Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it.

Pairing : SasuFemNaru

Rated : T

Genre : Drama, romance

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)

Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fic ini maupun fic milik saya lainnya!

Selamat membaca!

Mr. Arrogant

Chapter 15 : Best Plan

By : Fuyutsuki Hikari

Ada yang salah dengan Ino, pikir Naruto. Wanita itu menyipitkan kedua mata saat bersitatap dengan Ino yang didapatinya tengah mengamatinya dengan ekspresi ingin tahu. Keduanya berada dalam dua barisan berbeda saat mengantri untuk mengambil jatah makan siang mereka, siang ini. Tidak biasanya kantin begitu ramai. Andai saja tahu akan seramai ini, pasti Naruto memilih untuk tidak istirahat makan siang tepat waktu.

Ino masih saja menoleh ke belakang saat berjalan melewati Naruto dengan baki di tangan.

"Perhatikan jalan, Ino! Kau bisa tersandung dan jatuh," kata Naruto membuat Ino semakin memicingkan kedua matanya. Satu alis Naruto terangkat tinggi. Jelas ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ino dan itu berhubungan dengannya.

Naruto menghembuskan napas panjang. Ia menggelengkan kepala pelan. Naruto berusaha menyingkirkan pemikiran buruk yang sempat melintas dalam benaknya. Sekilas ia melirik ke arah meja Ino. Seketika tubuhnya merinding ngeri saat mendapati Ino masih menatapnya tajam sembari menusukkan garpu di tangannya ke atas makanannya.

"Kenapa ka uterus menatapku dengan pandangan mengerikan itu?" Naruto menunjuk wajah Ino dengan sumpit di tangannya setelah dia mendudukkan diri tepat di sebrang Ino.

Ino tidak langsung menjawab. Wanita itu mengerucutkan mulut. Tatapan tajamnya kembali sukses membuat Naruto merinding, ngeri.

Naruto berhenti mengunyah. Ia meletakkan sumpit di tangannya di atas baki makanannya lalu melipat kedua tangannya di depan dada. "Ok. Jadi ada masalah apa?"

Ino masih mengunyah sayuran dengan sikap berlebihan. Pandangannya masih tidak lepas dari Naruto yang balas menatapnya dengan satu alis diangkat tinggi. Ino melirik ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada satu orang pun yang bisa mencuri dengar apa yang akan dikatakannya pada Naruto.

"Kau pacaran dengan GM kita tersayang," bisik Ino saat Naruto meneguk air putihnya. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.

Naruto nyaris menyemburkan air di dalam mulutnya tepat ke wajah Ino. Namun dengan cepat dia menutup mulut dengan telapak tangannya yang bebas. Kedua matanya melotot. "A-apa yang kau katakan?" katanya dengan sikap gugup yang tidak bisa disembunyikannya.

"Apa kau sedang mabuk?" sambungnya, diakhiri sebuah tawa kering yang terdengar menyedihkan. Naruto berdeham saat Ino semakin menyipitkan mata. "Ayolah, Ino. Kau dengar gosip dari mana?" tanyanya dengan suara lebih lembut.

Naruto mengibaskan tangan di depan wajahnya dan kembali berkata saat Ino tidak menjawab, "Mana mungkin dia tertarik padaku."

Ino memutar kedua bola matanya. Kenapa Naruto masih saja mengelak? Ah, tentu saja. Naruto pasti takut jika orang lain mencium hubungannya dengan Sasuke.

"Dia tersenyum lembut lalu membukakan pintu mobil untukmu." Ino melempar kedua tangannya ke udara. "Dia tersenyum. Tuan Gunung Es tersenyum lembut pada seorang wanita, dan itu kau."

Ino mendesah keras. "Sekarang, apa kau masih mau mengelak?" desak Ino dengan sikap ala detektif. Wanita itu mengetuk-ngetukkan jari di atas meja dengan tidak sabar. Apa yang dikatakannya sekarang bukan sebuah gosip murahan, tapi berita terdahsyat sepanjang tahun ini. Namun jika berita ini bocor, Naruto pasti akan kehilangan pekerjaannya.

"Kau pasti sudah gila," kata Ino, setengah berbisik. Ia kembali melempar tatapannya ke segala penjuru sebelum berbicara dengan nada yang sangat serius, "Kau mencari mati. Kau bisa kehilangan pekerjaanmu."

Naruto tidak bisa berkata-kata. Lidahnya mendadak kelu. Rasa laparnya menguap bagai embun yang terkena sinar matahari pagi. Naruto mendesah. Helaan napasnya terdengar berat. Ia mendorong baki makanannya.

Ino menunjuk wajah Naruto. "Kau beruntung karena aku yang memergoki kalian. Bagaimana jika orang lain yang memergoki kalian?"

"Maaf!"

"Aku tidak perlu permohonan maafmu karena aku tidak berhak untuk itu," sahut Ino. "Aku hanya ingin kau memikirkan masalah ini dengan matang. Apa hubungan itu pantas untuk kau pertahankan?"

Ino menjeda untuk minum. Kerongkongannya terasa sangat kering. Wanita itu melepas napas keras setelahnya. "Bukankah selama ini sikapnya begitu menyebalkan padamu? Lalu kenapa kau malah jatuh cinta padanya?"

Sungguh Ino tidak habis mengerti dengan jalan pikiran Naruto. "Apa dia pantas untuk kau pertahankan?" tanyanya lagi setelah jeda singkat.

Naruto mengangkat wajah dan menatapnya lurus.

"Pekerjaan di tempat ini adalah pekerjaan yang kau idam-idamkan. Benar?"

Naruto tidak menjawab.

Ino mencondongkan tubuhnya. Ekspresinya masih sangat serius saat kembali bicara, "Jadi katakan! Apa hubunganmu dengannya sepadan dengan apa yang akan kau korbankan jika hubungan kalian diketahui oleh managemen?"

Naruto tersenyum lembut. Ia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga sebelum menjawab dengan tegas, "Ya, Ino. Hubungan kami sepadan untuk apa yang mungkin akan kami korbankan."

Ino terlihat lemas mendengarnya. Wanita itu menyandarkan tubuh pada punggung kursi yang didudukinya. Raut wajahnya berubah cemas. "Aku tidak ingin kau menyesal, Naruto. Kau tahu itu. Aku sudah menganggapmu seperti saudariku sendiri."

Mata Naruto berkaca-kaca mendengarnya. Ino memang terkenal sebagai tukang gosip di hotel tempatnya bekerja. Namun di sisi lain, Ino juga sangat setia kawan. Dia pasti merasa sangat cemas karena ia tengah bermain api saat ini.

"Aku tidak akan menyesalinya," jawab Naruto tegas. Wanita itu tertawa renyah sembari melap air mata dengan jarinya cepat. "Seandainya hubungan kami berakhir sekali pun, aku pastikan tidak akan menyesal karena telah menambatkan hati padanya."

"Bodoh!" ujar Ino sembari menggelengkan kepala pelan. Ia tidak tahu bagaimana sifat Sasuke yang sebenarnya. Namun dirinya akan merasakan sakit yang sama jika pria itu menyakiti Naruto.

Tuhan, dari semua pria di dunia ini, kenapa sahabatnya memilih untuk menambatkan hati pada pria dingin, minim ekspresi itu?

Sungguh, Ino tidak habis mengerti. Namun kembali lagi, dia tidak bisa memaksakan hati seseorang.

.

.

.

Aku akan mengantarmu pulang.

Naruto segera membalas pesan singkat yang dikirimkan Sasuke padanya.

Tidak perlu. Aku akan pulang sendiri.

Naruto langsung mematikan telepon genggamnya setelah selesai mengirim balasan pesan singkat itu pada Sasuke. Dia menarik laci meja kerjanya lalu menutupnya kembali setelah meletakkan telepon genggamnya di dalamnya.

Wanita itu mendesah panjang. Gerak tubuh dan ekspresi wajahnya memperlihatkan kegelisahannya. Dia boleh saja begitu percaya diri dengan mengatakan pada Ino jika dia tidak akan menyesali keputusannya untuk menjadi kekasih Sasuke. Namun bagaimana dengan Sasuke?

Kekasihnya mungkin akan marah besar jika tahu Ino mengetahui tentang hubungan khusus mereka.

Naruto menggigit bibir bawahnya. Dia memejamkan mata, lalu meletakkan kepala di atas meja kerjanya.

Oh, bolehkah dia menangis sekarang?

"Apa kau sakit?"

Pertanyaan Sasuke dijawab dengan gelengan kepala pelan.

"Waktu istirahat sudah habis. Jangan malas-malasan, Namikaze!"

Sasuke mengatakannya dengan penuh penekanan. Naruto tidak yakin apa kekasihnya murni marah karena ia tertangkap basah tengah bersantai dijam kerja, atau marah karena ia menolak untuk diantar pulang, malam nanti.

Naruto merubah posisi. Kini pipi kanannya menempel pada meja kerjanya, sementara matanya terarah lurus pada pintu ruang kerja Sasuke yang tertutup rapat. Suara dering telepon terdengar hingga dua kali. Namun Naruto terlihat enggan untuk mengangkatnya, baru pada dering ketiga ia mengangkat gagang telepon dan meletakkannya di telinga.

"Berhenti bermalas-malasan! Segera bekerja, Namikaze! Apa kau mau kupecat?" bentak Sasuke dari ujung sambungan telepon.

"Mungkin, iya," jawab Naruto.

Sasuke terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia kembali menemukan suaranya dan berkata tegas, "ke ruanganku. Sekarang!"

Naruto mengehela napas panjang, lalu meletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya. Dia mengangkat pantatnya dari kursi dengan malas. Ia setengah menyeret kakinya untuk berjalan menuju ruangan kerja Sasuke.

"Anda memanggil saya, Pak?" tanya Naruto masih dengan nada tidak semangat.

Sasuke memasang ekspresi datar andalannya. Ia menyipitkan mata. "Ada apa denganmu?"

Naruto menggigit bibir bawahnya. Untuk sesaat dia terlihat meragu. Namun pada akhirnya dia mengatakan juga apa yang menjadi ganjalan hatinya saat ini, "Ino mengetahui tentang hubungan kita."

Hening.

Naruto menghitung dalam hati. Dia menunggu reaksi Sasuke setelah mendengar berita ini. Namun Sasuke tidak mengatakan apa pun. Sikap tenangnya membuat Naruto resah.

"Apa Anda tidak terganggu?" tanya Naruto, buka suara setelah terdiam beberapa saat. "Sebaiknya mulai saat ini kita menjaga jarak, hingga keadaan aman."

Naruto tidak peduli jika dirinya dipecat dari pekerjaan ini. Dia yakin bisa mendapatkan pekerjaan lain. Namun yang jadi kekhawatirannya justru Sasuke. Bagaimana jika Sasuke dikeluarkan dengan tidak hormat?

"Kita akan membahasnya setelah pulang kerja," putus Sasuke mutlak.

"Tidak bisa. Ini penting—"

"Sekarang masih jam kerja," potong Sasuke, mengingatkan. "Kembali ke mejamu dan bekerja seperti biasa. Kita akan membahasnya setelah pulang kerja," sambungnya tegas.

Naruto tidak bisa mengatakan apa pun. Dia bahkan tidak bisa membantah. Naruto tahu jika apa yang baru saja dikatakan Sasuke bersifat mutlak. Jadi untuk kesekian kalinya dia akan menunggu hingga mereka bisa membahas masalah pribadi mereka dengan bebas.

"Saya permisi, Pak!" kata Naruto kemudian. Dia sengaja memberi penekanan pada kata terakhirnya untuk mengganggu Sasuke. Namun pria itu tidak terpancing sama sekali dan hal itu membuat kekesalan Naruto menjadi berlipat-lipat.

.

.

.

Berada di dalam satu mobil yang sama dengan Sasuke tanpa mengatakan apa pun adalah hal yang baru bagi Naruto. Saat ini hubungannya bahkan terasa lebih buruk daripada saat keduanya belum saling membuka perasaan masing-masing.

"Jadi, karena Ino mengetahui tentang hubungan kita, kau memilih untuk menjaga jarak dariku?"

Sasuke buka suara sesaat setelah ia memarkirkan mobilnya tidak jauh dari rumah Naruto. Ia mematikan mesin mobil, lalu menoleh, menatap kekasihnya dengan tatapan ingin tahu.

"Apa kau takut kehilangan pekerjaanmu?"

Naruto menggeleng. Ia menundukkan kepala. Jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuannya terlihat lebih menarik perhatiannya saat ini. "Aku mengkhawatirkanmu," akunya, pada akhirnya. "Bagaimana jika mereka memecatmu?"

Naruto menoleh. "Ino memang berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini, tapi bagaimana jika ada orang lain yang melihat kebersamaan kita dan melaporkannya pada manajemen?"

Sasuke mengangkat bahunya tak acuh. "Aku tidak peduli."

"Tapi aku peduli," kata Naruto. Nadanya satu oktaf lebih tinggi saat mengatakannya. "Kita beruntung karena Ino yang memergoki kita, bukan ornag lain."

Naruto terlihat lelah dan kusut. Ia menyunggingkan sebuah senyum getir. "Perjuanganmu untuk sampai diposisi itu tidak mudah. Kau bahkan pernah bercerita jika kau mendapatkan posisi itu dengan susah payah. Iya, kan?"

Sasuke tidak menjawab.

"Sekarang, apa kau rela kehilangan pekerjaanmu demi aku?"

"Kenapa tidak."

Naruto mengerjapkan mata. Sasuke pasti sedang bercanda. Bagaimana bisa pria itu mengatakannya dengan sangat mudah?

"Aku bisa mencari pekerjaan lain jika itu bisa membuatku mempertahankanmu."

Ada keteguhan dikedua bola mata Sasuke saat ia mengatakannya. Sasuke rela kehilangan jabatan yang tengah didudukinya saat ini. Namun ia tidak bisa melepaskan dan kehilangan Naruto. Tidak akan pernah bisa.

Sasuke terlihat frustrasi saat Naruto memalingkan muka, memilih untuk menatap keluar jendela mobil.

"Naruto, apa kau masih tidak mengerti?" tanya Sasuke serak. Pria itu memaksa Naruto untuk menatapnya. "Dengar. Aku mencintaimu. Aku bisa melepas apa yang kumiliki saat ini jika hal itu bisa membuat kita bersama—"

"Apa pengorbananmu akan sepadan?" potong Naruto. Dia menanyakan pertanyaan yang Ino lontarkan padanya untuk Sasuke. Naruto memang bisa melakukan pengorbanan itu, tapi bagaimana dengan Sasuke?

Sasuke menangkup wajah Naruto. Pria itu tahu jika Naruto lebih memikirkan masa depan Sasuke saat ini. Karenanya dia perlu untuk memberi Naruto pengertian jika semuanya akan baik-baik saja.

"Hei… dengar, semuanya akan baik-baik saja!"

"Mudah untukmu mengatakannya," sahut Naruto, lirih. Wanita itu memejamkan mata saat Sasuke membelai pipinya lembut. "Aku mengkhawatirkanmu, kau tahu."

Sasuke tersenyum. "Aku tahu, karenanya aku memintamu untuk percaya padaku."

Entahlah. Naruto tidak yakin jika mereka bisa melewati hal ini dengan mudah. Entah kenapa dia merasa jika Sasuke tengah merencanakan sesuatu untuk membereskan hal ini.

"Jangan berpikir untuk resign¸ Teme!" kata Naruto, tiba-tiba. "Aku serius," sambungnya saat Sasuke terkekeh pelan. "Hotel tidak akan sama jika kau tidak ada di dalamnya," katanya, serius.

Naruto menjeda dan berdeham pelan. "Lagipula, jika kau tidak ada, tidak ada jaminan jika aku tidak berpaling pada pria lain—"

"Kau tidak akan melakukannya," kata Sasuke serius.

Satu alis Naruto terangkat tinggi.

"Kau tidak akan melakukannya karena aku akan pastikan jika kau tidak memiliki banyak waktu untuk melirik pria lain, Naruto."

Suara decihan meluncur dari mulut Naruto. Dia tidak mengerti, kenapa Sasuke masih memiliki kepercayaan diri sebesar itu?

"Apa kau lupa jika aku memiliki banyak kaki tangan yang akan tetap setia walau aku tidak berstatus sebagai atasan mereka lagi?"

Naruto memutar kedua bola matanya, malas.

"Karenanya jangan pernah berpikir untuk bisa selingkuh dariku," kata Sasuke tajam. "Aku tidak suka jika wanitaku disentuh oleh pria lain," sambungnya.

Sasuke menyeringai tipis saat Naruto menelan kering. "Mungkin aku harus menandaimu, agar tidak ada pria lain yang berani mendekatimu," katanya sebelum menyatukan bibirnya dengan bibir Naruto dalam satu ciuman panjang dan menuntut.

.

.

.

TBC

Sampai jumpa dichap selanjutnya! ^^

#WeDoCareAboutSFN