Title : Missin' U

Genre : Brothership, Family, Hurt, Tragedy

Cast : Cho Kyuhyun, Kim Kibum, Shim Changmin, Park Jungsoo, Kim Heechul

Rated : Fiction-T

Warning : Typo(s), Geje, Bored, Bad Plot, Ooc(Out of Character). Dia *nunjuk Cho Kyuhyun* masih diusahakan milik saya

Disclaimer : All cast isn't mine. I own only the plot

Summary : Dulu aku mengira tak ada yang salah dengan persaudaraan kita. Sekarangpun aku masih berpikir begitu. Tapi hyung, mengapa kau berubah? Aku merindukanmu yang dulu, yang memelukku ketika musim dingin datang, yang menggandengku ketika musim semi datang. Hyung—12 tahun, apa kau tak merindukanku?

Cho Kyuhyun berpikir, "Adakah yang kulewatkan? Mengapa orang cepat sekali berubah?"

.

.

.

Present..

Enjoy reading!

.

.

Chapter 1

Seoul University,

2 Juni, Pukul 09.00 KST

"Kibum! Hei! Kim Kibum!"

Pemuda berwajah stoic itu –Kibum, yang sejak tadi berusaha mengabaikan panggilan Donghae, akhirnya terpaksa menghentikan langkahnya ketika dirinya mulai diperhatikan beberapa teman kampusnya dengan alis bertaut. Dirinya tentu tak mau dicap sebagai manusia tak berperasaan setelah dicap sebagai pemuda penyendiri dan si datar. Pemuda itu, Kibum, membalikan badan, menatap datar pada Donghae yang tengah berlari kearahnya.

Lee Donghae. Pemuda childish yang sebenarnya adalah kakak kelas Kibum langsung terengah begitu sampai didepan Kibum. Kibum menghela nafas, kakak kelasnya itu selalu menempelnya sejak dirinya menjadi mahasiswa baru di universitas ini, kira-kira 2 tahun yang lalu. Alasannya? "Aku ingin punya adik. Dan orang sepertimulah tipeku"

Konyol. Saat itulah jawaban Kibum pada Donghae, namun siapa sangka Donghae tipe pemuda yang tak mudah menyerah? Seiring sikap cuek Kibum padanya, Donghae malah semakin gencar mencari celah menembus tembok kuat yang dibangun Kibum. Hingga akhirnya –suka ataupun tidak, Kibum mulai menyadari kehadiran pemuda childish itu.

"Hei—kau—mengabaikanku—" katanya sambil terengah, mencoba mengatur nafasnya yang memburu karena sejak tadi mengejar Kibum –yang entah mengapa berjalan dengan sangat cepat. "Sebentar Kibum, beri aku waktu" katanya lalu menarik nafas dalam, mencoba menormalkan pernafasannya.

Kibum memutar bola matanya malas. Bahkan dia tak mengucapkan sepatah katapun sejak tadi, jadi bagaimana Donghae berpikir dia akan menyela huh?

"Kau mengabaikanku lagi, Kibum" katanya dengan wajah merengut yang lucu, yang Kibum yakin setiap gadis akan jatuh cinta dengan tingkah kekanakan Donghae itu. Aish berpikir apa aku.

"Dan kau—Donghae sunbaenim, kau masih terobsesi denganku"

"Ayolah Kibumie, ini bukan obsesi. Aku hanya berharap punya adik sepertimu" Donghae tak setuju.

"Ya ya ya. Terserah padamu saja" gumam Kibum, tak ingin meneruskan berdebat dengan Donghae yang tak akan ada habisnya dan berakhir dirinya telat masuk jam pertama kuliah –seperti beberapa hari yang lalu. "Apa ini?" Kibum menautkan alisnya begitu Donghae menyodorkan kotak bekal padanya.

"Kimbab. Aku tahu kau tak suka kantin—um—lebih tepatnya tidak suka tempat yang ramai, meskipun aku bingung denganmu. Makanlah ditaman setelah jam pelajaranmu selesai, hn?"

Donghae tersenyum lembut. Senyum yang mampu membuat Kibum terenyuh. Belum sempat Kibum protes, pemuda tampan itu sudah menghilang dibalik tikungan menuju kelasnya, setelah terlebih dahulu menepuk pucak kepala Kibum dengan sayang. Dan Kibum akhirnya hanya bisa menghela nafas sembari melirik kotak bekal berwarna baby blue ditangannya. Secara otomatis ingatannya melayang—

Musim Panas, enam Juni, dua belas tahun yang lalu

Kibum mengerutkan kening ketika melihat adiknya masih duduk dikursinya dengan wajah merengut padahal seharusnya adiknya itu sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah yang kebetulan jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. "Hei, mengapa menekuk wajahmu begitu? Kau tak suka sarapan buatan Ibu? Ini langka lho" katanya sambil duduk dikursi bersebrangan dengan adiknya siap memulai sarapan.

Adiknya menggeleng kuat, "Bukan itu, aku sudah makan tadi"

"Jadi?" tanyanya sambil mengolesi roti bakar dengan selai nanas.

"Teman-temanku dibuatkan bekal oleh hyung-nya"

"Tapi Jungsoo hyung sedang tidak ada dirumah"

"Kau kan ada. Kau kan hyung-ku. Kenapa aku harus dibuatkan bekal oleh Jungsoo hyung? Pokoknya buatkan aku bekal. Aku tidak akan sekolah jika bukan hyung yang membuat bekalnya"

Kibum menghela nafas melihat adiknya berlari masuk kembali kedalam kamarnya. Bocah itu kemudian membuka kulkas, bersiap membuat omelete untuk adiknya. Jangan tanya mengapa dia tak membuat makanan lain –kimbab misalnya, dia bukan tak mau, tapi tak bisa. Hei! Memang apa yang bisa dibuatkan bocah usia 8 tahun selain omelete? Setidaknya adiknya tak bolos sekolah dan membuat kepala seluruh orang dirumahnya pusing.

BRAK

"Maaf, aku tidak senga—bum hyung"

Kibum mengangkat wajahnya dari sekotak bekal yang terjatuh pada seorang pemuda bersurai caramel yang menabraknya. Sapaan itu, ia ingat betul. Karena sampai saat ini hanya satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Dia—

Deg. Deg. Deg. Jantungnya berdetak sangat cepat –seolah siap terjatuh dari tempatnya saat itu juga, ketika sepasang manik hitam legamnya mengenali sepasang obsidian caramel pemuda itu. Astaga, apa dia bermimpi sepagi ini?

"—hyung?" pemuda pucat itu berucap lirih. Agak ragu.

"Marc. Hei! Kelasmu disana" seorang pria setengah baya menepuk pundak Marc, membuat pemuda pucat itu menoleh dengan wajah kaget. Selanjutnya, pandangannya kembali terpaku pada sosok Kibum yang menatapnya datar.

"Siapa?"

Jleb

Pemuda pucat itu, Marc, terpaku mendengar pertanyaan yang diajukan Kibum. Wajahnya semakin pucat –seperti tak ada darah yang mengalir disana. Mendengar pertanyaan Kibum seperti ada sebilah pedang yang menancap tepat di ulu hatinya. Sakit. Bahkan lebih sakit saat penyakitnya kambuh, atau saat Dokter memvonisnya. Untuk kedua kalinya—atau mungkin lebih, dia merasakan jatuh terluka. Kakaknya—

"Kau salah orang sepertinya, hoobae"

Dan Kibum berjalan meninggalkan Marc yang masih terpaku ditempatnya, meninggalkan luka yang membekas di ulu hatinya, didalam jantungnya yang berdetak semakin cepat, semakin tak beraturan.

Dugh

"Kyuhyun!"

Kibum sempat menghentikan langkahnya ketika nama itu terucap dari pria setengah baya yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka dalam diam. Kyuhyun. Kibum tersenyum sinis, sudah lama dia melupakan nama itu, melupakan pemilik nama itu. Dan dia—sedang tak berusaha untuk mengembalikan ingatannya pada pemuda pucat itu. Tidak akan pernah! Kemudian pemuda berwajah stoic itu melanjutkan jalannya dengan pandangan datar, tak memperdulikan lagi sekotak bekal makan siang dari Donghae yang ia tinggalkan.

Sedangkan Tuan Cho bahkan terpaku setelah dirinya menyebut putra sematawayangnya dengan nama korea-nya yang sudah lama sekali tak dia gunakan. Tuan Cho hanya merasa terkejut karena tiba-tiba Marc –Kyuhyun-nya- menjatuhkan dirinya dengan wajah tertunduk. Dan yang keluar dari mulutnya adalah nama 'Kyuhyun' bukan 'Marc'.

"Kyuhyun—jantungmu" diraihnya tubuh Kyuhyun dengan sigap. "Astaga, dengarkan aku. Jangan pikirkan apapun dulu. Tenanglah" katanya, meski pria setengahbaya itu tak yakin, Kyuhyun mendengarkan ucapannya.

"Sakit Dad" lirih Kyuhyun tertahan.

"Biar aku periksa hn?"

Kyuhyun menggeleng, "Disini" Kyuhyun menepuk dadanya. Ia sudah tak merasakan apapun tentang jantungnya –bahkan ia sudah merasa jantungnya berhenti berdetak ketika kakaknya bertanya siapa dirinya. Hatinya kini jauh lebih sakit. Apakah dirinya berubah terlalu banyak hingga kakaknya lupa dirinya?

Tidak. Kyuhyun menggelengkan kepalanya, kakaknya tidak mungkin lupa dirinya, karena dirinyapun tak melupakan apapun tentang kakaknya. 12 tahun memang bukan waktu yang singkat, tapi dia bahkan tak melihat adanya kerindukan dikedua mata hitam milik Kibum saat sepasang obsidiannya bertatapan dengan mata Kibum.

Tuan Cho tertegun mendengar jawaban Kyuhyun. Dicegahnya tangan Kyuhyun yang kembali menepuk dadanya keras-keras, kemudian dielusnya puncak kepala Kyuhyun dengan sayang, mencoba menyalurkan rasa bahwa Kyuhyun tak sendiri lagi. Bahwa sekarang ada dirinya disamping pemuda pucat itu. Bahwa dia akan melindungi Kyuhyun sebisanya.

"Kita pulang saja, hn?" gelengan kepala membuat Tuan Cho menghela nafas. "Baiklah. Dad antar sampai kelas. Tapi kumohon jangan berpikir terlalu keras"

"I know, Dad. Thank you" Kyuhyun tersenyum lemah, meyakinkan Tuan Cho bahwa dirinya baik-baik saja meski dia tak yakin Tuan Cho akan melihat itu dari senyum paksa yang dia buat. Karena Ayahnya—Tuan Cho—tahu semua yang orang tak tahu tentangnya meski dirinya tak pernah bicara langsung pada Ayahnya itu.

Aku kembali, hyung. Tapi mengapa kau berubah? Adakah yang kulewatkan? Atau—apa aku telah berbuat salah padamu? Kau berhutang penjelasan padaku hyung!

Musim gugur, dua belas tahun yang lalu

Angin bertiup dengan kecang, membuat kedua bocah yang tengah duduk disalah satu halte itu merapatkan mantelnya dengan segera. Udara memang semakin dingin seiring dengan masuknya musim gugur. Sang kakak melirik adiknya yang nampak berusaha menahan hawa dingin yang mulai membuat hidungnya berair. Merasa diperhatikan, sang adik menoleh pada kakaknya, melebarkan senyumnya, menampilkan gigi-giginya yang berjajar rapi.

"Aku baik-baik saja, hyung" katanya sambil membenarkan surai caramelnya yang menutupi pandangannya. "Tapi kenapa Ayah dan Ibu lama sekali? Kapan mereka akan menjemput kita?"

Sang kakak berjongkok didepan adiknya, membenarkan mantel sang adik dan memasangkan beani heat-nya dengan benar hingga poni sang adik tak menutupi pandangan adiknya. Diusapnya hidung sang adik dengan tissue lalu membuangnya ke tempat sampah. Sang Kakak tersenyum ketika ia nelihat adiknya mulai menggigil namun berusaha tetap kuat didepannya.

"Dingin?"

Adiknya tersenyum lebar. Membohongi kakaknya adalah kesalahan besar, karena kakaknya tahu apapun tentangnya. Maka, bocah 7 tahun itu menganggukan kepalanya.

"Itulah mengapa hyung menyuruhmu membawa sarung tangan kemanapun, Kyu. Kau tahu, bahkan dimusim panaspun kau membutuhkannya" ucap sang kakak.

"Maaf" sang kakak tersenyum, meremas tangan mungil sang adik.

"Kapan mereka menjemput kita, Kibum hyung?" ulang adiknya ketika ia merasa sang kakak tak akan berucap apapun lagi.

"Kyu lapar hn? Ini makanlah" sang kakak –Kibum, menyodorkan sebungkus roti yang dibelinya saat jam istirahat tadi pada adiknya –Kyuhyun. "Ayah mungkin sedang sibuk dikantor, dan Ibu—aku tak tahu, mungkin sedang bersama teman-temannya" Kibum mengangkat bahunya. Ia tahu adiknya paham dengan kondisi keluarga mereka, jadi tak ada salahnya berkata jujur pada bocah yang dua tahun lebih muda darinya itu.

"Aku benci teman-teman Ibu" Kyuhyun mendengus, membuat Kibum kembali harus membersihkan hidung sang adik. "Mereka hanya tertawa-tawa tak jelas"

"Jangan mendengus saat cuaca dingin. Hidungmu kotor". Kibum tersenyum mendengar ucapan adiknya. "Kau cemburu huh?"

Kyuhyun mempoutkan bibirnya mendengar celaan Kibum, namun segera menautkan alisnya. "Memang hyung tidak? Ibu lebih sering menghabiskan waktunya dengan teman-temannya itu dibanding dengan kita" adiknya nampak berpikir ketika mengucapkan kalimat itu.

"Kau masih beruntung Ibu masih mengingat hari ulangtahunmu" lirih Kibum. Ia segera tersenyum ketika Kyuhyun memandangnya dengan alis bertaut seolah bertanya Apa-Yang-Baru-Saja-Kau-Bicarakan-

"Kita pulang sendiri saja, bagaimana?"

"Memang hyung ingat jalan kerumah kita?"

Pertanyaan yang diajukan adiknya membuat Kibum tertegun. Kibum nampak berpikir sebelum menggelengkan kepalanya. "Aku akan menelpon Jungsoo hyung. Kau tunggulah disini, jangan kemana-mana mengerti?" ketika Kyuhyun mengangguk, Kibum segera berlari keseberang jalan dimana telepon umum ada, meninggalkan Kyuhyun yang duduk dihalte sambil memakan rotinya.

Seoul University

2 Juni, Pukul 11.00 KST

"Hei, boleh aku duduk disini?"

Kyuhyun yang tengah menyantap makan siangnya dengan ogah-ogahan itu menoleh, mendapati pemuda tampan dengan tinggi badan berlebihan itu tersenyum padanya –meminta ijin duduk dikursi didepannya.

"Kau sudah duduk" salahkan mulut Kyuhyun yang memang tak bisa berbasa-basi hingga yang keluar adalah kalimat menyebalkan seperti itu. Tapi Kyuhyun bahkan tak menyesalinya, baginya tak punya teman pun tak apa. Selama di Amerika dan Eropa dulu, ia pun tak punya banyak teman. Pekerjaan ayahnya lah yang membuatnya menjadi pemuda yang introvert, sulit membuka diri pada orang lain –sesuatu yang kadang membuat Ayahnya hanya menghela nafas ketika bertanya 'mengapa kau pulang sendirian?'.

Pemuda tampan dengan tinggi badan berlebihan itu tersenyum lebar, "Aku Changmin. Shim Changmin" katanya sambil mengulurkan tangannya, nampak tak terlalu ambil pusing mengenai ucapan Kyuhyun yang lumayan pedas. Melihat Kyuhyun tak berniat menyambut uluran tangannya, pemuda itu buru-buru menarik kembali tangannya. "Kita teman satu kelas. Kau ingat aku? Kau Kyuhyun kan? Salam kenal teman. Tadi aku duduk—"

Kyuhyun menatap pemuda itu dengan datar, membuat Changmin menghentikan ocehannya dengan segera. "Kau boleh duduk disana. Tapi—bisakah kau tidak banyak bicara? Aku—tidak suka orang yang berisik"

Changmin tampak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebelum tersenyum canggung pada Kyuhyun yang kemudian kembali fokus pada seporsi kecil jjajangmyeon didepannya. Changmin meringis ketika melihat menu makan siangnya dan membandingkannya dengan milik Kyuhyun. Sudah pasti menu makan dirinya berlipat-lipat dari menu makan Kyuhyun.

Tanpa disadari Kyuhyun, Changmin mengulum senyum miris padanya.

Cho's Mansion

2 Juni, Pukul 19.00 KST

Rumah keluarga Cho berada dideretan rumah kecil dibelakang apartemen mewah Star City. Meski kecil, namun rumah itu begitu terawat karena Tuan Cho begitu telaten menanam bermacam bunga dihalaman mereka yang kecil –seberapapun sibuknya pria paruhbaya itu. Istrinya –Nyonya Cho, dulu, menyukai segala macam bunga. Dan bagi Tuan Cho, menanam bunga akan membuat istrinya seperti selalu menemani kehidupannya –kehidupan mereka berdua. Bukankah ketika tua, hal paling menyenangkan adalah nostalgia?

Pertama kali datang ke Seoul –setelah bertahun-tahun menghabiskan waktu di luar negeri, Kyuhyun sempat terpekik karena Ayahnya membawanya ke salah satu kawasan elit di Seoul. Bayangkan, Gangnam! Namun pemuda itu akhirnya hanya bisa tertawa keras saat tahu tujuan Ayahnya adalah deretan apartemen kumuh dibelakang apartemen Star City yang menjulang tinggi. Ia tak kecewa, hanya mencibir kebodohannya dengan mengira ayahnya menyewa apartemen berharga jutaan won untuk mereka tinggali. Ia tahu, ayahnya tak sekaya itu.

Ayahnya –Tuan Cho, memang lebih dulu kembali ke Korea dibanding dirinya. Katanya sudah tak betah berada di Amerika sana, jadi Kyuhyun ditinggalkan di apartemen kecil mereka di Los Angeles sampai menyelesaikan sekolah menengahnya. Dan beberapa bulan lalu, saat dirinya sudah menyelesaikan sekolah menengahnya Ayahnya yang baik itu memaksanya kembali ke Korea. Kyuhyun tentu tak menolak, karena salah satu impiannya adalah kembali ke Korea kemudian bertemu kakaknya, tentunya tanpa melukai Ayahnya.

Kyuhyun masuk kedalam apartemen dengan perasaan hambar –setelah terlebih dahulu mengganti sepatunya dengan sandal rumah berwarna baby blue. Kejadian tadi masih terbayang diingatannya. Sedikit memicing, Kyuhyun mendapati lampu apartemennya belum menyala, menandakan Ayahnya –Tuan Cho, belum pulang bekerja. Kyuhyun menghela nafas. Kadang ketika dirinya tahu betapa bekerja kerasnya ayahnya –ayahnya seorang workholic, dia merasa kasihan, merasa tak berguna. Ingin rasanya dia membantu, namun dia cukup tahu diri dengan tubuhnya yang tak bisa terlalu lelah. Jadi, yang dia lakukan adalah membantu pekerjaan rumah ayahnya, seperti menyiapkan sarapan –meski kadang Ayahnya tetap saja bangun lebih dulu dari dia.

Pemuda berwajah pucat itu mendudukan dirinya di sofa panjang yang menghadap televisi. Pandangannya mengitari isi apartemen sederhana itu. Kyuhyun tersenyum kecil ketika mendapati foto dirinya bersama Tuan dan Nyonya Cho. Foto itu diambil saat dirinya lulus sekolah dasar. Ia bisa melihat raut kebahagiaan diwajah dua orang yang disayanginya itu. Sungguh ajaib, itu karena dirinya.

Musim Panas, enam tahun lalu

"Kyunie"

Entah itu panggilan keberapa yang dilakukan Nyonya Cho, nyatanya putra sematawayangnya itu tetap bergeming didalam selimut baby blue-nya. Nampaknya, putranya itu masih terlalu lelah akibat perjalan yang dilakukan mereka dari Korea ke Oslo. Wanita itu awalnya tak setuju mengikuti pekerjaan suaminya yang mengharuskan mereka berkeliling dunia. Tapi ketika melihat putra tampannya itu, dirinya meyakinkan dirinya bahwa –mungkin, berkeliling dunia mampu membuat suasan hati putranya semakin baik. Ya, mungkin.

"Kau tidak mau bangun huh? Padahal Ibu baru saja berpikir akan mengajakmu berkeliling untuk mencari PSP" pelan, namun ia yakin putranya yang gila game itu akan mendengarnya dengan jelas.

Dan bingo! Bocah pucat itu segera menyibak selimut yang masih terlihat nyaman, menyunggingkan senyum polos pada Ibunya yang balas tersenyum. Kyuhyun mengucek matanya, berharap kantuknya akan hilang. Ia tentu saja tak mau kesempatan mendapat PSP baru lenyap begitu saja hanya karena kantuknya yang tak hilang.

"Ayo bersihkan wajahmu. Kau juga harus mandi" didorongnya tubuh Kyuhyun untuk masuk kedalam kamar mandi –setelah menyimpan handuk dibahu Kyuhyun, membuat bocah 12 tahun itu mencibir. "Ingat Kyuhyun, Ibu menyuruhmu mandi, bukan gosok gigi dan mencuci wajahmu saja"

"Aku tahu, Bu" keluh Kyuhyun meski tak urung wajahnya merengut, sepertinya Ibunya mulai tahu kebiasaan buruknya itu

"Kyuhyun sudah bangun?"

"Sedang mandi"

Nyonya Cho mendekati Tuan Cho yang sedang sibuk mengatur alat lukisnya, menyodorkan secangkir kopi. "Sudah harus bekerja huh? Kyuhyun pasti akan protes padaku"

"Dia paham dengan pekerjaanku" Tuan Cho menjawab, meski tak urung wajahnya nampak murung. "Tak terasa, dia sudah 13 tahun. Putra kita sudah 13 tahun, Hana-ya"

"Ibu—oh Dad belum berangkat?"

Tuan dan Nyonya Cho yang sempat terdiam dalam lamunan itu akhirnya tersadar ketika Kyuhyun menarik kursi didepan mereka, bersiap dengan sarapannya. Keduanya tersenyum melihat tingkah Kyuhyun. Bagi mereka, apapun yang Kyuhyun lakukan selalu lucu dan menggemaskan, membuat rasa sayang mereka semakin besar pada putra mereka itu.

"Apa Ibumu baru saja bilang bahwa dia akan membelikanmu PSP?"

Kyuhyun mengentikan mengunyah roti isinya, "Tidak boleh, Dad?" tanyanya dengan raut khawatir yang kentara.

Tuan Cho nampak berpikir, berniat menggoda putranya. "Tentu saja boleh. Tapi berjanjilah pada Dad untuk sekolah dengan benar. Kau—"

"—satu-satunya putra Daddy" Kyuhyun memtong. "Aku sudah hafal, Dad" lanjutnya disambut tawa Nyonya Cho dan dengusan Tuan Cho –meski tak urung pria itu tertawa juga. Kepandaian Kyuhyun selalu membuatnya terhibur.

"Kau akan sekolah di sekolah Internasional, Kyuhyun. Daddy tidak akan memintamu menjadi seperti Daddy, kau boleh—"

"Aku suka lukisan yang Dad buat. Lukisan Dad selalu terlihat hidup" Kyuhyun memotong. Sepasang obsidian caramelnya menatap sepasang mata Tuan Cho yang duduk didepannya. "Aku ingin menjadi sepertimu Dad. Melukis banyak karya dan kemudian—"

"—Kau tak berniat menjualnya untuk membeli PSP kan?" gantian Tuan Cho yang memotong, meski dengan maksud menggoda Kyuhyun. Nyonya Cho terkikik geli disampingnya.

"Aish, Dad!" Kyuhyun merengut. "Aku—" jeda, kembali sepasang obsidiannya menatap sepasang mata Tuan Cho yang masih menantikan kelanjutan ucapan putranya. "—ingin menunjukan dunia pada orang-orang" lanjutnya. "Lagipula menjadi pelukis tidak buruk juga, kita bisa keliling dunia gratis" katanya disambut jitakan dikepalanya oleh Tuan Cho.

Dan untuk pertama kalinya, Kyuhyun menunjukan cita-citanya pada kedua orangtuanya. Membuat sepasang suami istri itu terenyuh. Putranya—ah—

*TBC*

haloo aku author baru ^^ salam kenal ya

sebenernya udah lama punya akun ini, tapi belum pernah sempet ngepost fanfic

oya fanfic ini sebenernya udah aku post di wordpress, tapi pengen aku post juga disini.

udah baca fanfic ini? wanna RnR?