Title: When Love Comes

Warning: AU. OoC. Cardverse!UsUK

-o0o-

Matahari bersinar terik. Sinarnya yang angkuh membuat udara sekitar menjadi panas tak tertahankan. Arthur telah terlindung dari panas yang menyengat itu, tapi sekujur tubuhnya tetap basah dan lengket oleh keringat.

Dari jendela kereta, ia dapat melihat prajurit-prajurit yang mengawalnya. Arthur heran. Dengan baju besi yang tebal, mereka sama sekali tidak terlihat kepanasan. Di dalam sini saja ia merasa seperti berada di tungku, apalagi di luar?

Udara panas membuatnya jengkel.

Memang, semua orang di sekitarnya pasti mau mengipasi dirinya agar ia merasa sejuk, tapi tetap saja percuma. Ia telah mengipasi dirinya dengan kipas bulunya, tapi yang terkipas hanyalah udara panas. Belum lagi, bajunya yang tebal. Baju semewah ini memang selalu ia impikan, tapi tidak untuk saat ini–baju ini adalah sebuah mimpi buruk. Arthur bersumpah bila ada yang memaksanya mengenakan baju bangsawan yang tebal semacam ini di musim panas lagi, ia akan menolak mentah-mentah tanpa harus berfikir.

Ia merasa heran mengapa para bangsawan mampu mengenakan baju setebal ini di hari yang panas. Beginilah kalau pemuda miskin tiba-tiba mengenakan pakaian formal yang berlapis-lapis. Ia terbiasa mengenakan selapis pakaian dari katun yang kasar. Di udara sepanas apa pun, ia merasa nyaman dengan pakaiannya.

Mungkin karena itulah, sekarang ia benar-benar merasa tidak nyaman.

Kalau saja saat ini ia melihat danau atau sungai, ia pasti akan meloncat masuk tanpa berpikir panjang. Ia benar-benar tersiksa dengan panas yang menyengat ini.

Arthur merasa tertipu. Mereka berhasil membujuknya dan kini ia menderita karenanya.

"Kami mohon demi menyelamatkan―"

Arthur mendengus kesal teringat kata menyelamatkan itu. Siapa pun yang akan dia selamatkan, dia tidak peduli lagi. Saat ini untuk menyelamatkan diri sendiri dari panas saja, ia tak mampu. Apalagi menyelamatkan yang lain!?

Mata hijau miliknya menyendu.

Menyelamatkan―

Demi kata itulah ia rela meninggalkan tempatnya yang hijau permai dan subur ke daerah yang panas seperti padang pasir ini.

Belum genap dua puluh empat jam ia pergi, dan kini ia sudah merindukan rumah. Di tempatnya, angin meniupkan daun-daun tetapi di sini, sejauh mata memandang hanya debu saja yang terlihat. Memang tempat tujuannya masih jauh di depan sana, pelayan di sampingnya berkata mereka akan sampai sore nanti―itupun jika perjalanan mereka memang tanpa kendala. Arthur hanya bisa berharap tempat tujuan mereka tidak akan lebih buruk dari ini.

Arthur mendengus.

Ia kurang menyukai aksesoris berupa topi kecil di kepalanya. Selain itu sepertinya dia butuh mandi dan― "WHOA!"

Kereta terhuyung tak stabil beberapa saat―bersama suara pekikan keras kuda penarik di luar sana, lalu tiba-tiba saja berhenti.

"Ada apa?" Arthur bertanya kaget pada pelayan di sampingnya, ketika suara gaduh lain terdengar di luar, yang semakin lama semakin jelas. Arthur mengenali suara apa itu. Itu adalah suara pedang yang beradu. Itu pastilah para pemberontak dan sedang ada pertempuran di luar sana!

Baru saja ia akan menengok lewat jendela kereta, sebuah tangan bergetar menahannya. Itu adalah tangan dari pelayan di sampingnya. Ia bisa melihat wajah pelayannya itu sudah sepucat kertas.

"J-jangan lakukan itu! Di luar terlalu bahaya."

Arthur mendengus, ingin berkata jika ia sudah tahu situasinya dan itu adalah pemberitahuan tidak penting, tapi pada akhirnya ia hanya menyingkirkan tangan itu. Melalui jendela pintu kereta, Arthur mengintip. Melihat pengawal-pengawalnya jatuh satu per satu. Mereka semua bersimbah darah. Lalu, tiba-tiba seseorang muncul di jendela dan mengejutkan mereka. Mulut orang itu berdarah dan ia membelalak pada mereka. Perlahan-lahan tubuh sosok itu merosot terkapar di samping roda kereta, terkapar tak bernyawa bersama tubuh-tubuh sosok lain.

Pemandangan itu membuatnya tidak tahan lagi.

Tanpa menghiraukan larangan dan hal lain, ia membuka pintu kereta lebar-lebar dan melompat keluar.

Apa yang dilihatnya ternyata lebih mengerikan dari perkiraannya. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah merah segar membanjiri tanah.

"Masuklah kembali," pelayan yang mengikutinya turun itu memohon, sambil menarik lengan bajunya, "Di sini terlalu bahaya untuk―"

Bruk!

Mereka dikejutkan dengan seseorang yang rubuh tepat di pelukan Arthur. Prajurit itu seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi belum sempat ia mengatakannya, sebuah pedang telah menancap di punggungnya.

Mata hijau itu melotot.

Arthur tertegun merasakan prajurit itu memuntahkan cairan merah pekat ke bahunya, sebelum menyandar sepenuhnya pada tubuhnya, kehilangan kekuatannya―juga nyawanya.

Pedang perak itu dicabut perlahan, kemudian ditaruh dengan santai di atas bahu seorang sosok pemuda di atas sebuah kuda putih. Tidak ada penyesalan apapun di wajah itu. Seakan apa yang baru diperbuat hanyalah hal sepele seperti membunuh seekor lalat pengganggu.

Dengan tangan gemetar Arthur mendudukkan sosok tak bernyawa itu di tanah, menyandar pada kereta kuda di belakangnya. Tak dipedulikan suara sang pelayan yang masih mencoba menariknya menjauh, ditatapnya dengan marah orang itu. "Beraninya kau melakukan itu!" Arthur menggeram murka, "Dasar tidak punya belas kasihan!"

Pemuda itu memiringkan kepala sedekit lalu tersenyum sinis.

Kemarahannya semakin memuncak. "Apakah menurutmu nyawa manusia itu sedemikian murahnya!? Apakah bagimu nyawa itu tidak ada harganya!? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya!?" Arthur menjerit dengan nada tinggi, hingga tenggorokannya sakit.

Pemuda itu terkejut melihat air mata di pipi pemuda itu.

"Apakah kau tidak dapat berpikir, git!? Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya? Apakah kau tidak dapat berpikir betapa sedihnya mereka kalau ia pulang hanya nama!?"

Dari atas kudanya, pemuda itu membungkuk. Tangannya terulur ke wajah Arthur tapi ia menepisnya dengan penuh kemarahan. Pemuda itu tertawa sinis.

Sang pelayan memegang lengan Arthur dengan ketakutan. "S-sebaiknya kita tidak membuatnya marah," bisiknya.

"Siapa yang mengatakan aku tidak punya belas kasihan?" Pemuda itu tiba-tiba berkata, kemudia memasukkan pedang perak panjangnya pada tempatnya. "Kalian beruntung, karena aku tidak membunuh kalian."

Arthur membuang muka kesal, mengusap air mata di pipinya dengan ujung lengan dari pakaiannya.

Pemuda itu tersenyum simpul. Lalu―

HAP!―

Arthur terkejut tiba-tiba tubuhnya diangkat.

"Lepaskan aku!" serunya marah, "Aku tidak sudi kausentuh, git! Lepaskan aku!"

Pemuda itu lagi-lagi hanya tersenyum sinis menghadapi rontaan Arthur―yang beban tubuhnya bahkan tak lebih berat dari sekarung beras―sebelum mendudukkan tubuh pemuda itu tepat di depannya. "Sekarang kau adalah tawananku."

Mata hijau itu kembali membulat. Rontaannya berhenti sesaat sebelum kembali menjadi dua kali lebih brutal. "Aku tak sudi menjadi tawanan pembunuh sepertimu, eejit! Turunkan aku!"

"Kembalilah pada keluarga majikanmu dan katakana pada mereka dia kini menjadi tawananku," kata pemuda itu sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Arthur, tak memperdulikan penolakan yang ia peroleh. "Mundur!" perintah pemuda itu lalu ia membawa kudanya berlari ke dalam hutan. Diikuti sosok-sosok asing disekitarnya yang juga mulai menghilang, di telan pepohonan hutan.

Pelayan itu terpaku di tempatnya, jatuh terduduk di tanah. Semua terjadi sangat cepat. Ia masih sukar mempercayai apa yang baru saja dialaminya.

-o0o-

"Lepaskan aku!" bentak Arthur.

Pemuda itu tak bergeming. Ia terus memacu kudanya secepat mungkin menjauhi tempat perkelahian tadi.

"Lepaskan aku!" bentak Arthur.

Pemuda itu masih tak bergeming.

"Aku bilang―" Arthur menarik nafasnya dalam-dalam. "LEPASKAN AKU SEKARANG, GIT!"

Kuda yang mereka tumpangi bergerak gelisah sesaat sebelum pemuda itu bisa menjinakkannya kembali. Helaan nafas lega terdengar setelahnya. Pemuda itu sudah cukup jengkel mendengarkan rengekan dan menghadapi kekeraskepalaan pemuda yang menjadi tawanannya itu sedari tadi. "Sebaiknya kau diam atau aku akan meninggalkanmu di sini." Ancamnya.

Arthur tidak takut pada ancaman itu. "Lebih baik ditinggal di sini daripada duduk di dekat pembunuh sepertimu, git!"

Pemuda itu kembali tersenyum sinis dan malah semakin mempererat pelukan, saat ia memacu kuda lebih cepat.

Arthur marah besar. Ia membenci tubuhnya yang kurus kecil. Kalau ia gemuk, pemuda itu takkan dengan mudah mengangkatnya ke kudanya. Kuda itu juga pasti kelelahan berlari sambil membawanya.

"Dasar pengecut!" gerutunya. "Dasar tidak sopan!"

Melihat pemuda itu diam saja, Arthur semakin gencar melontarkan kejengkelannya. "Pembunuh! Sadis! Tidak tahu aturan! Kasar! Tidak punya hati! Penakut! Licik! Kejam!"

Kediaman pemuda itu membuat Arthur semakin bersuka ria dengan kejengkelannya. Ia semakin lantang menyemburkan ejekan-ejekannya.

"Manusia berdarah dingin, amoral, asusila, penipu, penakut, lemah, lamban―"

Orang-orang yang mengikuti mereka terheran-heran mendengar serentetan kata yang terus meluncur dari mulut mungil itu.

Perhatian mereka membuat Arthur semakin senang dan bersemangat untuk meneruskan.

"Penculik. Tidak punya hati. Kasar―"

Segala macam kata yang terlintas di benaknya, disebutkannya begitu saja. Ia tidak peduli apakah ia sudah mengatakannya. Ia juga tidak peduli pada orang-orang yang semakin tertarik mendengarnya.

Bahkan, ia tidak lagi mempedulikan pemuda di dekatnya yang diejeknya tanpa henti.

"Payah. Tuli. Bodoh―"

"Cukup!" akhirnya kesabaran pemuda itu habis.

Kata-kata yang penuh kemarahan itu tidak membuat si pemuda tawanan diam. Ia terus mengoceh tanpa henti.

"Lemah. Tidak berguna―"

"Apakah ejekan-ejekanmu itu belum cukup?"

"Belum!" sahut Arthur lantang. "Kau memang manusia kejam yang berdarah dingin dan pengecut! Kau pembunuh paling kejam dari yang terkejam! Kau lebih kejam daripada si serigala itu!―"

"AKU BILANG CUKUP!" bentaknya tak mau kalah. Nafas pemuda itu memburu, kemarahannya mulai tersulut. "Kalau kau tidak mau diam, aku akan menunjukkan padamu bagaimana kejamnya aku."

"Lakukan saja dan aku akan menganggap kau tidak pantas menjadi pahlawan rakyat!" tantang Arthur.

"Bungkam saja dia, Alfred!" pemuda lain dengan rambut keperakan memanasi.

Pemuda yang dipanggil Alfred, tersenyum kecil. "Jangan khawatir, Gill, aku masih bisa menanganinya."

"Lakukan kalau kau bisa! Kau takkan bisa membungkamku," ucap Arthur, penuh nada sombong.

"Kau menantangku?"

Mata hijau berkilau bak batu emerald Arthur bersirat tajam. Sinar matanya menampakkan kemarahannya yang meluap-luap. Wajahnya menantang penuh keberanian.

Alfred tersenyum kejam. Matanya seperti menyimpan rahasia yang sangat kejam.

"Kaupikir aku takut dengan tatapanmu itu?" ejek Arthur, "Tatapan milik pengecut sepertimu tidak patut ditakuti! Kau hanya berani menculik orang untuk dijadikan sandra dan membunuh yang tak berdaya! Kau tidak pantas menjadi pejuang rakyat!"

"Kau yang membuatku melakukannya, jangan salahkan aku," desis Alfred kejam. Lalu―

BUGH―

Suatu hantaman keras mengenai perut Arthur.

Arthur terkejut. Ia sama sekali tidak menduga pemuda itu berani meninju perutnya. Arthur menatap Alfred dengan penuh kemarahan dan mendesiskan kata "Pengecut!" dengan geram sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.

"Akhirnya dia diam juga," kata Gillbret, yang kini menyamai langkah kuda Alfred, "Kukira aku harus mendengar ocehannya sepanjang jalan. Tak kukira ada yang lebih cerewet dari Eliz. Tapi aku lebih tak menduga kau akan membungkamnya dengan cara seperti itu. Itu sangat awesome, man." Pemuda berambut perak itu tertawa.

"Aku juga tidak mau, Gill. Tapi orang-orang seperti dia sekali-kali harus diberi pelajaran agar tidak angkuh seperti itu."

Gillbert menatap Arthur yang kini tergolek lemas di pelukan Alfred. "Kalau ia diam seperti ini, ia kelihatan manis," katanya sambil nyengir.

"Mulutnya lebih tajam dari pisau manapun," bantah Alfred.

"Kalau orang melihatnya saat ia seperti ini, ia takkan menduga kalau pemuda ini punya ratusan, ribuan bahkan mungkin jutaan kata yang lebih tajam dari pisau."

Alfred tiba-tiba tertawa. "Dia pasti titisan bajak laut," katanya.

-o0o-

Arthur terbangun oleh rasa sakit di perutnya. Samar-samar ia ingat seorang pemuda menaikkannya dengan paksa ke atas kuda, kemudian membawanya pergi. Pemuda itu pula yang menawannya dan meninjunya.

Kemarahannya bangkit lagi ketika teringat kekasaran dan kekejaman pemuda yang bernama Alfred itu. Sekarang tidak hanya perutnya yang sakit. Sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.

Dalam kegelapan yang pekat ini, Arthur sulit mengenali posisinya. Tetapi, Arthur dapat merasakan dinding dan lantai batu yang menjadi sandaran tubuhnya.

Arthur merasakan perih di pergelangan tangan dan kakinya. Tanpa perlu melihatnya, Arthur yakin ia diikat kuat-kuat.

Arthur tersenyum sinis. "Rupanya ia takut aku kabur," katanya pada dirinya sendiri dengan penuh kepuasan. Dengan tangan dan kaki terikat kuat-kuat, Arthur mencoba duduk. Walau tangannya terasa perih setiap ia menggerakkannya, Arthur tak mau menyerah.

Setelah berhasil mendudukkan dirinya, Arthur menempelkan telinga di dinding dan mencoba mengenali suasana di luar.

Arthur jengkel. Ia sama sekali tidak dapat mendengar apa-apa. Rupanya dinding batu itu sangat tebal.

Arthur menarik kedua kakinya merapat ke badannya dan mendesah panjang.

Kemudian dalam heningnya Arthur kembali merenung. Entah untuk alasan apa ia mau melakukan semua ini pada awalnya. Sekarang ia sendiri yang merasakan akibat dari pilihannya. Walaupun ini untuk menyelamatkan orang lain, ia takkan mendapat hadiah atas pengorbanannya ini.

Pintu tiba-tiba terbuka lebar.

Arthur silau melihat cahaya obor yang muncul tiba-tiba di pintu masuk. Samar-samar ia melihat seorang pemuda berdiri di ambang pintu. Berdiri menjulang dengan wajah tersinari cahaya kejinggaan dari obor di tangannya.

"Kau sudah sadar rupanya," pemuda itu mendekatinya, "Baguslah kalau begitu. Sekarang ikut aku, pangeran ingin berbicara denganmu."

Arthur menepis dengan kasar tangan pemuda itu. "Katakan padanya aku tidak sudi menemuinya."

"Kau memang sekasar yang mereka katakan," komentar pemuda itu, "Aku ingin tahu bagaimana kau menghadapi kemarahanku."

"Silakan," kata Arthur sinis, "Aku juga ingin tahu pemuda selemah kau bisa marah seperti apa."

Hinaan Arthur tepat mengenai sasaran. Pemuda itu naik pitam dan berkata lantang, "Aku ingin tahu apakah kau masih keras kepala kalau aku tidak memberimu makan malam."

"Silakan," balas Arthur dengan senyum manis, "Seminggu tidak makan pun tidak masalah bagiku. Sebaliknya, aku semakin senang karena ajal makin cepat mendatangiku. Itu artinya aku tidak perlu berlama-lama berada di dekat orang-orang pengecut seperti kalian."

Arthur mendengar geraman pemuda itu sebelum ia membanting pintu keras-keras. Tapi dia masih mempertahankan sikap tenangnya. Arthur tersenyum puas akan hasil tindakannya. Di saat ia marah seperti ini, tidak ada lagi yang dapat membuatnya gentar. Pemuda itu salah kalau menduga ia akan memohon-mohon bila tidak diberi makan. Mereka semua salah kalau menduga ia akan menderita karena lapar.

Ia bukan orang kaya yang selalu makan kenyang tiga kali sehari. Setiap hari dalam kehidupannya, ia tidak pernah makan kenyang. Bahkan, tidak jarang ia tidak makan selama berhari-hari. Makanan termurah pun bagi keluarganya adalah sangat mahal. Untuk dapat memperoleh semangkuk makanan, mereka harus berusaha mati-matian. Bahkan, sering mereka terpaksa meminjam uang pada tetangga. Atau berburu seharian untuk makan malam hari itu.

Mereka salah kalau mengira ia tidak tahan dengan siksaan seperti ini. Baginya siksaan seperti ini tidak ada sepersepuluh penderitaan yang telah dialaminya.

Kehidupannya jauh lebih menderita daripada duduk terikat seperti ini. Satu hari baginya bisa terasa seperti satu musim kemarau panjang.

Walau ia tidak bebas setidaknya ia tidak perlu mengkhawatirkan atap rumah yang seperti akan terbang bila tertiup angin, dinding kayu yang siap roboh sewaktu-waktu, ataupun atap rumah yang selalu bocor dalam hujan deras.

Keadaan Arthur saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Dulu ia tidak punya bantal yang empuk untuk tidur mau pun kasur yang nyaman. Kini pun ia tidak punya tetapi baju tebalnya masih dapat digunakannya sebagai alas tidur sekaligus bantal.

Duduk di atas lantai batu dengan pakaian tebal ini, Arthur merasa seperti duduk di kursi yang agak empuk.

Ya, benar. Arthur sedang menghibur dirinya. Dan memang beginilah cara dia.

Arthur menutup matanya dan tersenyum puas. Ia ingin tahu sampai sejauh mana mereka menelantarkannya.

Mereka tahu perannya sangat penting untuk menekan kekuasaan Raja Spades yang kejam. Tetapi mereka tidak tahu ia bukan sang pangeran bangsawan yang mereka incar itu. Ia hanya berperan sebagai dia.

Saat ini sang pangeran sedang bersenang-senang di kerajaannya dan mungkin sedang berpesta. Pangeran yang dikabarkan menjadi pengganti Raja Spades itu sangat penting bagi para pemberontak ini untuk menekan Raja Spades, tirani yang kejam.

Selama mereka tidak tahu siapa dia, mereka pasti tidak berani menelantarkannya. Mereka pasti tahu menelantarkannya sama saja dengan menggagalkan rencana mereka yang bagus.

Arthur benar-benar puas menyadari semua kunci penting dalam rencana mereka ada padanya. Ia puas dapat dengan leluasa menumpahkan semua kemurkaannya atas kekejian mereka yang telah membunuh pengawal-pengawalnya.

Mereka boleh saja membenci Raja Spades, tetapi mereka tidak berhak membunuh bawahan Raja Spades. Para prajurit itu belum tentu menyanjung Raja sepenuhnya. Kalau bukan demi nyawa dan keluarga, mereka pasti telah melawan Raja.

Raja Spades memang kejam tetapi belum tentu bawahannya juga kejam. Mereka bertindak menurut perintah Raja yang jauh lebih kejam dari serigala itu. Raja yang tega membunuh putra kandungnya sendiri.

Arthur tidak dapat memaafkan Alfred dan teman-temannya yang ternyata sama kejamnya dengan Raja Spades.

Kemarahannya akan mempersulit mereka mencapai tujuannya. Arthur tidak akan membuat segalanya menjadi mudah bagi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman mereka.

Arthur tersenyum sinis―

Tidak ada seorangpun yang boleh meragukan kekeraskepalaan miliknya.

-o0o-

Suara ramai di luar membangunkan Arthur dari tidurnya. Udara pagi yang sejuk membuat Arthur merasa lebih segar. Tetapi udara dingin itu tidak dapat menyurutkan api kemarahan di dada Arthur.

Cahaya matahari pagi menerobos jendela kecil menembus kegelapan ruang kecil yang lembab itu.

Dengan susah payah, Arthur berusaha berdiri dan mengintip suasana di luar melalui jendela kecil yang hanya cukup bagi sepasang mata untuk mengintip ke luar itu.

Arthur tersenyum sinis melihat terali jendela yang rapat dan kokoh itu. "Mereka benar-benar khawatir aku kabur," katanya sinis.

Pemandangan di luar yang dilihatnya berbeda dengan bayangannya. Orang-orang tua muda, laki-laki wanita berlalu lalang di luar. Yang wanita sibuk membuat sarapan dengan tungku api unggun. Sementara itu para pemuda menyerahkan hewan-hewan hasil buruan mereka untuk dimasak. Anak-anak berlari-lari dengan senang.

Tenda-tenda tempat mereka tidur tampak rapuh. Peralatan masak mereka yang sederhana menunjukkan sulitnya hidup mereka. Baju mereka kusam, compang-camping bahkan kekecilan. Semua itu menampakkan kemiskinan mereka.

Arthur mendesah panjang.

"Kau puas melihat mereka?"

Arthur memalingkan kepala mendengar kata-kata sinis itu tetapi ia segera membuang pandangannya ketika mengetahui Alfred yang mengajaknya bicara. Daripada berbicara dengannya, Arthur lebih senang mengawasi kehidupan mereka yang jauh lebih menderita dari dirinya sendiri.

"Kau memang keras kepala. Tidak salah kalau Ludwig tidak memberimu makan malam," kata Alfred sinis, "Aku benar-benar ingin tahu sekeras apa kepalamu itu."

Arthur tidak takut menghadapi ancaman itu. Ia menghadap Alfred dan tersenyum manis.

Alfred menggeram, merasa terhina karena ancamannya dianggap remeh. "Jika itu maumu," Alfred berbicara dengan nada rendah. "Mari kita lihat saja sebera kau akan bertahan dengan semua keangkuhanmu itu." Mata biru shappire itu berkilat, menunjukkan seberapa serius kata-kata yang barusan ia ucapkan.

Arthur tidak dapat menahan tawanya mendengar ancaman itu. Baginya yang saat ini sedang murka, ancaman itu hanya angin sepoi-sepoi yang meniup wajahnya. "Wanker," ujarnya santai.

Arthur cukup yakin jika mereka tidak akan menelantarkannya. Mereka cukup pintar untuk mengetahui pentingnya dirinya dalam rencana mereka. Ia adalah pion penting untuk men-skakmat-kan sang raja tirani Spades. Tapi sayangnya, mereka tidak cukup pintar untuk menyadari mereka telah tertipu.

Alfred pergi dengan menutup pintu keras di belakangnya dan itu malah membuat Arthur semakin senang―tertawa hingga suara tawa riangnya bergema di dinding-dinding lembab tempat ia ditawan. Arthur puas bisa membuat Alfred marah besar. Ia puas dapat membalaskan dendamnya.

Kemudian, setelah ia sudah berhasil menghentikan tawanya, barulah samar-samar Arthur mendengar suara ribut di luar. Ia tahu orang-orang itu mengira ada yang tidak beres dengan dirinya tetapi ia tidak peduli.

Walau ia terikat, bukan berarti ia tidak bebas untuk mengatakan apa yang ada di hatinya. Ia dibesarkan sebagai burung yang bebas terbang ke mana saja. Ia ditempa dalam suasana yang serba sulit. Ia dibentuk menjadi pemuda kuat yang tak kenal takut.

Tidak seorang pun yang dapat mengikatnya, termasuk tali kasar yang terbuat dari sabut kelapa ini. Simpul ikatan di kaki maupun tangannya sangat erat dan terlihat sukar dibuka. Tetapi, Arthur tidak mau putus asa sebelum mencoba.

Dengan gerak tangannya yang terbatas, Arthur berusaha melepaskan ikatan kakinya yang menyiksa kulit kakinya. Tangannya terasa perih tiap kali ia menggerakkannya tetapi Arthur tidak mau berhenti berusaha.

Pekerjaan yang mula-mula terasa membosankan lama kelamaan mejadi kesibukan yang menyenangkan Arthur. Ia merasa seperti bermain dengan teka-teki yang rumit.

Kekasaran mereka padanya membuat Arthur semakin ingin mempersulit mereka.

Arthur merasa kepanasan. Ia menyeka keringat di dahinya. Saat itulah jeritan kecil terlontar dari mulutnya. Arthur terpana melihat darah di tangannya. Usahanya untuk membuka ikatan kakinya ternyata membuat pergelangan tangannya terluka oleh tali kasar itu.

Dipandanginya darah yang masih mengalir itu. Dalam hati ia berkata, "Mereka terlalu khawatir hingga bertindak sekejam ini."

Lagi. Arthur mencoba menghibur dirinya.

Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menanti matahari yang menyinari ruangan itu mengeringkan darahnya.

Arthur bersandar di dinding sambil mengawasi darahnya yang perlahan-lahan mengering dan meninggalkan noda di pakaiaannya. Noda darah kering di kain sutra sangat sulit dihilangkan. Mereka pasti marah karenanya. Pakaian mewah ini telah ternoda oleh darahnya.

Arthur mengejek dirinya sendiri yang mau melakukan semua ini. Pengorbanannya yang besar ini tidak akan mendapat hadiah apa-apa tetapi ia mau dan tengah melakukannya sebagian rencananya.

Dalam keheningan itu―sembari dia merasakan rasa sakit di tangan dan kakinya yang terikat, Arthur menyadari keadaan di luar lebih sepi dari tadi. Ia mengintip keluar.

Matahari telah tinggi. Api-api unggun telah dimatikan. Para wanita duduk bergerombol sambil mengerjakan sesuatu. Anak-anak bermain tiada henti. Tetapi, para pemuda tidak nampak seorang pun. Ia bertanya-tanya ke mana mereka pergi.

"Inikah orang yang berani menghina Alfred?"

Arthur membalikkan badan.

Seorang pemuda berkulit pucat dengan wajah dibingkat rambut hitam legam juga poni di kening menatap dingin Arthur, memberikan kesan dengan penuh keangkuhan. Manik serupa kelereng hitam kelamnya menyiratkan rasa jijik. "Kau beruntung Alfred tidak membunuhmu," ujarnya.

"Maaf tapi sepertinya ada salah paham di sini. Karena sebaliknya―" kata Arthur tenang, "Aku justru merasa lebih beruntung mati daripada harus bertemu pemuda sepengecut dia."

"Berani benar kau―" geram pemuda itu, masih dengan nada dingin menusuk miliknya. Kemudian pemuda itu mengulas senyum tipis yang cukup membuat Arthur menggigil. "Baik, aku akan menuruti permintaanmu jika begitu." Kemudian pemuda itu menengokkan sedikit kepalanya ke belakang dan berkata, "Bawa kembali makanannya."

"Tapi, Kiku, kita diperintahkan―"

"Untuk apa kita khawatir," potong pemuda itu tenang, berbalik keluar. "Dia sendiri yang berkata jika dia ingin mati."

"Tapi Alfred―"

"Alfred tidak ada di sini."

Arthur tertawa geli, tawa yang semakin lama semakin mengeras. Tawanya memenuhi ruang kecil itu dan membuat pemuda yang dipanggil Kiku tadi menatapnya lama. Sebelum berbalik―bersama orang dengan nampan tadi―dan memilih untuk tidak peduli lagi, lalu pergi.

Sekali lagi, Arthur, sendirian tertawa hanya ditemani dinding-dinding beku.

-o0o-

Sinar menyilaukan yang tiba-tiba memasuki ruangan itu membuat Arthur terjaga. Arthur yang duduk―tadinya menyandar pada dinding―menegakkan tubuhnya. Tatapannya tidak goyah. Masih sama seperti saat ia pertama kali di bawa ke sini.

"Dasar kau―" pintu di buka lebih lebar dan sosok itu masuk.

Arthur mengenali pemuda berambut perak itu sebagai salah satu pemberontak yang terlibat dalam penculikannya tempo hari.

"Kerjaanmu hanya tidur saja. Sangat tidak awesome."

Arthur tidak menghiraukannya.

Hari ini adalah hari ketiga ia disekap dalam ruangan lembab ini dan artinya sudah dua hari ia tidak makan dan harus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.

Pemuda itu perlahan mendekati tempatnya. Dari tampilannya, Arthur dapat menduga jika ia dan beberapa lainnya pasti baru tiba dari perburuan. Pemuda itu masih menyandang kapak berburunya. Wajahnya tampak kotor dan lelah.

Pemuda itu mendekati Arthur. "Pangeran ingin bertemu denganmu."

Saat ini Arthur mungkin saja kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya digunakannya untuk menahan lapar dan sakit. Tetapi, kemarahannya belum surut. Kemarahan itulah yang membuatnya mampu menempis tangan pemuda itu kuat-kuat.

"Aku tidak sudi!" kata Arthur tajam.

Ia masih Arthur yang keras kepala, sama seperti tiga hari lalu.

Sosok itu berjongkok tepat di depannya, terlihat menggigit bagian dalam sebelah pipinya saat mengamatinya lekat. "Jangan memaksaku bertindak kasar padamu."

Arthur menatap tajam pemuda itu sebagai balasan atas ancamannya.

Gillbert mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Arthur, tapi sekali lagi tangannya tertepis bersamaan dengan Arthur yang memalingkan wajahnya.

Geram, Gillbert meraih dagu Arthur kasar dan mengeratkan cengkramannya. Memalingkan wajah Arthur agar melihat tepat ke arahnya. "Aku serius. Aku bisa saja―"

"Gill," suara seseorang datang dari arah belakangnya.

Arthur menoleh lewat bahu Gillbert dan mendapati Alfred ada di sana.

"Aku hanya menyuruhmu membawakan dia padaku," katanya.

"Ups." Gillbert seketika melepaskan cengkramannya dan berdiri, berbalik pergi. Dia menepuk pundak Alfred saat keduanya berpapasan di dekat pintu. "Kau urus dia sendiri, Prince. Aku akan kembali saat dia tidur, karena sepertinya hanya pada saat itu dia bisa jadi awesome. Kkk~"

"Baiklah serahkan padaku." Alfred menatapnya tajam. "Tapi kau harus berhenti memanggilku dengan sebutan sepertu itu, Gill."

Gillbert pergi sambil mengangguk-angguk tidak jelas. Entah mengerti atau tidak jika perkataan tadi merupakan sebuah ancaman.

Baru setelah sosok itu pergi, Alfred mengalihkan pandang pada Arthur yang duduk tepat di depannya. Ia menghela nafasnya dan menggaruk rambut pirangnya yang tidak gatal. "Sudah kuduga untuk mengatasimu, aku harus turun tangan sendiri," kata Alfred. "Dengar, aku ingin berbicara denganmu."

Arthur membuang muka, tidak bergeming barang sedikit.

"Sebaiknya kau menurutiku, kau sudah merasakan bagaimana akibatnya bersikap congkak seperti itu di depanku."

Sayangnya, Arthur adalah pemuda yang tak kenal takut.

"Kau ini benar-benar―" geram Alfred.

Lalu Alfred mengangkat Arthur. Seperti seseorang memanggul karung beras.

"Turunkan aku, git!" protes Arthur, memukul Alfred dengan sisa tenaga tersisa miliknya. "Turunkan! Aku tidak sudi kau sentuh!"

Alfred tidak mempedulikan teriakan Arthur. Ia terus membawa Arthur hingga menaiki tangga, menuju ke ruangan pribadinya di tingkat dua.

"Turunkan aku!" seru Arthur tanpa henti dalam suara kering. Tangannya yang terikat erat terus memukul dada Alfred dan membuat darah segar kembali mengalir. Tetapi, Arthur tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Alfred menurunkannya.

Akhirnya Alfred menurunkan Arthur. Ia mendudukkan Arthur di tepi pembaringan.

"Sekarang kita sudah jauh dari orang-orang. Di sini tidak akan ada yang mendengar kita, kau bisa mengatakan apa yang membuatmu terus membangkang dan tidak mau bekerja sama."

Arthur tidak mau berbicara apa pun. Ia membuang muka.

"Kau tahu―demi manusia paling sabar di dunia ini―aku ingin berbicara denganmu."

"Dan aku tidak sudi," akhirnya Arthur menyahut.

"Kau harus," kata Alfred berbahaya, "Aku akan membuatmu mau bekerja sama denganku."

"Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengecut sepertimu!" seru Arthur, "Daripada berbicara denganmu, lebih baik kau tidak memberiku makan sama sekali! Dua hari lagi tidak makan, tidak masalah bagiku. Sebaliknya, aku senang. Aku lebih cepat mati."

Alfred tiba-tiba mencengkeram kedua lengan Arthur.

Arthur mendorong tubuh Alfred kuat-kuat. "Daripada berbicara denganmu, lebih baik aku mati!"

Mata Alfred menangkap noda darah di tangan Arthur. Ia menangkap tangan pemuda itu dan terkejut melihat darah segar di pergelangannya. Manik shappire miliknya membesar.

"Terkejut?" ejek Arthur, "Mengapa terkejut melihat hasil kekasaranmu?"

Alfred diam saja. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan memotong simpul ikatan tangan Arthur. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan melihat tangan Arthur yang terluka.

"Puas?"

"Kalau ini dapat membuatmu jera, aku puas," jawab Alfred, "Tapi kau, kau tidak jera, bukan?"

Arthur menjawabnya dengan senyum nakal.

"Tunggu di sini," kata Alfred, "Kuperingatkan kau untuk tidak mencoba untuk kabur kemanapun." Alfred menekankan seluruh kata pada kalimat itu. Memastikan maksudnya cukup jelas untuk dipahami orang terbodoh sekalipun.

Arthur tersenyum sinis ketika Alfred meninggalkan kamar. Bisa dipastikan pemuda itu sama sekali tidak tahu Kiku telah melanggar perintahya. Ia tampak terkejut ketika ia mengatakan dua hari lagi tidak diberi makan, ia tidak apa-apa.

Arthur melihat jendela terbuka lebar dan di bawah sana yang tampak hanya beberapa anak kecil. Ia yakin mereka tidak akan tahu kalau saat ini ia kabur, tetapi ia tidak mau melakukannya. Pembalasan amarahnya belum selesai.

Tak lama kemudian Arthur mendengar langkah-langkah kaki mendekat.

Alfred datang dengan seorang wanita berambut panjang, yang langsung menghampiri dan melihat lukanya. "Kenapa bisa sampai begini, Al? Aku sudah bilang padamu untuk jangan berlaku kasar pada siapapun―apalagi pemuda semanis ini!" Wanita itu beralih dari tangan terluka Arthur ke Alfred. Berkacak pinggang dengan ekspresi marah yang tidak enak.

"Ludwig yang mengikat tangannya bukan aku," balas Alfred tak terima.

"Tapi kau yang memerintahkannya!"

"Bukan salahku jika pemuda keras kepala itu tak bisa berhenti bergerak lalu melukai tangannya sendiri, Eliz."

Wanita itu mengangkat tangannya dan mendorong dada Alfred dengan telunjuknya. "Tetap kau yang salah Alfred F. Jones!" nadanya naik satu oktaf.

"Kenapa aku?"

"Kau yang menculiknya, Jones! Demi Tuhan! Dari awal kau penjahatnya!"

Kata-kata itu seperti anak panah yang melesat sukses menuju tujuan, dan tujuannya adalah memojokkan Alfred. Alfred langsung melebarkan matanya kemudian membuat ekspresi kalah. "Oh, sial," umpatnya. "Aku memang tak pernah bisa menang berkata-kata darimu, Eliz."

"Ha, itu kau tahu."

"Kalian―"Arthur langsung membuat raut bingung. "Kalian kenapa?"

Perdebatan itu seketika berhenti. Dua pasang mata berbeda warna kini menatap Arthur. Sepertinya baru sadar akan keberadaan sosoknya di sana.

Eliz tersenyum lembut. Kembali mendekati Arthur dan meraih tangannya untuk melihat luka-lukanya. "Maaf karena perlakuan si Jones itu, Arthur," ujarnya lembut. Sambil terus mengobati Arthur yang semakin bingung dengan orang-orang di sekitarnya. "Namaku Elizaveta. Kau bisa memanggilku Eliz."

Arthur mengerjap dan mengangguk ragu. Eliz kembali terfokus mengobati luka-luka di tangan Arthur hingga selesai dengan membalutnya.

Sedangkan Alfred yang sedari tadi diam mematung, memandangi mereka sedikit lebih lama, sebelum berbalik pergi, ke luar ruangan tanpa sepatah kata. Dan Arthur bisa melihat raut kemarahan di wajah itu sekilas.

To be Continued