Di chapter ini alurnya agak maju mundur, semoga pembaca tidak bingung ya.

Selamat membaca! I hope you'll like it

Coup D'etat Chapter 4

Why can't you hold me in the street?
Why can't I kiss you on the dance floor?
I wish that it could be like that
Why can't we be like that? 'Cause I'm yours

(Little Mix ft. Jason Derulo - Secret Love Song)

Kim Jinwoo membuka mata ketika cahaya matahari masuk melewati tirai jendelanya yang terbuka. Ia menoleh ke samping tempat tidurnya yang kosong, kemudian memandang ke sekeliling kamar barunya, Jinwoo dan Mino memutuskan untuk tinggal apartemen yang lebih ketat penjagaannya di daerah Gangnam, Mino khawatir kejadian seperti empat hari yang lalu akan terjadi lagi.

Insiden kebakaran itu menghancurkan banyak hal, proyek hotel di Pulau Jeju harus dihentikan dan ribuan karyawan dengan terpaksa harus terkena PHK. Jinwoo merasa amat sangat bersalah atas apa yang terjadi, ia berulang kali berusaha meminta maaf kepada teman-temannya, terutama Mino. Sudah empat hari sejak insiden kebakaran itu terjadi tetapi sampai saat ini ia belum bertemu dengan Mino, Jinwoo masih sakit sehingga Mino menyampaikan pesan pada Sekretaris Kim untuk memaksa laki-laki berambut coklat itu tetap di rumah dan tidak untuk ke kantor. Jinwoo mematuhi itu pada awalnya, tetapi setelah tiga hari berlalu dan melihat Mino tidak pulang ke rumah ia bersikeras untuk ke kantor tetapi ditahan oleh Sekretaris Kim, ia bilang jika Jinwoo memaksa ke kantor maka Mino tidak segan-segan untuk memecatnya, dan Jinwoo tidak akan tega itu terjadi pada sekretaris Kim, pria paruh baya itu adalah orang yang baik, sudah cukup Mino memakinya setelah insiden kebakaran itu terjadi karena tidak menjaga Jinwoo dengan benar.

Jinwoo berusaha bangkit dari tempat tidurnya, ia menapakkan kaki lemasnya di lantai yang dingin, jalannya tertatih dan kepalanya masih berdenyut. Ia berusaha mencari ponselnya dan saat laki-laki bermata rusa itu menemukan ponselnya, jarinya langsung menekan kontak Mino, namun ia kemudian urung untuk menghubungi laki-laki itu, jika ia mengatakan akan ke kantor, Mino tidak akan mengizinkannya. Jadi yang ia pikirkan adalah bersiap-siap ke kantor apapun yang akan menghalanginya, ia bertekad menyelesaikan masalah ini dengan usahanya.

Tok tok tok...

"Tuan Jinwoo." Panggil sekretaris Kim dari luar pintu kamarnya, Jinwoo tidak menjawab, ia fokus pada kemeja yang ia kenakan.

Berulang kali sekretaris Kim mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban, seketika pria paruh baya itu merasa panik ketika Jinwoo tidak juga menjawab panggilannya, ia menerobos masuk dan matanya melebar ketika melihat Jinwoo sudah berpakaian kerja lengkap dengan jas tersampir di tangan kiri.

"Tuan Jinwoo, anda mau kemana?" Tanya Sekretaris Kim

"Aku harus ke kantor." Jawab Jinwoo

"Tuan Jinwoo, anda masih sakit! Mino sajangnim* akan marah besar padaku jika melihatmu pergi keluar rumah, aku akan dipecat!"

"Aku janji itu tidak akan terjadi." Jinwoo berjalan menuju pintu , tetapi tangannya ditahan oleh Sekretaris Kim dan seketika itu juga sekretaris Kim memekik, "Astaga Tuan Jinwoo, demi Tuhan badanmu masih sangat panas! Aku mohon Tuan! aku mohon, jangan pergi! Tuan Mino bisa marah besar!"

Jinwoo tidak menghiraukan itu, ia berjalan ke nakas di samping tempat tidurnya mencari sesuatu, "Dimana kunci mobilku?" sekretaris Kim terdiam, ia sengaja menyembunyikan kunci mobil Jinwoo agar ia tidak pergi.

Jinwoo menoleh marah dengan matanya yang terlihat sayu, "Sekretaris Kim, dimana?" Tidak ada jawaban. "Baiklah aku akan naik bus." Ujar Jinwoo final.

Sekretaris Kim langsung berubah panik dan mengejar Jinwoo yang hendak keluar kamar, "Baiklah, baiklah Tuan! biar aku yang menyetir!"

- Coup d'etat -

Jinwoo melangkahkan kakinya yang terasa berat, butuh tenaga besar untuk menyeret kakinya langkah demi langkah ke ruangan dimana para direksi sedang mengadakan rapat mendadak. Laki-laki berambut coklat itu tidak mengerti apa yang terjadi sehingga rapat diadakan secara tiba-tiba, jadi dirinya hanya berusaha berjalan lebih cepat. Setelah sampai diruang rapat, semua mata memandang padanya dengan pandangan mengintimidasi. Belum sempat otaknya mencerna apa yang terjadi tiba-tiba Mino melempar sebundal berkas ke meja di hadapannya.

"Jelaskan padaku, apa yang sebenarnya kau kerjakan Kim Jinwoo!" nada suara Mino terdengar sangat marah dan dingin. "Klien kita marah besar karena data yang kau berikan begitu murahan dan tidak berguna."

Jinwoo tertegun sejenak, ia tidak menyangka hal pertama yang ia dapatkan setelah lama tidak datang adalah makian seorang Song Mino. Dengan tangan sedikit gemetar ia mengambil berkas-berkas tersebut dan memeriksa halaman per halaman, ada yang ganjil, ia tidak mungkin membuat dokumen berantakan begini, ia yakin memasukkan data-data dengan benar ketika terakhir kali ia menyerahkan dokumen itu kepada sekretarisnya untuk di print out dan diberikan kepada klien.

"Ini... tidak mungkin seperti ini! Aku ingat dengan jelas, semua data dari hasil survey sudah aku masukkan dengan benar dan rapi." Bantah Jinwoo

"Nyatanya itu adalah hasil kerjamu, aku sudah mempercayakan proyek ini padamu kemudian kau hancurkan begitu saja dengan hasil kerjamu yang tidak berguna itu. KENAPA KAU SANGAT TIDAK BECUS KIM JINWOO!" Suara Mino terdengar murka pada akhir kalimat.

Jinwoo memandang Mino tidak percaya, baru kali ini Mino mempermalukannya di depan para direksi. Mata rusanya terasa begitu panas, ia menahan mati-matian ketika air mata sudah menumpuk di pelupuknya, "Aku akan memperbaiki ini segera." Ucap Jinwoo dengan suara tercekat, ia berbalik dan pergi dari ruang rapat dengan cepat.

- Coup d'etat -

Mata tajam itu perlahan terbuka, ia menyadari badannya begitu sakit tidur dalam keadaan duduk dan menumpu kepalanya di atas meja kerjanya, ini sudah hari ke-empat ia tidak pulang ke rumah, begitu banyak yang harus ia kerjakan dan... ada satu orang yang ingin dia hindari, Kim Jinwoo. Bibirnya mengatakan 'Tidak apa-apa' atau 'Itu bukan salahmu' tetapi kenapa hatinya berkata lain, hatinya merasa tidak terima atas kecerobohan laki-laki bermata rusa itu. Jadi ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertemu dulu dengan Jinwoo, ia takut emosinya meluap begitu melihat laki-laki bermata rusa itu. Ia tau ini tidak benar, ia menyadari itu memang bukan salah Jinwoo, tetapi kenapa keegoisannya berkata 'Tapi jika ia tidak seceroboh itu mungkin proyek hotel di Jeju tidak akan sekacau ini'. Mino adalah sosok yang ambisius dan perfeksionis, semua orang tau itu, jadi ketika sesuatu yang dia kerjakan tidak tercapai dengan baik sesuai dengan harapannya, maka ia akan melampiaskan segala kemarahannya pada apapun, pada siapapun termasuk pada dirinya sendiri.

Mino berjalan ke toilet disamping ruang kerjanya untuk membasuh wajahnya yang terlihat kacau, ia berhenti sejenak ketika mendengar dua karyawan perempuan menyebut namanya dan Jinwoo dari dalam toilet perempuan.

"Kau lihat sendiri kan? demo kemarin begitu mengerikan, para pekerja hotel Jeju berbondong-bondong datang kemari untuk menuntut tanggung jawab perusahaan atas pemecatan mereka." Ucap sebuah suara dari dalam toilet wanita.

"Ya tentu saja, aku juga akan marah besar jika dipecat begitu saja, bagaimana nanti keluargaku bisa makan, tapi itu bukan sepenuhnya salah perusahaan kan?" Tanya suara wanita yang lainnya.

"YA! Kau ini bagaimana? itu sepenuhnya salah perusahaan, terutama Tuan Jinwoo, dia dengan ceroboh membawa berkas-berkas penting ke rumahnya dan kemudian rumahnya terbakar atas ulahnya sendiri, ia menghidupkan lilin relaksasi untuk menenangkan pikirannya sendiri kemudian lilin jatuh ke karpet dan terjadilah kebakaran itu."

"Tidak! Itu tidak benar! Dia akan mati karena perbuatan si brengsek Zico." batin Mino mengelak.

"Ha? Benarkah? Aigoo... dan aku berani bertaruh tuan Mino pasti tidak berbuat apa-apa pada Tuan Jinwoo, mereka itu kan sepasang kekasih, tentu saja Tuan Mino akan membelanya mati-matian, beda sekali dengan kita yang hanya karyawan kecil dimatanya, salah sedikit langsung ancaman pemecatan adalah resikonya"

" Ya ya ya kau benar! Heol, Aku benar-benar benci pada mereka!"

Brakk!

"Siapa yang membanting pintu, Jimin?" Tanya si karyawati tersebut pada temannya.

"Itu dari toilet pria. Apa ada yang menguping pembicaraan kita? Huh, dasar tidak sopan!"

- Coup d'etat -

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, Mino menyandarkan kepalanya di sofa ruang kerjanya, ia berusaha memejamkan mata sejenak, otaknya terus berputar tentang percakapan kedua karyawatinya di toilet tadi. Ia harus meyakini ini bukan salah Jinwoo, jadi kenapa ia harus marah dan menyalahkan masalah ini kepada Jinwoo. Ya, benar! Ia harus berpikir jernih sekarang dan tidak boleh egois.

Mino akan memasuki alam mimpi ketika ia mendengar seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.

Tok tok tok...

Mino tidak bergeming pada awalnya, ia merasa siapapun itu pasti mengerti dirinya sangat lelah akhir-akhir ini. Matanya masih terpejam dan tidak berniat untuk membuka pintu.

Tok tok tok...

"Mino sajangnim." Suara Sekretaris Park. Mino mengernyit keningnya heran, padahal ia sudah mengingatkan Sekretaris Park untuk tidak memanggilnya dulu, apapun itu urusannya karena dirinya benar-benar butuh tidur sejenak.

Tok tok tok...

Mino mengerang, akhirnya ia membuka pintu dengan raut wajahnya yang kentara tidak senang.

"Sekretaris Park, aku sudah bilang––"

"Mohon maaf sajangnim, tapi ada rapat penting yang harus anda hadiri dan ini memang benar-benar mendadak."

Sekretaris Park menjelaskan singkat dan jelas tentang persoalan yang harus ia hadapi saat ini. Tanpa pikir panjang Mino berjalan ke ruang rapat dengan Sekretaris Park yang sama-sama tegang di sampingnya. Mino menghela napas berat berkali-kali, ia benar-benar tidak habis pikir apalagi yang menimpa perusahaannya kali ini, kenapa sepertinya langit dan bumi tidak menginjinkannya istirahat barang sejenak.

"Seungyoon-sshi sebenarnya ada apa ini?" Tanya Mino sesaat setelah sampai di ruang rapat, semua wajah para direksi terlihat tegang.

"Klien kita dari Jepang Tuan Lee Jonghyun, tadi pagi menyampaikan rasa kecewanya atas hasil dokumen yang telah diserahkan kepadanya seminggu yang lalu, ia merasa dipermainkan oleh kita karena dokumen itu dianggap tidak pantas, data-data yang diberikan tidak akurat dan tidak lengkap." Jelas Seungyoon

Mino mengambil dokumen itu di atas meja dan melihatnya seksama, alisnya berkerut tajam ketika membaca dokumen tersebut.

"Ini proyek yang aku serahkan kepada Kim Jinwoo, benar?"

"Iya, tetapi––"

Ceklek... Suara pintu ruang rapat terbuka memotong ucapan Seungyoon dan menandakan seseorang datang, semua mata tertuju padanya, tatapan mengintimidasi dan benar-benar menyudutkan laki-laki berambut coklat itu. Baru satu langkah ia masuk ke ruangan tersebut tiba-tiba Mino melemparnya dengan sebundal dokumen.

Mino menghela nafasnya kasar, emosinya tiba-tiba melonjak ketika melihat Kim Jinwoo dihadapannya yang notabene adalah seseorang yang harus bertanggung jawab atas kekacauan ini. Laki-laki tan itu merasa kepalanya sudah berkabut tidak dapat berfikir jernih saat ini, semua kacau dalam satu waktu, proyek di Pulau Jeju kacau dan sekarang dalam hitungan jam proyek di Jepang terancam batal juga. Mino memaki dan membentak Jinwoo di depan para direksi, pikirannya gelap saat ini yang ia ingin lakukan adalah melampiaskan semua amarahnya.

"Aku akan memperbaiki ini segera." Ucap Jinwoo dengan suaranya yang tercekat, Mino menyadari itu, ia melihat mata Jinwoo yang sayu memancarkan kepedihan. Dalam hati kecilnya ia juga merasakan kepedihan itu, tapi kerja otaknya berbanding terbalik dengan hatinya, otaknya seakan terus menyuruhnya untuk menumpahkan segala emosi.

"Rapat selesai! Biarkan dia memperbaiki salahnya sendiri." Ucap Mino kepada para direksi. Satu per satu orang-orang keluar, kecuali Seungyoon, Mino, Seunghoon dan Taehyun. Mereka memandang Mino yang berlagak acuh tak acuh atas apa yang baru saja ia lakukan.

"Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu Mino? Aku tidak habis pikir dengan apa yang baru saja kau lakukan pada Jinwoo-hyung, aku tidak menyangka kau sekejam itu padanya." Seungyoon memandang Mino tidak percaya.

"Tutup mulutmu Kang Seungyoon, kalau kau kasihan padanya sebaiknya kau bantu dia untuk segera menyelesaikan pekerjaan itu, karena lagi-lagi perusahaan mengalami kerugian karenanya."

Iblis! Sisi Song Mino yang seperti iblis! Seungyoon mengenal Mino dari kecil, ketika sesuatu menggelapkan hatinya, maka sisi iblisnya akan muncul seperti ini.

"Kau pikir hanya kau yang mengalami kerugian? Aku dan para pemegang saham lainnya juga! Bukan hanya kau!" Tunjuk Seungyoon tepat di depan wajah Mino. "Tapi sungguh Song Mino, tidak sepantasnya kau memperlakukan Jinwoo-hyung seperti budak di depan para direksi."

"Terserah apa katamu." Mino bangkit dari duduknya dan hendak berjalan ke pintu keluar, tetapi Seungyoon menarik kerah kemejanya dan menyudutkannya ke dinding di belakang Mino.

"Kau IBLIS Song Mino!" Seungyoon meluapkan amarahnya, wajahnya berubah memerah karena emosi.

Mino tertawa sinis, "Ahh... inikah Kang Seungyoon sahabat kecilku yang masih mencintai seorang Kim Jinwoo?" ia mencengkram balik kerah Seungyoon dan menatap sahabatnya itu tajam, "Dengar Kang Seungyoon! Sampai kapanpun dia tidak akan mencintaimu. Ia mengatakan padaku, ia hanya mencintaiku, jadi seburuk apapun aku memperlakukannya, pada akhirnya ia akan tetap lari ke pelukanku."

Taehyun tersenyum miring, seakan membenarkan apa yang Mino katakan, ia memandang dua sahabat itu hampir adu jotos kalau saja Seunghoon tidak melerainya. Miris, hatinya miris melihat Seungyoon membela Jinwoo mati-matian.

- Coup d'etat -

Angin betiup sepoi-sepoi sore ini di atap gedung itu tempat dimana seorang pria muda berdiri dengan postur tubuh tinggi, tubuhnya yang ramping bak model, dan rambutnya yang halus. Mata kucingnya memandang langit biru yang begitu indah tetapi terasa hampa, kesunyian menggerogoti hatinya yang sakit. Ia tersenyum kecil ketika seseorang datang menyapa dan menepuk pundaknya pelan.

"Hi dude! Bagaimana kabarmu adik sepupu?" Ucap seseorang yang baru datang itu.

"Seperti yang kau lihat, Tuan Lee Jonghyun." Jawab pria bermata kucing itu dengan nada ringan dan sedikit gurauan ketika menyebut kata 'Tuan' pada sepupunya itu.

"Kita sudah lama tidak bertemu, lalu tiba-tiba kau meminta tolong hal jahat padaku, aku tidak mengerti tapi aku akan tetap menolongmu apapun yang kau perlukan." Ucap Jonghyun, ia melipat tangannya di dada, "Tapi omong-omong, ini proyek besar perusahaanku bisa rugi jika kontrak kerja ini dibatalkan." Kata Jonghyun dengan sedikit gurauan

Pria itu tertawa meledek, "Kau tidak akan jatuh miskin Tuan rich Jonghyun." Guraunya, lalu tiba-tiba auranya berubah menjadi kejam dan kelam. "Aku janji ini tidak akan lama, aku hanya ingin dia merasakan sedikit rasa kesakitan yang aku rasakan. Rasanya diabaikan, rasanya dilupakan dan disakiti oleh orang yang sangat dia cintai." Ucap pria itu dengan lirih.

Lee Jonghyun menepuk dan meremas pelan bahu sepupunya, seakan mencoba memberi kekuatan pada pria itu. "Aku mengerti." Jonghyun tersenyum lembut, "Tapi jangan terlalu lama masuk ke dalam rasa sakit dan dendam itu, nanti kau tenggelam dan bingung bagaimana caranya untuk menolong dirimu sendiri yang masuk begitu dalam ke kubangan hitam itu." Kemudian Jonghyun mengulurkan tangannya yang menggenggam sebundal dokumen ke hadapan pria itu. "Ini dokumen hasil kerja temanmu, aku sangat menyukai hasilnya. Kau bisa mengembalikan padaku setelah semua rasa sakitmu hilang."

"Aku pergi dulu, sampai jumpa, Nam Taehyun." Jonghyun berbalik dan pergi meninggalkan Taehyun yang menatap nanar pada dokumen di tangannya. Ia bertanya-tanya dalam hatinya 'Apakah sesuatu yang salah selalu terasa benar ketika dilakukan dengan hati yang diselimuti kedengkian?' Taehyun menyadari ternyata ia sudah menangis ketika air matanya menetes ke atas dokumen yang dipegangnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan tangis, tetapi tidak berhasil.

Langit sudah menggelap ketika Taehyun berjalan menyusuri kota Seoul, Laki-laki bermata kucing itu bahkan tidak tau sudah seberapa jauh dia berjalan, lampu-lampu jalanan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota Seoul malam ini, begitu indah, tetapi tidak bagi Taehyun. Ia berjalan dengan pandangan kosong, hidung dan pipinya sudah memerah karena kedinginan, biasanya ketika ia kedinginan ada seseorang yang akan membalut tubuhnya dengan selimut atau mantel hangat, tetapi sekarang itu sudah tidak mungkin kan? Taehyun mengutuk dirinya sendiri, kenapa ia begitu merindukan sosok itu, sosok yang selalu ia cintai, Kang Seungyoon.

Taehyun memandang sekelilingnya, berjajar gedung dan pertokoan yang belum pernah ia datangi sebelumnya, lalu pandangannya berhenti pada satu gedung yang sedikit familiar diingatannya. Ia memandang gedung itu sejenak, lalu tiba-tiba otaknya berputar pada lima tahun yang lalu. Ketika itu ia mabuk-mabukan bersama teman-temannya di gedung itu, sebuah club malam. Sudah cukup lama sejak terakhir ia pergi ke club malam dan mabuk-mabukan, karena Seungyoon tidak akan suka melihat Taehyun menghancurkan tubuhnya sendiri dengan minum-minuman keras. Tetapi malam ini, Seungyoon sudah tidak bersamanya kan? Seungyoon bahkan sudah tidak peduli padanya kan? Jadi apa salahnya kalau ia melepaskan sejenak beban dalam pikiran dan hatinya. Itu lah yang ada dipikiran Taehyun saat ini.

- Coup d'etat -

Kim Jinwoo menghentikan ketikan jarinya di atas keyboard ketika kepalanya berdenyut sakit, dadanya terasa berat sekali, dan perutnya terasa mual. Ia menggelengkan kepalanya guna mengusir rasa sakit di kepalanya. Laki-laki bermata rusa itu mengedarkan pandangannya dan baru menyadari kalau ia masih di ruang kerjanya sejak siang hari, kantor sudah sangat sepi dan hampir gelap di seluruh ruangan kecuali ruang kerjanya. Ia mengecek jam dinding di sebelah kanannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Tiba-tiba perutnya merasa sangat mual, ia mencoba bangkit dari duduknya perlahan untuk jalan ke toilet di luar ruang kerjanya. Kaki Jinwoo merasa sangat lemas, ia berjalan sambil bersandar pada tembok supaya tidak jatuh. Kepalanya serasa berkabut sekarang, yang ia pikirkan saat ini adalah sampai ke toilet dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Ah, dia baru ingat bahkan perutnya belum diisi sejak pagi kecuali dengan sepotong roti yang ditawarkan Seunghoon tadi siang. Jinwoo sempat bertanya pada Seunghoon apa yang diributkan Mino dan Seungyoon tadi siang di ruang rapat, karena suara mereka terdengar samar hingga ke ruangan Jinwoo yang berada tepat di sebelah ruang rapat. Tadinya Seunghoon enggan menceritakan apa yang terjadi, tetapi Jinwoo memaksa Seunghoon untuk memberitahunya, Akhirnya Seunghoon menyerah, ia menceritakan perkelahian yang terjadi tadi siang di ruang rapat adalah karena dirinya, dan karena itu Jinwoo merasa sangat tidak enak pada mereka semua, lagi-lagi karena dirinya, tetapi Seunghoon meyakinkan Jinwoo kalau itu adalah hal biasa Seungyoon dan Mino bertengkar, mereka sering bertengkar dari kecil dan pada akhirnya mereka akan berbaikan dengan sendirinya.

Jinwoo menumpukan kedua tangannya pada wastafel toilet, ia menunduk mendekat ke wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya, namun hanya air saja yang keluar karena dia belum memakan apa-apa. Laki-laki bermata rusa itu memandang pantulan dirinya di cermin wastafel, wajahnya terlihat menyeramkan, kulitnya jauh lebih pucat dari biasanya dengan kantung mata yang menghitam. Jinwoo menyalakan keran air dan membasuh mulut dan wajahnya agar terlihat lebih segar. Sekali lagi ia memandang wajahnya di cermin, tiba-tiba ingatan tadi siang ketika Mino membentak dan mencaci maki dirinya terngiang dalam otaknya, ia begitu terluka bukan karena Mino membentaknya, tetapi Mino tidak mempercayainya, dari sekian banyak tahun mereka lewati bersama kenapa Mino tidak juga mempercayainya.

Laki-laki bermata rusa itu merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebotol obat lambung, ia teringat perkataan dokter kalau ia terus-terusan menghancurkan dirinya seperti ini maka akan berdampak fatal pada tubuhnya, lambungnya bisa bocor. Jinwoo mengecek jam tangannya sekali lagi, sudah pukul 22.30 waktu Seoul, ia harus pulang, dengan berat hati ia harus pulang walaupun pekerjaannya memperbaiki dokumen untuk proyek Jepang belum selesai, tapi bukan memperbaiki lebih tepatnya membuat ulang dokumen tersebut. Betapa terkejutnya Jinwoo tadi siang ketika ia membuka komputer dan mengecek folder dokumen, ternyata file proyek Jepang hilang entah kemana, ia tidak mungkin seceroboh itu dengan tidak menyimpan file penting, maka asumsi Jinwoo adalah dirinya telah dijahati orang lain. Jinwoo tidak bisa menuduh siapapun, komputernya dikunci, hanya dirinya dan para sahabatnya yang mengetahui password komputernya.

Jinwoo berjalan perlahan ke ruang kerjanya, tetapi ia bingung ketika melihat pintu ruang kerjanya terbuka, seingatnya pintu itu tadi ia tutup rapat. Sejenak Jinwoo merasa takut, ia masih trauma atas kejadian kebakaran tempo hari, ia harus waspada jika ada yang ingin menyerangnya lagi kali ini. Ia melangkah ke pintu perlahan, tetapi jauh dari yang dia duga. Jinwoo berdiri mematung, ia menatap terluka dengan apa yang dilihatnya sekarang, mata rusa itu memanas tidak bisa menahan sakitnya.

"Tidak, aku pasti salah lihat kan?" batin Jinwoo mencoba meyakinkan dirinya, dadanya begitu bergemuruh.

satu... dua... tiga... empat... hingga hitungan ke sepuluh baru dia yakin apa yang dilihatnya sekarang. Mino dan Taehyun berciuman.

"Mino..." tanpa sadar Jinwoo memanggil Mino dengan lirih.

Mino menoleh dan betapa terkejutnya ia melihat Jinwoo dihadapannya dengan linangan air mata di kedua pipi pucatnya. Mino ingin menghampiri Jinwoo yang sudah pergi dari sana, tetapi tangannya ditahan Taehyun, "Jangan tinggalkan aku, kumohon."

- Coup D'etat -

Jalanan sudah sepi, hanya satu atau dua orang yang melewati jalanan itu. Jinwoo berjalan tanpa arah, ia menjadi linglung, ia tidak ingin pulang dan bertemu dengan Mino. Angin musim dingin bertiup kencang, ia merapatkan mantelnya, kulitnya seperti mati rasa ketika dinginnya salju mendera kulitnya, tetapi itu tidak seberapa dibanding rasa sakit yang dirasakan hatinya. Mata rusa itu menatap kosong jalanan di hadapannya, air mata terkutuknya tidak juga mau berhenti mengalir, rasanya sakit... Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini jika Mino berciuman dengan pelacur di luar sana atau dengan siapapun yang tidak ia kenal dengan baik, tapi ini... Taehyun... sahabat mereka, sahabat Mino sendiri, Jinwoo bahkan tidak habis pikir Mino bisa serendah itu.

Ah, ya... Jinwoo teringat sesuatu, tiba-tiba Jinwoo tertawa kecil disela tangisnya, ia menertawakan dirinya sendiri, tentu saja dia yang bodoh, sudah berkali-kali Mino mengatakan mereka hanya partner. Jinwoo adalah milik Mino, tapi Mino bukan miliknya. Jinwoo mencintai Mino, tapi apakah seorang Song Mino mengerti apa itu cinta? Tentu saja semua yang dilakukan seorang Song Mino adalah berdasarkan nafsu semata kan? Jadi tidak masalah jika itu sahabatnya sendiri. Jinwoo mencoba menenangkan dirinya sendiri atas apa yang dilihatnya barusan, tapi kenapa kali ini sakitnya beratus-ratus kali lipat. Kadang Song Mino memberikan kebahagiaan untuknya, tapi di waktu lain Song Mino juga bisa memberikan seratus kesakitan padanya. Semua kemewahan memang diberikan Mino padanya, uang, rumah yang megah, fasilitas hidup yang tiada batas, perlindungan hidup yang nyaman secara fisik karena Jinwoo terbebas dari pembudakan sex pamannya Choi Seunghyun, tetapi semua ini tak berarti apa-apa tanpa cinta. Jinwoo menginginkan cinta Song Mino, ingin memiliki Mino seutuhnya. Dan kenapa rasanya begitu mustahil, apakah orang seperti Mino sanggup mencintai, apakah Mino mengerti bagaimana caranya mencintai?

Sebelah tangan Jinwoo terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan mantelnya dimana dekat dengan letak jantungnya berdetak. Ia memukul-mukul dadanya mencoba untuk menggantikan sedikit rasa sakit dari dalam hatinya.

Jinwoo mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, ia tersenyum kecil, ini adalah rumah peninggalan orang tuanya sebelum meninggal dunia. Semua perabotan dan kursi sudah hampir berdebu, sudah sebulan ia tidak datang kemari, biasanya minimal seminggu sekali ia datang untuk sekedar membersihkan rumahnya. Jinwoo duduk di sofa tempat biasa ayahnya setiap pagi membaca koran dan ibunya akan dengan setia membawakan secangkir kopi hangat. Jinwoo bahagia, amat sangat bahagia sebelum orang tuanya meninggal dan akhirnya ia harus tinggal dengan pamannya yang memiliki kelainan sexual. Dalam lima tahun hidupnya hanya penuh dengan cambukan dan alat-alat sex yang tadinya ia tidak tau itu apa, ia begitu polos saat itu. Ketika umurnya masih sangat muda ia begitu naif dengan menganggap semua orang baik seperti ayah dan ibunya, tapi semua pikiran itu hancur ketika ia mengenal pamannya, ia menjadi takut pada semua orang, ia tidak ingin disentuh siapapun, . Sampai pada suatu ketika ia bertemu dengan pria yang senantiasa menjaganya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang walaupun ada saatnya pria itu bisa berubah menjadi pemarah, tetapi Jinwoo menikmati setiap perjalanannya bersama dengan pria itu, dan pria itu adalah Song Mino. Hingga pada saatnya Jinwoo begitu mencintai Mino tapi dengan tragisnya Mino tidak pernah mencintainya, Mino hanya menganggapnya seorang partner.

Jinwoo mengangkat telfonnya yang berdering sejak tadi, meneguhkan hatinya untuk mendengar suara orang di seberang sana

"Kim Jinwoo, dengarkan aku." ya, itu song Mino, laki-laki tan itu adalah tipe orang yang tidak akan menyerah jika keinginannya belum terpenuhi.

"Dengarkan aku baik-baik, saat itu Taehyun mabuk." Oh, jadi Taehyun yang mabuk, tapi Mino sadar kan? "Aku kasihan padanya." Kasihan? tapi aku lihat kau begitu menikmati ciuman itu Mino. " Taehyun mengira aku adalah Seungyoon karena—"

"Untuk apa?" Tanya Jinwoo dengan lirih memotong ucapan Mino. "Untuk apa menjelaskan padaku? Aku siapa? Kau sendiri yang bilang kita bukan apa-apa selain partner sex." Jinwoo berkata dengan lirih, nadanya tenang tapi terdengar menyakitkan.

Mino terdiam sejenak, dia juga tidak mengerti, ia hanya ingin menjelaskan kepada Jinwoo, ada sesuatu yang menyakitkan dalam hatinya ketika melihat mimik terluka pada wajah Jinwoo saat melihat dirinya dan Taehyun berciuman tadi.

"Terserah apa yang kau katakan, aku hanya ingin menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya tidak mau kau berfikir aku seperti laki-laki bajingan yang akan mencium siapa saja." tidak, bukan itu... bukan itu yang Mino khawatirkan, dia hanya ingin mempertahankan gengsinya, 'ada apa denganku?' batinnya sendiri berkecamuk dia tidak mengerti, kenapa dia sebrengsek ini. Mino menjambak rambutnya sendiri.

"Kim Jinwoo..." Jinwoo hanya diam, perlahan-lahan meletakkan ponselnya dan menghidupkan mode loud speaker, tangannya bahkan sudah tidak kuat menggenggam ponsel, dia ingin tidur, ingin istirahat, ia begitu lelah tetapi ia ingin dengar apa yang akan Mino katakan.

"Kim Jinwoo..." masih tidak ada balasan

"KIM JINWOO DENGARKAN AKU!" nafas mino tersengal-sengal ia meluapkan emosinya, ia begitu frustasi, dia sendiri tidak mengerti seperti apa perasaannya. Ia membanting ponselnya ke meja nakas menjadikan semua yang ada di atas nakas berantakan.

Di seberang telfon nafas Jinwoo terdengar lemah, matanya berkunang-kunang, Jinwoo terbatuk dan mengeluarkan bercak darah melalui mulutnya. Dia masih menunggu Mino berbicara, tetapi tidak sanggup lagi membalas, matanya yang sayu mulai menutup dan akhirnya kegelapan menghampirinya.

Mino mengacak rambutnya, dia kacau, ia tidak ingin berbicara seperti itu, bukan itu yang ingin ia jelaskan pada Jinwoo. Laki-laki tan itu mengambil ponselnya kembali dari nakas untuk menghubungi Jinwoo lagi, tetapi ketika melihat layar ponselnya masih hidup, itu artinya telfonnya masih tersambung dengan Jinwoo.

"Kim Jinwoo?" Tidak ada jawaban. "Kim Jinwoo jawab aku!" Mino mulai panik dan cemas, fikirannya hanya terfokus pada Jinwoo, ada apa sebenarnya? Firasatnya tidak baik. Dengan tergesa laki-laki itu mengambil jas dan kunci mobilnya, membanting pintu apartemen dan berlari menuju tempat dimana mobilnya parkir secepat yang dia bisa.

"Tidak! Jangan lagi, aku mohon, aku mohon..." racau Mino.

Mino menghubungi sekretaris Park dengan ponselnya yang lain untuk melacak dimana nomor Jinwoo berada, sedangkan ponsel sebelumnya masih tersambung dengan Jinwoo. Mino berkali-kali masih mencoba memanggil Jinwoo tapi tetap tidak ada jawaban.

"Jinwoo... Kim Jinwoo aku mohon... jawab aku." Sebelah tangan Mino masih memegang ponsel. "Kim Jinwoo kumohon... kau boleh semarah apapun padaku, caci maki aku, pukul aku sepuasmu tapi jawab aku, aku mohon." Mino mengerem mobilnya tiba-tiba karena ia benar-benar tidak tau harus kemana, masih belum ada kabar dari sekretaris Park mengenai dimana Jinwoo berada.

"Kim Jinwoo." Panggil Mino dengan lirih, "Aku memang manusia terbrengsek di dunia ini, aku sering menyakitimu, aku tidak tau bagaimana caranya mencintai, aku tidak mengerti apa itu cinta, aku bukan manusia." Mino berhenti sejenak, tenggorokannya tercekat, Kenapa ia tiba-tiba merasa sulit bernapas? "Tapi percayalah padaku satu hal, kau adalah satu-satunya yang paling berarti dalam hidupku di dunia ini, tidak ada tempat senyaman selain berada di sisimu."

Masih tidak ada jawaban dari Jinwoo.

"Kim Jinwoo... maafkan aku... maafkan aku..." ucap Mino frustasi.

- Coup D'etat -

Note: *Sajangnim = Presiden Direktur

To be continued...

Mohon maaf lagi-lagi updatenya kelamaan dan maaf kalau hasilnya jelek, tapi saya akan berusaha secepat mungkin update kali ini.

By the way, mungkin pada bingung ya ngeliat Mino kok labil bener sih, tp di kehidupan nyata sebenarnya ada orang kayak gitu, kadang dia bisa jadi penyayang banget, tapi dia juga bisa tiba-tiba jadi monster yang pemarah, tapi ujung-ujungnya orang kayak gini bakalan nyesel sama apa yang dia perbuat. Nah gitu deh intinya :D

Tapi overall, kisah SongKim disini terinspirasi sama kehidupan SongKim di asli sih hahaha. Mata (SongKim shipper) saya sering ngeliat Mino itu selalu menghindar atau nolak kalau Jinwoo ngajak skinship contohnya kalau Jinwoo mau meluk atau nyium Mino di depan umum , pasti deh Mino menghindar mulu, jadi gemes hehe, jadi kayak lagu di atas 'Why can't i kiss you on the dance floor?', tapi disamping itu Mino juga kadang perhatian sih sama Jinwoo.

Oke deh segitu aja cuap-cuapnya, semoga yang baca suka sama chapter ini ya karena nerusinnya butuh perjuangan juga ( ) Jangan lupa untuk review dan klik kolom favorite yaa supaya kalau update kelihatan hehe.

Terima kasih semuanya...