Flavour of love

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning: typo bertebaran, gaje, ooc dan lainnya.

.

Chapter 1...

.

.

Seorang gadis bersurai pirang pucat tengah tenggelam pada sebuah buku di hadapannya. Manik birunya bergerak mengikuti tulisan yang dibacanya. Terkadang ia mengernyitkan keningnya saat menemukan sebuah kata yang sedikit tak ia mengerti.

Sebuah kaleng minuman tlah habis ditenggaknya dan juga cemilan yang hanya tinggal bungkusnya saja berserakan di meja miliknya. Gadis itu tetap diam dalam posisinya. Ia tak mempedulikan suasana ramai di sekitarnya ataupun kegaduhan yang tercipta di luar ruang kelasnya. Gadis itu tetap mengkhayati bukunya. Buku yang entah itu apa. Buku yang mungkin terasa lebih menarik dari pada harus berdiam diri dan bergosip.

Braakk

"Hosh...hosh ga-gawat!" pekik seorang siswi bercepol dua.

Gadis bersurai pirang itu menghentikan acara membacanya dan mendengus kesal. Siapa kiranya yang berani mengganggu acaranya? Gadis itu melirik tajam pada siswi yang baru saja menggebrak mejanya. Namun secepat kilat raut amarahnya berganti. Gadis pirang itu mengernyit bingung memandang teman sebangkunya yang terengah-engah.

"Ada apa denganmu? Apa kau baru saja dikejar orang gila di pojok gang sana?". Gadis pirang itu menatap sahabatnya intens. Menatap meminta jawaban.

"Bodoh, bukan itu Ino. Ini lebih gawat lagi," gerutu siswi bercepol dua.

"Ahh aku tahu, pasti kau mau bilang kucingmu beranak tujuh. Ya kan?" Gurau siswi bernama Ino.

"Bukan itu, baka!". Siswi bername tag Tenten itu hanya sweatdrop mendengar ocehan Ino. Bisakah sahabatnya serius ini sedikit?

"Lantas?"

"Dia mau mengatakannya.".

Deg

Tubuh Ino menegang. Ia merasa jiwanya dihempaskan dari nirwana. Cermin hatinya mulai meretak sedikit demi sedikit. Entah mengapa ia merasa sedikit sesak mendengarnya. Seolah udara sekitarnya tiada lagi. Ia mencoba menormalkan sikapnya ini di hadapan Tenten. Ia sangat paham apa yang dimaksud sahabatnya ini. Bahkan ia sangat mengerti. Rasa ketakutan itu mulai menelusup perlahan ke dalam aliran darahnya. Tubuhnya mulai bergetar dan terasa dingin.

"Ino, kau baik-baik saja?"tanya Tenten dengan nada khawatir.

"Ah iya, aku baik-baik saja," jawab Ino tersenyum kikuk.

"Ayo ikut aku. Kau harus melihatnya,"ucap Tenten menyeret tangan Ino untuk mengikuti dirinya. Sedangkan Ino hanya pasrah mengikuti sahabatnya dalam diam.
.
.
.

Di lapangan sekolah Konoha High School, seorang siswi berambut coklat pendek tengah berdiri menantang sengatan matahari. Tangannya menggenggam sebuah kertas yang ia bentangkan. Kertas yang bertuliskan "I Love You" dengan gambar hati yang besar. Gadis bernama Matsuri itu berteriak tanpa henti. Ia tak mempedulikan siswa yang tengah melihat aksinya. Bahkan para guru menggeleng melihat tingkah gila Matsuri. Siswi itu tak peduli dengan semuanya. Ia telah membuang urat malunya hanya untuk menyatakan perasaannya di depan umum. Mengatakan perasaan pada siswa yang ia sukai. Siswa yang selalu mengisi mimpinya dan siswa yang berhasil merebut perhatiannya. Ia rasa, hal ini setimpal bila pada akhirnya siswa yang ia sukai mau menerima pernyataan cintanya.

"Gaara... Aku menyukaimu," teriaknya. Ya, siswa itu bernama Gaara. "Cepatlah kemari kalau tidak, aku akan menunggumu hingga kau datang," teriak gadis itu kembali.

Di antara barisan siswa yang menontong aksi Matsuri, terlihat Tenten bersama Ino yang mencoba menerobos barisan agar mereka sampai di barisan depan.

Tatapan Ino sulit diartikan saat ia memandang Matsuri. Antara salut, kesal dan iba. Salut, karna Matsuri memiliki keberanian untuk mengatakan hal ini di muka umum, sangat bertolak belakang dengannya, yang memilih memendam perasaannya dan hanya memandang malu dari balik dinding. Ataupun hanya sekedar mencuri pandang.

Ia kesal karena, mengapa Matsuri menyukai pemuda yang sama dengannya? Yah, Ino pun memiliki perasaan terhadap Gaara. Dan ia tak bisa membayangkan bila nanti Gaara menerima pernyataan Matsuri. Sungguh, Ino belum siap akan hal itu. Satu sisi lain, ia merasa iba jika melihat Matsuri ditolak mentah-mentah oleh Gaara seperti siswi sebelumnya. Ia tak sanggup membayangkan bila itu terjadi terhadap Matsuri. Ia memang tak begitu akrab dengan siswi kelas 3C itu, namun ia cukup mengenalnya. Dan bahkan pernah menjadi satu tim dalam bidang dance sewaktu kelas 2. Ino mencoba menarik nafas. Mengisi rongga udaranya yang terasa menyempit. Manik birunya tetap memandang setiap tingkah laku Matsuri.

.

"Sebaiknya kau temui dia, Gaara," ucap seorang siswa bersurai kuning. Manik shappirenya menatap ke luar jendela, tepatnya ke arah Matsuri yang tengah berdiri di bawah terik matahari. Tadi saat bel istirahat berdering, ia dan Gaara memutuskan untuk pergi ke Uks untuk tidur. Namun ia urung memejamkan mata karena suara bising yang diciptakan oleh fansgirl sejati Gaara. "Hei Gaara, cepat temui dia!" Ucap siswa itu lagi.

"Kau berisik sekali, Naruto," gerutu Gaara yang merasa tidurnya terganggu karna suara cempreng sahabatnya.

"Aku akan terus mengoceh hingga kau mau menemuinya, Gaara," ucapa Naruto mengancam.

"Ck," Gaara berdecak kesal. Ia mengusap rambut merahnya dengan kasar. Lalu ia beranjak dari tidurnya. Dan melangkah pergi meninggalkan Naruto.

Blamm

Naruto tersenyum tipis melihat Gaara keluar dari persembunyiannya. Ia sudah cukup gerah dengan teriakan Matsuri yang mengundang banyak siswa untuk melihatnya. Dan itu berefek pada saat ia berjalan pulang bersama-sama. Setiap kemanapun bersama Gaara, ia menjadi tatapan seluruh siswa yang ditemuinya. Walaupun ia tahu, mata mereka bukan tertuju padanya, lebih tepatnya pada sahabatnya. Namun tetap saja itu membuatnya tidak nyaman.

"Hah, semoga kau mampu mengatasinya dengan baik, Gaara," doa Naruto dalam hati. Lalu ia ikut beranjak pergi meninggalkan UKS untuk mengikuti Gaara yang telah lebih dulu meninggalkannya.

.
Matsuri merasa begitu senang ketika melihat Gaara benar-benar datang. Akhirnya penantiannya tidak sia sia. Senyum kecil ia kembangkan saat Gaara berdiri tepat di hadapannya.

Ino yang melihat Matsuri dan Gaara berdiri saling berhadapan entah mengapa ada rasa sakit yang menghantam ulu hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha agar air matanya tidak terjatuh. Tangannya mulai mendingin dan bergetar. Sedikit rapalan doa ia panjatkan. Ia berharap agar Gaara menolaknya. Jahat memang, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa dirinya juga menyukai Gaara. Dan tidak rela bila Gaara menjadi milik orang lain. Ia tetap berdiri. Pasrah akan apa yang terjadi nantinya.

Matsuri dan Gaara masih saja diam membisu. Keriuhan siswa yang menyaksikan tidak mampu memecah aura kekakuan di antara mereka. Matsuri sendiri merasa sangat gugup tidak terkira. Walaupun ini adalah momen yang paling ia tunggu. Tapi tak bisa dipungkiri, sebagai seorang gadis, ia juga memiliki kegugupan bila berhadapan langsung dengan pangeran yang amat disukainya.

"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" Ucap Gaara datar. Manik azurenya menyorot tajam pada siswi di hadapannya.

"A-aku menyukaimu," ucap Matsuri dengan terbata.

Gaara mengernyitkan keningnya dan menatap remeh pada siswi yang berani berkata konyol padanya. "Lalu, apa maumu?".

"Aku ingin kau menjadi kekasihku, aku sangat menyayangimu, bahkan kau selalu hadir dalam mimpiku. Jadi, aku menginginkanmu menjadi kekasihku," ucap Matsuri dengan mantap.

"Ciyeeeeee," para murid mulai bersorak.

"Terima...terima," dan entah sejak kapan semua murid bersatu suara.

Gaara terdiam sejenak. Manik azurenya menatap seluruh murid yang berjejer di tepi lapangan. Ia tersenyum sinis saat menatap pada satu direksi. Lalu ia memandang siswi di depannya, yang menatapnya penuh harap.

"Terima kasih karna kau menyayangiku, tapi maaf, aku tak bisa menerimamu," usai berucap seperti itu, Gaara beranjak pergi.

"Gaara,".

Belum jauh langkah Gaara. Ia berhenti saat namanya dipanggil. Tanpa membalikan badan, ia tetap berdiri angkuh.

"Gaara, aku tidak akan menyerah hingga kau mau melihatku. Sampai kau berbalik mencintaiku. Ingat itu, aku akan selalu di sekitarmu, Gaara,".

Gaara tersenyum sinis, lalu ia mulai melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Ino menatap nanar ke arah Matsuri. Ia merasa iba. Walau tidak ia pungkiri, ia sedikit senang Gaara menolaknya. Ia rasa dirinya benar-benar kejam. Ia memandang Matsuri yang kembali bergabung bersama Sakura dan Hinata. Ia tersenyum kecil. Setidaknya Matsuri baik-baik saja, tidak seperti siswi sebelumnya yang langsung menangis.

Ino beranjak dari tempatnya berdiri dan menggandeng tangan Tenten menuju kelasnya.

"Kau harusnya seperti Matsuri," ucap Tenten tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" Ucap Ino pura-pura tak mengerti, ia menoleh ke arah Tenten dengan malas.

"Ayolah, jangan berbohong di depanku. Kau menyukai Gaara kan?" Kata Tenten tepat sasaran.

Ino hanya menghela nafas. Memangnya dirinya sebegitu terlihatnya menunjukan ketertarikannya terhadap Gaara, hingga orang lain mampu menebaknya. Ia melirik Tenten sekilas lalu ia memfokuskan matanya ke arah depan.

"Hei, aku ini sudah mengenalmu lama, jadi aku tahu bila kau tengah menyukai seseorang. Jadi, jangan berbohong kepadaku. Ayo mengaku," ucap Tenten memaksa.

"Hah, baiklah. Kau memang tak bisa ku bohongi," gerutu Ino mengembungkan pipinya.

"Hihihi, jadi itu benar," Tenten terkekeh geli melihat ekspresi Ino.

"Iya, puas?".

"Lalu kenapa kau tak melakukan hal yang sama seperti Matsuri, hm?" tanya Tenten masih terkikik geli.

"Aku takan melakukan hal konyol seperti itu," jawab Ino sebal.

"Hei apa salahnya mencoba hn? Siapa tahu, kau diterimanya. Dan lagi pula apa salahnya menyatakan cinta pada orang yang kau sukai," goda Tenten menyenggol bahu Ino dengan bahunya.

"Setiap orang memiliki cara menunjukan rasa ketertarikannya. Bagiku, hanya memandangnya dan memastikannya baik-baik saja, bagiku itu lebih dari cukup," kata Ino santai.

"Yah, dan kau harus merasakan sakit ketika melihat sainganmu menyatakan cintanya," sindir Tenten.

"Itu tak masalah, bagiku mencintai tidak harus memiliki. Kau tahu prinsipku kan? Selama aku masih bersekolah, aku tidak akan berpacaran," Ino berujar mantap.

"Yayaya, miss prinsip. Teruslah berpegang teguh pada prinsip konyolmu itu. Saat apa yang kau sukai menghilang maka itu takan terulang," ujar Tenten.

"Dan jikalau itu terjadi, itu berarti tlah menjadi takdirku," kata Ino santai.

"Hah, kau ini aneh. Gadis lain akan mengejar sesuatu yang ia sukai, tapi kau...hanya terima berdiri di tempat sambil memandang orang yang kau sayangi menjauh," Tenten tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu.

"Maksudmu, aku harus sepertimu yang mengejar Lee hingga pojok kuburan hm? Itu tidak akan," canda Ino, ia mencubit pipi Tenten lalu berlari.

"Hei, apa-apaan itu dasar nakal. Aku tak mengejar si cacing berjalan itu," teriak Tenten tak terima. Ia berlari mengejar Ino dengan tawa yang terkembang di bibirnya. Mereka berlari sambil terus saling mengejek, tak memperdulikan siswa lain yang memandang aneh pada mereka.

Tanpa mereka tahu, seseorang tengah mengamati tingkah mereka dari atas atap sekolah. Memandang mereka dengan senyum tipis yang terpatri di wajahnya.

"Hime, aku pulang," gumamnya lirih.

.

.

Ino berkali-kali menghela nafas mendengarkan Asuma sensei menerangkan pelajaran Sains. Menerangkan kembali pelajaran kelas 1. Mengapa begitu? Padahal ia kelas 3?. Jawabannya karena sekarang ini sudah memasuki tahun terakhir. Pelajaran yang dibahas hanya untuk mengingat yang telah dipelajari sewaktu masih duduk di bangku kelas 1.

Ino merasa sangat bosan, bahkan ia sedikit menguap tapi ia berusaha agar tetap terjaga. Ia menoleh ke arah belakang, dapat ia lihat Shikamaru sudah hampir menutup matanya. Ia terkikik geli. Bahkan Shikamaru yang terkenal suka tidur pun bertahan untuk membuka matanya. ini karena Asuma sensei ini terkenal sangat disiplin. Ia tida suka kalau ada muridnya yang tak mendengarkan pelajarannya, terlebih lagi berani mengacuhkannya.

Ino menggulirkan kembali maniknya ke samping.

Deg

Biru bertemu azure

Debaran jantung milik Ino terasa berdetak dua kali lipat. Saat matanya bertemu langsung dengan manik milik Gaara. Ia segera memutuskan pandangannya dan berusaha fokus pada Asuma sensei. Mengabaikan debarannya, ia mencoba menuliskan perihal pelajaran yang ia dengar yang cukup penting. Namun itu semua tidak mampu mengalihkan pikirannya. beginilah nasib ketika mencintai seseorang yang berada dalam satu kelas.

Ino mengetuk_etuk pelan bolpoinnya. Kakinya tak henti-henti menghentak pelan. "Duh, bagaimana ini?" Tanyanya dalam batinya. Ia bertanya begaimana kegugupannya bisa hilang. Ia bertanya pada dirinya sendiri yang tidak memiliki jawaban.

"Ino,"

Ino mendongak kala namanya disebut oleh senseinya itu.

"Besok besar mau memiliki putra berapa?"

W-what! Ino tercengang. Pertanyaan macam apa itu? Ino bersungut ria di dalam hati. Oke! Pelajaran yang tengah di bahas memanglah perkembang biakan tapi... Hell no, kenapa harus pertanyaan itu. Itu membuatnya sebal.

"100 ya?" Goda Asuma sensei, sedangkan murid lain terkikik geli.

"Sana kalau kuat," karna sahutan itu membuat kelas menjadi gaduh, bahkan ada yang tertawa lebar seperti Naruto dan Kiba.

Ctak

Timbul perempatan urat di kening Ino. Wajahnya Ino merah padam menahan amarah. Ia menolehkan wajahnya ke arah samping. Menatap tajam ke arah Gaara yang seenaknya menyahut. Sedangkan Gaara yang ditatap tajam hanya menyerigai sinis lalu memfokuskan kembali pada bukunya. Ino hanya mendengus kesal.

Suasana kelas mulai kembali tenang saat Asuma kembali menerangkan pelajarannya.

Ino mencoret-coret bukunya tak minat.

Puk

Ia menoleh ketika ada yang menepuk bahunya. Ia melihat Tenten tersenyum-senyum.

"Apa?" tanya heran Ino.

"Kemajuan," jawab Tenten ambigu.

Ino mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Tenten yang tidak jelas itu.

"Maksudmu?"

"Ia mau menggodamu, ada kemungkinan ia tertarik padamu," jawab Tenten dengan senyum tipis.

Ino memutar bola matanya. Kemajuan apa? Dipermalukan kok kemajuan. Ino hanya mendengus sebal mendengarkan celotehan Tenten yang terus menggodanya. Tapi ia sedikit menyunggingkan senyum dan melirik ke arah Gaara. Entah mengapa ada secuil kebahagiaan membuncah di hati Ino meskipun itu hanya ejekan dari Gaara. Ino kembali tenggelam dalam bukunya mencoba mengalihkan perhatiannya dari pesona Gaara. Pesona yang mampu menariknya ke dalam dimensi yang dikenal dengan sebutan cinta.

Ketika bibir tak mampu bicara
Matalah yang mencoba berkata
Segala rasa yang terpendam
Tetap abadi dalam diam

Setiap lukisan warna
Menorehkan berjuta cerita
Tentang aku, kau dan dia
Tentang masa yang takan terlupa

.

To be continued...