[Cassiel]
Aku sekarang berada di suatu tempat yang di mana saja kau memandang, hanya ada putih bersih di sekelilingnya. Ini adalah tempat yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Aku kembali ke tempat asalku semula. Apa ini artinya Dia sudah mengampuniku?
"Dia adalah Maha Pengampun, Cassiel. Selamat datang kembali, saudaraku," Zedekiel sudah berada di dekatku, dalam wujud aslinya. Seorang malaikat yang tegas dan kuat serta bijaksana dengan sayap putih bersih yang membentang di belakangnya. Sayapku pun sudah kembali. Ini artinya, aku bukanlah seorang malaikat yang jatuh lagi, seperti Lucifer yang sekarang masih terkurung di neraka.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
Zedekiel tidak segera menjawab.
"Semua kembali ke keadaan semula. Kau bisa mengikuti Uriel kalau ingin tahu apa yang terjadi," jawab Zedekiel.
Dengan tubuh malaikat dan kemuliaan yang sudah kembali pada diriku, aku bisa menghilang dan berada di tempat yang aku inginkan kapanpun. Aku bisa tahu Uriel berada di mana saat aku menghubunginya dan aku segera berada di tempatnya sekarang.
Uriel berada di sebuah ruangan di rumah sakit. Dan aku masih ingat dengan jelas kejadian ini. Aku juga berada di sana saat itu. Itu adalah peristiwa di mana Nara Shikamaru mengalami koma dan Uriel harus menjemput jiwanya.
Aku menatap ke arah Zedekiel.
"Kau membalikkan waktunya?" tanyaku.
"Seperti yang kau inginkan. Dan Dia mengabulkannya," jawab Zedekiel, setenang biasanya.
Aku kembali melihat pemandangan di depanku. Jiwa Shikamaru yang rapuh sudah berada bersama Uriel. Dan dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti Uriel membawanya.
Aku melihat ke arah orang-orang yang mengelilingi ranjang tempat jasad laki-laki itu masih berada. Dan aku melihat Temari di sana. Dia menangis dalam diam, tapi terlihat terluka sekali saat melihat laki-laki yang sangat dicintainya itu pergi di depan matanya. Tangisannya tidak bersuara, tapi dia kelihatan sekali sedang menahan segala perih yang dirasakannya. Bahkan untuk melihat ke jasad yang sudah kosong itu pun dia tidak sanggup dan hanya menangis dalam diam.
Seorang gadis lain mencoba menenangkannya dengan mengusap bahunya.
"Bisakah kalian menyampaikan perasaanku padanya?"
Aku menoleh ke arah jiwa Shikamaru yang bersama Uriel.
"Akan kami lakukan. Kalau itu permintaanmu," jawab Zedekiel kemudian.
Lalu tiba-tiba pintu kamar rumah sakit itu menjeblak terbuka dan seseorang masuk dengan buru-buru. Seorang laki-laki berwajah pucat langsung masuk dan menyerbu ke ranjang tempat jasad itu terbaring.
"Shikamaru! Shika-kun, bangun! Apa yang terjadi padamu? Hei!" serunya seraya mengguncang tubuh tak bernyawa itu.
"Sai juga. Katakan padanya, aku minta maaf karena sudah merepotkannya selama ini. Aku belum bisa membalas semua kebaikannya," kata jiwa yang rapuh itu.
"Kau juga orang yang baik, Nara Shikamaru. Banyak orang yang mencintaimu," kata Zedekiel.
"Hei! Shikamaru! Katakan sesuatu!" air mata mulai mengalir dari mata laki-laki itu. Dan Temari semakin tergugu dalam tangisannya.
Uriel lalu membawa jiwa Shikamaru pergi dari situ. Aku masih tinggal di sana. Memang begini seharusnya takdir mereka. Aku terlalu ikut campur urusan Tuhan. Dan itulah letak kesalahanku. Tuhan pasti akan mengganti semua ini dengan yang lebih baik.
.
.
.
.
.
.
[Haruno Sakura]
Aku terbangun dengan kedua mata terbelalak kaget dan dadaku berdetak dengan cepat sekali. Aku segera bangun dari tidurku dan menyingkap selimutku. Aku menatap sekeliling ruangan dan mengerutkan dahi bingung. Kenapa aku berada dalam kamarku? Bukankah semalam aku menginap di kamar bibiku di Toshima? Siapa yang membawaku ke sini?
Aku baru saja bermimpi buruk sekali. Tentang Sasuke. Dia tidak apa-apa kan?
Lalu aku teringat sesuatu. Aku mulai mencari ponselku, meraba-raba di tempat tidur dan akhirnya menemukannya di bawah bantalku. Aku mengamati layar ponsel dan mengerutkan dahi. 20 November? Apa aku salah mengatur tanggalnya? Bukankah besok sudah Natal?
Aku mengabaikannya dan segera mencari kontak telepon. Aku mencari-cari nama Sasuke di kontak teleponku, tapi tidak menemukan nama orang itu. Seingatku aku menyimpan nomor ponselnya. Kenapa tiba-tiba tidak ada? Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan berjalan ke jendela. Aku membuka korden dan menghapus embun yang ada di kaca jendelaku. Mataku terbelalak menatap jalanan di depanku. Jalan bersih. Tidak ada salju. Apa semalam sudah dibersihkan petugas kebersihan. Tapi kan tidak mungkin sebersih ini.
Aku menyambar mantel musim dinginku dengan sembarangan dan aku kenakan untuk menutupi piayamaku dan segera berlari keluar kamar.
Orangtuaku sedang duduk di ruang tengah dengan wajah masih mengantuk dan sedikit kelelahan. Aku tidak menyapa mereka dan segera berjalan melewati ruang tengah dengan terburu.
"Sakura-chan, kau mau ke mana?" tanya ibuku. Aku tidak menjawab dan segera berjalan keluar dari rumahku. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba berkecamuk tidak menentu seperti ini. Mimpi burukku yang baru saja tadi bahkan lebih buruk dari mimpiku yang sebelumnya. Aku melihat tubuh laki-laki itu tergolek tak berdaya di suatu tempat. Dengan wajah yang sangat pucat dan tidak bergerak. Hanya sendirian.
Aku menaiki tangga dengan langkah terburu untuk mencapai apartemen 3.01. dan sesampainya di sana aku mengetuk pintunya dengan agak keras berkali-kali. Tapi tidak ada sahutan dari dalam. Apa laki-laki itu masih tertidur? Apa dia pingsan seperti waktu itu? Aku mengetuknya lagi. Lebih keras. Dan masih tidak ada jawaban. Ahh, yang benar saja. Ada apa dengan laki-laki itu?
"Sakura! Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini? Kau membuat para penghuni apartemen terbangun," tiba-tiba ibuku sudah berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Okaasan.. Di mana dia?" tanyaku.
"Dia.. siapa?" ibuku menatapku dengan pandangan bingung.
"Penghuni kamar ini. Sasuke Uchiha," kataku seraya menunjuk apartemen di belakangku.
Ibuku mengernyitkan dahi menatapku dengan tatapan luar biasa bingung.
"Apa kau sedang mengigau? Apartemen ini masih kosong. Belum ada yang menyewa," jawab ibuku.
Aku kini yang terbelalak menatapnya.
"Mana mungkin. Kau yang menerimanya. Laki-laki bernama Sasuke Uchiha," kataku.
"Tidak ada laki-laki bernama itu. Kau masih bermimpi atau bagaimana? Ayo, turun. Bantu ibu membuat sarapan," ibuku menarik lenganku untuk mengikutinya.
"Tapi.. okaasan.." aku tidak bisa berkata apa-apa. Dan hanya mengikuti ibuku sambil masih melihat pintu apartemen 3.01 dengan pandangan bertanya-tanya.
"Tunggu, kau duluan saja, okaasan!" aku melepaskan diri dari ibuku dan kembali berlari ke apartemen itu. Membukanya dan masuk ke dalam, sebelum akhirnya mengunci pintunya dari dalam.
Lalu aku melihat ruangan itu dengan pandangan kaget. Tidak ada sesuatu pun di situ. Seolah kamar itu tidak pernah ditinggali sebelumnya. Bahkan lantainya sudah ditutupi debu tipis dan ruangan itu terasa pengap sekali. Seperti sudah lama sekali tidak ditinggali.
Aku berjalan menuju jendela yang tertutup rapat dan segera membuka kusennya. Udara dingin dari luar lalu masuk ke ruang itu melalui celah jendela yang aku buka. Aku menatap pemandangan di luar ruangan itu.
Apa laki-laki itu sudah benar-benar pergi? Siapapun, tolong jawab aku. Cupid atau malaikat manapun.
Aku menunggu. Menunggu ada suara kepakan sayap yang akan terdengar lalu laki-laki bersetelan jas denim itu muncul di depanku dan mengatakan kalau Sasuke baik-baik saja. Tapi setelah beberapa menit aku menunggu, tidak ada yang terjadi. Ruangan itu masih sepi dan kotor seperti tadi.
Aku menghela napas panjang. Mengingat mimpiku pagi ini.
Aku melihat laki-laki itu tergolek tak berdaya di suatu tempat yang dingin dan sepi. Dan ada sesuatu yang dia katakan dengan lirih.. 'Maafkan aku'. Hanya itu yang bisa aku tangkap.
Aku memejamkan mataku dan tak terasa sesuatu yang hangat menyentuh pipiku. Apa ini? Apa aku baru saja menangis? Aku segera mengusap air mataku dengan cepat-cepat.
Apakah selama ini aku hanya berkhayal? Malaikat dan vampir itu? Apa mereka benar-benar ada? Ataukah itu hanya khayalanku saja?
Tapi perasaanku ini benar-benar nyata. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai merasakannya. Setiap aku bersama laki-laki itu, selalu ada perasaan tidak ingin pergi jauh darinya. Walaupun aku tahu dia sangat berbeda dariku. Walau terkadang ada rasa takut saat melihatnya berubah menjadi dirinya yang sebenarnya. Tapi aku tidak bisa menampik perasaanku. Aku tidak benar-benar ingin jauh darinya.
Jadi inikah akhir semua ini? Apakah seseorang telah mengembalikan waktu dan membuatku seharusnya tidak bertemu dengannya?
Lalu siapa yang bertanggung jawab dengan perasaan yang sudah terlanjur melekat dalam hatiku ini?
Aku kembali mengusap sesuatu yang mulai menggenang di mataku. Di manapun dia saat ini, aku harap dia akan baik-baik saja..
.
.
.
.
.
.
.
Epilog
...
Musim dingin setahun kemudian..
Temari menatap makam di depannya dengan perasaan yang sulit diartikan. Tulisan di atas nisan itu masih jelas sekali dan kalau mengingat laki-laki dengan nama itu sudah berbaring di bawah sana sendirian, rasanya perasaannya perih sekali. Walaupun selama hidup mereka berdua hanya berhubungan sebatas senior dan junior, tapi jauh di lubuk hatinya, Temari selalu menyimpan perasaan yang sama pada laki-laki itu sejak pertama kali mereka bertemu di sekolah menengah. Ada sesuatu dalam diri laki-laki itu yang membuatnya menarik perhatian gadis itu sejak mereka bertemu pertama kali. Dengan segala kesederhanaan sifatnya yang apa adanya itu, laki-laki itu telah menarik perhatian Temari lebih dari yang dia inginkan. Temari sering melihatnya berlarian sendiri mengejar bola di lapangan sekolah saat semua orang seharusnya pulang ke rumah masing-masing.
Temari juga yang memergoki saat laki-laki itu membolos dari sekolah dan malah asik membaca komik di salah satu toko buku dekat stasiun kereta. Atau saat dia melihat laki-laki itu dengan enaknya tidur di atap sekolah padahal saat itu sedang berlangsung jam belajar aktif. Tapi saat itu Temari belum mengenalnya.
Kejadian konyol sekaligus tak terlupakan yang membuat mereka berdua akhirnya bicara adalah saat Temari lewat di depan sebuah rumah mewah yang tidak pernah dia sangka adalah rumah laki-laki itu sepulang sekolah. Saat itu Temari sedang membawa daging segar titipan ibunya. Dan entah darimana datangnya tiba-tiba ada seekor anjing besar warna hitam yang mengejarnya. Temari bukan tipe gadis yang takut dengan anjing-anjing seperti itu. Tapi anjing itu benar-benar tidak bisa dijinakakan dan malah ikut lari mengejarnya saat dia berusaha mengusirnya. Sampai akhirnya ada seseorang yang berhasil menjinakkan anjing kelaparan itu. Temari kaget setengah mati saat tahu kalau pemilik anjing itu adalah kakak kelasnya bernama Nara Shikamaru itu.
Temari tersenyum kecut mengingat itu. Dan air mata yang sejak tadi menggenang di matanya ikut jatuh ke pipinya.
"Aku kelihatan konyol sekali waktu itu. Iya 'kan, Shika-kun?" gumamnya pada makam di depannya.
Temari menelan ludahnya susah payah. Perasaannya pada laki-laki itu tidak berubah sedikitpun. Bahkan saat ada satu per satu laki-laki yang mengisi kekosongan hatinya, yang masih melekat dengan kuat adalah perasaannya pada seniornya itu. Dia tahu, menyatakan perasaannya pada laki-laki itu adalah suatu hal yang tidak mungkin. Nara Shikamaru adalah putra salah satu inspektur kepolisian di Tokyo yang tersohor, dan Temari hanyalah seorang tentor bahasa asing di lembaga bahasa dekat rumahnya.
Walaupun saat pertemuan tak terduga itu, seniornya itu masih mengingatnya. Shikamaru masih mengingatnya sebagai Temari yang takut anjing, gadis berambut pirang aneh yang sering melihatnya latihan sepakbola sendirian di lapangan yang sudah sepi. Temari ingat sekali saat laki-laki itu tidak sengaja mencicipi makanan bekal buatannya sendiri, dan dia bilang enak sekali. Padahal Temari sama sekali tidak berniat memberikannya padanya.
Sekali lagi Temari mengusap airmatanya yang hampir jatuh lagi.
"Seandainya aku mengatakan ini dari dulu. Ini adalah perasaanku paling dalam yang belum tersampaikan padamu. Aku menyukaimu, Shika-kun. Semoga kau tenang di sana," gumamnya.
Dia ingat bagaimana wajah laki-laki itu saat menghadapi masa-masa koma di rumah sakit. Wajah yang tidak pernah berubah. Laki-laki yang tidak akan mengatakan pada orang lain kalau dia sedang mengalami kesakitan luar biasa dan selalu menutupinya dengan wajah datarnya. Bahkan Temari tidak akan pernah tahu bagaimana laki-laki itu pergi darinya karena wajahnya akan terlihat sama saja. Seperti itu sejak dulu..
"Aku harap kau baik-baik saja di sana. Dia menjagamu dengan baik di atas sana 'kan?" kata Temari, mengusap nisan di depannya dengan lembut.
Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dari tempat itu sambil merapikan bajunya.
"Temari?" sebuah suara memanggilnya dari arah belakang.
Temari mengusap airmatanya dengan cepat-cepat sebelum akhirnya menoleh ke belakang. Seorang laki-laki sudah menunggunya di sana, sambil merapatkan mantel panjangnya.
"Sai-kun? Baiklah. Tunggu sebentar," kata Temari. Dia merapikan bunga yang ada di atas makam itu, sebelum akhirnya berjalan berbalik meninggalkan makam itu.
"Kau tidak kedinginan? Di sini dingin sekali. Bagaimana? Kau sudah ada ide untuk desain undangan pernikahannya?" tanya laki-laki yang dipanggil Sai tadi.
"Iya. Sudah aku siapkan. Kita bisa ke sana sekarang," jawab Temari. Sai membenarkan kerah mantel Temari saat mereka berjalan dan berlalu dari tempat itu.
Masih di dekat makam itu, tak kasat oleh mata orang biasa, tapi dia masih di sana. Cassiel menatap makam bertuliskan nama Nara Shikamaru itu dalam diam.
"Masih meratapi kesalahan di masa lalu, Cassiel?" sebuah suara tiba-tiba muncul dengan tiba-tiba.
Laki-laki bersetelan jas denim berjalan mendekati makam itu dengan wajah acuh. Tangannya menyentuh makam itu tanpa merasakan dingin yang mulai menggigit di batu nisan itu.
"Cupid?"
"Kau seperti tidak mengenalku saja. Panggil aku Naruto, biar lebih akrab. Aku satu-satunya nephilim di dunia ini yang masih tersisa. Seharusnya kau tahu itu," jawab laki-laki itu.
"Aku sudah tahu itu," sahut Cassiel.
"Yah. Membantu Cupid menangani manusia-manusia itu jauh lebih menarik dibanding mengurusi dunia bisnis. Iya 'kan? Eh? Cassiel?" laki-laki berkulit tan itu menatap Cassiel dengan senyum lebar.
"Setidaknya, kau satu-satunya Nephilim yang dipercaya oleh para malaikat untuk membantu menjalankan tugasNya," kata Cassiel.
"Karena Dia menyukaiku, tentu saja. Aku hanya.. lebih suka bertugas untuk surga dan bertemu dengan para malaikat dibanding harus bekerja sama dengan iblis dan sebangsanya. Apa karena wajahku semurni malaikat. Eh, Cassiel? Cassiel? Hei! Kenapa meninggalkanku begitu saja?" laki-laki itu berteriak sambil melihat ke sekelilingnya dengan bingung. Beberapa orang yang ada di sana menatapnya dengan pandangan bingung. Lalu laki-laki itu buru-buru meninggalkan tempat itu sambil mengabaikan tatapan aneh orang-orang di sana.
.
.
.
.
.
[Sakura Haruno]
Hujan lebat mengguyur distrik Chiyoda beberapa hari ini. Mungkin salju sebentar lagi akan turun. Sudah memasuki bulan November. Dan itu artinya, musim dingin sudah datang. Aku memegangi payungku seraya berjalan menyusuri pinggiran jalan sambil tanganku memegangi kue hangat yang baru saja aku beli di toko kue ujung jalan di sana. Aku berjalan dengan hati-hati di atas sepatu bot-ku karena jalanan yang aku pijak ini kadang licin sekali. Aku melewati segerombolan gadis berseragam sekolah yang sedang berdiri di depan toko elektronik. Salah satu televisi yang dipajang sedang menampilkan penampilan seorang idola baru dari negara tetangga yang sedang digilai akhir-akhir ini. Aku mendengar beberapa dari mereka berteriak histeris saat idola itu mulai tampil dengan penampilan memukau versi mereka.
Aku hanya menggeleng. Remaja jaman sekarang. Beberapa orang berjalan berlawanan arah denganku saat aku tiba di dekat halte bus.
"Oh? Uchiha-san?"
DEG!
Aku berhenti berjalan saat mendengar suara seseorang yang samar-samar baru saja melewatiku tadi.
Aku melihat sekelilingku dan mencari-cari asal suara, berharap aku melihat seseorang yang aku kenal di sana. Tapi saat mataku sama sekali tidak melihat seseorang yang aku kenal, aku mulai menyerah. Dua orang berjalan melewatiku saat aku berjalan melewati halte bus. Seorang laki-laki tinggi berambut hitam sebahu yang mengenakan masker wajah dengan seorang gadis berambut panjang pirang yang berjalan berdampingan.
Aku menghela napas panjang. Apa yang aku pikirkan baru saja? Aku menepuk dahiku sendiri dengan keras. Aku pasti kelelahan bekerja sampai mendengar suara-suara yang aneh. Aku harus segera berjalan sampai rumah dan beristirahat. Apartemen hanya berjarak dua blok lagi kan?
Beberapa menit kemudian aku sampai di apartemenku dan mengerutkan dahi saat ada seseorang sedang berdiri di beranda apartemennya. Seorang laki-laki yang mengenakan setelan mantel panjang sedang menggigil kedinginan di sana. Aku mendekatinya.
"Oh, selamat siang," laki-laki itu membungkukkan badan ke arahku dengan sopan. Aku membalas salamnya. Aku menatap laki-laki itu lekat. Wajahnya datar dan hanya menatapku dengan tatapan tanpa ekspresi. Rambut merahnya mengingatkanku pada kakak laki-lakiku yang tidak pernah pulang ke rumah itu.
"Maaf, bolehkah aku berteduh di sini sampai hujan reda? Maafkan aku, aku salah alamat. Aku pikir di sini alamat apartemen kakak perempuanku. Tapi ternyata bukan. Aku tidak membawa payung. Jadi, aku hanya bisa berteduh di sini sampai kakakku datang menjemputku," jelas laki-laki itu dengan sopan. Aksen bicaranya berbeda denganku. Dia menggunakan logat Kansai yang kental.
"Ahh, tidak apa-apa," kataku kemudian. Masih belum bisa melepaskan pandanganku dari wajah laki-laki itu.
Saat aku membuka mulutku untuk menanyakan sesuatu, tiba-tiba aku mendengar suara kecil di sekitar kami. Aku hapal sekali suara itu. Aku melihat ke bawah. Dan di dekat kaki laki-laki itu ada kotak kecil berwarna kuning cerah yang sering aku gunakan untuk membawa kucingku saat pergi.
"Ah.. Ini Shukaku. Aku baru saja memeriksakannya ke dokter. Kata dokter dia terkena flu," ujar laki-laki itu. Aku menatapnya bingung. Shukaku? Ekor satu? Nama yang aneh. Memangnya kucing punya berapa ekor? Bukankah memang semua kucing punya satu ekor?
Aku membungkukkan badan dan melihat ke dalam kotak itu. Seekor kucing jenis Russian Blue sedang menatapku dengan mata hitamnya yang tajam. Dan dia mengeong berkali-kali.
"Ahh, kasihan sekali. Apakah dia kedinginan? Aku pikir dia lapar," kataku kemudian.
"Oh, aku rasa begitu. Aku lupa memberinya makan pagi ini," sahut laki-laki itu.
Aku lalu berdiri seraya membenahi jaketku dan menatap laki-laki itu.
"Lebih baik dia diberi makan dulu. Bagaimana kalau Anda masuk dulu? Di sini dingin sekali 'kan? Aku rasa Shukaku akan tambah sakit kalau dibiarkan di luar sini? Iya 'kan, Shukaku? Aku rasa Angelo akan senang mendapat teman," kataku seraya melewati laki-laki itu menuju pintu depan rumahku.
"Angelo?" laki-laki itu bertanya bingung.
"Iya. Kucing belang tiga yang aku temukan di jalan. Masuklah," ujarku, saat pintu rumahku sudah terbuka. Dan seekor kucing berwarna tiga tiba-tiba berlari menyambutku seraya mengeong keras.
"Kau sudah lapar rupanya. Angelo ini jantan. Jarang 'kan melihat kucing jantan belang tiga?" ujarku seraya melepas mantelku yang sudah basah karena hujan dan menggantungnya di gantungan mantel.
Laki-laki itu sudah membungkuk dan mengelus-elus kucingku dengan wajah senang sekali.
"Menurut kepercayaan orang Jepang, kucing berwarna tiga berjenis kelamin jantan adalah jelmaan dari Dewa Kucing," katanya. Aku tersenyum.
"Oh.. Siapa nama Anda?" tanyaku kemudian.
"Gaara. Sabaku Gaara," jawab laki-laki itu, mulai menenangkan kucingnya yang mulai mendesis-desis di kotaknya. Aku mengangguk mengerti.
"Akan aku beri susu untuk Shukaku. Bisa tolong Anda keluarkan sebentar?" kataku seraya mengambil kucingku yang mulai ikut mendesis-desis.
"Kenapa kau memberinya nama Angelo?" tanya laki-laki itu.
Aku tidak segera menjawab. Dan terdiam untuk beberapa saat.
"Mm, mungkin karena dia diselamatkan oleh seorang malaikat," sahutku seraya tersenyum misterius.
Laki-laki itu menatapku seraya membalas tersenyum dan menggeleng geli. Mungkin memang terdengar menggelikan. Tapi aku memang benar-benar bertemu dengan malaikat saat itu. Malaikat yang sudah menyelamatkanku dua kali. Entah itu khayalanku saja atau bagaimana.
Aku angkat bahu acuh seraya memberikan wadah susu pada kucing milik laki-laki itu yang langsung menghampirinya dengan wajah kelaparan.
.
.
.
.
.
.
Laki-laki itu melepaskan masker penutup wajahnya dan menghela napas panjang seraya melihat ke arah bangunan apartemen sederhana di seberang tempatnya berdiri saat ini. Kedua mata hitam onyx-nya sama sekali tidak lepas dari bangunan itu.
"Kenapa? Bukankah itu yang kau harapkan?" seorang gadis berambut pirang panjang di sampingnya menatapnya dengan wajah bertanya.
"Memang. Itu yang aku harapkan," jawab laki-laki itu seraya tersenyum kecut.
"Gadis itu akan bahagia dengan laki-laki itu. Dan kau bisa memulai kehidupanmu yang baru sebagai seorang manusia," kata gadis itu.
Laki-laki itu tidak segera menyahut.
"Kenapa? Kenapa para malaikat menyelamatkanku?" tanya laki-laki itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari apartemen di seberang sana.
"Karena kau meminta pertolongan pada kami," jawab gadis itu.
"Lalu kenapa kau harus mengikutiku terus menerus dengan wadahmu itu? Menyebalkan," ujar laki-laki itu dengan protes.
"Gadis ini juga butuh bantuan, makanya aku menolongnya. Lalu aku diperintahkan juga untuk mengikutimu. Kalau kau lulus ujian, artinya kau bisa benar-benar jadi manusia seperti yang kau harapkan," jawab gadis itu.
"Dan kenapa harus gadis?" tanya laki-laki itu.
Gadis di sampingnya hanya angkat bahu acuh.
"Kau bilang ingin dicintai 'kan? Gadis ini akan mencintaimu dengan sungguh-sungguh kalau dia sadar dari komanya nanti," jawab gadis itu lagi.
"Tapi kalau kau membawanya jalan-jalan terus seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa sembuh?" laki-laki itu bertanya dengan ingin tahu.
"Malaikat bertugas dengan caranya yang misterius. Aku menyembuhkannya dari dalam. Dan saat dia bangun nanti, kau yang akan ada di sisinya saat semua orang mulai meninggalkannya," jawab gadis di sampingnya.
Aku tidak menjawab apa-apa.
"Sasuke ... Lupakan saja. Haruno Sakura adalah masa lalumu. Dan gadis ini, Yamanaka Ino, sudah ditakdirkan untuk bersama denganmu. Jadi kau harus menjaganya dengan sungguh-sungguh," kata gadis di sampingnya dengan enteng.
Aku menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengenakan masker penutup wajahku dan membuka payungku lalu berlalu dari tempat itu.
.
.
.
.
.
.
.
The End
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
A/N : Taraaaaaaaaaa... Selesai sudahhhhh. Hahahahaha! Pasti pada ngamuk-ngamuk nih habis ini.
Makasih yang udh ngikutin fic ini, ya? Dan maaf kl ceritanya gaje begindang.
Makasih udh nyempetin baca fic ini.
Dan maaf kl banyak typo.
Btw.. Besok tgl 24 Maret aku ultah, lhooo *trus?* *gak ada yang nanya*
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
PREVIEW SEQUEL :
"Apa kau percaya berita yang beredar itu, Zedekiel?" Cassiel berdiri di samping Zedekiel yang sedang menyelesaikan tugasnya dengan tenang.
"Aku belum tahu pasti. Tapi saudara-saudara kita sudah membicarakan tentang itu," jawab Zedekiel.
"Semua sudah mendengarnya. Berita tentang keturunan Lucifer yang turun ke Bumi itu," kata Cassiel.
.
.
.
.
"Kenapa kau menyelamatkanku?" Ino menatap Sasuke dengan tatapan dingin.
"Malaikat yang menyelamatkanmu," jawab Sasuke.
"Tapi aku tidak ingin diselamatkan," sahut Ino.
"Kalau begitu, itu urusanmu dengan para malaikat."
.
.
.
.
.
Temari menatap sosok yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri dengan tatapan nanar sekaligus kaget luar biasa. Sosok itu balas menatapnya dengan tatapan dingin dan tanpa ekspresi. Sosok yang sangat dikenalnya itu berdiri di seberang jalan tempat Temari berdiri saat ini, di antara hiruk pikuk kendaraan yang lewat di distrik Shibuya ini. Temari hampir tidak bisa menggerakkan langkah kakinya saking kagetnya.
Sosok itu ... seharusnya sudah meninggal satu tahun yang lalu. Temari melihatnya menghembuskan napasnya untuk terakhir kali di depan matanya.
Shikamaru?! Tidak mungkin kan?!
.
.
.
.
.
"Apa kau pernah mencintai seseorang, Sakura-san?" tanya Gaara.
Sakura tidak langsung menjawab dan hanya terdiam untuk beberapa saat. Dia hanya menyunggingkan sebuah senyum samar.
"Aku sendiri tidak yakin apakah dia benar-benar ada di dunia ini," jawab Sakura kemudian.
"Apakah kau masih mencintainya?"
"Entahlah. Aku takut kalau apa yang aku rasakan ini hanyalah khayalanku saja," kata Sakura.
"Bagaimana kalau aku menggantikan posisi laki-laki itu di hatimu?"
"Eh?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Lukisan ini, mengingatkan aku pada seseorang di masa laluku yang kini entah berada di mana," kata Ino seraya melihat lukisan yang terpajang di museum itu dengan tatapan penuh rindu. Sasuke tidak menyahutnya dan hanya menatapnya dengan tatapan datar. Dia tidak terlalu memahami lukisan. Lagipula yang mengajaknya ke sini Ino, jadi dia hanya menemaninya saja.
"Kau seharusnya memberitahuku kalau pameran tembikarnya dua hari lagi. Sekarang aku sudah di sini dan berada di pameran lukisan, Gaara-kun!" suara seorang gadis yang tak jauh dari tempat Sasuke berdiri sekarang mengusik gendang telinganya.
Sasuke segera menoleh ke arah suara yang ada di belakangnya itu.
Dan pada saat itulah, matanya bertatapan langsung dengan kedua mata hijau emerald yang balas menatapnya dengan tatapan kaget.
Sasuke menatap gadis berambut merah muda yang berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang. Gadis itu bahkan tidak sadar kalau ponsel yang dipegangnya sudah jatuh ke lantai museum karena dia terlalu kaget melihat ke arah Sasuke. Tubuhnya membeku.
"Sa-Sasuke...?" bibirnya mengucapkan nama itu dengan suara bergetar.
.
11