Chapter 1.
Pairing: Tomoe Hotaru (Sailor Moon) X Hatake Kakashi (Naruto)
Maybe some Kakashi X Iruka
Rated: M to be safe
AN: Naruto & Sailor Moon characters belong to their respective owners. Plot belong to writer.
Mungkin akan banyak typo dan absurd.
Enjoy!
.
.
.
Lengan kecil yang terbalut sweater berwarna biru tua itu terlihat sibuk memindahkan buku-buku dari rak lantainya ke dalam kardus. Dengan gerakan hati-hati ia mengambil tumpukan buku yang masih berada di rak, kemudian menatanya dengan rapi di dalam kardus. Seolah buku-buku itu barang antik yang akan pecah jika terjatuh.
Sesekali jari tangannya menyentuh helaian rambut hitam sepundak yang menutupi sisi wajahnya, lalu ia selipkan ke belakang daun telinga. Meski terlihat tenggelam dalam kegiatannya, ada hal lain yang membuat pikiran dan perasaan gadis berusia 19 tahun itu ragu.
Seorang wanita tua terlihat duduk bersimpuh di atas tatami tak jauh dari tempat si gadis merapikan bukunya. Kedua tangannya bertumpu pada kaki yang terbalut kimono bermotif daun. Usia sudah mengeriputkan kulit dan sedikit membungkukkan tubuhnya. Ia tampak tersenyum tenang sambil memerhatikan punggung gadis yang tengah sibuk di hadapannya. Ia sudah menawarkan untuk membantu, namun sang gadis menolak dengan halus. Setelah itu keduanya larut dalam keheningan.
"Benarkah tidak apa-apa jika aku pergi?" suara pelan si gadis memecah kesunyian.
Tatapan wanita tua di belakangnya berubah sendu, namun senyum masih menghiasi wajahnya. Dalam beberapa bulan terakhir, setidaknya seminggu sekali gadis itu akan mengeluarkan pertanyaan yang sama.
"Aku justru akan merasa sedih kalau kau sampai membatalkan pergi karena aku." Jawabnya dengan nada khas keibuan.
Gadis itu berhenti. Ia memilih untuk tidak menoleh dan malah sedikit menundukkan kepalanya. Ia harus berkonsentrasi untuk menahan perasaan karena mata berlensa violetnya mulai berkabut.
Wanita itu paham sekali dengan kebiasaan sang gadis. Ia menggeser tubuhnya untuk lebih mendekat, lalu mengangkat lengan berkimononya dan mengelus lembut kepala bersurai hitam selembut sutra milik si gadis.
Si gadis menggigit bibirnya, berusaha mati-matian agar air matanya tidak jatuh. Ia tidak mau terlihat cengeng sekarang.
Sambil terus mengelus lembut kepala si gadis, wanita itu berucap halus.
"Kunang-kunangku tidak akan pernah kehilangan cahayanya. Sampai kapanpun. Aku percaya itu."
Kali ini ia tidak kuasa menahan air matanya.
"Dan selama aku percaya, maka aku akan baik-baik saja." Tambahnya
.
.
Di tempat yang berbeda….
Suara nyaring yang berasal dari telepon genggam kali ini sukses mengganggu tidurnya, setelah sebelumnya cahaya matahari yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela ia abaikan. Ia mendecak kesal sambil menggaruk kepala keabuannya yang agak jabrik. Saat ia berniat mengabaikan si penelepon, suara berat khas bangun tidur lain justru mendorongnya untuk mengangkat.
"Pick it up. I'm trying to sleep here."
Kini ia setengah membuka matanya, memperlihatkan lensa hitam pekat. Ia menoleh ke arah pemilik suara yang terbaring di sampingnya dengan kesal, yang justru memunggunginya. Mendecak untuk kedua kalinya, selimut hitam bergaris yang menghangatkannya ia singkirkan, memperlihatkan tubuh atletis yang polos tanpa sehelai benang.
Kedua kakinya turun dari ranjang, ia duduk di tepi tempat tidur yang berukuran besar sambil membungkuk, mencoba mengumpulkan nyawanya. Dering telepon masih belum terputus.
Lengan kekarnya meraih telepon genggam yang ia letakkan di laci kecil samping tempat tidur. Biasanya ia selalu mematikan telepon genggam sebelum tidur, namun semalam perhatiannya teralihkan sehingga semua rutinitas terlupakan.
Tadinya ia berniat sedikit membentak si penelepon yang sudah mengganggu tidurnya, namun ia urungkan ketika melihat identitas penelepon yang terpampang di layar sentuh telepon genggam berwarna hitamnya.
Damn.
Ibu jarinya menggeser layar untuk mengangkat telepon.
"…Ya?" Suara dalamnya terdengar agak serak. Efek bangun tidur.
"Kakashi? Kenapa lama sekali angkat teleponnya?" Terdengar suara feminin dari seberang telepon.
"Sorry, mom. I've just woken up. Been busy lately." Jawabnya datar.
"Yah, ibu tahu kau memang gila kerja sama seperti ayahmu, tapi rasanya bukan hanya itu yang membuatmu selelah sekarang."
Kakashi menghela nafas. Yurika, sang nyonya keluarga Hatake sekaligus ibu kandungnya ini memang mengetahui hampir seluruh sisi hidupnya. Meski begitu, ia tetap santai dan menerima saja apa yang menjadi pilihan anak keduanya. Bukan hanya ibu, bahkan Sakuno dan Tsunade, ayah dan kakak perempuannya, memilih untuk cuek.
Bukan berarti mereka tidak peduli. Sejak kecil, Tsunade dan Kakashi memang dilatih untuk memilih jalan hidupnya masing-masing, dengan konsekuensi harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka dari itu, meski Kakashi adalah anak laki-laki satu-satunya, ia tidak diharuskan oleh ayahnya untuk menjadi penerus Hatake, Inc. perusahaan multifinansial yang turun temurun dikelola keluarganya dan selalu sukses menduduki peringkat teratas. Ia lebih tertarik pada arsitektur, dan setelah lulus dari Harvard 5 tahun lalu, namanya cukup dikenal sebagai arsitek muda berbakat.
"Begitulah. Jadi, ada apa? Aku yakin ini bukan sekedar telepon iseng. Atau ibu memang rindu padaku?" Balasnya jahil. Sampai kapanpun ia tetap si bungsu di mata ibunya.
"Tentu saja aku merindukan anakku, kita sudah hampir 2 bulan tidak ketemu."
Kakashi mendengus.
"Bukannya aku tidak mau bertemu ibu, aku bingung harus menemui ayah dan ibu dimana. Seandainya pun pagi ini ibu di Tokyo, nanti malam pasti sudah di Hokkaido atau Kyushu. Atau bahkan sudah di Amerika."
Ia paham dengan kesibukan ayahnya yang meski usianya sudah tinggi, harus tetap aktif mengontrol tiap cabang, dan karena itu mereka harus memiliki kediaman di beberapa wilayah. Kadang pertimbangan itu membuat Kakashi berniat membantu ayahnya.
Hanya saja Kakashi yakin itu sekedar alibi. Nyatanya kedua orangtuanya memang hobi berwisata.
Dari seberang telepon terdengar suara tawa merdu Nyonya Hatake, "Baiklaaah, ibu mengaku salah. Tapi kali ini ayah dan ibu ada di Asahikawa, karena sudah lama tidak ke sini nampaknya kami akan tinggal sekitar satu atau dua bulan."
Kakashi berdeham, "Baguslah. Mungkin akhir minggu aku juga akan ke sana."
Meski dilahirkan di Tokyo, Kakashi sempat tinggal dan mengenyam pendidikan di salah satu SMP terbaik Kota Asahikawa, Hokkaido hingga lulus. Begitu SMA, ia langsung dikirim orangtuanya ke Amerika. Sejak itu ia belum pernah lagi mengunjungi kota itu.
Meski menyukai suasananya, kota itu kurang cocok bagi Kakashi yang ketahanan terhadap iklim dinginnya tergolong rendah.
"Nah, itu yang ingin ibu bicarakan. Sebaiknya minggu ini kau beres-beres rumahmu." Ucap Yurika dari seberang sana, riang.
Kakashi mengernyitkan sebelah alisnya, "Kenapa, ibu tidak mau aku datang?"
Barusan ibunya mengungkit kerinduan, sekarang malah menghalanginya datang.
"Bukan, jadi begini, kamu ingat Chiyo-Sensei? Guru privatmu saat SMP dulu?"
Kakashi menerawang. Sudah lewat 13 tahun sejak ia SMP, memorinya kurang baik menyangkut identifikasi orang.
"Suna Chiyo-Sensei, guru privat untuk pelajaran tambahanmu. Sensei jenius yang saat itu mungkin usianya sudah hampir 60 tahun tapi ingatannya tajam. Yang membuatmu sempat frustasi karena kuis matematika yang dibuatnya." Lanjut sang ibu, membantu Kakashi menggali memori anaknya.
Bayangan ibu-ibu tua berambut uban berkacamata bingkai bundar dengan rantai yang di gagangnya. Pria 28 tahun itu ingat bagaimana ia menyiksa Kakashi dengan berbagai macam kuis setiap dua minggu yang membuatnya sempat frustasi di awal pertemuan. Meski lama kelamaan ia terbiasa dengan cara mengajarnya.
Dan ia harus mengakui, beliau salah satu sensei yang cukup berkesan bagi Kakashi.
"Aah, aku ingat. Chiyo-Sensei. Bagaimana beliau?" Tanya Kakashi, mendadak merasa bernostalgia.
"Dua hari lalu ibu bertemu dengannya ketika jalan-jalan di kuil bersama ayah. Mungkin karena usia, beliau sudah agak bungkuk, tapi ingatannya masih tajam, loh. Semua inderanya juga masih berfungsi dengan baik. Beliau titip salam untukmu."
Tentu saja, guru super sepertinya pasti panjang umur. Batin Kakashi.
"Benarkah? Sampaikan salam balikku padanya jika ibu bertemu lagi." Jawab Kakashi.
"Tentu, tapi cerita ibu belum selesai. Saat itu ia ditemani oleh seorang gadis manis, usianya mungkin masih belasan. Kau tahu kan, beliau tidak memiliki anak. Ibu pikir mungkin gadis itu salah satu kerabat atau pengurusnya."
Meski mulai agak bosan mendengar celoteh ibunya, ia tetap diam menerima informasi yang dianggap penting bagi sang ibu.
"Chiyo-sensei mengenalkan gadis itu sebagai cucunya. Tadinya ibu ingin bertanya apa Chiyo-sensei akhirnya melahirkan, tapi rasanya tidak mungkin karena saat kita bertemu dengannya pertama kali beliau mengaku belum menikah, padahal sudah melewati masa menopause." Lanjut ibunya yang kian semangat.
Kakashi khawatir pembicaraan ibunya menuju ke arah yang bersifat personal, tapi ia lebih memilih untuk tidak memotong percakapan.
"Chiyo-sensei bilang gadis itu baru saja lulus SMA dan diterima di Universitas Seni Tokyo. Meski masih muda, bakatnya memainkan biola cukup menjanjikan. Ia sering mengikuti kontes dan yang terakhir dia ikuti tingkat nasional loh, peringkat satu pula."
Kakashi bosan terdiam, "Lalu?"
"Lalu, beliau sekarang merasa agak cemas karena tidak memiliki kerabat yang tinggal di Tokyo untuk mengawasi cucunya, sedangkan beliau sendiri tidak mungkin meninggalkan rumahnya di sini dan tidak mau melepaskan cucunya begitu saja.
Jadi ibu tawarkan, 'Bagaimana kalau tinggal di rumah Kakashi saja?'. Begitu"
Sesaat Hatake muda itu terpaku. Informasi terakhir dari ibunya belum diolah sempurna oleh Kakashi.
"Ibu bilang apa?"
Yurika mendengus, "Ibu menawarkan cucu Chiyo-sensei untuk tinggal di rumahmu saja, kan jadi sekalian ada yang mengawasi. Kalau ada Tsunade, mungkin ibu titip padanya, tapi dia dan suaminya kan di Inggris. Lagipula rumahmu punya beberapa kamar kosong kan? Beliau tadinya menolak karena tidak mau merepotkan, tapi ibu paksa saja. Hitung-hitung balas budi, kau kan bisa meraih peringkat pertama di ujian akhir karena beliau, dan lagi ibu tidak tega melihatnya bingung begitu. Gadis itu juga tidak bilang apa-apa tuh."
Kakashi tahu ibunya memang ramah pada hampir semua orang, ia juga tidak segan membantu orang yang meminta pertolongannya. Walau terkadang terkesan impulsif, sampai hampir terkena tipu.
Tapi kebaikan hati ibunya yang satu ini agak di luar batas.
"Ibu, kenapa ibu tidak tanya pendapatku dulu? Bukannya aku tidak mau membantu, tapi ibu tahu kan aku laki-laki, dan aku tinggal sendiri. Kalau dia laki-laki tidak apa, tapi anak ini perempuan. Kenapa tidak tinggal di rumah ayah yang di Tokyo saja?" Jelas Kakashi.
"Yah, ayahmu juga bilang begitu. Tapi ibu yakin tidak apa-apa karena, well, ibu percaya padamu. Kamu bisa jadi figur kakak yang baik baginya. Rumah yang di Tokyo hanya ada penjaga dan pelayan saja. Tidak ada yang bisa menjaga cucu Chiyo-sensei. Kamu juga pasti tidak mau kalau tinggal di rumah ayah kan?" Balas Yurika.
Rumah yang Kakashi tempati sekarang ini memang sepenuhnya milik Kakashi. Mulai dari pendanaan hingga desainnya pun hasil keringatnya sendiri. Beranjak usia 20-an, ia mulai merasa agak gengsi jika masih memanfaatkan fasilitas dari orangtua. Makanya, sejak kuliah sedikit demi sedikit dia mulai menghasilkan pundi-pundi dengan usahanya sendiri.
Sebelum Kakashi sempat menjawab, ibunya menambahkan dengan santai "Ditambah kamu masih dekat dengan Iruka-kun, bukan? Jadi ibu yakin-yakin saja tidak akan ada hal yang aneh."
Mendengar nama itu disebut Kakashi terdiam, kemudian menoleh ke belakang untuk melihat orang yang semalaman bersama dengannya. Sesaat ia lupa akan kehadirannya. Orang itu terlihat masih damai dalam tidurnya.
Ia membalikkan badannya lagi ke posisi semula, "Aku juga butuh privasi, mom. Bagaimana kalau anak itu melihatku saat bersama Iruka?"
Meski wajah ibunya tidak terlihat, Kakashi merasa ia tersenyum di sana, "Don't worry, dear. Ibu hanya mengenalnya selama beberapa jam, tapi ibu bisa melihat anak ini cukup dewasa dan bisa memposisikan dirinya. Ia tidak akan membuat kehadirannya terganggu. Ibu jamin anak didikan Chiyo-sensei pasti spesial."
Entah untuk keberapa kalinya, Kakashi menghela napas. Kali ini cukup keras, hingga ibunya bisa mendengar.
"Please, son. If you don't want to do it for your teacher then do it for me. Sebagai sesama ibu, mom sangat mengerti kegelisahan Chiyo-sensei."
Kakashi akan menyesal seumur hidup jika menolak ibunya yang sudah sampai memohon ini.
"Allright, mom. I'll see what I can do. Tapi jika suatu saat aku merasa ada yang tidak beres, will you do the honour to guarantee her?"
Bukan bermaksud memojokkan ibunya, hanya untuk jaga-jaga.
Ibunya justru semangat menjawab. Anak lelakinya memang kesayangan. "You can count on me. Ibu tahu kamu memang tidak akan mengecewakan ibu. Thanks, sweetheart."
Kakashi tersenyum geli membayangkan ekspresi ibunya, "You're welcome, mom. Jadi kapan anak itu mulai tinggal?"
"Oh ya, mereka menunggu konfirmasi ibu, jadi ibu rasa minggu ini ia sudah bisa berangkat. Bulan April kan tahun ajaran dimulai, jadi dia punya waktu sekitar 2 minggu untuk adaptasi. Mungkin mendadak, tapi sebaiknya kamu segera beres-beres." Jelas Yurika.
Kakashi menengok ke arah dinding dimana jam digital terpampang. Hari ini Rabu, jadi ia punya waktu tiga hari untuk bersiap.
Ia hanya perlu menginstruksikan pengurus rumahnya yang datang setiap 3 hari sekali untuk mempersiapkan salah satu kamar yang nanti akan dipakai calon tamu rumahnya.
"Will do. Siapa yang akan mengantarnya ke sini?"
"Tadinya ibu mau mengantarnya sekalian mampir ke rumahmu, tapi hari itu ayah akan mengadakan pertemuan dengan rekan bisnisnya. Chiyo-sensei nampaknya tidak terlalu kuat melakukan perjalanan jauh, jadi kami akan mengantarnya sampai bandara Asahikawa. Nah, sesampainya di Tokyo, mungkin kamu bisa menjemputnya atau bisa juga ibu minta seseorang untuk mengantarnya ke rumahmu. Untuk barang-barangnya nanti akan dikirim dengan jasa ekspedisi."
Setelah diminta untuk menjadi induk semang, kini ia juga harus menjemput. Kakashi sangat kagum dengan sifat easy going ibunya.
"Got it, mom. I'll pick her up. Hubungi saja aku jam berapa kira-kira pesawatnya tiba di Tokyo. Masalahnya-"
Sebelum Kakashi melanjutkan, ibunya memotong "Honey, ayahmu memanggil ibu. Ia pasti bermasalah dengan dasinya lagi. Setelah ini ibu mau ke rumah Chiyo-sensei untuk konfirmasi. Nanti ibu kirimkan fotonya ya, supaya mudah bertemu di bandara. Bye, son. Love you."
Klik.
Itulah ibunya, datang dan pergi seperti angin.
Sekarang Kakashi benar-benar tidak tahu bagaimana harus menyikapi keadaan.
Nampaknya untuk saat ini sebaiknya ia jalani saja, yang terjadi maka terjadilah.
Toh, ia hanya perlu menyediakan tempat tinggal.
Dan Kakashi termasuk tipe yang jarang di rumah.
Telepon genggam yang sedari tadi ia pegang diletakkan kembali pada atas laci di samping tempat tidurnya. Memutuskan untuk tidur sebentar lagi sebelum berangkat menemui klien.
Ketika ia bergerak untuk membaringkan tubuhnya, ia baru sadar orang yang berbagi tempat tidur dengannya sudah bangun dan tengah menyandarkan tubuh yang juga bertelanjang dada pada kepala tempat tidur.
Rambut hitam panjang yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai jatuh menutupi sebagian pundaknya. Berbeda dengan Kakashi yang berkulit putih, orang di hadapannya berkulit cokelat. Postur tubuhnya sama atletis dengan Kakashi, namun sedikit lebih kecil. Goresan luka membentang horizontal di tengah hidungnya, meski begitu ia tetap nampak menawan.
"Yurika-san?" Tanya Umino Iruka, yang sudah Kakashi kenal 8 tahun belakangan ini.
Kakashi membaringkan tubuhnya, salah satu lengannya digunakan sebagai tambahan bantal bagi kepala bersurai abunya, "Hmm.." jawabnya sambil memejamkan mata.
"Care to share?" Tawar Iruka.
Kakashi membuka lagi kedua matanya, menghela napas, lalu menatap pria yang - ibunya sendiri pun tahu – sudah lama dekat dengannya.
Hampir tidak ada rahasia di antara mereka.
.
.
Hatake Kakashi, pria berusia 28 tahun lulusan arsitektur Universitas Harvard yang dikenal karena bakatnya di bidang arsitektur. Di tahun pertamanya kembali ke Jepang setelah meraih gelar sarjana, ia langsung diikutsertakan dalam beberapa proyek pembangunan apartemen, hotel dan bahkan taman hiburan. Ide kreatif yang dinilai jenius dan etos kerjanya yang tinggi membuat banyak orang kagum sekaligus iri kepadanya.
Ditambah ia dikaruniai dengan paras di atas rata-rata yang membuat media betah mengambil banyak gambar dirinya. Dengan tinggi 181 cm dan tubuh atletis, ia bisa disetarakan model fashion dengan kategori maskulin. Meski jarang tersenyum, sikapnya yang gentle mampu membuat banyak wanita dari segala usia memimpikan dirinya.
Namun di tengah popularitasnya, ia tetap berusaha menjaga nama baik keluarga dengan merahasiakan kehidupan pribadinya.
Terutama menyangkut masalah hubungan kasih.
Setelah Kakashi menceritakan kembali percakapan dengan sang ibu kepada Iruka, ia mengira akan ada perdebatan kecil yang dapat merusak paginya. Namun, pasangannya hanya mengeluarkan kalimat maklum.
'You can't win against your mother, right? She's your everything. Lagipula gadis itu hanya menumpang tinggal. Dia punya urusannya sendiri dan begitu pula denganmu.'
Ketika Kakashi berangkat untuk menemui klien, beberapa jam kemudian Iruka juga kembali ke apartemennya. Selesai menemui klien, biasanya Kakashi akan mendatangi apartemen Iruka atau sekedar berkumpul bersama temannya di bar. Apalagi waktu baru menunjukkan pukul 7 malam, ia punya banyak waktu untuk menikmati malam.
Namun hari ini ia hanya menginginkan bersantai di rumahnya.
Sampai di lokasi Porsche 911 hitamnya diparkirkan, Kakashi langsung membuka pintu mobilnya, duduk di kursi pengemudi dan meletakkan jas serta bawaan lainnya di kursi sebelahnya. Memijat sebentar keningnya yang sedikit kaku, lalu memasang seatbelt.
Baru saja ia hendak menyalakan mesin mobil, telepon genggam yang ia simpan di saku kemejanya memberi tanda pesan masuk. Kakashi mendecak pelan, lalu merogoh saku kemeja dan mengecek telepon genggamnya.
Ibunya mengirimkan e-mail dengan attachment.
Kakashi membuka file yang dikirimkan ibunya, mengingat tadi pagi ibunya akan mengirim foto gadis yang minggu nanti akan ia jemput.
Lensa mata hitam Kakashi menelusuri foto yang tergambar di layar telepon genggamnya. Seorang gadis dengan rambut lurus hitam sepanjang pundak, yang nampaknya halus. Kulit wajahnya putih, hampir pucat dan bersih. Tubuhnya ramping, terbalut kemeja putih yang dilapisi sweater berwarna pastel. Meski foto itu hanya sebatas torso, Kakashi bisa menebak tingginya mungkin sekitar 160 cm.
Foto yang diambil ibunya seperti candid, karena si gadis tidak melihat ke arah kamera dan tersenyum seperti ekspresi umum orang yang difoto. Entah karena mata violetnya yang sendu atau apa, aura dewasa terpancar dari wajahnya yang masih kekanakan.
Di bagian subjek e-mail tertulis:
'Namanya Tomoe Hotaru'
.
TBC
.
.
.
Hanya untuk kesenangan semata. Bentuk pelarian mahasiswa tingkat akhir.
Senang sekali kalau ada yang mau baca dan review.
Regards,
Dinda308