Chapter 1 When it all began

Hope and Prisoner

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : SasuHina

Rated T

Warning : OOC, Typo, etc

.

.

.

.

.

Suara tangisan bayi perempuan menggema di ruang persalinan itu. Wanita yang berumur sekitar 25 tahun tampak terengah-engah di tengah ruangan. Ia memejamkan matanya dan mengatur nafasnya agar stabil.

Setelah segala sesuatunya selesai di lakukan, termasuk pembersihan bayi yang baru lahir tersebut dari darah sang ibu. Seorang suster menghampiri wanita yang tengah terbaring di tengah ruangan dengan senyum terpatri di wajahnya.

"Selamat Nyonya Hyuuga anda melahirkan seorang putri yang sangat cantik," seorang suster menyerahkan bayi perempuan tersebut pada sang Nyonya Hyuuga. Sedangkan dokter yang menangani pasien berjalan keluar dan menghampiri suami pasien.

"Hikari!" seru seorang pria berumur 30 tahunan menghampiri istrinya.

"Bagaimana ini Hiashi? Anak kita…"

"Hikari… tenanglah, bisa tinggalkan kami berdua?" pinta Hiashi menatap penuh harap pada dokter dan suster yang masih berada di ruangan bersalin tersebut. Mereka pun mengangguk dan keluar untuk memberikan privasi pada keluarga Hyuuga itu.

"Bagaimana aku bisa tenang?! Melihat anakku yang ternyata perempuan. Ia tidak bisa menjadi pewaris Hyuuga, Hiashi!"

"Setidaknya kau harus menyusuinya selama 6 bulan Hikari."

"Aku tau, tapi bagaimana jika di masa depan…"

"Hikari, masalah itu biar aku yang tangani, setidaknya selama 6 bulan ini kau harus memberikan kasih sayangmu sebagai seorang Ibu," ujar Hiashi terakhir kali sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Hyuuga Hikari yang sedang menyusui anak pertamanya tersebut.

.

.

6 bulan kemudian

"Hizashi, izinkan kami untuk menitipkan anak kami kepada keluargamu," kata Hiashi penuh harap, ia membungkuk dalam kepada saudara kembarnya.

"Bagaimana Hitomi? Kau setuju?" tanya Hizashi pada istrinya, Hitomi.

"Tapi Hiashi, Hikari bagaimanapun juga ini anak kalian. Ini adalah sebuah anugerah memiliki anak secantik Hinata," kata Hitomi miris, Hikari mendongak menatap istri adik iparnya.

"Justru karena ini anak kami, kami ingin kalian merawatnya Hitomi," kata Hikari pelan dengan berurai air mata. "Dia anakku, dan aku ingin yang terbaik untuknya dengan kau yang merawatnya Hitomi," kata Hikari bergetar.

"Tapi bukan begini caranya Hikari ini…" lirik Hitomi yang ada di dalam gendongan Hikari, ia menghela nafas sebelum melanjutkan. "Ini anak kandung kalian."

Hikari menangis tersedu-sedu, ia menyayangi Hinata, tetapi keadaan Hinata yang tidak bisa menjadi pewaris membuat ia bimbang. Selama 6 bulan merawatnya, kasih sayang seorang ibu hadir pada dirinya. Rasa takut akan kehilangan juga sempat menghinggapinya, tetapi keadaan bisnis yang memaksanya demikian.

Hiashi memeluk istrinya, memberikan kehangatan kepada istrinya. Ia menatap adik ipar dan adiknya bergantian.

"Kumohon, ini pertama kalinya aku memintamu Hizashi. Aku memintamu untuk merawat Hinata sebagai anakmu, dan memperlakukannya sebagaimana puteramu, Neji," kata Hiashi penuh keyakinan dan bersujud di depan Hizashi.

"Nii-sama, jangan seperti ini. Bangunlah," kata Hizashi berusaha untuk membangkitkan tubuh Hiashi.

"Aku tidak akan berdiri sebelum kau menerima permintaanku."

Hizashi menatap istrinya cemas, Hitomi menatap Hizashi miris, ia tersenyum lemah dan mengangguk. Hizashi menghela nafas berat, ia berharap pilihannya kali ini tidak salah.

"Baiklah Hiashi aku menerima dan akan merawat Hinata sebagai anakku, seperti Neji," tanpa mereka sadari seorang anak berambut coklat panjang berumur 5 tahun mencuri dengar percakapan paman, bibi, dan kedua orang tuanya.

"Hinata?" gumam anak itu pelan.

.

.

.

"Nii-san, belhenti menculi bonekaku!" kata Hinata dengan suaranya yang cadel, neji tertawa mendengarnya.

"Hahahaha, apa yang kau bicarakan Hinata? Tidak jelas," kata Neji menjulurkan lidahnya.

"Uh, kembalikan bonekaku!" seru Hinata berlari ke arah Neji dan memeluk pinggangnya erat. Neji melirik ke bawah, ia mendapati Hinata menatap ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Dia mau menangis, pikir Neji.

"Hinata, aku akan memberitahumu sesuatu dan kuharap kali ini kau mendengarnya," kata Neji mengelus surai indigo punya adik sepupunya itu.

"Aku tidak mau, kau menyebalkan," kata Hinata menggeleng.

"Kalo begitu, aku tidak akan mengembalikan bonekanya," kata Neji menggembungkan sebelah pipinya, pura-pura kesal.

"Baik, Hinata ingin mendengalnya," Neji tersenyum tipis ia menyejajarkan tubuhnya dengan Hinata.

"Hinata tau Hinata seorang apa?" Hinata menggeleng.

"Hinata seorang Hyuuga, dan seorang Hyuuga harus tau apa yang menghambat dirinya untuk mencapai tujuannya."

"Seolang Hyuuga?" Neji mengangguk.

"Jadi apa yang menghambatmu mengambil boneka?" tanya Neji, ia tidak sadar bahwa sedari tadi iris lavender Hinata terus menerus melirik ke arah bonekanya.

Grep

"Seolang Hyuuga halus mengambil kesempatan, saat musuhnya lemah!" kata Hinata dan berlari ke dapur, untuk menemui ibu angkatnya.

"Mamaaa. Aku bisa menang dali Neji-nii!"

"Kau mengambil kesempatan dari kesempitan Nata," Tiba-tiba Neji muncul dari belakang, ia kemudian mengambil air putih di dalam kulkas. Hinata menatap kakak sepupunya dan mendengus.

"Seoalang Hyuuga halus mengambil kesempatan, saat musuhnya sedang lemah," kata Hinata santai yang membuat Hitomi menghentikan aktivitasnya. Ia menatap tajam puteranya, Neji.

"Neji, apa yang kau ajarkan pada Hinata?"

"Hyuuga kaa-san," Hitomi menaruh talenan yang tadi mau diambilnya dengan kasar. Membuat Hinata dan Neji terperanjat.

Ting Tong

Bunyi bel pintu menghentikan ketegangan yang timbul, Hitomi menoleh pada Hinata, tatapannya melembut.

"Nata-chan kamu mau membukakan pintu untuk tamu kita?" pinta Hitomi sambil tersenyum lembut. Hinata balas tersenyum dan meninggalkan Ibu dan Anak yang berada di dapur tersebut.

Sepeninggal Hinata, Hitomi menatap putera semata wayangnya tajam. "Neji, jangan ajarkan dia yang tidak-tidak. Dia memiliki darah seorang pewaris. Jika Hikari tau..." Hitomi menghentikan ucapannya saat ia nyaris membeberkan alasannya.

"Apa maksud kaa-san? Memangnya kalo bibi tau ada apa?" tanya Neji penuh selidik.

"Intinya, Hinata tidak boleh diajarkan tentang tatakrama dan peraturan Hyuuga," kata Hitomi, ia melirik sup buatannya. Lalu ia mengambil sendok sup.

"Mama!"

"Ada apa Nata-chan?" tanya Hitomi belum membalikkan badannya.

"Hinata sudah beltemu dengan bintangnya Nata!"

"Apa maksudmu..." Keringat dingin keluar dari pelipisnya, saat ia berbalik. "Nata-chan?" bersamaan dengan itu, sendok sup ditangannya terjatuh disertai bunyi nyaring.

"Ohayou Hitomi-san," wanita itu menyapa Hitomi dengan senyum cerah di wajahnya. Neji yang ada disampingnya membungkuk hormat, kemudian berdiri tegak. Senyum tipis terpatri di wajah tampannya.

"Ohayou gozaimasu, Hikari baa-san."

.

.

.

"Hitomi? Hitomi?"

"Ah, iya. Ada apa anata?"

"Jadi apa kau setuju melepaskan Hinata?" tanya Hizashi terakhir kali, setelah beulang-ulang bertanya.

"Aku… aku tidak tau," kata Hitomi mengusap wajahnya, untuk menghindari air mata yang akan turun. Hizashi menghela nafas, menatap Hinata yang sedang melihatnya dengan mata berbinar, Hiashi dan Hikari yang menatapnya penuh harap.

"Hinata," lavendernya menatap iris Hinata dengan tatapan lembut. "Aku tak menyangka, waktu ini tiba dengan sangat cepat."

"Nii-san aku setuju memberikan hak asuh anak ini kepada kalian," kata Hizashi memutuskan, detik itu juga air mata Hitomi tidak dapat dibendung lagi.

Sejak saat itu, hidup Hinata berubah. Yang awalnya seorang anak perempuan pada umumnya, berubah menjadi pewaris Hyuuga. Didikan membuatnya menjadi seorang tahanan di mansion Hyuuga.

.

.

.

Plak

Duk

"Kenapa bisa kau kalah hanya karena Ulangan Harian Hinata?!" bentak wanita paruh baya menampar anaknya dan membuat anaknya jatuh tersungkur.

"Gomenasai kaa-san," ujarnya datar.

"Seorang Hyuuga tidak akan duduk dilantai saat seseorang sedang bicara. Berdiri!" perintah wanita itu. Hinata segera berdiri, ia menatap datar sosok wanita di depannya.

"Kenapa kau bisa kalah dari Matsuri, hah?" Hinata hanya menggeleng.

Plak

"Seorang Hyuuga harus tau apa yang menghambat dirinya dalam mencapai tujuannya. Kau harus tau apa yang menjadi kelemahanmu."

"Ha'i kaa-san."

"Sebagai hukuman kau hanya makan nasi dan garam selama dua hari ini, sekarang pergi ke kamar!" perintah wanita itu, dengan segera Hinata meninggalkan ruang makan itu dan menaiki tangga menuju lantai dua.

Sesampainya di lantai dua, ia mendapat sambutan dari adik perempuannya, Hanabi.

"Nee-chan, gomen… aku…"

"Minta maaf tidak ada gunanya Hanabi," ujar Hinata datar, yang membuat Hanabi terdiam kaku.

"Ini sudah terjadi. Lebih baik nikmati masa mudamu Hanabi, jangan pedulikan nee-chan," Hinata mengelus pelan kepala Hanabi dan berlalu meninggalkan Hanabi.

"Nee-chan setidaknya obati dulu luka ini," Hanabi menahan nee-channya dengan menyentuh pundaknya yang membuat Hinata meringis. Segera Hanabi melepaskan sentuhannya pada pundak Hinata.

"Lebih baik aku saja yang mengobati, aku tidak ingin kau marah-marah tentang kaa-san dikamar," setelah mengatakan itu Hinata meninggalkan Hanabi, dan tidak ada lagi yang menghalanginya.

Hanabi menatap kakaknya dari kejauhan, ia menghela nafas. Sudah 7 tahun kakaknya mendapat didikan keras oleh ibunya. Saat ibunya tau, bahwa kakaknya berbakat menjadi seorang pewaris dan menjadi seorang Lady dari keluarga yang dikategorikan keluarga bangsawan*.

Peraturan Hyuuga sungguh banyak. Sejak Hinata kembali ke mansion Hyuuga ia mulai di didik dengan keras oleh Hikari. Pukulan, cambukan, tamparan sering menyentuh permukaan kulitnya.

Hal itu bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari Hinata. Menangis? Percuma, menangis hanya karena didikan keras itu hanya akan menambah kemarahan sang Ibu.

Walaupun menangis adalah sesuatu yang percuma, kadang Hanabi mendengar sayup-sayup suara tangisan kakaknya. Tetapi, jika ia datang, topeng ketegaran melekat pada kakaknya itu. Tatapan angkuh khas Hyuuga ia tunjukkan seolah-olah seseorang yang tadi menangis tidak ada.

Hanabi tersenyum miris, ia kadang merasa hidupnya begitu beruntung. Ia yang lahir setelah kakaknya tidak terlalu mendapat beban untuk menjadi pewaris dan dapat menikmati masa mudanya dengan santai. Ia berhutang budi pada kakaknya.

.

.

.

"Hinata-chaaaan!" seru seorang gadis berambut pirang membuat kegaduhan di koridor, ia berlari demi menemui gadis berambut indigo tersebut.

Hinata tetap berjalan menuju kelasnya 7-2. Ia memainkan ponselnya, untuk melihat berita tentang saham hari ini.

"Hinata-chan, kenapa saat kupanggil kau tidak meresponku?" tanya seseorang memeluk Hinata dari belakang.

"Yamanaka-san, aku bahkan tidak dekat denganmu, bukankah sangat tidak sopan memanggil seseorang dengan nama depannya? Padahal mereka tidak saling dekat," kata Hinata datar, matanya masih memandang apa yang ada di ponselnya. Ino menggerutu.

"Sebenarnya, apa yang kau lihat Hinata?" tanya Ino melirik ponsel Hinata penuh rasa ingin tahu, dengan sigap Hinata menekan tombol kunci.

"Bukan apa-apa, tidak usah pedulikan aku Yamanaka-san. Aku permisi."

Ino memandang Hinata tidak percaya, ia tidak percaya ada seorang gadis yang begitu kaku seperti dia. Ia mendengar sayup-sayup bisikan seseorang di koridor.

"Kau lihat itu? Hinata Hyuuga adalah boneka ibunya untuk menjadi pewaris, mengerikan bukan?"

"Dia mengerikan, bukannya dia lebih mirip seperti tahanan?"

"Jika aku menjadi dia, aku sudah pasti menjadi gila. Mana ada orang yang betah menjadi tahanan dan sendiri seperti itu?"

"Apa semua keluarga bangsawan seperti itu?"

Bisik-bisik mulai menjadi sebuah percakapan yang pasti didengar oleh orang lain yang hanya melintasi koridor tersebut, Ino menunduk memandang sepatunya. Ia merasa kasihan kepada Hinata karena tidak memiliki teman. Ia ingin berteman dengannya, tetapi Hinata seperti sudah membuat tembok raksasa yang membatasi dirinya dengan orang lain.

"Hinata-chan," gumamnya pelan.

.

.

.

.

"Tadaima," ujar Hinata sesampainya ia berada di mansion megahnya lagi. Begitu pulang ia disambut oleh uluran tangan kaa-sannya.

"Okaeri, Hinata. Bagaimana Ulangan Harianmu hari ini?"

"Sempurna kaa-san. Aku mendapatkan 100," kata Hinata meyodorkan kertas ulangannya.

"Anak kaa-san sangat pintar. Tapi…"

Krek

"Ini belum cukup membayar kesalahanmu kemarin Hinata," ujar Ibunya dingin.

Hinata kaget melihat hasil ulangannya dirobek dengan begitu mudahnya, ia tak sanggup berkata-kata.

"Kaa-san…"

"Belajarlah untuk Ulangan besok. Ibu akan membawakan makanan ke kamarmu. Jangan buang waktu hanya untuk ke dapur. Karena…"

"Setiap Hyuuga menghargai setiap detik yang terlewat," lanjut Hinata yang masih syok.

"Bagus, kau sepertinya sudah mendekati menjadi Hyuuga sejati. Pergi ke kamar sekarang!"

Sepeninggal Ibunya ke dapur, Hinata memungut serpihan kertas ujiannya. Tanpa ia sadari, air mata menetes kepada kertas ujiannya. Pandangannya memburam. Hinata segera mengambil serpihan-serpihan itu. Kemudian segera menuju lantai dua untuk mengurung dirinya di kamar lagi.

Ia sudah sering mendapati pukulan atau kekerasan lainnya. Tetapi, ini? Hasil jerih payahnya disobek dengan begitu mudahnya. Hanya 1 detik, hanya 1 detik semua tulisan disini menjadi tidak beraturan dan tidak bisa dibaca.

Sesampainya di kamarnya, Hinata mengusap air matanya dengan lengan seragamnya. ia berusaha menghilangkan jejak-jejak air mata. Ia menghirup dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya berat. Menangis tidak ada gunanya, pikir Hinata. Ia kemudian mengganti bajunya dan memasukkan seragamnya ke bak yang berisi pakaian kotor.

Ia berjalan menuju meja belajarnya, ia mengambil buku dan alat tulis lainnya. Kegiatannya menjadi seorang tahanan dimulai kembali.

.

.

.

"Hinata, kau boleh menikmati sore ini bebas. Untuk hari ini, kaa-san memberikan waktu senggang 1 jam untukmu sore ini," kata Hikari menutup buku Hinata, ia merasa puas dengan apa yang diperoleh Hinata siang ini.

"Ha'i arigatou kaa-san," ujar Hinata bangkit dari kursinya.

"Anggap saja ini adalah hadiah dari kaa-san," tambah Hikari, saat melihat Hinata menuju pintu kamar dan akan menyentuh knop pintu. Hinata hanya mengangguk, dan segera pergi dari kamarnya, meninggalkan Ibunya yang memandang sendu ke arahnya.

"Gomen ne Hinata," lirihnya.

Hinata berjalan dengan santai menuju dapur, sore ini ia ingin sekali menikmati ocha hangat dan menikmati pemandangan jalan dari teras mansion Hyuuga.

"Nee-chan!" panggil Hanabi dari dapur saat menyadari Hinata berjalan menuju dapur.

"Ada apa Hanabi?"

"Nih, mau ke teras bersama?" tawar Hanabi mengeluarkan cengirannya. Dengan senang hati, ia menerima ocha hangat yang ditawarkan Hanabi. Yang membuatnya tidak usah repot-repot membuat ocha kembali.

"Ha'i arigatou Hanabi-chan," kata Hinata tersenyum lembut dan mengusap puncak kepala Hanabi yang membuat empunya melebarkan cengirannya.

Ya, inilah yang ingin Hanabi lihat dari kakaknya. Seorang gadis yang tersenyum hangat tanpa ada luka di sekujur tubuhnya, seorang gadis yang membuatnya merasakan suasana hangat di mansion yang dingin ini. Membuatnya merasakan bagaimana menjadi seorang adik. Ia sangat menyukai saat-saat gadis yang dihadapannya menjadi Hinata bukan Hyuuga.

.

.

.

"Nee-chan, aku menonton film baru kemarin," kata Hanabi mulai bercerita.

"Film apa Hanabi-chan?"

"Up," jawabnya singkat membuat Hinata mengerutkan keningnya.

"Hanya dua huruf?"

"Yep, dibagian terakhir film Up. Tokoh utama menghitung mobil merah dan biru yang melintasi jalan bersama dengan seorang kakek yang menemaninya," jelas Hanabi

"Jadi, kau ingin kita menghitung mobil merah dan biru yang lewat?"

"Hehe…" Hanabi hanya menyengir untuk membalas ucapan kakaknya.

"1, 2, 3… 7,"

"Nee-chan mencuri start! Aku akan menghitung sepeda kalo nee-chan begitu," seru Hanabi, Hinata hanya tersenyum.

Waktu senggang Hinata, digunakan oleh kedua kakak beradik Hyuuga untuk menghitung kendaraan yang lewat dan sesekali tertawa bersama. Hidup 7 tahun yang lalu dirasakan Hinata, kembali ia rasakan dalam waktu senggang yang jarang diberikan oleh Ibunya. Ia dapat tertawa lepas dan mendengar cerita Hanabi mengenai banyak hal. Setidaknya ia dapat menyalurkan rasa tertekan yang selama ini terpendam lewat kebersamaannya dengan Hanabi.

Karena hanya Hanabi lah teman dekatnya, hanya Hanabi lah yang sangat mengerti akan dirinya yang terlihat kesepian, dan karena Hanabi adalah saudaranya yang memiliki ikatan darah dengannya. Membuat ia serasa hidup kembali.

Ia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya, menikmati musim gugur dengan suhu udara yang mulai menurun. Daun-daun kekuningan berguguran. Sinar hangat dari musim gugur menyinari kulit pucatnya yang jarang terkena sinar matahari.

"Nee-chan… lihatlah ada kucing!" pekik Hanabi

"Kucing yang putih itu?" tanya Hinata memastikan, Hanabi mengangguk sebagai balasannya.

"Cantik sekali kan nee-chan? Aku jadi ingin memiliki kucing," gumam Hanabi

"Kaa-san tidak mengizinkan ya?"

"Hum, kaa-san dan nee-chan sama-sama tidak suka kucing," kata Hanabi

"Kalo soal itu…"

Brak

"Astaga! Nee-chan…" suara Hanabi bergetar, Hinata juga melihatnya. Aspal tersebut diwarnai oleh warna merah darah. "Kucing itu tertabrak…" tambah Hanabi, tubuh hinata bergetar, ia sering melihat luka di tubuhnya tetapi ia tidak pernah melihat darah hewan yang menggenang seperti itu.

"Nee-chan itu... jika tidak ada yang menyelamatkannya dia akan…" Hanabi tidak bisa mengatur suaranya dengan baik, nada suaranya juga bergetar. "Mati."

Hinata membelalakkan matanya mendengar ucapan Hanabi. Dengan segera, Hinata beranjak dari kursinya ia segera berlari dari teras menuju gerbang rumahnya, sampai suara mengintrupsi kegiatannya.

"Hinata. Waktu senggangmu sudah habis 30 menit yang lalu. Seorang Hyuuga harus tepat waktu untuk mencapai tujuannya. Kembali ke kamar!" perintah Ibunya di teras, bersiri di samping Hanabi. Hinata menoleh menatap Ibunya, ia menatap Ibunya dengan pandangan kosong,

"Tapi kaa-san biarkan aku menghampiri kucing itu, kucing itu…"

"Kau tidak lihat ada banyak orang? Kucing itu pasti akan diselamatkan oleh orang-orang itu. Sekarang cepat ke kamar! Ibu akan mendatangimumu 5 menit lagi," perintah Ibunya yang membuat Hinata berlari menuju ke kamarnya.

Ia benar-benar kalut, hanya seekor kucing membuatnya panik, bingung, dan hampa. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bahkan saat Ibunya datang dan mencambuknya menggunakan sapu lidi, ia hanya terdiam seolah tidak merasakan rasa sakit. Pikirannya masih melayang kepada kejadian beberapa waktu lalu.

.

.

.

.

"Hinata, kaa-san sudah menyetujui tentang tunanganmu dengan Naruto Namikaze-san. Malam nanti, kau datang saja ke Hotel Akatsuki lantai 10, jam 7 malam. Kaa-san dan Tou-san harus datang 1 jam lebih awal, " kata Hikari menyiapkan sarapan untuk kelurga kecilnya itu.

"Ha'i kaa-san," Hinata mengangguk patuh yang membuat Hikari tersenyum puas. Hasil didikannya selama ini benar-benar membuahkan hasil, anak sulungnya sudah menjadi seorang Lady dan pewaris Hyuuga. Hinata yang sudah berumur 26 tahun itu tampil dengan sangat anggun. Sosok tegas, berwibawa sudah melekat pada dirinya. Tetapi tidak mengurangi nilai keanggunan pada dirinya.

Semakin Hinata dewasa, suara cambukan, pukulan, dan tamparan sudah tidak mengisi keheningan mansion Hyuuga lagi. Tawa dan canda yang dulu jarang sekarang malah tidak ada sama sekali. Para anggota keluarga Hyuuga sedang mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Termasuk jodoh untuk Hinata.

Hinata tahu, hari ini akan segera tiba. Ia tahu semuanya sudah diatur dan dia hanya mengikuti kehendak kaa-sannya seperti boneka. Karena memang ia adalah boneka di keluarga Hyuuga ini.

Hanabi sudah berumur 23 tahun. Ia memutuskan menjadi seorang desainer butik terkenal. Ia juga menjadi seorang yang sukses dengan caranya sendiri. Tanpa skenario, perencanaan, dan pemikiran yang matang. Hanabi meraih kesuksesan dengan caranya sendiri dan tanpa campur tangan orang lain.

Terkadang Hinata iri pada Hanabi yang hidup dapat menikmati masa mudanya. Jangankan sahabat, teman saja Hinata tidak memilikinya. Banyak yang menjauhinya karena sikapnya yang menurut orang lain angkuh itu. Teman Hinata hanyalah relasi bisnis Hyuuga, pemegang saham, dan sesuatu yang berkaitan dengan perusahaan yang berisi orang-orang kaku dan kolot sepertinya.

Tetapi, tidak ada gunanya menyesali semuanya, ia harus tetap melangkah. Ia tidak peduli cemooh orang atau apapun itu, yang terpenting saat ini adalah ia harus tetap melangkah demi keluarganya dan demi Hyuuga.

.

.

.

Konoha, Winter, 20 Maret 20XX

Mansion Hyuuga

"Nee-chan cepatlah! Barusan kaa-san menyampaikan kau harus disana 30 menit lebih awal!" seru Hinata di ruang keluarga.

"Iya Hanabi, aku sudah selesai," Hinata turun mengenakan gaun panjang warna hitam dengan sebagian punggungnya terbuka, baju pilihan kaa-sannya. Ia mengenakan cardigan panjang selutut berwarna cokelat muda. Rambutnya ia gulung, menampilkan sosok elegan dan anggun yang terpancar dalam dirinya. Tas genggam yang berisi ponsel dan dompetnya tergenggam oleh tangannya memiliki warnya putih pucat itu.

"Kau sangat cantik nee-san, aku yakin Naruto-san pasti terpukau melihatmu. Cepatlah, aku sudah menyiapkan mobil untukmu. Cepatlah, aku ada kepentingan di butikku, aku harus memastikan dirimu sudah berangkat nee-chan.

"Terimakasih Hanabi, aku berhutang budi padamu," kata Hinata keluar dari mansionnya dan memasuki mobil berwarna hitam itu.

"Simpan terimakasihmu untuk nanti. Hati-hati nee-chan."

Tanpa basa-basi Hinata segera menjalankan mobilnya menuju tempat tujuan. Tangan kirinya memegang setir dan tangan kananya mengatur GPS. Ia memilih melewati jalan tikus atau jalan pintas sesuai yang ditujukan oleh GPS nya agar cepat sampai tujuan.

Jalanan yang ia pilih tampak sepi, ia meningkatkan kewaspadaannya dan memutuskan untuk menginjak pedal gasnya lebih kencang. Mobil yang ia kendarai melesat menembus malam seperti peluru. Ia lalu memelankan injakan pada pedal gasnya, sekedar berhati-hati. Ia menginjak pedal gasnya lagi.

Tiba-tiba sesosok manusia menyebrang jalan, ia mengerem mendadak mobilnya.

Duk

Tubuhnya yang mau terpental kedepan tertahan oleh sabuk pengaman, ia menunduk sebentar, lalu mendongakkan kepalanya. Ia terperanjat kaget, ia Hinata Hyuuga barusan menabrak seorang pria.

Ia panik tentu saja. Ia bingung antara ingin menolong atau tidak mengingat ia harus segera menuju Hotel, tiba-tiba kejadian 14 tahun lalu kembali terngiang di kepalanya.

"Nee-chan itu... jika tidak ada yang menyelamatkannya dia akan…" Hanabi tidak bisa mengatur suaranya dengan baik, nada suaranya juga bergetar. "Mati."

Perkataan Hanabi membuat tubuhnya bergetar. Ia terngiang ucapan kaa-sannya

"Kau tidak lihat ada banyak orang? Kucing itu pasti akan diselamatkan oleh orang-orang itu…"

Benar, orang itu pasti diselamatkan oleh orang lain karena keadaan ramai, pikir Hinata. 'Ramai? Tetapi aku nyaris tidak melihat satupun orang disini kecuali kita berdua…' batin Hinata. Dengan mengumpulkan segenap keberanian ia melepaskan sabuk pengamannya, lalu keluar dari mobilnya dan berjalan menuju laki-laki tersebut.

Ia berusaha membopong pria itu, aroma mint dan bau anyir menguar dari tubuh pria itu. Dengan hati-hati ia meletakkan pria itu di kursi penumpang. Dan segera menuju kursi pengemudi, ia mengatur GPS nya kembali dengan tangannya yang gemetaran. Ia tidak peduli jika mobilnya penuh darah dan tangannya yang terdapat darah. ia memikirkan tujuannya. Kali ini bukan Hotel Akatsuki yang tinggal 2 km lagi sampai menjadi tujuannya. Tetapi, rumah sakit terdekat, Rumah Sakit Uzu.

.

.

.

"Harap anda tunggu disini dan menandatangani izin untuk melakukan operasi. Karena kedatangan anda disini sebagai walinya," kata seorang suster menghampiri Hinata dan menyodorkan kertas-kertas yang tanpa basa-basi Hinata menandatangani surat tersebut.

Hatinya kalut, bingung, ia menabrak manusia, ia menabrak manusia. Ia menabrak manusia! Itulah yang dipikirkan Hinata. Ia sangat takut, berkali-kali ia mondar-mandir tanpa memedulikan pasien lain yang berlalu lalang di sekitar UGD memandangnya aneh. Mengingat ia mengenakan gaun malam.

Setelah 1 jam menunggu, pintu operasi berubah menjadi warna hijau, tanda operasi telah selesai dilaksanakan. Dokter yang barusan menangani pria yang menjadi tanggung jawab Hinata keluar. Peluh membanjiri wajahnya.

"Beruntung ia masih tertolong. Mungkin jika anda telat 10 menit, pria itu akan meregang nyawa," kata dokter itu tersenyum lelah. Hinata langsung jatuh terduduk, ia syok. 10 menit. Hanya 10 menit dapat meregangkan nyawa.

"Anda tidak apa-apa?" tanya dokter itu khawatir, wajah Hinata menjadi pucat pasi.

"Saya tidak apa-apa dokter. Saya harus segera menuju Hotel Akatsuki. Apakah ada taksi di sekitar sini?" tanya Hinata, pandangan matanya kosong. Ia masih syok, dan tidak ingin mencelakai dirinya saat ia tidak fokus seperti ini. Hari ini benar-benar menguras tenaganya.

.

.

.

Setelah bertanya pada pelayan, ia diantarkan menuju lantai 10 tempat pertemuan antara keluarga Hyuuga dan Namikaze bertemu. Ia dapat melihat kaa-san dan tou-sannya berbincang dengan tiga orang.

"Gomenasai Kaa-san Tou-san, dan…"

Plak

TBC

*Disini, orang kaya bisa jadi seorang bangsawan

Ayeee saya sudah selesai UTS nyaaaaa. Bukannya update I Realized malah buat ff baru. Inilah yang biasa terjadi pada author. Saya kepikiran ide ini saat saya sedang disuruh mandi sore sama Ibu saya kemarin. Maaf jika ada kesamaan ide cerita. Karena setau saya belum ada yang membuat ff seperti ini. Mohon di read dan di review. Arigatou gozaimasu.