Naruto © Masashi Kishimoto

Rate : M

Pairing : NaruSaku

Warning : OOC. AU. MISTYPO. Dan segala macam kesalahan lain yang ada di dalamnya.

Gak suka gak usah baca..:)

Don't read it if you don't like it, don't bash..^^

Happy Reading...

.

.

Seducing You © Raye. Harrogath

Beta-reader/Editor © HzL

.

.

.

.

Sakura pulang dengan perasaan dongkol yang menggerogotinya. Bosnya itu telah berhasil merusak seluruh ketenangan yang susah payah dicapainya, hanya dengan mengutarakan persepsinya secara tak langsung tentang jenis pria yang dikencaninya.

Ia menaiki tangga menuju apartemennya yang terletak di lantai satu. Sama sekali tak peduli dengan suara berisik yang ditimbulkan oleh langkah kakinya. Ia sedang tak berada dalam suasana hati terbaiknya karena pria itu. Berani-beraninya pria mengambil asumsi bahwa dia berkencan dengan seseorang yang membosankan. Apa karena ini dia mberikan tiket gratis itu pada Sakura?

Sengaja karena ingin memastikan betapa membosankan pasangannya?

Sudut mata Sakura berkedut, dan dia ingin sekali menghantamkan tas besarnya kepada pria itu, jika saja dia tak mengingat perjuangan mati-matian yang dilakukannya untuk mendapatkan tas keluaran terbaru yang berharga mahal itu. Tapi dibandingkan itu, Sakura jelas ingin melihat Naruto ternganga lebar, dan terpana memandang pasangan yang akan diajaknya malam nanti. Ia ingin sekali meninju kesombongan pria itu, membuatnya termakan mentah-mentah akan asumsi bodoh yang dibuatnya sendiri. Oh, Sakura jelas akan menikmati saat di mana Naruto akan memandang tak percaya ke arahnya sewaktu dia hadir bersama Sasori, dengan penuh rasa percaya diri.

Yah, siapa juga yang tak akan merasa percaya diri jika kau menjadi pasangan seseorang seperti Sasori yang tampan di pesta, Sakura merasa ingin membenturkan kepalanya ke pintu apartemennya, dan meringis ketika dia justru benar-benar melakukan itu. Sembari mengusap dahinya yang terasa sakit akibat ulah bodohnya, dia mengulurkan tangan ke dalam tasnya untuk mencari kunci apartemennya. Menoleh ke belakang, ke pintu apartemen lain yang berseberangan dengannya, Sakura mengerutkan kening. Ia berharap Sasori sedang berada di dalam. Karena jika tidak, matilah dia.

Sakura jelas tak mau menghadiri pesta amal itu seorang diri. Harga dirinya tak akan mengizinkannya menghadapi seorang Namikaze Naruto sendirian. Ia harus punya pasangan, dan itu Sasori!

Atau siapapun.

Yang bisa dia mintai tolong.

Seseorang, tolong jelaskan padanya kenapa dia menyebut nama Sasori?

Mengerang pelan, Sakura mendorong pintu apartemennya hingga terbuka lalu masuk ke dalam. Melepas sepatunya, sementara tangannya terulur mencari saklar lampu yang terletak di samping pintu, menerangi tempat sederhana yang telah ditinggalinya semenjak kuliah.

Apartemen bertipe studio yang tak terlalu luas, namun merupakan surga pribadinya. Kebanggaannya, karena dia berhasil merombak ruangan yang hanya terdiri dari satu ruang kosong dan sebuah kamar mandi, menjadi tempat tinggal yang memiliki ruang tamu, tempat tidur, dan dapur. Ia melemparkan tasnya ke bantal raksasa yang berfungsi sebagai pengganti sofa, dan berada di pinggir ruangan lalu segera menuju ke tempat tidurnya yang berada tepat di sudut ruangan, di dekat jendela.

Ia menyibakkan tirai putih transparan yang menjadi penutup ruang tidurnya, yang membuatnya seakan menjadi ruang tersendiri sebelum menghela nafas panjang dan menghempaskan badannya ke atas ranjang.

Sakura terdiam beberapa saat, memandangi langit-langit yang berwarna putih, sebelum akhirnya kembali duduk di atas ranjang. Tangannya terulur untuk melepaskan ikatan rambutnya, membiarkannya tergerai jatuh. Ia tak boleh berdiam diri, lebih baik dia bergegas menggedor kamar Sasori, memastikan pria itu berada di apartemennya. Masa bodoh dengan mandi ataupun ganti baju. Ada kepentingan lain yang lebih mendesak.

Sakura tak pernah bersyukur lebih dari hari ini bahwa Sasori tinggal berseberangan dengannya. Mereka bersahabat sejak lama, sejak awal kepindahan Sakura-yang saat itu masih menjadi mahasiswi baru-kemari. Dan pria itu membuatnya merasa nyaman, suatu hal yang sangat jarang dirasakannya terhadap makhluk berjenis kelamin laki-laki. Meskipun pada awalnya, Sakura sedikit meringis sewaktu pertama kali melihatnya.

Demgan warna rambut merah, Sasori seakan sedang mengingatkannya akan cinta sekaligus kekasih pertama yang dimiliki oleh seorang Haruno Sakura. Meski tentu saja, setelah berkenalan lebih lanjut, Sasori jauh berbeda dengan Gaara. Sahabatnya itu lebih ramah, terbuka dan menyenangkan. Easy-going, mungkin adalah kata yang tepat untuk meggambarkan kepribadiannya secara menyeluruh.

Intinya, Sasori berbeda dari para pemuda ataupun pria yang dikenalnya. Mereka-para pria dan pemuda itu-semua selalu bersikap kejam dan menyebalkan dalam memaksakan keinginan mereka. Dan Sakura mengakui dengan enggan bahwa ibunya memang benar. Pria ingin sekali para wanita menuruti keinginan mereka, dan tak ada kata adil dalam kamus mereka.

Tapi tidak dengan Sasori. Persahabatan mereka sama sekali tak menuntut apapun. Persahabatan mereka murni, dan itu melegakan. Sakura sama sekali tak tertarik padanya, begitu juga dengan pria itu.

Ia lalu menutup pintu apartemennya, dan segera mengetuk pintu di hadapannya dengan keras. Menggigit bibir bawahnya, berharap bahwa Tuhan mengabulkan permohonannya.

Dan Sakura nyaris tak berhasil menyembunyikan kekecewaannya sewaktu pintu apartemen terbuka, dan malah sesosok pria berambut pirang dengan sebagian rambut menjuntai, menutupi wajahnya yang membuka pintu dengan wajah ceria.

"Sakura!" serunya dengan senyum riang yang tak dibuat-buat. "Kebetulan sekali, aku sedang sendirian! Ayo masuk."

Sakura tersenyum lemah, dan membiarkan dirinya ditarik masuk oleh pria itu.

"Halo Deidara." katanya dan melangkah menuju ke sofa. "Di mana Sasori?" tanyanya, heran karena tak menemukan sosok pria berambut merah di dalam apartemen itu.

Deidara yang sedang mengambil minuman dari dalam kulkas mendengus. Ia lalu berjalan medekati Sakura dan menyodorkan sekaleng jus jeruk dingin untuknya.

"Dia belum pulang dan aku sudah hampir mati bosan menunggunya." jawabnya, dan ikut duduk di sofa. "Tapi, untunglah kau datang. Kau ada perlu apa dengannya?"

Sakura meletakkan kaleng minuman di tangannya, dan meremas kedua tangannya dengan gugup. Berbicara dengan Sasori yang telah terbiasa mendengarkan curahan hatinya adalah satu hal, tapi berbicara dengan kekasih sahabatnya adalah hal yang berbeda.

"Hei, kau bisa mengatakannya padaku, kau tahu." Deidara menenangkan Sakura sambil mengedipkan sebelah matanya. "Malah aku yakin, aku jauh lebih bisa membantumu ketimbang si bodoh itu."

"Dia mengira aku berkencan dengan orang yang membosankan!"

Dan Sakura mengerang dalam hati, merasa ingin membenturkan kepalanya ke meja terdekat. Terutama sewaktu tangan Deidara yang memegang kaleng minuman, dan bersiap membawanya ke mulut berhenti di tengah-tengah. Ia mengangkat sebelah alisnya, dan sorot matanya terlihat geli.

"Kurasa kau harus lebih spesifik, Sakura. Aku sama sekali tak mengerti."

Menarik bantalan sofa dan memeluknya, Sakura merenggut. Ia memutar bola matanya dan mendengus.

"Kau bisa tertawa, kau tahu. Aku yakin Sasori pasti sudah menjelaskan padamu kisah malang Sakura."

Mata pria itu berkilat jenaka dan ia meletakkan kaleng minumannya ke meja. Menganggukkan kepalanya dengan gaya seakan baru saja memahami sesuatu, Deidara pun akhirnya berkata.

"Apakah ini tentang bos-mu yang menawan itu?"

Sakura mengerang keras, dan menutupi wajahnya dengan bantalan sofa. Kali ini Deidara tak lagi menyembunyikan tawanya. Suara kekehannya memenuhi ruangan yang didominasi oleh warna merah dan hitam itu.

Menyingkirkan bantalan itu dari wajahnya, Sakura memutuskan bahwa Diedara sudah cukup memertawakan dirinya, dan mengambil bantalan sofa lain yang terletak tak jauh dari jangkauannya, lalu melemparkannya ke arah pria malang yang sama sekali tak menyadarinya.

Ia menyunggingkan senyum puas sewaktu bantalan itu tepat mengenai wajah pria itu, dan secara otomatis menghentikan tawanya.

"Sakura!" protesnya "Apakah kau tahu betapa mahal perawatan wajah itu."

Wanita berambut pink itu secara otomatis memutar bola matanya lagi, dan berdiri menunjuk ke arah Deidara, melupakan kecanggungan yang tadi sempat menderanya. Sekarang bukan waktunya memikirkan hal itu. Sekarang adalah waktu untuk mencari bantuan. Mencari solusi. Dan Sakura akan memanfaatkan apapun yang ada. Bahkan -ia menyipitkan mata memandang pria yang kini sedang mengusap wajahnya- jika itu berarti harus berurusan dengan Deidara.

Semoga Kami-sama menolongnya. Karena Sakura jelas tak mempercayai Deidara sepenuhnya.

"Kau harus menolongku."

Deidara menggerutu sembari bersedekap. "Gampang sekali kau mengatakan itu."

"Aku bingung, oke!" Sakura mengakui sambil mengangkat kedua tangannya dengan putus asa. Ia lalu mulai berjalan mondar-mandir sembari menggerak-gerakkan tangannya.

"Sudah cukup dengan fakta bahwa dia sama sekali tak pernah melirikku. Yah, aku tahu dia lebih tertarik kepada wanita berdada besar. Tapi, bukan berarti otakku yang bodoh ini mampu menerima semua itu. Malah aku memiliki keinginan buas untuk menariknya dan menyeretnya-"

"-ke tempat tidur?" Deidara menyela sambil memainkan alisnya naik turun. Seringai aneh bermain di bibirnya.

Sakura berhenti sejenak, menoleh sambil tersenyum masam. "Ya, ke tempat tidur." sahutnya, sebelum pada akhirnya kembali meneruskan acara mondar-mandirnya lagi.

"Dan kau tahu apa yang menyesakkan? Karena aku tahu hal itu mustahil. Seorang Naruto tak akan pernah memandang Haruno Sakura lebih dari sekretarisnya yang berharga." Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan pelan. "Dan yang lebih membuatku marah adalah karena dia menganggapku sebagai seseorang yang begitu membosankan, hingga berasumsi bahwa teman kencanku pun sama membosankannya!"

Deidara memandang Sakura tanpa berkedip, dengan kedua tangan menopang dagu.

"Dan sebagai balasannya aku mengatakan padanya bahwa Sasori adalah pria yang sangat seksi!"

Deidara mengedipkan matanya.

Lagi.

Dan lagi ...

"Apa?" katanya kemudian.

Sakura menggelengkan kepalanya dan mengerang, menjatuhkan badannya ke sofa.

"Aku tahu. Aku tahu. Itu adalah tindakan terbodoh yang pernah kulakukan. Tapi aku putus asa. Dan mulutku berbicara lebih dulu sebelum otakku berhasil mencernanya."

Deidara malah tertawa terbahak-bahak. Ia menggosokkan kedua tangannya.

"Sakura sayang, jika aku tahu kau akan memberikanku hiburan seperti ini, aku pasti akan lebih banyak mengunjungimu daripada mengunjungi Sasori."

Sakura mendengus. "Dan sekarang, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Pesta amal akan diadakan malam ini, dan aku berniat membawa Sasori ke sana."

"Pesta?"

Sakura dan Deidara sontak menoleh ke arah pria berambut merah yang baru saja bergabung dengan mereka, dan memandang mereka dengan tatapan penuh tanya. Deidara mengalihkan perhatiannya kembali ke Sakura.

"Diskusi kami belum sampai ke sana." katanya secara tak langsung menjawab pertanyaan Sasori, dan menuntut Sakura untuk menjelaskan lebih jauh.

Dipandang oleh dua orang pria dengan tatapan tajam seperti itu, mau tak mau membuat Sakura cemberut. Ia menaikkan kedua kakinya ke sofa, menekuk dan melingkarkan kedua lengannya, dagunya bertumpu di atas lutut.

"Naruto memberiku tiket. Gratis. Ke acara amal malam ini." Dan suasana hatinya kembali berubah, dahinya mengernyit ketika kembali teringat akan alasan kenapa dia menghabiskan perjalanan pulang tadi dengan menggerutu sepanjang jalan.

Sakura dengan cepat kembali berdiri dan berjalan mondar-mandir, mengabaikan bisikan Deidara kepada Sasori yang kini duduk di sebelahnya bahwa dia sudah melakukan hal yang sama dari tadi, dan kembali menggerutu.

"Aku tahu dia pasti tidak ikhlas memberiku tiket itu. Ha! Itu pasti alasannya saja. Dan aku yakin dia melakukannya karena dia ingin melihatku datang bersama seorang pria menjemukan, dan bertampang bodoh! Aku yakin, dia pasti sama sekali tak menyangka bahwa teman kencanku itu seksi!"

Sasori mengangkat sebelah alisnya. Bingung karena dia baru mendengar bahwa sahabatnya ini telah memiliki teman kencan. Seakan memahami kebingungan Sasori, Deidara menyenggol tulang rusuknya menggunakan sikunya.

"Teman kencannya itu kau." bisiknya.

Dan kali ini Sasori mengangkat kedua belah alisnya. Ia lalu menoleh ke arah Sakura yang kini tengah menunjuknya dengan pandangan berapi-api.

"Kau akan menjadi teman kencanku malam ini!" katanya tanpa tedeng aling-aling.

"O-ke?" Sasori berkata dengan nada tak yakin, memukul lengan Deidara yang kini menertawakannya.

"Dan aku ingin kau bersinar di pesta itu. Aku ingin kau membakar Naruto, dan pikiran bodohnya bahwa aku tak akan mampu berkencan dengan seorang pria yang tak menjemukan!"

"Kita akan menemukan pakaian yang pas untuknya, Sakura." Deidara menyeringai, memancing Sakura yang kini sedang dalam semangat tertingginya. Ia berdiri dan menggenggam tangan wanita muda itu, mengabaikan tatapan tajam Sasori padanya. "Sama seperti ledakan, kecantikan adalah suatu seni dan kita akan melakukannya. Aku akan membantumu."

"Menjadi bintang yang paling bersinar terang adalah peraturan malam ini, Deidara." Sakura mengingatkan dengan tajam. "Kau paham ini, Sasori?"

Sasori mendengus. "Jika cuma itu saja yang kau butuhkan. Bukan masalah. Aku akan membuat mereka terpesona padaku."

"Tapi jangan berlebihan." Sakura mengingatkan kembali. "Kau pasanganku. Tak ada yang boleh tahu bahwa kau sebenarnya lebih tertarik kepada pria, dibandingkan dengan wanita."

"Di mana-mana orang selalu mengira aku pria tulen, Sakura." Sasori mengingatkan. "Berbeda dengannya." kepalanya merujuk ke arah pria berambut pirang yang kini menggelengkan kepalanya tak setuju.

"Aku bisa kok bersikap normal." katanya memprotes. "Tapi kalau aku seperti itu, kau pasti tak akan jatuh cinta padaku." ia menambahkan dengan senyum sombong.

Sakura melambaikan tangannya, lalu menunjuk ke dirinya sendiri.

"Hello. Aku di sini, ingat? Kumohon, kalau kalian ingin bermesraan tunggu sampai aku tak ada." gerutunya. "Aku harus membalas pria itu, Sasori."

"Dengan lebih dari satu cara, kalau begitu." Sasori menghembuskan nafas lelah, dan berdiri. Ia berjalan menuju kulkas untuk mengambil minuman dingin.

"Kurasa itu hal mustahil. Bagaimana mau membalas jika dia sama sekali tak peduli padaku."

Deidara merangkulnya. Kilatan licik bermain gamblang di matanya, sama sekali tak ditutup-tutupi. "Keajaiban bisa saja terjadi, Sakura. Kita hanya perlu berusaha, dan percaya. Yang utama sekarang, kita akan membuatmu terlihat berbeda malam ini."

"Penampilanku mungkin akan berbeda, tapi aku masih tetap Sakura yang biasanya, Dei." Sakura berkata pelan. Bahunya turun, seakan baru saja mengalami kekalahan.

Memegang kedua bahu wanita itu memaksanya menghadap ke arahnya. Ia lalu meletakkan telunjuknya di bawah dagu Sakura sehingga pandangan mereka dapat bertemu.

"Dan memang begitulah seharusnya, Sakura. Jika ada yang harus disalahkan, itu adalah mata pria itu." Deidara mengingatkan dengan tegas. "Bukan kau. Jadi berhentilah bersikap seakan-akan kau sudah kalah sebelum berperang. Angkat dagumu, dan bertarung. Pria itu sendiri yang menabuh genderang perang. Akan sangat disayangkan jika kita tak melayaninya."

"Ya. Ya. Apapun itu, kau seharusnya bersiap-siap dari sekarang, Sakura." Sasori mengingatkan sambil membuka tutup kaleng minumannya dan menendang pintu kulkas hingga tertutup dengan kakinya. "Kembalilah ke kamarmu, dan berdandanlah. Kau mengatakan bahwa aku harus bersinar. Tapi kau- " ia meneguk minumannya, dan menunjuk Sakura dengan tangan yang masih memegang kaleng, "-kau harus membara!"

"Aku akan mendandaninya!" seru Deidara dengan wajah ceria. "Dan ketika aku selesai, dia pasti akan menjadi pusat perhatian di pesta itu. Kalian berdua akan menjadi pasangan paling bersinar."

Tertular keoptimisan dalam nada suara Deidara seulas senyum tersungging di bibir Sakura. "Mungkin kami memang akan jadi 'bintang' di acara amal itu, tapi tetap saja dia akan datang bersama wanita berdada besar yang menarik di sampingnya."

Sasori menggelengkan kepalanya, dan Deidara mendengus. "Itu hanya bantalan palsu. Silikon, Sakura. Ya ampun, kenapa kau malah memikirkan hal itu."

"Bantalan atau bukan, tetap saja aku berharap payudaraku lebih besar."

"Dasar bodoh." Sasori berkata sambil melenggang santai, dan melepaskan kancing bajunya satu persatu. Sebuah handuk kini bertengger di lehernya. "Seksi itu lebih ke sikap, bukan benda itu."

Deidara merangkulnya lagi. "Nah sekarang yang akan kita lakukan adalah memastikan penampilanmu sempurna. Aku harap kau memiliki gaun indah yang bisa kau kenakan malam ini."

Sakura meremas kedua tangannya. "Aku tak yakin aku memilikinya."

Deidara terdiam. Ia melepaskan rangkulannya, dan mengangkat sebelah alisnya, lalu menghela nafas panjang.

"Kita akan kembali ke kamarmu. Sekarang." katanya kemudian, dan menarik tangan Sakura agar mengikutinya. "Kuharap setidaknya alat make-up mu lengkap Sakura. Karena jika itu tidak, aku tak tahu lagi harus berkata apa."

"Oi!" Sasori memanggil ketika mereka berdua sampai di pintu. "Pergunakan waktu kalian sebaik mungkin, karena Sakura, kita akan datang terlambat ke pesta nanti."

Sakura melepaskan cekalan tangan Deidara, dan berbalik kaget. "Tapi aku tak pernah datang terlambat. Sama sekal tak pernah."

"Persetan dengan tepat waktu, Sakura." Sasori menjawab sambil tersenyum nakal. "Jika kau ingin memastikan perhatian semua orang tertuju padamu, maka kau harus datang terlambat."

Sakura menggigigit bibirnya, terlihat ragu. "Aku yakin Naruto pasti tak akan menyadarinya."

Deidara di lain pihak terlihat seakan baru saja mendapatkan pencerahan akan sesuatu. Ia menepuk kedua tangannya.

"Kau memang briliant, koi." ucapnya sembari mengedipkan sebelah matanya ke arah Sasori, dan menoleh ke arah Sakura. "Sekretarisnya yang teratur dan bisa diandalkan, serta gampang ditebak, tiba-tiba bertindak di luar kebiasaan. Oh percaya saja dia pasti akan menyadarinya."

Dan ketika Sakura memandang Deidara dan Sasori yang terlihat begitu yakin, mau tak mau dia pun ikut mempercayainya.

.

.

.

.

Namikaze Naruto sama sekali tak bisa mencegah dirinya untuk tak sekali lagi melirik jam Rolex yang melingkari pergelangan tangannya malam itu, membuat Uchiha Sasuke yang berdiri di sampingnya mendengus.

"Kelihatannya dia terlambat." katanya sambil menyesap minuman yang ada di tangannya. Pria itu mulai merasa jengah dengan sikap Naruto yang dari tadi terlihat tak sabaran, bahkan hingga mengacuhkan pasangan kencannya malam ini, membuat wanita berambut merah itu mulai mengarahkan sasaran padanya, dengan harapan mendapatkan perhatiannya.

"Dia tak pernah terlambat, teme!" Naruto mendesis, dan sekali lagi memandang ke arah pintu masuk dengan kening mengerut. Beberapa menit lagi kerumunan tamu ini akan memasuki auditorium, dan Sakura seharusnya sudah tiba sejak setengah jam yang lalu.

"Selalu saja ada kesempatan untuk kali pertama, dobe." Sasuke menjawab enteng, sama sekali tak terpengaruh dengan nada Naruto. Berteman dengan pria itu sejak lama, dia sudah terbiasa dengan sikap pria berambut kuning itu.

Ia memberikan gelasnya yang sudah kosong kepada pelayan yang kebetulan melintas di dekatnya, dan menganggukkan kepalanya kepada tamu yang menyapanya. Sekali lagi ia melirik ke arah Naruto, dan tak kaget melihat pria itu tampak jelas kesal akan sesuatu.

"Sialan wanita itu! Di mana dia!" rutuknya sembari menoleh lagi ke arah pintu masuk. Penantian penuh semangatnya karena ingin melihat penampilan Sakura malam ini, berubah menjadi rasa frustasi karena wanita itu tak kunjung datang. Dan rasa itu kini berubah menjadi kecemasan yang mengganggu.

Apakah telah terjadi sesuatu yang menyebabkan wanita itu datang terlambat? Apakah terjadi kecelakaan? Tapi, detik itu juga Naruto teringat bahwa Sakura akan datang bersama seorang pria.

'Sasori Yang Seksi' sebuah suara dalam kepalanya mengingatkan, membuat Naruto merasa ingin meremas sesuatu. Apakah karena pria itu begitu seksi membuat wanita itu terperdaya akan pesonanya, dan memilih datang terlambat ke acara penting ini?

Naruto mendengus. Sebaiknya tidak, karena jika itu memang benar, berarti Sasori ini memiliki pengaruh buruk terhadap sekretaris kesayangannya. Buktinya saja, Haruno Sakura, yang tak pernah terlambat untuk hal apapun, kini telat hingga setengah jam dalam sebuah acara penting, dan berkelas seperti ini.

"Hmm~ Sekarang aku percaya bahwa orang berambut merah memang ditakdirkan memiliki gen yang menarik."

Suara desahan Tayuya-teman kencannya malam ini- menyadarkan Naruto dari lamunannya, dan pria itu menyipitkan matanya, merasa sedikit tersinggung karena wanita itu malah memperhatikan pria lain, padahal jelas-jelas Naruto berdiri di sampingnya. Ia tahu Tayuya masih sedikit marah karena Naruto sama sekali tak memberikan pujian sedikitpun atas usahanya untuk tampil menawan malam ini, dan malah sibuk dengan pikirannya sendiri, tapi tetap saja itu tak membenarkan tindakannya yang nyata-nyata memuji orang lain daripada pria yang bersamanya.

"Kau mungkin ingin melihat siapa yang dia maksud, dobe." suara Sasuke yang datar membuat Naruto menyipitkan matanya, dan ikut menoleh ke arah pandang Tayuya.

Hanya untuk tersentak kaget. Sakura!

Wanita itu sedang menggandeng lengan seorang pria, seulas senyum bermain di bibirnya yang terpoles lipstick berwarna merah muda mengkilap malam ini. Namun perhatian Naruto langsung tertuju pada pria yang digandengnya. Raut wajahnya berubah masam sewaktu menyadari bahwa pria itu benar-benar melenceng jauh dari gambaran seseorang yang menjadi teman kencan Haruno Sakura yang pernah dia pikirkan.

Dengan rambut merah yang terkesan berantakan, mata coklat keabu-abuan, dan sikap yang terkesan santai, pria itu terlihat begitu kontras jika dibandingkan dengan wanita yang berdiri di sampingnya.

'Pria yang suka pamer', Naruto memutuskan dalam hati, sembari memperhatikan pasangan yang kini sedang melangkah ke arah mereka. Tayuya sendiri kini menghembuskan nafas, yang sudah pasti mempertonjolkan lekukan payudaranya untuk diperlihatkan kepada pria itu. Dan ketidaksukaan Naruto terhadap pria yang melenggang santai dengan penuh kepercayaan diri yang terlihat jelas itu semakin bertambah.

Naruto menggertakkan giginya sewaktu mengalihkan perhatiannya kembali kepada Sakura, dan nafasnya nyaris berhenti. Ia merutuki dirinya, menyadari ketololannya sewaktu melihat penampilan wanita itu yang jelas berbeda dari biasanya.

Hilang sudah sanggulan rambut, dan kacamata yang selalu menemani wanita itu, digantikan dengan gaya rambut elegan. Sebagian rambut indah Sakura dibiarkan tergelung kecil manja di bagian samping, sementara sisanya digelung. Make-up ringan dengan classical smokey eyes yang mempertajam mata emeraldnya yang indah. Dan bajunya.

Naruto tak tahu harus berkomentar apa terhadap gaun bermodel halter neck tanpa lengan berwarna teal, yang panjangnya hingga ke kaki itu. Sialan! Ia mengalihkan pandangannya ke lain arah, tak ingin semakin terbuai akan pemandangan indah yang kini bergerak mendekatinya.

Ia menghembuskan napas panjang, dan sedikit mengerut jengkel sewaktu melihat ke arah Sasuke, dan seorang pria berambut coklat panjang yang dikenali Naruto sebagai Hyuuga Neji, salah seorang pewaris Hyuuga, yang bertanggungjawab sebagai penyelenggara acara amal malam ini. Kedua pria itu terlihat sedang mengobrol satu sama lain sembari melemparkan pandangan geli ke arah Naruto.

Tak perlu otak jenius untuk dapat menebak apa isi pembicaraan mereka, apalagi ketika dua orang itu sama sekali tak bersusah payah menyembunyikannya.

"Selamat malam, Naruto. Kuharap kau menikmati acara kami malam ini." Neji berkata, membuka pembicaraan di antara mereka.

Tayuya semakin memperat rangkulannya pada lengan Naruto sewaktu menyadari ada lelaki tampan lainnya yang kini bergabung dengan mereka. Sementara Naruto sendiri hanya memasang senyum palsu di wajahnya.

"Sangat." jawab Naruto dengan gigi terkatup rapat. "Aku lihat kau hanya sendiri, Neji. Kemana pasanganmu malam ini?"

Pria Hyuuga itu hanya menyunggingkan seulas senyum, membuat Tayuya mendesah kembali.

"Tak bolehkah seorang pria datang sendirian?" katanya santai.

"Ah, apakah ini berarti kau mengakui bahwa dirimu sedang tak berkencan dengan siapapun?" Tayuya menyela sembari tersenyum. "Apakah kau mau kukenalkan dengan temanku? Tawaranku juga berlaku untukmu, Uchiha-san."

Neji hanya tertawa. "Tak datang bersama siapapun bukan berarti aku tak terikat. Bukan begitu, Sasuke?"

"Hn."

Sudut mata Naruto berkedut mendengar konsonan itu keluar dari mulut Sasuke, dan dia mendengus. Menolak untuk terpancing ucapan mereka. Di kepalanya masih ada hal yang jauh lebih menarik perhatiannya daripada menjadi korban ejekan dua orang pria yang sehari-harinya berwajah datar itu.

Ia mengingatkan dirinya untuk kesekian kalinya agar bersikap ramah ketika Sakura semakin mendekat. Dan Naruto pun berharap Tayuya mampu menjaga sikapnya, serta ingat siapa pasangannya ketika dua orang itu akhirnya bergabung dengan mereka.

"Ah!" Ia lalu berseru dengan wajah ceria. "Akhirnya kalian datang juga. Beberapa menit lagi dan kami pasti sudah memasuki auditorium."

"Tapi setidaknya masih ada waktu untuk saling berkenalan, bukan?"

Naruto kembali berpikir kenapa dia memilih Tayuya sebagai pasangannya malam ini. Wanita ini benar-benar mulai membuatnya jengkel. Memangnya siapa yang ingin berkenalan dengan Sasori Yang Seksi itu? Yang jelas Naruto tidak.

"Sakura ..." ucap Naruto, mengingatkan wanita itu untuk memperkenalkan dirinya dan pasangannya.

"Ah, selamat malam. Aku Haruno Sakura, dan ini Akasuna Sasori."

"Haruno Sakura?" Hyuuga Neji kembali berkata dengan nada seakan baru saja memahami sesuatu. "Kau sekretaris Naruto?"

Tak mengenali pria yang berbicara dengannya, namun mata pucat yang khas itu membuat Sakura langsung menyadari bahwa yang sedang berbicara dengannya itu adalah anggota keluarga Hyuuga, membuat Sakura merasa bahwa dia harus berhati-hati menjawab.

"Ya, Hyuuga-san." katanya singkat.

Neji mengangguk kembali, terlihat puas dengan secercah info itu sebelum mengalihkan pandangannya kepada Naruto.

"Aku dan Sasuke akan mencari ayahku terlebih dahulu. Senang berkenalan dengan kalian. Terutama anda, Haruno-san. Senang akhirnya bisa mencocokkan wajah, dengan nama yang sering kudengar telah membantu Naruto selama ini."

Dan kedua orang itu pun berlalu pergi, meminggalkan mereka berempat dalam diam, sebelum akhirnya Tayuya menyenggol Naruto, seakan-akan sedang memperingatkannya mengenai etika.

"Ah, maafkan aku. Ini Tayuya ..."

Tayuya mencondongkan tubuhnya ke depan ketika dia pada akhirnya diperkenalkan dengan Sasori, mempertunjukkan belahan dadanya yang terlihat jelas, tapi tidak seperti kebanyakan pria lain yang jelas tak bisa menolak pemandangan indah seperti itu, Sasori hanya tersenyum, dan mengulang namanya dengan reaksi biasa saja, tak terpengaruh sama sekali dengan pancingan itu.

Begitu juga ketika pria itu diperkenalkan kepada pasangan lain yang ikut bergabung ke kelompok mereka malam itu, Sasori memperlakukannya dengan adil, biasa, seakan pria iu telah telah sering melakukan hal ini dalam kehidupan pribadinya. Dan Naruto berusaha menahan keinginannya untuk tak mengacak-acak rambutnya, karena dia jelas tak menemukan satu kesalahanpun pada teman kencan Sakura itu. Sasori adalah pria menarik dengan sifat yang sama menariknya.

"Kau bekerja di bidang apa, Akasuna-san?" Rock Lee, anggota terakhir yang diperkenalkan bertanya dengan penuh minat.

"Desain. " jawab Sasori, yang membuat Naruto menyipitkan matanya, dan mencoba menempatkannya dalam kategori tertentu. Namun jawaban pria itu memiliki arti luas. 'Desain, tapi desain apa?' pikirnya bingung. Tapi, setidaknya itu menjelaskan kepercayaan diri tinggi yang dimilikinya. Seseorang yang mendesain sesuatu setidaknya telah terbiasa menghadapi banyak orang.

"Ah, kupikir kau bergerak di dunia modelling sepertiku~" Tayuya berkata dengan nada tak percaya. "Apa kau tak tertarik untuk bergabung?"

Sasori melemparkan seulas senyum ke arahnya, dan mtanya berkilat jenaka.

"Sebagai desainer, dan layaknya orang lain di luar sana, aku memang tertarik dengan kecantikan luar, membuat sesuatu yang indah untuk dipandang." katanya. "Tapi bukan berarti aku berniat untuk menenggelamkan diriku ke dalam kecantikan semu yang bertahan hanya sesaat. Aku lebih tertarik untuk membangun sebuah bangunan yang bertahan lama dan diingat oleh banyak orang."

Naruto merasa tertohok.

"Selain itu, apalagi yang kau sukai?" Tayuya kembali bertanya dengan senyum manis.

"Anggur." jawab Sasori lancar, matanya kembali bersinar ketika membicarakan sesuatu yang disukainya. "Aku suka melihat anggur yang mahal. Tapi dibandingkan itu, aku suka mencicipi isinya yang luar biasa."

Dan sembari melontarkan kalimat itu, Sasori mengalihkan pandangannya kepada Sakura, seakan-akan mengatakan bahwa wanita itu adalah rasa yang paling disukainya.

Sakura tersenyum lebar kepada pria itu, seakan menunjukkan kepuasan terhadap hal yang baru saja dikatakan oleh Sasori, atau mungkin hal lainnya yang tak diketahui mereka. Dan Naruto dapat merasakan perutnya mengejang karena amarah yang perlahan muncul.

Di sinilah dia, mencemaskan keterlambatan wanita itu sementara sang wanita malah menikmati waktunya 'dicicipi' oleh pria berambut merah ini. Dan segalanya menjadi jelas sekarang, mengapa Sakura terlihat begitu puas malam ini. Begitu penuh percaya diri yang terlihat dari ayunan pinggul yang ringan, dan bibir yang terlihat sensual.

"Kurasa sudah waktunya untuk pergi ke meja kita." Naruto mengumumkan dengan ketus, dan menggandeng lengan Tayuya untuk menuntun kelompok kecil mereka.

Sialan!

Ketika dia memberikan tiket itu kepada Sakura, bukan ini yang ada di dalam bayangannya.

Dan Naruto tidak menyukainya sedikitpun.

Ia bahkan tak peduli dengan tingkah Sakura yang kini seakan membeku di tempat, ketika melihat seorang pria berambut merah lainnya berjalan melintas di dekat mereka bersama seorang wanita berambut indigo di sampingnya.

~~~~~~To Be Continue~~~~~~

Hallow.

Ssbelumnya Raye mo minta maaf karena butuh waktu yang lama buat lanjutin fic ini. Tapi sekarang chapter 2 telah tiba, dan ini bakalan jadi prioritas pertama setelah MBML resmi kelar...

Terima kasih buat Hzl-nee yang kembali membantu saya. Dan terima kasih juga buat para readers yang sudah fave, follow dan review fic ini.

Akhir kata, selamat membaca. :)

With Love

Raye^.^