Disclaimer: Merlin (BBC Tv Series) belongs to Johnny Capps and Julian Murphy.
.
.
Title: Since I found you.
.
Warnings: BL, mention of torture (mild), light to mild lime in later chapters.
.
.
.
"Selamat datang di istanaku, Yang Mulia."
Hengist—pria separuh baya bertubuh gemuk yang terkenal dengan keberingasannya—membentangkan kedua tangannya untuk menyambut tamu istimewa yang baru saja turun dari kudanya.
Arthur Pendragon melangkah angkuh melintasi gerbang raksasa. Tubuhnya tinggi tegap. Ujung jubah merah cemerlangnya menyapu tanah lembab di bawah boots hitam yang ia kenakan. Cahaya kebiruan sang purnama terpantul di atas baju zirah peraknya, membuat pakaian berat itu nampak megah.
Iris biru gelap memindai keadaan sekitarnya penuh kewaspadaan. Tatapan mengintimidasi ia lemparkan kepada siapa saja yang berani memandangnya.
Puluhan ksatria Camelot lainnya mengiringi di belakang. Tangan melekat pada gagang pedangnya masing-masing.
Langkahnya terhenti di depan istana usang termakan usia. Empat menara menjulang di setiap sudut istana tampak tak lagi utuh. Warna hitam mendominasi hampir seluruh dinding-dinding batunya. Tidak terawat. Dua diantaranya bahkan hampir rata dengan tanah.
Jamur serta lumut dibiarkan begitu saja menutupi sebagian sisi luar gedung utama. Sampah busuk berserakan di sisi kanan dan kiri.
Tempat itu lebih pantas disebut kandang babi daripada sebuah istana.
"Sungguh suatu kehormatan bagiku bisa menjamu pangeran Camelot," ucap pria berjanggut lebat itu. Bulu-bulu pada kerah jaket biru panjang yang ia kenakan menyapu rahang petaknya saat menunduk memberi hormat.
Sapaan itu dibalas dengan dengusan keras oleh pemuda berambut senada logam mulia. "Hentikan basa-basimu, Hengist. Apakah kau sudah menyiapkan 20 budak sesuai permintaan ayahku?"
"Tentu saja. Dan mengenai pembayarannya?"
Arthur memberikan isyarat pada salah satu ksatrianya untuk menyerahkan peti kayu berwarna hitam. Mata Hengist berbinar puas tatkala peti dibuka. Puluhan koin emas berkilau menggiurkan. Laki-laki brutal yang selalu haus akan darah serta harta, kini kelihatan seperti babi gemuk kelaparan yang baru saja diberi sayuran segar.
"Lima koin lagi untuk biaya penginapan dan makanan kami malam ini. Berikan aku kamar terbaikmu. Pastikan tak ada bau busuk dan kotoran yang tersisa," perintah Arthur tegas sambil menyodorkan koin emas.
Namun sebelum Hengist sempat menadahkan tangannya, Arthur melepas koin-koin itu hingga terhempas di atas lumpur pekat yang menggenangi pintu masuk.
Sudut bibir Arthur naik. Seringai melecehkan terkembang.
Senyum Hengist seketika lenyap. Panas tersebar dari leher sampai menutupi wajah. Harga dirinya terinjak-injak di depan para anak buahnya. Ia tahu Arthur melakukan hal itu secara sengaja.
Walaupun amarah bergejolak, lelaki tak berambut itu enggan mencari masalah dengan pewaris tahta kerajaan paling tersohor di tanah Albion. Jika sesuatu terjadi pada Arthur, sudah dapat dipastikan Uther—raja Camelot—akan mengerahkan seluruh pasukan demi memburunya. Hengist tidak berani mengambil resiko kehilangan kepala maupun harta bendanya.
"Well, apakah kau akan menjamu kami dengan hidangan makan malam?" Arthur berkacak pinggang. Ujung boots mengetuk-ngetuk tanah, tidak sabar menunggu Hengist yang sibuk memunguti koin.
"Tentu. Aku sudah menyiapkan hidangan lezat untukmu." Hengist paksa bibirnya tersenyum sebelum berjalan menuju area makan.
.
.
Area makan dalam istana Hengist tidaklah sama dengan area makan istana pada umumnya yang mewah dan elegan. Ruangan berukuran empat kali lebih besar dari kamar Arthur itu jauh dari kata bersih ataupun megah.
Kurungan besi berdiameter tujuh meter berdiri kokoh di tengah. Di dalamnya, dua orang budak berfisik kekar bertarung tanpa peraturan. Hanya ada dua opsi ditawarkan—membunuh atau terbunuh. Jika salah satu dari mereka menemui ajal, maka yang hidup harus meneruskan perjuangannya mencabut nyawa budak berikutnya.
Sorak sorai bergemuruh setiap kali budak yang bernasib sial menggelepar bersimbah darah di lantai kayu, dan mati.
Hiburan menurut Hengist. Lelucon bagi Arthur.
Melekatkan sisi kening pada buku-buku tangan, tirai mata Arthur berkedip bosan. Ia biarkan punggungnya bersandar malas di kursi hitam berlambang singa jantan.
Hidangan di meja panjang sama sekali tak ia sentuh. Rasa lapar pemilik rambut pirang itu sekonyong-konyong sirna berganti rasa mual, ketika melihat isi piring yang disodorkan oleh pelayan Hengist.
Bagi seseorang yang terbiasa menyantap makanan berkualitas tinggi—sosis rusa berwarna kemerahan, otak babi hutan cincang di bawah saus coklat kehitaman dan jamur goreng berlendir yang tersaji di hadapannya nampak sangat menjijikkan.
Sepasang iris sapphire sang pangeran mengembara, menyusuri seluruh isi ruangan temaram.
Malam itu, Arthur bukanlah satu-satunya pembeli budak yang berkunjung ke istana Hengist. Meja serta kursi dijejali belasan manusia berkantong tebal, siap membayar berapa pun harga yang ditawarkan. Bunyi nyaring koin-koin yang bertukar pemilik, serta tawa sumbang dari pita suara manusia-manusia mabuk, bergaung di dinding rusak tak terawat.
Sesekali telapak tangannya menutupi hidung ketika bau keringat, semerbak alkohol dan aroma yang tak mampu Arthur jabarkan, menghantam indera penciumannya.
Jika bukan karena desakan sang ayah, ia tidak akan sudi menempuh perjalanan panjang untuk datang ke tempat terkutuk ini. Jika bukan karena minimnya buruh tenaga kasar di istana, Arthur tak akan bersedia memberikan koin-koin emas pada manusia buruk rupa bernama Hengist itu.
Ia lebih memilih memanfaatkan uang kerajaan bagi kesejahteraan para petani dan rakyat jelata di sekitar Camelot, daripada menghamburkannya untuk membeli budak.
Salahkan semua pada wabah yang merebak di Albion sepuluh bulan silam. Arthur bergidik setiap kali pemandangan memilukan itu hinggap di pikirannya.
Hampir setiap hari jasad-jasad tak bernyawa berlumuran nanah kuning bercampur merah darah, dilemparkan begitu saja di sebuah padang rumput tak jauh dari istana Camelot. Dan tanpa segan, obor menyulut minyak yang menggenangi mayat-mayat itu. Warna kuning kemerahan api bersaing sengit dengan nyala mentari.
Penyebab penyakit menular yang menyapu seperempat populasi penduduk dalam jangka waktu sepuluh bulan itu adalah sebuah misteri. Tidak ada yang dapat memastikan mengapa wabah menyebar dengan cepat hanya di kalangan rakyat jelata.
"Oi, budak. Ya, kau yang mengenakan baju coklat. Cepat kemari dan segera isi gelas tamu istimewaku!"
Lelaki berambut coklat kehitaman tergopoh-gopoh menghampiri meja, membawa teko berlapis perak dengan ukiran singa jantan di kedua sisi.
Bola mata Arthur beralih ke samping saat suara gemerincing rantai menyentuh telinga. Tatapan lekat pada tangan yang terbalut borgol besi berkarat. Sepasang lengan kurus itu nampak bergetar ketika menuangkan cairan berwarna ungu kemerahan ke dalam gelas perunggu milik Arthur.
Rahang Arthur menegang melihat pemandangan miris itu. Sang pangeran Camelot berani bertaruh kalau pemuda di sampingnya ini belum memakan apapun selama dua atau tiga hari. Perasaan manusiawi Arthur menjerit di balik ekspresi kerasnya. Memintanya agar berkenan membebaskannya beserta semua budak yang berada di neraka ini.
Akan tetapi, sekencang apapun hati Arthur menyuarakan kepedihan dan sekuat apapun nuraninya memohon, Arthur tak mampu bertindak. Karena tidak berbeda dengan para budak, kedua tangan Arthur pun sejatinya terbelenggu. Terjerat oleh borgol tak kasat mata yang disebut kesetiaan.
Kesetiaan pada kerajaan dan sang ayah.
"Hei, budak tolol. Hati-hati menuangkan anggur itu. Lihat apa yang telah kau lakukan!"
Lamunan Arthur dipecahkan oleh suara menggelegar Hengist. Terlalu larut dengan pemikirannya, Arthur tidak menyadari kalau gelas telah terguling dan isinya tumpah menggenangi meja akibat tersenggol tangan lelaki bertulang pipi tinggi itu.
Helaian coklat gelap selehernya menyelimuti sebagian wajah saat kepala merunduk dalam-dalam. Pundak bergetar ketakutan.
"Ma-maaf, Tuan Hengist," ucapnya lemah, nyaris tenggelam di antara suara-suara sumbang di sekitarnya.
Mata Arthur membesar. Telinganya tersentuh suara bariton yang terdengar sangat tidak asing. Berangsur-angsur kepala Arthur terangkat seraya menyusuri tiap lekuk tubuh pemuda di hadapannya. Pandangan berhenti menelusuri ketika lingkar mata biru gelapnya bertemu sepasang iris biru terang di balik helaian rambut gelap yang menutupi wajah kurus itu.
Kali itu Arthur benar-benar tak sanggup mencegah matanya untuk tidak membulat sempurna.
Berdiri di hadapan Arthur, adalah lelaki yang satu tahun lalu terpaksa menyingkap kekuatan sihirnya demi menyelamatkan nyawa Arthur dari kepungan prajurit musuh. Laki-laki yang satu tahun lalu menyayat hati Arthur dengan belati kebohongan. Lelaki yang satu tahun lalu mengemas barang-barangnya dan pergi meninggalkan Camelot.
Merlin...
Tetapi meskipun mereka telah bertatap muka, pemuda itu nampak tak sedikit pun mengenali Arthur. Tidak ada ekspresi terkejut ataupun gugup. Seolah pertengkaran hebat yang terjadi dua belas bulan silam tak pernah terjadi. Sepasang manik senada langit musim semi itu terlihat hampa dan kosong. Seakan Arthur adalah orang asing yang baru saja ia temui.
Rambut Merlin kini jauh lebih panjang. Wajahnya yang dulu bersih kini dipenuhi kumis dan jenggot. Melihat sekilas, mungkin tak ada yang dapat mengenalinya.
"Kau pikir bisa lolos hanya dengan meminta maaf, hah?! Budak tidak berguna! Mati saja kau!" seru Hengist.
Pedang ditarik dan dengan cepat Hengist mengayunkannya.
Tetapi, sentuhan dingin dari pedang baja Arthur yang telah terlebih dahulu melekat di sisi leher Hengist, menghentikan gerakan tangan pria gemuk tepat lima sentimeter dari kepala lelaki itu.
Hengist terbelalak. Tidak bisa percaya dengan kecepatan Arthur menghunuskan pedang. Desas-desus tentang kepiawaian pangeran Camelot menguasai senjata tajam yang beredar selama ini, terbukti kebenarannya.
"Buang pedangmu," perintah Arthur seraya berdiri dan bergerak perlahan-lahan membelakangi Merlin. Menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai untuk melindungi pemuda yang masih gemetaran itu.
"Ta-tapi—" Desis kesakitan terlepas ke udara manakala bilah tajam senjata itu menyayat kulit kasar Hengist sepanjang tiga sentimeter.
"Kubilang, buang pedangmu, bedebah! Jangan paksa aku mengulangi perkataanku!"
Perseteruan itu mengalihkan perhatian belasan pengawal Hengist. Tidak ingin pemimpin mereka terluka, mereka pun bergegas mendekati Arthur. Pedang terhunus. Namun, para ksatria Camelot dengan sigap menghalau manusia-manusia buruk rupa itu.
"Perintahkan prajuritmu untuk mundur, Hengist. Atau aku bersumpah akan pisahkan kepala jelekmu dari tubuh gemukmu ini dalam satu detik!" bentak pemilik helaian keemasan, nyaris kehilangan kesabaran.
Tajamnya ancaman juga tatapan Arthur, cukup menggetarkan nyali pria beringas itu. Katup pernapasan menyentak geram sebelum Hengist menjatuhkan pedang dan memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk melakukan hal yang sama.
Tanpa melepaskan pandangan sedikit pun dari Hengist, Arthur merogoh kantong kecil tersemat di ikat pinggangnya. Sebuah bungkusan kain berwarna merah ia lempar ke atas meja hingga isinya yang berupa koin emas berserakan.
"Sepuluh koin emas untukmu dan laki-laki ini jadi milikku."
Kening Hengist berkerut. Pasalnya, dengan harga yang sama, Arthur bisa mendapatkan lima atau enam budak bertubuh jauh lebih besar daripada budak berambut coklat gelap itu. Hengist tak habis pikir mengapa Arthur rela menghamburkan koin demi budak yang tak berguna.
Tapi tentu saja Hengist tak bisa menolak tawaran Arthur yang sangat menggiurkan.
"Lepaskan borgol ini, bersihkan tubuhnya dari kotoran, cukur bulu-bulu di wajahnya dan beri laki-laki ini pakaian yang layak. Setelah itu bawa dia ke kamarku," lanjut Arthur usai memasukkan pedang ke sarungnya.
Alis putih Hengist serta merta terangkat. Ia akhirnya memahami alasan Arthur membeli budak itu.
Seringai terkembang di wajahnya sebelum berkata, "Well, well, well. Aku tidak pernah menyangka anda punya ketertarikan pada seorang pria. Tapi, apakah anda benar-benar yakin? Dilihat dari tubuhnya, rasanya bocah ini tidak akan mampu memuaskan anda di atas ranjang."
"Tutup mulut kotormu dan lakukan saja apa yang kuperintahkan. Ingat, dia milikku sekarang. Jika kau berani melukainya, aku tak akan segan memotong kedua tanganmu, mengerti?!" sentak Arthur geram.
"Tentu saja, Yang Mulia." Hengist jentikkan jari-jari gemuknya ke udara untuk memanggil tiga pelayan wanita di sudut ruangan.
Kedua kaki Arthur siap berderap menuju kamar saat Merlin tiba-tiba mencengkeram tangannya dengan erat. Kepala tetap tertunduk. Tatapan terpancang di atas lantai usang.
"Ja-jangan pergi, Tuan. A-aku... takut..."
Laksana batu raksasa, kalimat itu mendobrak pertahanan emosi Arthur. Menindih paru-paru hingga sesak pekat ia rasakan. Segenap tenaga Arthur kerahkan agar topeng batunya tidak pecah dan menyingkap kehancuran hatinya. Batin Arthur tersiksa melihat sahabatnya begitu rapuh, tak berdaya, bahkan tidak mengenalinya lagi.
Sahabat yang dulu sering ia jadikan sarana pelampiasan kemarahan, kekesalan, juga kesedihannya. Sahabat yang dulu selalu mengutamakan keselamatan Arthur dan Camelot di atas nyawanya sendiri. Sahabat yang sampai detik ini tetap punya tempat khusus di palung hatinya.
"Jangan khawatir, Merlin. Aku berjanji, mereka tak akan menyakitimu," ucap Arthur usai bersusah payah meneguk ludah. Ia remas tangan dingin itu sebagai bentuk penegasan.
"Ayo lekas bawa laki-laki beruntung ini ke tempat pemandian," titah Hengist.
Walaupun keraguan masih bergelayut, Merlin lepaskan genggamannya dan mengikuti ke tiga wanita di depannya.
Suasana mencekam perlahan-lahan mencair setelah beberapa saat. Kesunyian terpatahkan dalam hitungan detik. Manusia-manusia yang menghuni ruangan melanjutkan pesta serta menuntaskan bisnis mereka masing-masing.
"Kelihatannya anda mengenal budak itu."
Kalimat Hengist menarik bola mata Arthur ke sudut netra. Raut muka yang tadinya sempat sendu, bertransformasi kembali menjadi sekeras patung marmer.
"Aku belum pernah bertemu dengannya sebelum ini," bohong Arthur ketika menyadari keteledorannya. Terombang-ambing di antara turbulensi emosi, secara tak sadar ia mengucapkan nama Merlin.
Arthur tahu Hengist sangat membencinya. Jika monster gempal itu sampai mengetahui hubungan antara dirinya dan Merlin, nyawa sahabatnya itu bisa berada dalam bahaya. Hengist mungkin akan mengunakan Merlin sebagai sandera demi memenuhi ambisinya.
"Tapi anda baru saja menyebutkan namanya," sahut Hengist penasaran. Mata menyipit tidak percaya.
"Budak itu milikku. Aku berhak memberinya nama sesukaku, keparat! Jika kau masih menyayangi nyawamu, kusarankan kau untuk menelan keingintahuanmu itu dan kunci mulut baumu." Arthur lagi-lagi menyengat harga diri Hengist dengan melemparkan kata-kata pedas.
Tak berniat tinggal lebih lama di ruangan kotor itu, Arthur menggiring sepasang kaki kokohnya menaiki tangga melingkar.
Membawa serta sejuta pertanyaan untuk diutarakan kepada laki-laki bermata senada permata aquamarine yang amat ia rindukan itu.
.
To Be Continued...
.
XxXxXxXxXxX
A/N: Ide datang tiba-tiba ketika mendengarkan lagu dengan judul yang sama by Christian Bautista dan tidak bisa author ignore. Jadi koleksi MC deh, hahaha.
Author masih bingung dengan genre. Jadi sementara Angst/Romance. Kalau ada readers yang mau kasih masukan untuk genre, silahkan loh :)
Seperti biasa, reviews are very appreciated :)