apartemen Ren. Sekarang Luhan sudah pergi ke USA, Sehun ingin sekali lagi tidur di apartemennya. Apartemennya bersama Luhan. "Kirimkan pesan jika kau sudah selesei. Aku akan menjemputmu," kemudian ia mengelus puncak kepala Ren dengan lembut. Wanitanya masih tersenyum dengan sangat cantik. "Kenapa tersenyum, eum?"

Ren mendesah pelan. Ia membasahi bibir soft-pink miliknya dengan sangat lembut. "Tidak. Hanya saja aku sangat bersyukur karena memilikimu dengan utuh, Sehun. Tapi aku merasa bersalah. Luhan sunbae pasti merasa sangat kecewa. Dan juga kakakmu, aku merasa—"

CUP.

"Berhentilah membahas itu, Ren. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku. Kurasa Luhan cukup cerdas untuk memahami itu." Ciuman itu berubah menjadi pagutan. Sehun tak memahami apa yang ia rasakan sekarang. Hatinya terasa hangat yang berlebihan. Menjalar pelan dan berubah menjadi panas. Berujar bahwa ia mencintai Ren dan menyatakan bahwa Luhan pasti mengerti membuat ia merasa sesak.

Ya, Luhan pasti merasa sakit, walaupun ia tak pernah mengatakannya. Sehun pun demikian, ia juga masih mempertanyakan apakah rasanya untuk Ren adalah perasaan cinta?

Dan air mata itu lolos dari mata Sehun. Terisak pelan dalam ciuman yang semakin pelan temponya. Ia berdosa. Ia meninggalkan Luhan begitu saja. Dalam kasus ini, bukan Luhan yang meninggalkannya tapi Sehun. Sehunlah yang mencampakkan Luhan.


Sehun benar-benar berniat melupakan Luhan. Ia sedang tertidur di ranjang kamar saat ia mendengar alarm berbunyi. Ia merasa baru saja tidur, apa sudah pagi? Ia membuka matanya dan mendapati beker merah bermotif Rudolf itu bergerak pelan. Sehun melirik kalender di samping lampu hias. 20 April. Gadis itu ulang tahun hari ini.

Dua botol scotch whisky sudah berpindah ke lambungnya. Perayaan ulang tahun untuk mantan kekasihnya. Ia tersenyum dalam redup ruang santai di apartemen miliknya. Sampai suara pintu terbuka membuat Sehun beranjak dan berjalan cepat menuju sumber suara.

"Kau baru pulang? Ini sudah malam. Ada yang harus kita rayakan," suara khas mabuk terdengar dari bibir Sehun. Ia terhuyung memeluk gadis tinggi dihadapannya. "Kau mengganti parfummu? Aku tidak suka."

"Sehun, kau mabuk?" Ren menepuk pipi Sehun yang terasa basah. Sehun menangis tadi. Ren dapat melihat hulu aliran itu memerah.

"Aku menginginkanmu malam ini. Mari kita bercinta dan merayakan hari ulang tahunmu."

"Ulang tahun? Apa? Ini bukan ulang—"

Namun telat. Sehun sudah melumat habis bibir Ren. Menggiring Ren dengan sempoyongan menuju sofa merah marun di depan home-theater. Menghempaskan tubuh kurus wanita itu di bawah tubuhnya. "Kau bilang kita akan melakukannya di hari ulangtahunmu ke 22, kan? Mari kita melakukannya, Lu."

Dua kalimat itu mematikan buih rasa di hati Ren. Hari ini ulang tahun Luhan. itu alasan mengapa Sehun mabuk. Dan Sehun menggagahinya malam ini karena ia mengira Ren adalah Luhan. Jadi selama ini siapa Ren untuk Sehun?

"Aku akan pelan-pelan, sayang. Mari kita mengunjungi surga."

Dan semua di mulai. Sehun dengan lembut melumat bibir Ren. Tangannya meremas lembut dada sintal milik Ren. "Ahh, dadamu semakin membesar, Lu."

Ren hanya diam. Ia menangis. Ia tahu sedari awal bahwa Sehun sangatlah mencintai Luhan. Ia hanya gadis bodoh yang mau dijadikan pelampiasan karena Luhan terlalu sibuk untuk sekedar memperhatikan Sehun. Malam ini, biarlah Ren mendengar kejujuran rasa Sehun. Sosok mana yang pria tinggi ini harapkan.

Ren membalas pagutan Sehun. Begitu lembut. Ia tidak pernah merasakan pagutan selembut ini dari sang kekasih. Sehun selalu melakukannya dengan terburu-buru. Meremas tiap jengkal tubuhnya dengan kekuatan penuh. Membuatnya melenguh karena sakit dan nikmat. Tapi malam ini berbeda, Sehun begitu lembut, begitu menikmati, dan begitu lelaki.

Tangan kokoh itu berlanjut pada pusat kenikmatan Ren. Mengelus pelan biji klitoris yang sudah basah di bawah sana. Mengelusnya pelan—antara benar-benar menyentuh dan hanya sekedar menggoda. Sentuhan itu sangat manis.

"Lu, apa ini nikmat? Eum?" bisikan Sehun di telinga Ren membuat model manis itu meringis. Luhan. Ingatkan Ren bahwa malam ini ia berperan sebagai Luhan.

Ren menggangguk dan menangkap bibir Sehun kembali. Memagutnya dengan sangat lembut. Pria ini menyakitinya, tapi ia tahu bahwa Sehun juga merasa sangat sakit selama ini.

"Lakukan, Sehun. Lakukanlah. Miliki aku malam ini."

Saat kalimat itu lolos dari bibir Ren, Sehun menelusupkan kepalanya ke selangkangan wanitanya. Ren bisa merasakan Sehun sedang menghirup bagian kewanitaannya dengan penuh nikmat. "Ini begitu manis, sayang." Dan selanjutnya permukaan lidah Sehun yang kasar menyapa tiap inchi ujung syaraf kenikmatan itu. Menjilat, menghisap, dan menusuk dengan ritme yang menggila.

Melepas pakaian keduanya, Sehun mengarahkan tangan kiri Ren pada kebanggaaannya,"Jika kau masih belum siap, kau hanya cukup meremasnya seperti ini, sayang."

Apakah Sehun selalu selembut ini pada Luhan?

Ren menggenggam penis sekeras kayu itu, menuntunnya menuju bibir mungilnya.

"Aaarrrgggghhh... seperti itu, sayang. Ouughh... lakukan seperti biasanya, sayang. Tunjukkan bagaimana kau menghisapnya seperti malam-malam kemarin. Aku merindukan hisapanmu."

Jadi Sehun dan Luhan pernah melakukan ini sebelumnya? Saling menghisap pusat kenikmatan masing-masing? Ren tidak pernah mengetahuinya.

"Masuki aku, Sehun. Nikmati aku," dan kalimat itu menguar dari bibir Ren.

Ia merasa kecewa. Ia tak mengira bahwa Sehun begitu memuja Luhan.

Dan permintaan Ren dikabulkan oleh Sehun. Masih dengan kesadaran yang jauh dari jiwa, Sehun masih mengira bahwa yang berada di bawah tubuhnya adalah Luhan. Ia menuntun pelan ujung penisnya pada permukaan basah di antara selangkangan hangat itu. Menekannya dengan pelan sampai ujung itu tertanam dengan sempurna. Menghentakkan dengan lembut kemudian bergerak. Kedua tangannya bertumpu pada pinggul ramping tepat di bawahnya. Menghentakkan pinggul miliknya sehingga bunyi keciprak nikmat memadu dengan atmosfer yang semakin hangat. Menit-menit yang panjang diarungi keduanya dengan nikmat. Sampai Ren mengejang dan satu lenguhan panjang wanita di bawahnya mengantarkan Sehun pada denyutan parah pada penisnya. Ia akan segera sampai, maka ia mengangkat bokongnya berniat untuk melepaskan penisnya sebelum benih itu memenuhi rahim sang terkasih.

Sampai detik terakhir Sehun hendak menarik diri, Ren menarik tangannya mendekat. "Di dalam, Sehun, di dalam. Siram aku dengan kehangatanmu."

Kalimat itu begitu mengundang birahi yang semakin memuncak. Sehun menghentakkan kasar penisnya ke dalam rahim Ren. Melenguh tertahan dan benih itu mengalir di dalam sana.

"Luuuu... aaaaarrggg... Ini, ini..." Sehun melepaskan penisnya dan menjejalkan dua jarinya ke dalam lubang basah Ren. "Luhan, kau begitu manis. Aargghh, lihat spermaku bersarang dimilikmu." Ia melumat habis dada Ren.

"Jangan Lu, jangan kau keluarkan. Biarkan benih itu disana," Sehun terdengar begitu prustasi. Ia memasukkan kembali tiap tetes spermanya yang merembes keluar dengan jemarinya. Membuat Ren mengerang kembali.

"Kau ingin lagi, Sayang? Kau ingin aku membanjirimu lagi? Eum?" Sehun kembali menciumi tiap jengkal tubuh Ren. "Katakan, sayang. Jangan memendamnya, Lu."

"Lagi, Sehun. Lagi. Gagahi aku lagi," Ren menangis. Pria yang ia cintai, yang ia percaya, dan yang telah merenggut kegadisannya beberapa bulan yang lalu. Pria ini tak pernah mencintainya. Ia hanyalah sosok pelampiasan. Jadi, untuk malam ini biarlah, biarlah ia melihat Sehun yang sebenarnya.

Keesokkan harinya, Sehun bangun di sofa dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Ia mencium aroma roti bakar dari arah dapur. Namun lebih dari aroma roti bakar, Sehun mencium aroma lendir cinta yang begitu kuat di sekitarnya.

"Ren..."

Ia memanggil kekasihnya. "Kau disana?"

Kepalanya masih pening saat ia mencoba beranjak. Ia kembali terduduk saat kakinya terasa mati rasa. Dan juga, ia telanjang.

Setelah mandi, ia beranjak menuju dapur. Tidak ada orang. Ia menemukan roti bakar dan susu yang masih hangat. Disampingnya, ia melihat sebuah sticky note berwarna cokelat.

Enam bulan memang waktu yang singkat tapi aku menyukainya. Oppa, terima kasih. Kau memberikanku semua rasa yang aku belum pernah menemukannya dari orang lain. Aku tahu, kau masih mencintai Luhan sunbae. Kejarlah dia. Aku harus pergi untuk mengejar mimpiku. Akan menemuimu kembali saat matahari sudah muncul di senyummu.

Yang selalu mencintaimu,

Minki


Lima tahun berlalu semenjak hari ulang tahun Luhan ke 22. Semenjak Ren pergi dari Sehun. Lima tahun itu pula Sehun tidak memiliki keduanya, tidak Luhan, tidak Ren.

Ia tahu Luhan sedang berada di Beijing sekarang. Bisnis ayahnya yang kian berkembang menguasai pasar Asia Timur dan Asia Tenggara tidak lepas dari kontribusi Luhan yang mengambil alih. Gadis itu mengenbangkan bisnis ekspor skala kecil milik ayahnya menjadi sebuah perusahaan tekstil besar.

Ren. Gadis manis yang sudah Sehun rubah menjadi wanita lima tahun yang lalu itu, kini berada di Paris. Menjadi seorang model yang rupawan. Wanita itu baik-baik saja. Bahkan beberapa kali saling menanyakan kabar dengan Sehun.

Kris. Kakak kandung Sehun, lelaki itu masih sibuk dengan bisnisnya. Menjalin hubungan dengan seorang model dan penyanyi asal China bernama Zitao. Dua hari yang lalu, ia menerima undangan dari kakaknya. Itu kali pertama Kris menghubunginya setelah kejadian Kris memergoki Sehun bercinta dengan Ren. Kakaknya akan menikah.

Sehun. Ia sendiri tidak tahu bagaimana ia berada di titik ini. Dulu ia tak pernah berfikir tentang akan mencari uang sendiri. Karena tiap kebutuhannya sudah ditanggung oleh Kris. Namun ia berubah saat kedua wanita yang pernah mengisi harinya pergi. Ia memiliki semangat untuk berjuang. Hasilnya, sekarang ia memiliki enam restoran dan empat resort di Korea. Itu sudah lumayan cukup menurutnya.

Seusai menghadiri pemberkatan pernikahan Kris, Sehun datang pula ke acara resepsi pernikahan. Diadakan di sebuah hotel berkelas di Seoul. Sehun datang dengan setelan jas serba hitam dari ujung kaki sampai dasi. Rambut peraknya ditata rapi menyamping, anak rambut berelief tegas membingkai wajahnya yang rupawan.

Jantungnya terasa berdetak tak terkendali saat memasuki hall karena Kris mengatakan padanya bahwa Luhan akan datang malam ini. Ini adalah kesempatan terakhir Sehun. Mungkin saja rasa yang lima tahun lalu ada masih tersisa di hati sang pujaan hati.

Duduk di sofa di sudut kiri bar mini di dalam gedung itu, Sehun memandang sekeliling. Banyak sekali tamu undangan. Ada beberapa yang ia kenal, semuanya adalah pelaku bisnis. Tidak ada orang biasa saja disini, semua orang yang hebat. Matanya menangkap sosok yang begitu membinar di antara semua tamu.

Luhan.

Gadis itu— entah ia masih gadis atau tidak diusianya yang ke 27 tahun, tapi Sehun berharap iya, ia memakai gaun merah darah yang begitu kontras dengan kulit putihnya. Belahan dada yang sampai pada titik temu payudara kiri dan kanannya terlihat begitu menggoda para pria disana. High-heel hitam legam menumpu tubuh sintalnya. Mengangkat harga Luhan beberapa poin keatas. Rambut cokelat madu yang menutupi belahan punggungnya.

Sehun tetap duduk disana sampai mata rusa Luhan menemukan sosoknya. Sosok yang memperhatikan sang rusa. Mata mereka bertemu. Tidak ada ekspresi di kedua wajah namun tak ada pula yang memalingkan wajah diantara keduanya. Sampai saat Sehun tersenyum dan hendak beranjak mendekati Luhan, seseorang datang ke arah Luhan.

CUP!

Lelaki berbadan tegap namun tak lebih tinggi dari Sehun itu mencium kening Luhan. memeluk sebentar tubuh Luhan, kemudian tersenyum manis.

Hati Sehun seperti luka yang disiram cuka, perih, berdarah, dan membuih nanah. Lima tahun, Sehun! Dan kau berharap gadismu masih tetap sendiri? Kau gila.

Kemudian Luhan hilang di dalam kerumunan manusia di dalam gedung, bersama pria itu.

"Namanya Kim Jongin. Ia hanyalah sepupu Luhan," seseorang menghampirinya. "Kau pernah mendengar namanya? Ia CEO baru agensiku." Ren tersenyum manis.

Sehun menatap Ren lekat. "Bagaimana kau bisa berada disini? Kenapa kau pergi? Bagaimana kabarmu? Ren, aku merindukanmu." Semua kalimat yang mengiang di kepala Sehun buyar dengan pelukannya yang sangat erat pada tubuh kurus Ren. "Maafkan aku, Ren. Maafkan aku. Aku telah melukaimu."

Ren tersenyum manis. Matanya membentuk bulan sabit yang manis. "Kini aku sudah memiliki kekasih, Oppa."

"Apa?" Sehun tercengang. Kekasih? Oppa?

"belum, aku belum berkencan," Ren menunduk. "Tapi tenanglah. Kim Jongin, pria yang mencium Luhan itu. Aku akan mendapatkannya."


Balkon besar di lantai lima terlihat sangat menarik perhatian Sehun. Balkon ini berada lurus dengan kamarnya yang dipesankan oleh Kris. Ia bersikeras untuk tidak menginap di hotel. Toh, jarak apartemennya tak jauh dari sini. Akan berlebihan jika ia harus menginap di hotel bersama dengan mereka yang jauh-jauh datang dari luar negeri.

Ia berjalan mendekati balkon, menghirup udara dengan pelan saat matanya menangkap adanya Luhan di ujung balkon. Angin malam menyapa tubuh langsingnya, menyibakkan rambut indah itu ke arah lain, memperlihatkan punggung putih yang menawan.

Gadis itu menoleh, tersenyum manis— yang terlihat sebagai senyuman nakal bagi Sehun. Mereka saling menatap dengan senyum di bibir Luhan dan wajah serius di wajah Sehun.

Sampai saat mata yang saling beradu itu terpejam salah satu. Sehun berjalan cepat menuju gadisnya. Ia yakin Luhan masih menjadi gadisnya. Ia memeluk dan menciumnya dengan brutal. Menempelkan punggung terbuka Luhan pada sisi tembok. Tak memberikan kesempatan bagi Luhan untuk meronta.

"Hmmpp... bisakah kau sedikit pelan, tuan Oh."

"Lu..."

"Ya, aku mencintaimu, Sehun. Jadi jangan banyak bicara, peluk aku. Aku merindukanmu."

Mereka saling berbincang canggung beberapa saat, sampai Luhan berpamit menuju kamarnya.

Hanya seperti inikah pertemuan ini?

Cinta? Tadi Luhan menyatakan cinta kan? Gadis itu menerimanya lagi? Semudah itukah?


Sehun berjalan tak bertenaga menuju kamar nomor 5056, menempelkan kartu pada pemindai, kemudian membuka knop.

Ia begitu kenal aroma ini. Cendana. Aroma apartemennya bersama Luhan. Mungkin hanya sebuah kebetulan.

Ia berjalan menuju ranjang ketika ia melihat ada dua gelas anggur di meja. Ada high-heel hitam tergeletak di sisi sofa. Ia juga mencium aroma parfum yang ia kenal. Tidak mungkin.

"Kau telat 30 menit," Sehun menegang saat ia mendengar suara khas Luhan dari belakangnya.

"Lu..."

Sehun takut untuk membalikkan badannya. Ia takut bahwa semua hanyalah delusi belaka. Namun saat ia berbalik, ia melihat bidadari cantik itu disana.

Dengan balutan bath drobe peach, rambutnya yang basah tergerai bebas. Kakinya tak beralas terlihat begitu mungil. Luhan merentangkan tangannya. Ia berbisik tak bersuara, hanya gerakan bibir itu terbaca oleh Sehun. "Aku merindukanmu."

Dengan sedikit berlari, Sehun mendapatkan pelukan Luhan. Melanjutkan sesi di balkon tadi, Sehun tak bisa dihentikan. Ia memagut dan merajang tubuh Luhan dengan sentuhan nikmat yang begitu memabukkan.

"Sehun, pelan-pelan. Semua sudah menjadi milikmu. Jadi nikmatilah seperti kau menikmati wiski. Pelan, rasakan pada tiap pori indera perasamu, dan jadikan kau mabuk atas tubuhku malam ini, besok, dan selamanya."

"Lu..."

"Mari menjadi dua manusia dewasa yang saling mencinta. Kau tahu bahwa aku wanita dengan opsesi menggila. Aku tidak pernah melepaskanmu, Sehun. Aku hanya memberimu waktu untuk sedikit menyicipi rasa yang lain."

"Jadi?" Sehun mengangkat alis kirinya.

"Jadi, aku memintamu kembali. Hanya menjadi milikku."

"Jadi kapan kita menyudahi perbincangan gila ini? Penisku sudah begitu mendamba himpitanmu, sayang."

Sebenarnya mereka sama-sama tahu bahwa mereka tidak pernah bisa saling lepas satu dengan yang lain. Luhan tetaplah yang terbaik sedari awal bagi Sehun. Wanita dengan opsesi dan kegilaan untuk menjadi orang kaya, sebenarnya tak lebih dari wanita kebanyakkan. Ia mendamba sentuhan pria. Dulu ia hanya menundanya, dan sekarang adalah waktu untuk melepasnya. Ia sudah mendapatkan semua yang ia inginkan di dunia. Sekarang yang ia inginkan hanyalah Sehun.

Sehunpun sama. Ia begitu gila. Ia mengingat bagaimana dulu Luhan begitu rakus melahap penisnya. Disaat Luhan menekankan kepalanya di antara selangkangannya, Sehun tahu nafsu Luhan begitu besar. Si cantik itu hanya menahannya dulu. Dan sekarang sesuatu bernama birahi itu membeludak dalam diri Luhan dan Sehun suka.

"Aaaarrgggghh... Sehun..."

Sehun tersenyum dalam permainannya. Ia berada di antara selangkangan Luhan. meniup pelan klitoris pink yang mengkilap basah karena liur Sehun teteskan.

"Hisaplah, Sehun, kumohon."

"Tidak."

"Kalau begitu berhentilah bernafas! Nafasmu seperti minyak dalam bara birahiku."

Sehun tersenyum. Luhan sudah tumbuh begitu dewasa. Lugas tetap menjadi gaya Luhan, dan lagi itu benar-benar menguntungkan Sehun diatas ranjang.

"As your want, sweetheart." Sehun menjulurkan lidahnya pada ujung kritoris Luhan yang benar-benar tegang. Tangannya meraih bongkahan dada Luhan yang tak kalah tegang. Gadis ini sudah menahan lama rupanya.

Mengalur pelan dari lubang vagina sampai dengan perpotongan ujung vagina, lidah Sehun bergerak dengan sangat pelan. Menekan lembut pada bagian-bagian yang tersensitif— lubang klitoris Luhan contohnya. Saat bagian itu tersentuh dengan ujung lidah, maka pemiliknya akan menggeliat prustasi. Begitu terus, sangat lembut dan pelan. Luhan hampir gila karenanya.

Sehun ingin Luhan tahu betapa tersiksanya menunggu melakukan ini. Jadi Sehun menamai kegiatan ini sebagai sebuah hukuman. Luhan berkeringat parah, tekanan lidah Sehun pada lubang klitoris Luhan mengantarkan Luhan pada getaran menuju orgasme. Tak sampai disitu, Sehun mencubit besar kedua sisi vagina Luhan, menyisipkan lidahnya dengan posisi vertikal keatas, sehingga ujung lidah tepat di lubang klitoris dan batang lidanya terjepit vagina Luhan. dengan begitu Luhan akan merasakan betapa hangat lidah Sehun. Sebaliknya, Sehun merasakan cairan kental nan asin itu mengalir di balik lidahnya. Aromanya begitu nikmat.

Ia bangkit dan memandang Luhan yang menatapnya sendu.

Tangan Luhan terjulur, bukan pada Sehun tetapi pada vaginanya. Ia menekan lubang itu membasahi tangannya dengan cairannya sendiri. Kemudian merangkak ke atas tubuh Sehun. "Kau belum pernah merasakan betapa gilanya aku saat kesal."

Jemari basah akan cairan asin itu Luhan julurkan pada bibir Sehun. "Hisap, sayang. Nikmati rasanya," dan Sehun menurutinya. Ini sudah tiba saatnya bagi Sehun merasakan surga. Luhan akan menggila.

Ia menghisap jari Luhan di dalam bibirnya, merasakan nikmat cairan Luhan yang manis. Tangannya mengelus rambut Luhan yang masih basah bekas keramasnya. Menekan agar bibir mungil itu semakin gila mengulum penisnya.

Semakin gila lidah Sehun membelai jemari Luhan, maka lidah Luhan di bawah sana juga akan semakin menggila. Mereka hilang kendali.

Saat bibir itu bergerak begitu beringas pada penisnya, Sehun dibuat terperanjat karena tiba-tiba Luhan melepasnya dan berpindah mengulum testis Sehun yang memerah.

"Ooouugghh... Lu, dimana kau belajar memainkannya?"

"Aku menguasai ilmu anotomi puluhan kali lebih baik darimu, tuan Oh."

"Begitu? Kalau begitu, lakukan yang terbaik sampai aku tak kuasa untuk tidak menusukmu sampai kau pingsan."

Dan benar saja, kegilaan yang dilakukan Sehun tadi dibalas dengan kenikmatan yang begitu besar. Sehun meledak di dalam bibir Luhan. Tangannya mencari pegangan untuk melampiaskan kenikmatan, sampai ia menemukan benda persegi panjang yang keras. Ia meremas benda itu kuat, kemudian melemparnya ke sembarang arah.

"Oh Sehun, itu smartphoneku!"

"Persetan dengan benda itu!" Sehun memutar tubuh Luhan. Menindihnya dan mengarahkan penisnya ke lubang basah Luhan. "Sudah cukup kau mempermainkanku, Lu. Mari kita ke intinya."

Ucapan Sehun membuat Luhan menegang. Ia mengerti semua cara melakukan ini dari teori. Ia belum pengalaman dalam hal praktek. Tao bilang akan sangat sakit dipertama kali. Ia takut.

Sehun memungut celananya di sisi lain ranjang. Mengambil dompet di saku kanannya dan mengambil bungkus foil berwarna perak. Merobek bungkusnya dengan gigi kemudian memasangnya dengan cepat di penisnya.

"Apa kau sedang bermain-main dengan mengambil perawanku dengan halangan kondom, Sehun?" Luhan meraih penis tegang itu, menarik kondom itu dengan kasar kemudian membuangnya. "Jangan bercanda. Nikmati setiap detail lubangku tanpa that m'fucker condom!"

Dan katakan Sehun gila. Ia tersenyum menang dan melesakkan penisnya ke dalam lubang sempit Luhan.

"See—Sehuun..." mata Luhan terbelalak. "Bi..bisakah kau pelan? Ini kali pertama bagiku."

Sehun tersadar.

Ia mengecup pelan kening Luhan, menggerakkan dengan pelan pinggulnya, sampai ia merasa ada cincin yang terkoyak di dalam sana. Rasa hangat muncul perlahan. Darah perawan Luhan. Sehun memejamkan mata dalam pelukannya atas Luhan. Matanya menitikkan air mata. Sehun sudah meniduri lebih dari sepuluh wanita selama kurun waktu enam tahun terakhir, dan gadis terkasihnya masih tetap menjaga kesuciannya. Mempersembahkannya pada dirinya yang begitu bajingan.

"Lu..."

"Teruskan, Sehun. Ini tidak terlalu sakit seperti apa yang Tao katakan."

"Aarrgghh.." erangan Sehun muncul pertanda betapa nikmatnya lubang Luhan.

"Atau... aahhh... atau mungkin... aahh..." Luhan terbata dalam hentakan Sehun. "Atau mungkin memang milikmu tidak lebih besar dari milik Kris— ooohhhh Sehuuunn kau gila!"

Sehun terbakar mendengar itu. Bagaimana bisa Luhan membandingkan miliknya dengan milik Kris disaat seperti ini.

Sehun duduk di sisi ranjang dengan hanya memakai boxer hitamnya. Luhan sedang membersihkan vagina manisnya dari sisa sperma Sehun. Sehun tersenyum. Yang barusan sungguh hebat.

Sehun beranjak menuju pintu yang terketuk pelan. Sebelumnya ia meraih gelas anggur di atas meja, meneguknya tergesa kemudian membuka pintu.

"Aku memesannya secara khusus di Brazil. Ini berlian ilegal jika kau ingin tahu. Berlian yang diburu Luhan dengan menggila. Nikahi dia. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu. Bahagiakan adikku."

"But I'm your biological brother, Kris," Sehun menerima box violet bening itu dengan tetap membiarkan Kris yang berdiri di balik ambang pintu.

"Look! Sebrutal inikah Luhan diatas ranjang. How about your little dick? Is he okay?" Kris yang masih dengan jas pernikahannya mengintip tubuh Sehun yang terbuka dengan beberapa titik kissmark yang ketara.

Sehun mengangkat ujung bibirnya jengah. Ia menutup pintu dengan cepat. Tanpa berterima kasih dengan dua cincin manis berukir nama Sehun dan Luhan disana.

Kris begitu sempurna dalam membuat perencanaan.

Kembali ke ranjang, Sehun melihat bercak-bercak di bed cover putih itu. Ada setitik bekas darah yang begitu kental. Disusul noda putih kemerahan. Sehun memandang noda itu lama— noda perpaduan antara spermanya dan darah perawan Luhan.

Saat pintu kamar mandi terbuka, Sehun tersenyum. Ia menarik nafas dalam dan memutar tubuhnya yang hanya terbungkus boxer.

"Luhan, melihat apa yang sudah kita lakukan malam ini dan apa yang akan kita lakukan setelah ini, kurasa kau akan hamil. Jadi kau hanya memiliki satu pilihan," ia tersenyum. Meraih jemari Luhan kemudian menyisipkan cincin berberlian biru itu di jari manis kanan Luhan. "Kris sudah mendaftarkan pernikahan kita, dilaksanakan di gereja yang sama seperti tadi pagi. Kau akan menjadi milikku."

Luhan tidak terkejut atau merasa terharu, yang dilakukannya hanya memutar bola matanya jengah. "Sungguh Kris sangat romantis."

"Kris?"

"Aku yakin kau hanya menyumbang sperma di dalam rencana ini," Luhan melewati Sehun. "Bahkan cincin kawin ini juga disiapkan oleh kakak iparku. Nilaimu minus untuk ukuran seorang calon suami, Sehun."

"Aku akan membelikanmu yang baru kalau begitu. Aku akan menyiapkan sebuah lamaran yang romantis untukmu."

"Itu tidak cukup."

"Lalu apa yang kau mau?"

Dengan masih memakai bathdrobe, Luhan melihat calon suaminya yang hanya memakai boxer itu berdiri kesal.

"Pikirkanlah sendiri," gadis yang beberapa saat lalu resmi menjadi seorang wanita itu meraih anggur merah diatas meja.

"Aku akan membelikanmu Chevrolet terbaru."

"Aku bisa membelinya dengan uangku sendiri," Luhan menyilangkan kakinya dengan anggun.

"Aku akan membelikanmu galeri Supreme."

"Dua tahun yang lalu aku bekerja sama dengan label itu untuk membuat tujuh galeri di Asia Timur."

"Aku akan membuatkanmu 10 di Asia Tenggara."

"Itu aku baru menandatanginya minggu kemarin."

Sehun berhenti. Ia menyadari bahwa Luhan memang lebih cerdas dan kaya dibanding dengannya.

"Hanya jangan pernah pergi dariku, Oh Sehun! Aku akan membunuhmu jika itu terjadi."

Dan kalimat itu menjadi akhir dari adu mulut mereka; menjadi awal kembalinya Sehun dan Luhan; tertulisnya kembali nama Luhan disamping nama Sehun; dan nanti, akan menjadi awal lahirnya bocah dari pertarungan jutaan sperma Sehun yang berlari ke sel telur Luhan. Di dalam sana, menjadi saksi lamaran orangtuanya yang jauh dari kata romantis.

Note :

Winter Solstice adalah series kedua setelah Violet Autumn (pernah diposting jaman dahulu di page ff).

Di Winter Solstice, Luhan akan berperan sebagai wanita. Bagi yang tidak menyukai adanya gender-switch, Vi menyiapkan Critical Summer, FF boyxboy. Update soon.

Dimohon reviewsnya sebagai bentuk respon lanjut tidaknya FF ini. The last, lets-love. *bowing*