Title: When Love Comes

Warning: AU. Ooc. Cardverse!USUK. Human-Name.

-o0o-

Arthur tersenyum menatap sekitarnya. Ia merasa sangat gembira―padahal tak ada hal yang khusus, ia hanya sedang duduk di bawah salah satu pohon rindang di dalam hutan, tak jauh dari pemukiman. Kemudian, seekor kelinci putih menghampirinya dan kini tahu-tahu sudah ada di pangkuannya, menikmati elusan tangan lembutnya.

Sejauh mata memandang Arthur bisa melihat hijaunya pepohonan―suasana yang mengingatkannya pada desa tempat ia dibesarkan. Tempat yang ia rindukan. Ia merindukan omelan kakak-kakaknya, ia rindu dengan kue buatan bibi yang tinggal di samping rumahnya, ia rindu―semuanya. Dalam hati Arthur berharap agar dirinya bisa lekas-lekas kembali ke sana. Tentu saja, setelah semua hal ini selesai.

"Kepala batu!"

Senyum Arthur seketika memudar, berganti jengkel. Suara itu―Alfred―merusak ketenangannya untuk kesekian kalinya selama ini berada di tempat ini.

"Ada apa?" tanya Arthur acuh.

"Apa yang kaulakukan di sini?" selidik Alfred.

"Khawatir aku kabur?" tanya Arthur, yang sudah bosan dengan kata-kata sama yang terus menerus ia ucapkan. "Jangan khawatir, aku tidak akan kabur. Masih banyak yang harus kulakukan untuk rakyatmu."

"Aku senang mendengarnya. Kalaupun kau kabur, aku pasti bisa menemukanmu."

"Yeah." Arthur memutar matanya jengah. "Aku yakin kau akan." Arthur berdiri dari tempat duduknya. Membersihkan belakang pakaiannya dengan sebelah tangan, karena sebelah tangannya lagi masih memegangi si kelinci putih. "Aku pergi―"

"Tunggu―!"Alfred menarik tangan Arthur. "Aku ingin berbicara denganmu."

"Apa lagi yang harus kita bicarakan?" tanya Arthur, menyentakkan tangan Alfred yang menyentuhnya. "Aku telah setuju untuk tidur di kamarmu. Aku juga telah berjanji tidak akan kabur. Masih adakah yang kurang?" ketusnya. Semua kehendak Alfred memang selalu membuatnya menahan geram. Pemuda itu selalu membuat keputusan seenaknya, tanpa bisa di bantah.

"Ada yang aku ingin bicarakan denganmu, Arth―"

"Jangan sebut namaku!" potong Arthur cepat. "Aku tidak sudi namaku diucapkan oleh orang sepertimu."

"Sebenarnya, apa yang membuatmu marah padaku?" tanya Alfred letih. "Aku telah berulang kali minta maaf padamu atas kekasaranku padamu. Apakah itu belum cukup?"

"Tentu saja." Arthur membuang muka. "Kau sudah tahu mengapa aku tidak dapat berhenti membencimu," kata Arthur dengan tenang, kembali mengelus kelinci putih digendongannya.

"Baiklah," Alfred mengalah, "Sekali lagi, aku minta maaf atas semua kesalahan, kekasaran serta segala sikapku yang tidak pantas padamu." Alfred menatap Arthur, "Kau puas?"

"Belum."

Alfred mengangkat tangannya dengan pasrah. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu terus membenciku. Aku datang bukan untuk mencari pertengkaran baru. Aku datang untuk melamarmu."

"MELAMARKU?!" ulang Arthur tak percaya. Matanya membola sempurna. Kelinci di gendongannyapun langsung melompat karena terkejut dengan suara bernada ngeri yang keluar dari bibir Arthur barusan. "Bloody hell―Apa yang baru saja kau ka―"

"Aku bertanya maukah kau menjadi istriku?" ulang Alfred dengan tegas.

Arthur memandangi Alfred. Kali dia tertawa, merasa "Kau sedang mabuk, Git?"

"Tidak," sergah Alfred. "Aku sadar penuh atas apa yang kukatakan sekarang."

Hening.

Arthur menatap Alfred lekat-lekat. Seketika kehilangan seluruh pembendaharaan kata miliknya. Di pikirinnya kini, Arthur menganggap jika pemuda di depannya sudah gila. Atau kepalanya baru saja membentur benda keras. Atau keduanya.

"Kau―" Alfred memecah keheningan, "bersedia?"

"Tidak!" sahut Arthur tegas, seketika, "Bloody hell―NO! Aku tidak mau menikah denganmu, Git!"

Arthur berbalik pergi. Tapi Alfred sudah terlebih dahulu menahannya, menangkap lengan Arthur. "Kau harus―" desisnya.

"TIDAK!" bantah Arthur. Merasakan kepalanya pusing mendadak. "Kau tidak bisa memaksaku!"

"Baiklah," Alfred mengalah, melepaskan cengkramannya pada pergelangan tangan Arthur. "Aku memberimu waktu sampai malam ini. Aku akan menunggu untuk mendengar jawaban iya darimu," Alfred menegaskan.

"Aku sudah berkata aku tidak mau, Git!"

"Malam ini. Aku akan meminta jawabannya. Pikirkanlah lagi." ujar Alfred. Kemudian berbalik pergi.

"Aku tetap tidak sudi!" seru Arthur pada punggung Alfred yang menjauh.

Arthur yang kesal meraih kerikil yang teronggok di sekitar kakinya dan melemparkannya, tapi pemuda itu sudah hilang dan lemparannya hanya mengenai tanah.

Arthur berdiri sendiri di tengah hutan. "Menikah dengannya?" kata Arthur pada dirinya sendiri. Masih tidak bisa mempercayai apa yang barusan ia dengar dengar dengan telinganya sendiri. "Dia pasti sudah gila―"

Kecuali kemarahannya yang belum sirna, Arthur telah mengakui Alfred adalah pahlawan. Ia mengagumi keberaniannya. Tapi, perasaan Arthurhanya sampai sejauh itu. Kalau ia disuruh memilih antara menikah dengan Alfred atau tidak menikah sama sekali. Ia akan memilih pilihan terakhir.

Ia memang mengagumi Alfred, tetapi ia belum terlalu gila untuk mau menikah dengannya. Lagipula Alfred adalah orang yang Arthur benci. Dan itu belum berubah hingga saat ini.

Apapun yang terjadi, ia tetap akan mengatakan tidak. Tapi meski begitu, masalah itu terus menerus menggangangu pikirannya.

Satu hari indahnya, kembali dirusak oleh perbuatan sang pemuda arogan, Alfred.

"Aku benci dia,"gumam Arthur.

-o0o-

Arthur terus berada di hutan sepanjang hari, lebih lama dari biasanya. Jika hari-hari kemarin ia selalu mendapatkan ketenangan setelah kembali dari hutan, kini justru sebaliknya. Arthur malah merasa sesuatu menganggunya. Biasanya, di siang hari ia akan membantu para wanita memintal benang. Tapi ia kembali pada sore hari, sehingga begitu ia datang, para wanita telah beralih menyiapkan makan malam.

Arthur ingin makan malam bersama mereka, tetapi Alfred tidak memperbolehkannya. Seusai membersihkan diri Alfred memaksanya naik ke kamar. Seseorang datang membawakan makanan mereka. Seperti Alfred, ia sudah lelah bertengkar―karena mereka melalui makan malam dengan kelewat sunyi.

Tapi itu lebih baik, terlebih untuk malam ini, Arthur hanya ingin segera naik ke atas dan duduk diam di kamar sampai pagi. Sementara Alfred berjalan keluar untuk mengurus sesuatu―seperti biasanya. Perkumpulan setelah makan malam.

Arthur mendesah lega saat pemuda itu pergi. Entah bagaimana, tapi ia tidak tahan dengan suasana seperti tadi. Rasanya mereka yang bertengkar bahkan terasa lebih nyaman.

Arthur mencoba berbaring dan menutup mata, tetapi ia tidak bisa. Ini masih terlalu awal untuk jam tidunya. Dan kemudian memilih untuk mengambil sulamannya saja dan meneruskannya.

-o0o-

Pintu terbuka. Alfred segera masuk ke kamar―jauh lebih awal dari biasanya. Alfred tidak segera menanyai Arthur. Ia malah menuju ke seberang lain ruangan. Duduk sambil menyibukkan diri di meja kerjanya.

Hening.

Arthur tidak mempedulikannya, ia masih duduk di tempatnya semula, pojok ranjang dan terus menyulam. Ia ingin segera menyelesaikan taplaknya. Arthur yakin malam ini juga taplaknya bisa selesai. Yang belum diselesaikannya hanya awan-awan kecil dan burung-burung yang terbang di angkasa.

Tiba-tiba Arthur merasa ada yang mengawasinya. Arthur mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Alfred tengah memperhatikannya.

"Kelihatannya kau sibuk sekali."

Arthur meletakkan sulamannya. Ia tahu saatnya telah tiba.

Alfred duduk di samping Arthur. "Bagaimana?" tanyanya―yang anehnya, terdengar lembut.

"Dengan sangat menyesal," kata Arthur lambat-lambat, mencoba berkata setenang mungkin. "Aku tetap tidak bisa menikah denganmu." Arthur telah berkata tenang agar tidak membangkitkan kemarahan Alfred tetapi pemuda itu marah juga.

"Apakah kau tidak bisa berhenti membenciku? Sebenarnya apa dosaku padamu?"

"Kau tahu sendiri," balas Arthur tidak mau kalah, "Aku yakin kau tidak terlalu bodoh untuk mengetahuinya."

"Apakah kau masih marah padaku karena aku membunuh orang itu?" Alfred mencengkeram lengan Arthur.

"Kau tahu sendiri."

"Apakah kau tidak punya pikiran lain selain itu?" tanya Alfred tidak percaya. Kemudian dengan nada yang lebih lembut ia melanjutkan, "Dalam peperangan, kita tidak peduli siapa yang bersalah siapa yang tidak. Tidak ada hukum dalam peperangan. Begitu pula dalam perjuanganku melawan Raja Spades. Kalau kita tidak membunuh, kita yang akan dibunuh. Itulah hukum perang."

Arthur menatap Alfred dengan tajam.

"Aku akan memberimu waktu lagi. Pikirkanlah kata-kataku ini. Besok pagi aku akan menanyaimu lagi," kata Alfred dengan kelembutan yang membuat Arthur heran. Tapi pemuda itu tidak bisa berfikir lagi ketika Alfred kembali mencuri satu ciuman lembut dari bibirnya sebelum berkata, "Selamat malam."

Arthur langsung menyembunyikan wajahnya di atas bantal. Tanpa bisa tertidur setelahnya. Gara-gara apa yang dikatakan Alfred, Arthur tidak dapat tidur. Ia terus berpikir apakah yang dikatakan Alfred itu benar? Ada pepatah Latin yang menyebut tidak ada hukum dalam perang. Tapi, Arthur tidak habis pikir mengapa orang bisa membunuh semudah itu.

Apakah nyawa itu tidak berharga lagi dalam perang?

Mereka tahu bisa terbunuh, tapi mengapa mereka mau berkorban?

Mengapa demi perang orang mau mengorbankan segala-galanya?

Apakah keuntungan perang?

Perang hanya membuat tanah bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan. Kalau hasil dari peperangan itu adalah kemenangan, itu bagus. Tapi kalau kalah―

Apa gunanya mengorbankan nyawa kalau ada cara lain untuk mencapai tujuan?

Alfred sendiri bisa menempuh jalan lain yang lebih aman untuk mencapai cita-citanya. Ia bisa menikahi Natalia―sang calon pengganti raja. Kalau Raja Spades mati, Natalia akan naik tahta. Ia juga akan menjadi raja dengan sendirinya.

Arthur yakin Alfred dapat melakukannya. Ia adalah pemuda tampan yang menarik. Tak mungkin Natalia tidak menyukainya.

Tapi―

Arthur tidak mengerti jalan pikiran orang-orang ini. Ia dibesarkan di desa yang damai, adil, tentram, dan makmur. Ia tahu ia tidak akan pernah dapat memahami jalan pikiran orang-orang di negara ini.

Arthur tidak bisa tidur. Ia ingin ke bawah berkumpul dengan orang-orang di luar sana. Tapi, melihat Alfred yang tidur di dekatnya, Arthur mengurungkan niatnya. Walau pemuda itu tidur nyenyak, bukan berarti ia tidak tahu sekitarnya.

Pernah suatu malam Arthur terjaga dari tidurnya.

Arthur tidak tahu apa yang membuatnya terbangun. Samar-samar Arthur mendengar suara-suara yang menakutkan dirinya. Arthur tidak berani membayangkan apa yang bersuara itu.

"Apa yang membuatmu terjaga?"

Arthur lega mendengar suara lembut itu―Alfred. "Aku tidak tahu," katanya, "Aku seperti mendengar suara-suara yang menakutkan."

Alfred berdiri dan memeriksa keadaan di dalam maupun di luar ruangan luas itu. Ia kembali pada Arthur sesudahnya.

"Tidak ada apa-apa," katanya, "Mungkin kau bermimpi."

"Mungkin," kata Arthur ragu-ragu.

Alfred duduk di sisi Arthur. "Tidurlah kembali. Aku akan di sini sampai kau tertidur."

Arthur tahu Alfred tidak pernah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Gerakan kecil darinya bisa membuatnya curiga. Saat ini malam sudah larut dan Arthur tidak ingin mengganggu tidur Alfred.

Kata-kata Alfred terus menghantui pikirannya. Pikirannya terus melayang jauh tanpa bisa membuatnya tertidur.

Malam yang semakin larut membuat pikiran Arthur semakin larut, semakin melayang jauh.

-o0o-

Arthur tidak ingat kapan ia tertidur, tetapi saat ia terjaga, ruangan itu sudah terang.

Alfred berdiri memandanginya sambil tersenyum. "Kau tidur juga akhirnya. Kupikir kau akan terus terjaga sampai pagi."

"Seseorang membiusku," sahut Arthur sekenanya.

"Basuhlah mukamu. Kau terlihat kusut sekali."

Arthur meninggalkan tempat tidur menuju jendela. Melihat kesibukan orang-orang di luar sana. "Kau keberatan bila aku membantu mereka?"

"Lakukan apa yang kausuka."

Arthur segera merapikan tempat tidurnya lalu meninggalkan Alfred dengan hati riang.

Alfred tersenyum melihat kegembiraan pemuda itu. Ia tidak nampak telah berpikir terus sepanjang malam. Alfred segera mengganti bajunya dan bergabung dengan rakyatnya untuk sarapan pagi. Ia berniat mengulangi pertanyaannya setelah makan pagi ini.

Arthur tidak nampak terbebani sepanjang pagi itu hingga Alfred mengajaknya berbicara di dalam hutan.

"Aku masih belum mengerti," kata Arthur sebelum Alfred memulai.

"Apa yang belum kaumengerti?" tanya Alfred dengan sabar.

"Mereka tahu bisa terbunuh dalam perang, mengapa mereka mau maju ke medan perang?"

"Karena cinta mereka," jawab Alfred, "Karena cinta dan kesetiaan mereka pada pimpinan mereka. Sama seperti kita yang siap mengorbankan segalanya untuk tanah air kita. Kita melakukannya karena apa? Kita melakukannya karena kita mencintai tanah air kita."

Arthur merenungkan kata-kata itu sebelum berkata, "Sekarang aku mengerti."

"Lalu bagaimana jawabanmu?'

"Aku tetap menolaknya," kata Arthur tegas.

"APA? Kengapa?" tanya Alfred heran, "Apa kau masih membenciku?"

"Tidak. Sekarang aku dapat mengerti tindakanmu," kata Arthur, "Tapi aku tetap menolak menikah denganmu. Alasanku adalah aku baru mengenalmu."

"Itu bukan masalah," kata Alfred, "Setelah kita menikah, kita bisa berteman sampai kita saling mengenal."

"Maafkan aku," kata Arthur, "Aku tidak bisa menikah tanpa alasan yang jelas."

"Kau ingin tahu alasannya?" Alfred terlihat tidak sabar lagi, "Baik, aku akan memberitahumu. Aku menikahimu agar aku mendapat dukungan lebih dari rakyat."

"Dukungan?"

"Untuk melawan Raja Spades, aku membutuhkan setiap dukungan yang bisa kudapatkan. Dengan menikahi pelayan kesayangan putri mahkota, aku yakin akan semakin banyak orang yang memihakku."

"Apakah kau tidak dapat memikirkan jalan lain selain perang?"

"Apakah ada jalan lain untuk menggulingkan Raja Spades?"

"Kau bisa menikahi Putri Natalia. Kalau ia naik tahta, kau dengan sendirinya akan menjadi raja."

"Kaupikir itu bisa?" ejek Alfred, "Apa tidak pernah terpikir olehmu seorang putri mahkota tidak dapat menentukan sendiri calon suaminya?"

Arthur diam termenung.

"Hanya dengan perang saja Raja bisa kugulingkan. Dan, aku bisa memperoleh lebih banyak dukungan dengan menikahimu."

Arthur tetap diam.

"Apakah kau tidak berpikir pernikahan ini akan menyelamatkan rakyat dari sengsara? Dengan dukungan yang besar, aku pasti bisa menggulingkan Raja Spades," kata Alfred penuh semangat. "Kau dan aku memiliki cita-cita yang sama yaitu membuat rakyat sejahtera. Aku tidak salah bukan?"

Arthur diam. Matanya memandang jauh.

Alfred memberi pemuda itu kesempatan untuk berpikir. Entah kenapa Alfred tak bisa begitu saja mengatakan jika ia memang mencintai pemuda itu dan itulah alasannya ingin menikahi pemuda itu. Tapi, alasan yang ia katakanpun memang tak sepenuhnya mengada-ada.

Arthur tampak ragu-ragu sebelum akhirnya dengan tegas ia berkata, "Kalau begitu―aku bersedia."

"Bagus," kata Alfred puas. "Sekarang juga kita menikah."

"Apa!?" tanya Arthur terkejut.

"Aku sudah menyiapkan segalanya," kata Alfred. Alfred menarik Arthur menemui Eliz.

Sepertinya Eliz sudah tahu apa tugasnya. Begitu melihat Alfred membawa Arthur, ia segera menyambut pemuda itu. Eliz mengeluarkan pakaian putih yang serupa dengan pakaian yang ia kenakan saat kemari―tetapi tampak lebih bagus dan mewah― dan segala acessorisnya dari sebuah peti dan menyuruh Arthur mengenakannya. Sementara Arthur mengganti pakaiannya, Eliz menyiapkan tudung hiasan kepalanya.

Arthur heran bagaimana Alfred bisa menyiapkan semuanya secepat ini. Tapi ternyata Arthur tidak perlu bertanya. Eliz telah menceritakan semuanya sambil mendandani Arthur.

"Alfred datang beberapa hari lalu dan menyuruhku menyiapkan semuanya―ia berkata kau pasti setuju."

Ah ya. Tuan pemaksa itu pasti melakukan segala cara untuk memenuhi keinginannya. Termasuk untuk Arthur agar mau menikah dengannya.

Orang tua Alfred ternyata juga pemberontak. Merekalah yang mula-mula mendirikan benteng ini.

Selama bertahun-tahun mereka mengobarkan semangat rakyat untuk melawan pemerintah Raja Spades yang kejam. Sayang Raja Spades berhasil menangkap mereka. Ia menjatuhkan hukuman mati pada mereka.

Saat itu Alfred baru dua belas tahun. Dan, sejak itu pula ia memulai pemberontakan terhadap Raja Spades. Ia menyempurnakan benteng yang dibangun orang tuanya. Untuk menghidupi rakyat yang tinggal di sini, ia sering menyerbu pasukan kerajaan yang bertugas menarik pajak.

Tindakannya membuat rakyat mencintai dan menghormatinya. Tapi juga membuat Raja Spades murka. Raja memerintahkan prajuritnya menangkap Alfred. Tapi, ia tidak pernah berhasil. Mata-mata Alfred banyak. Banyak yang mau memberitahunya bila ada yang Raja rencanakan untuk menangkapnya.

Selama bertahun-tahun Alfred menjadi buronan Raja tanpa pernah sekali pun tertangkap. Alfred terus menyempurnakan strateginya agar Raja kewalahan. Semua orang membenci Raja Spades. Raja tega memeras rakyatnya dengan bermacam-macam pajak yang tinggi hanya untuk memperkaya dirinya sendiri. Ia bahkan tega membunuh siapa saja yang berani mengatakan 'tidak' padanya.

Semua orang berharap Raja Spades segera mati dan Alfred naik tahta. Mereka tidak mengharapkan orang lain selain Alfred.

Eliz memberinya serangkaian bunga hutan yang indah. Melengkapi penampilannya.

"Kau terlihat mempesona, Arthur."

Arthur tidak menanggapi. Ia membiarkan Eliz membimbingnya ke ruang tengah tempat Alfred telah menantinya. Alfred tampak sangat tampan dalam jas hitamnya yang halus.

"Kau cantik, Artie," bisik Alfred lembut ketika menggandeng Arthur menghadap Pastor.

Artie…

Arthurtidak tahu bagaimana Alfred bisa menyiapkan segalanya secepat jalannya upacara pernikahan. Arthur juga tidak mengerti mengapa Alfred seperti menyembunyikan pernikahan mereka. Kalau ia memang membutuhkan tambahan dukungan, ia pasti akan mengundang orang banyak dalam upacara ini. Tapi yang ada di sini hanyalah mereka, Eliz, Gilbert―yang tersenyum-senyum seperti orang gila, dan sang pastor.

"Prince!"

Upacara terhenti karena panggilan yang penuh kecemasan itu.

Gilbert segera bertindak dengan membuka pintu. Ia berbicara sebentar dengan orang itu lalu membisikkan sesuatu pada Alfred.

"Maafkan saya, Bapa, tampaknya kita terpaksa menghentikan upacara ini untuk sejenak."

"Silakan," jawab Pastor itu.

Alfred segera menemui orang di luar itu.

Arthur menatap Gilbert dengan penuh ingin tahu.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi," kata Gilbert.

Sesaat kemudian Alfred masuk kembali. Ia tampak sangat cemas.

Arthur ingin tahu masalah apa yang membuat Alfred menunda hal yang paling didesakkan padanya itu.

"Maafkan aku, ada urusan yang harus segera kutangani," kata Alfred pada Arthur.

"Maafkan kami, Bapa, tampaknya kita tidak bisa melanjutkan upacara ini. Ada masalah mendesak yang harus saya lakukan."

"Silakan," kata Pastor.

Gilbert segera mengikuti Alfred.

Arthurmemandang Pastor lalu pada Alfred yang menghilang di balik pintu. Terakhir pada Eliz.

"Sepertinya ada masalah penting yang sangat mendesak," kata Eliz.

"Entahlah," kata Arthur.

Arthur segera kembali ke kamarnya dan mengganti pakaiannya.

Ketika berada di luar, Arthur melihat Alfred berbicara dengan serius dengan beberapa orang. Dari kejauhan tampak Alfred sangat cemas. Arthur tidak tahu apa yang terjadi, ia hanya berharap semuanya baik-baik saja.

"Kita diserang." Arthur terkejut mendengar pernyataan penuh kekhawatiran itu dari Alfred. Orang yang sama yang membisikan panggilan sayang dengan lembut di telinganya beberapa saat lalu.

"Apa maksudmu?" tanya Arthur heran.

"Pasukan kerajaan mengepung kita. " ujar Alfred kesal.

"APA!?" pekik Arthur kaget.

"Mereka bergerak menyerbu ke tempat ini," Alfred mengulangi beritanya.

"Kurang ajar," desis Arthur murka.

"Mau ke mana kau?" Alfred menahan Arthur.

Arthur menepiskan tangan Alfred dan berlari ke kuda yang dilihatnya. Arthur segera melompat ke atas kuda dan memacunya secepat mungkin. Arthur membelokkan kudanya saat beberapa orang mencoba menahan lajunya dan kemudia di memacu kudanya kuat-kuat menerobos hutan.

Alfred meninggalkan bawahan-bawahannya dan segera melompat ke atas kuda.

"Prince!" seru mereka.

"Teruskan penyerbuan tanpa aku!" perintah Alfred. Alfred memacu kudanya secepat mungkin. Ia melihat Arthur di depannya. Pemuda itu dengan lincah mengarahkan kudanya melewati ranting-ranting pohon. Tangannya yang satu sibuk melindungi wajahnya dari debu dan tangannya yang lain memacu kudanya cepat-cepat. "Kepala batu!" teriak Alfred.

Arthur terus memacu kudanya.

Alfred berusaha memperpendek jarak mereka tapi tiap kali ia berhasil, jarak mereka kembali menjauh. Alfred geram melihat ketangkasan Arthur dalam mengendalikan kudanya. Pemuda itu seperti tahu apa yang harus dilakukannya agar jarak mereka tetap jauh.

"Berhenti!" Angin membawa pergi teriakan Alfred.

Samar-samar Arthur dapat mendengar langkah kuda di belakangnya. Ia juga mendengar teriakan-teriakan Alfred, tapi ia tidak mau berhenti. Arthur terus mempercepat kudanya sambil berdoa ia tidak terlambat.

Hampir dua bulan Arthur berada di tempat ini. Waktu itu sudah lebih dari cukup baginya untuk mengenali kawasan hutan ini. Ia tahu jalan terpendek untuk memutus laju kedua kubu itu sebelum mereka bertemu.

Arthur tidak mau ada perang. Ia membenci segala yang berbau perang.

Cepatnya laju kuda Arthur membuat rambut pirangnya semakin berantakan, Arthur tak peduli. Ia hanya ingin segera tiba.

"Berhenti, kepala batu!"

Arthur semakin mempercepat kudanya. Saat ini tidak ada lagi yang dipedulikannya selain mencegah pecahnya perang antara kedua musuh ini.

Dari kejauhan Arthur melihat kedua pasukan itu bergerak mendekat dengan cepat dari jarak sekitar limaratus meter.

Dalam hati Arthur terus berdoa ia bisa tiba sebelum terlambat.

Setelah melewati rimbunan pohon, Arthur segera membelokkan kudanya ke arah pasukan kerajaan.

"Mundur!" teriak Arthur sambil memberi tanda dengan tangannya.

Tiga puluh meter di belakang Arthur, Alfred mendengar pemuda itu terus meneriakkan kata "Mundur" sambil memberi tanda dengan lambaian tangannya.

Arthurkesal melihat pasukan itu tidak juga berhenti bergerak. "AKU PERINTAHKAN TARIK PASUKAN!" Arthur berteriak sekuat tenaganya.

Alfred memperlambat laju kudanya melihat pasukan kerajaan tiba-tiba berhenti bergerak. Tetapi, Arthur terus memacu kudanya ke arah pasukan kerajaan.

Dengan gerak tangannya, Alfred memerintahkan pasukannya berhenti. Dari tempatnya, Alfred melihat Arthur terus memacu kuda menerobos puluhan ribu pasukan kerajaan itu. Pasukan yang terdepan segera berbelok mengikuti Arthur. Tak seorang pun di antara mereka pernah melihat para pasukan yang bergerak mundur dengan teratur dan indah itu. Cara mundur mereka unik. Mirip segerombol penari yang berbelok secara teratur dari depan hingga yang terakhir.

Dengan bubarnya pasukan kerajaan, Alfred pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.

"Ia pasti mata-mata," komentar itu yang pertama kali terlontar dari mulut Kiku setelah mengetahui apa yang terjadi. Pemuda itu tersenyum sinis.

"Itu tidak mungkin,"sergah Alfred, "Jangan lupa, ia adalah pelayan kesayangan calon raja. Pasti mereka datang untuk menyelamatkannya."

"Tapi sekarang ia bersama mereka, Prince," potong Ludwig, "Ia pasti akan membocorkan tempat ini pada mereka."

"Sudah aku bilang, itu tidak mungkin." Alfred memperingati dengan tajam, "Ia tidak suka perang."

"Dia―"

Gilbert segera menutup mulut Ludwig, sang adik. "Sebaiknya kau diam saja, West. Arthur bukan pemuda seperti itu. Ia pasti melakukan semua ini untuk menghindari perang. Pasti!" Gilbert menegaskan.

-o0o-

"Beraninya kalian," geram Arthur murka.

Pemuda itu menatap tajam setiap orang di depannya. Ia seperti akan menelan mereka semua dengan matanya. Semua orang menunduk ketakutan. Tak seorang pun yang berani menatap Arthur apalagi menentangnya.

"Siapa yang menyuruh kalian melanggar perintahku!"

Tak seorang pun yang berani membuka mulut.

Arthur menyilangkan tangan di depan dadanya dan menatap tajam satu per satu prajurit di hadapannya. Ia menanti munculnya orang yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan ini. Tak seorang pun luput dari tatapan murka Arthurdan tak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya.

"Saya yang memerintahkan mereka, Yang Mulia."

"Francis! Beraninya kau melanggar perintahku!" bentak Arthur. "Aku memerintahkan kalian diam di tempat sampai aku datang!" Arthur menatap sosok sang jendral dengan penuh kemurkaan.

"Ini karena saya mengkhawatirkan keselamatan Anda, Yang Mulia. Anda berada di sana lebih lama dari yang Anda janjikan. Saya khawatir mereka melukai Anda. Karena itu, saya meminta Roderich menyiapkan pasukan untuk menyerang mereka."

Arthur menghela napasnya. Ia memandang semua orang yang berada di sana, semuanya menundukkan kepala mereka. Dan Arthur seketika tersadar dengan kelakuannya barusan. "Maafkan aku―"

"Yang mulia―"

"Maafkan aku," Arthurmengumumkan penyesalannya dengan ketegasan yang lembut, "Seharusnya aku tahu kalian mengkhawatirkan aku. Aku tidak pantas memarahi kalian."

"Anda adalah Raja kami dan kami adalah bawahan Anda. Sudah sepantasnya jika―"

"Lupakan. Aku mengakui kesalahanku dan aku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi," kata Arthur, "Karena aku sudah tahu mengapa kalian melanggar perintahku, aku pun ingin kalian tahu mengapa aku marah-marah. Aku mengkhawatirkan kalian juga. Aku tidak ingin seorang pun di antara kalian mati hanya karena aku. Aku tahu bagaimana perasaan keluarga kalian bila kalian gugur karena aku. Cukup sekali saja aku mengorbankan nyawa orang."

"Maaf yang mulia―"

"Sudahlah. Kalian bisa bubar sekarang," Arthur menutup pertemuannya, "Karena aku sudah berada di sini, kita bisa kembali ke Ibu kota. Kalau tidak ada halangan, kita kembali sore ini." Arthur tersenyum. "Kalian bisa melakukan yang lain sampai saatnya tiba."

Paraprajurit bersikap tegap dan secara serempak memberi hormat pada Arthur kemudian mereka bubar.

"Anda juga harus beristirahat, Yang Mulia."

"Tidak, Roderich. Banyak yang harus kukerjakan."

"Anda akan membuat kami berada dalam kesulitan jika Anda tak beristirahat, Yang Mulia."

Arthur tertawa. "Aku yakin Yao telah memberi kalian ancaman."

Francis dan Roderich mengawal Arthur ke tenda besar yang ada di tengah-tengah kumpulan tenda itu.

Seorang pemuda muda―anak-anak?―muncul dari dalam tenda untuk menyambut Arthur. "Selamat beristirahat, Yang Mulia," katanya.

Arthur tersenyum dan memasuki tenda. "Terimakasih, Peter." Katanya.

-o0o-

Arthur mendesah panjang.

Semuanya tepat seperti yang diduganya. Seperti dulu, mereka menjemputnya dengan segala sesuatu yang lengkap dan mewah. Kereta kuda emas, pakaian mewah serta pelayan-pelayan. Semua disiapkan khusus untuknya, Yang Mulia Raja Kerajaan Spades.

Siapa yang menyangka pemuda miskin sepertinya tiba-tiba menjadi penerus Raja? Arthurpun tidak pernah menginginkannya apalagi memimpikannya. Hal ini memang mustahil. Pemuda yang hidupnya selalu kekurangan tiba-tiba diangkat menjadi Raja sebuah kerajaan besar. Tapi apa yang terjadi pada Arthura dalah nyata. Sekarang Arthur menjadi pemuda kaya. Melebihi kekayaan setiap orang di kerajaan ini.

Keajaiban ini terjadi padanya karena darah biru yang mengalir padanya. Darah biru yang mengalir padanya sangat kental dan bercahaya.

Ibu maupun ayahnya bukan orang biasa. Mereka adalah Raja dan Ratu dari Kerajaan Spades.

Dan itu menjadikannya―sang pewaris tahta yang sesungguhnya.

Arthur mendesah panjang. Melihat keluar jendela dari kereta kuda yang membawanya. Tiba-tiba teringat pada sosok Alfred. Di dalam sudut hatinya ia merindukan petengkarannya dengan pemuda itu.

Arthur menggelengkan kepalanya.

Git, apa yang aku pikirkan?

To be Continued